DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 September 2013

MAKNA SPIRITUAL IBADAH HAJI (2-SELESAI)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dalam artikel ini, saya tidak membahas tentang syariat berhaji karena pembaca pasti banyak yang sudah paham. Saya lebih berfokus membahas dari tinjauan aspek spiritual (batiniyah/filosofis) dibalik makna ritual tersebut.
·       
      Ihram
Ihram adalah prosesi ritual ibadah haji dengan ditandai pemakaian kain putih 2 (dua) lembar tanpa boleh ada jahitan. Secara simbolik kain putih menandakan bahwa itulah kain kafan yang akan dikenakan saat meninggal dunia kelak. Jadi ingatlah mati, tinggalkan keramaian dunia  yang penuh fatamorgana, fokuskan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Ihram merupakan lambang bersihnya hati dari seorang Muslim dari segala sesuatu, disitulah Baitullah yang sesungguhnya yang bersih dari sifat Musyrik.  Dikenakannya kain bagi seluruh jamaah haji tanpa kecuali juga menandakan tidak ada perbedaan duniawi ketika menghadap Allah SWT. Harta, tahta, dan status sosial semuanya tidak berguna di hadapan-Nya, hanya ketakwaan-lah yang menjadi tolok ukur derajat di hadapan Allah SWT.  Ihram juga sebagai prosesi melepaskan ikatan nafsu untuk mencapai ruhani yang tinggi. Ar-ruh berkuasa atas an-nafs. Meluruskan niat hanya beribadah, kagum dan terpesona hanya kepada Allah SWT. Tidak kepada yang selain-Nya.
·       
        Thawaf
Prosesi mengitari ka’bah sebanyak 7 (tujuh) kali putaran mempunyai makna bahwa Allah SWT adalah Tuhan alam semesta. Dia-lah pusat segala-galanya bagi makhluk-makhluknya untuk meminta pertolongan, tempat bergantung dan mohon perlindungan. Tidak ada kekuatan suatu apapun yang dapat menandingi-Nya. Berputar mengelilingi Ka’bah juga menandakan agar manusia senantiasa tunduk dan patuh atas kehendak-Nya, sebagaimana bumi yang berotasi dan berevolusi, bulan mengelilingi bumi, planet-planet yang berjalan di atas garis edarnya. Semua menerima apa-apa yang telah digariskan Tuhannya. Dengan ketunduk-patuhan ini agar kehendak diri manusia senantiasa selaras dengan kehendak Allah SWT. Inilah yang dinamakan pasrah secara totalitas (berserah diri) sehingga menghasilkan keharmonisan jiwa.
·       
      Sa’i
Prosesi lari-lari kecil dari bukit shafa ke marwa sebanyak 7 kali ini untuk mengingatkan perjuangan ibunda Siti Hajar ketika mencari air untuk minum anaknya, nabi Ismail AS ketika masih bayi. Manusia boleh berikhtiar dan berencana dalam mengusahakan sesuatu, tetapi rencana Allah SWT yang pasti terjadi. Sa’i mengajarkan kesadaran berketuhanan dan bergantung secara totalitas kepada Allah SWT sebagai Penguasa Tunggal apa-apa yang ada di langit dan bumi. Dengan bergantung hanya kepada-Nya akan menghasilkan jalan keluar dari segala kesulitan atau masalah hidup baik di dunia maupun akhirat.
·      
      Wukuf di Arafah
Inilah puncak ibadah haji. Tidak boleh jamaah haji meninggalkan prosesi ibadah ini meskipun sedang sakit. Haji adalah arafah (Al-Hajju Arafah). Di tempat inilah Allah SWT akan menilai diterima (mabrur) tidaknya ibadah haji sang hamba, “Al-Hajju Arafah, Man Jaa Lailata Jam’in Qabla Tulu’il Fajri Faqad Adraka” (HR. Ahmad).
Kesadaran wukuf merupakan puncak tertinggi dalam berspiritual haji, yaitu menyadari dan menyaksikan adanya Allah SWT Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu. Prosesi yang dilakukan adalah berdiam diri dan tenang dalam keadaan ma'rifatullah sambil berdzikir. Arafah bermakna penyaksian diri, man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu (Manusia yang mengenal dirinya maka akan mengenai Tuhannya). Sekali lagi, haji adalah yaitu Arafa, tanpa Arafa berarti hajinya tidak syah alias Umrah (haji kecil). Pertanyaannya, ketika seorang abdi melaksanakan haji dan sedang Wukuf di padang Arafa (padang penyaksian) apa yang mereka saksikan pada waktu itu? Sudahkah mereka menyaksikan dirinya dihadirkan oleh Tuhan di padang Arafa-Nya? Haji itu peristiwa seorang abdi yang dipanggil  Tuhannya untuk menjadi tamu-Nya  di tanah suci-Nya dengan berbekal ilmu dan amal shalihnya. Bagi yang diterima hajinya, pada waktu wukuf mereka dapat menyaksikan (Arafa) dirinya dihadirkan Allah SWT dipadang-Nya yang luas tak berbatas. Mereka itu orang-orang diperjalankan Allah SWT bisa mengenal Tuhannya dengan jalan mengenali dirinya sendiri. Sebagaimana makna doa orang berhaji adalah: “Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah”. Mereka benar-benar hamba yang dipanggil Tuhannya bukan dituntun nafsunya untuk mendatangi Baitullah/Masjidil Haram.
·       
      Lempar Jumrah
Prosesi selanjutnya adalah melempar jumrah ke 3 (tiga) tugu dengan batu kerikil masing-masing tugu (aqabah, ula, wustha) sebanyak 7 (tujuh) buah. Prosesi ini dilatarbelakangi oleh peristiwa nabi Ibrahim AS  saat mengusir iblis dengan batu ketika mencoba menggodanya untuk memenuhi perintah Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail AS. Makna lempar jumrah oleh para jamaah haji bukanlah melempari iblis dengan batu sebagaimana Nabi Ibrahim AS dahulu lakukan. Logikanya bagaimana mungkin iblis yang tidak kasat dilempari batu, mungkin malah tidak mengenai sasaran. Adapun makna yang sebenarnya adalah manusia diperintah Allah SWT untuk membuang nafsu fujur dan sifat syaitan yang ada dalam dirinya. Bukankah sifat syaitan bersemayam di hati dan mengalir dalam darah manusia? “Sesungguhnya syaitan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah” (HR. Muslim)

            Demikian sekilas pembahasan mengenai makna spiritual haji, semoga para kerabat dan sahabat yang menunaikan ibadah haji tahun ini mendapat limpahan nikmat dari Allah SWT menjadi haji yang mabrur. Amin.

            Artikel di atas adalah petikan dari e-book saya yang ketiga yang berjudul “Menyibak Takwil Rakaat Shalat Fardhu”. Apabila pembaca berminat, silahkan membeli (donasi untuk kepentingan social keagamaan) dengan cara mendownload. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html  (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Senin, 23 September 2013

MAKNA SPIRITUAL IBADAH HAJI (1)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Beberapa hari belakangan ini saya mendapat undangan untuk menghadiri walimatussyafar (syukuran haji), baik dari kerabat, sahabat dan handai taulan yang akan berangkat menunaikan ibadah haji di tahun 1434 H ini. Dilatar belakangi peristiwa ini, maka artikel kali ini akan membahas tentang haji, khususnya dari sisi (makna) spiritualnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.

Prosesi ibadah haji adalah sebagai bentuk penghargaan atas ketaatan dan ketunduk-patuhan keluarga nabi Ibrahim AS kepada perintah Allah SWT. Seperti kita ketahui, Thawaf sebagai ritual atas pembangunan ka’bah oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Sai adalah bentuk ritual atas Ibunda Hajar dan Ismail AS ketika ditinggal di padang tandus oleh Ibrahim AS atas perintah Allah SWT, Wukuf adalah ritualnya nabi Ibrahim AS saat mencari siapa Tuhannya dengan berjalan kaki bersama kaumnya, kemudian mendapat wahyu untuk menghadapkan wajahnya kepada wajah pencipta langit dan bumi, Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al-An’aam 6 :79), melempar Jumrah adalah bentuk ritual atas peristiwa Ibrahim AS ketika akan menyembelih Ismail AS atas perintah Allah SWT dan saat itu mendapat godaan iblis hingga keraguan menyelimuti hatinya agar jangan melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.

Haji adalah ibadah puncak rukun islam yang kelima bagi orang beriman yang diwajibkan atas mereka yang mampu secara materi (fisik), psikis (mental) dan spiritual. Kesempatan berhaji adalah peluang untuk mempraktekan rukun islam sebagai satu kesatuan (rangkaian) sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Shalat sebagai sarana pengangkut niat hamba yang ingin berjumpa Allah SWT (Mulaqu Rabbihim) dan ingin kembali kepada-Nya (Illaihi Roji’uun) dalam ibadahnya. Syahadat sebagai ‘roket’ pendorong shalat dengan keinginan (niat) hamba dapat menyaksikan Dzat Allah di dalam otaknya, seperti yang dilakukan oleh nabi Musa AS di bukit Tursina. Puasa sebagai ‘roket’ pendorong shalat dengan menyambungkan hati dengan otak hanya ingin berjumpa Allah SWT di dalam hati. Zakat sebagai ‘roket’ pendorong shalat dengan ikhlas tidak takut kepada neraka dan tidak berharap surga, hanya ingin berjumpa Allah SWT semata. Mengapa ? Karena surga dan neraka adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT.

Demikian pula dengan ibadah haji terutama saat wukuf di Padang Arafah. Spiritual wukuf (berdiam diri/Thuma’ninah/Sabar) juga sebagai ‘roket’ pendorong shalat agar semua perangkat agama (jiwa dengan akal tersambung), tiga kecerdasan islam (IQ, EQ, SQ) pasti akan tersambung secara sempurna. Lima perangkat tersebut merupakan roket yang paling besar tenaganya dibanding dengan lainnya. Dengan tersambungnya lima perangkat islam sebagai agama fitrah (ruh berkuasa atas diri ini) maka dapat dijadikan sarana membuktikan man arafa nafsahu waqad arafa rabbahu. Sehingga secara fisik ia hadir di padang arafah (syariat), namun secara hakikat ia dihadirkan Allah SWT di padang arafah-Nya yang luas tak berbatas. Peristiwa seperti itu diterangkan Allah SWT sebagai haji Mabrur. Orang-orang yang mendapat gelar haji mabrur adalah mereka dalam shalatnya tidak ada bedanya ketika dihadapan Ka’bah saat berhaji atau ketika telah pulang ke negaranya dan shalat di rumahnya sendiri/masjid/musholla. Mereka sudah menikmati suasana kemana kamu menghadap disitulah wajah Allah SWT.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” .(QS. Al-Baqarah 2 :115).

Dengan demikian ibadah haji adalah sebuah moment pencerahan diri. Sebuah laku ibadah puncak untuk menyingkap tirai dinding kalbu, menembus kegelapan untuk menggapai cahaya al-haq yang terpancar dari nur Illahi. Nur Ilahi memancar dan merambat pada empat tatanan; Intelektual (subyektifitas berfikir) IQ/Intelectual Quotient, Spritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, keikhlasan & al-ihsan serta kepekaan rohani terhadap atmosfir Rububiyyah dan Uluhiyyah) SQ/Spiritual Quotient, Mental (kesabaran, keseimbangan, elastisitas dan rileksitas) dan Moral (integritas pribadi, intensitas sosial, dedikasi jama‘ah dan kesantunan kemanusiaan) EQ/Emotional Quotient.
(Bersambung…)

Artikel di atas adalah petikan dari e-book saya yang ketiga yang berjudul “Menyibak Takwil Rakaat Shalat Fardhu”. Apabila pembaca berminat, silahkan membeli (donasi untuk kepentingan social keagamaan) dengan cara mendownload. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Selasa, 16 Juli 2013

REPACKAGE : MERAIH "PIALA" RAMADHAN (3-Selesai)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Lailatul Qadar

Suatu ketika Rasulullah SAW dihadapan para sahabatnya menceritakan tentang seorang pemuda Bani Israil yang bernama Sam’un yang memiliki kekuatan fisik dan mampu beribadah sehari semalan selama 1.000 tahun (80 tahun). Pada waktu siang hari Sam’un berjihad dan malamnya beribadah, tak mengenal lelah. Kondisi inilah yang menjadikan para sahabat berdecak kagum dan “cemburu” dengan keutamaan ibadah yang mampu dijalani oleh Sam’un.

Melihat kondisi ini dan atas kemurahan Allah SWT, maka diutuslah malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu mengenai Lailatul Qadar (QS. Surat Al-Qadr 97: 1-5). Pada ayat tersebut, Allah SWT menghibur umat islam, bahwa dalam bulan Ramadhan ada satu malam yang tingkat ibadahnya sama dengan 1.000 bulan (Lailatul Qadar).

Banyak literatur islam yang mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar akan turun pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ada juga yang mensinyalir malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan, bahkan ada mengerucutkan pada malam 27 Ramadhan. Bahkan ada literatur yang menyebutkan ciri-ciri turunnya Lailatul Qadar seperti siang hari tidak panas dan mendung, langit bersih dari awan, angin bertiup sepoi-sepoi dan masih banyak lagi. Apakah ini benar? Wallahualam bi Shawab.

Adapun sikap kita sebagai orang beriman hendaklah jangan sampai membeda-bedakan kemuliaan hari satu dengan hari lainnya di bulan suci Ramadhan. Tetaplah berniat, beribadah dan berfokus hanya semata-mata karena Allah SWT. Dengan niat yang ikhlas, cinta dan berpasrah diri kepada Allah SWT, Insya Allah, dengan kemurahan-Nya kita akan mendapatkan Lailatul Qadar. Jadi Lailatul Qadar adalah “bonus” dari Allah SWT karena semata-mata niat hamba-Nya yang benar dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.

Namun sebagai gambaran, seperti yang ditulis oleh Sayyid Qutub dalam salah satu kitabnya yaitu Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, bahwa  malam Lailatul Qadar bermandikan cahaya Allah, cahaya malaikat dan cahaya ruh hingga terbit fajar. Inilah yang saya kemukakan sebelumnya bahwa umat islam hendaknya melibatkan dimensi fisik dan ruhani. Kenapa? Karena tanda Lailatul Qadar diturunkan dalam bentuk dimensi cahaya (non materi) dan hanya ruhani-lah yang mampu menyaksikan, karena hakekatnya ruhani juga berdimensi non materi.

Selain surat Al-Qadr 97 : 1-5 yang menerangkan peristiwa Lailatul Qadar, di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menerangkan secara tersirat ciri-ciri hamba-Nya yang mendapat Lailatul Qadar, yaitu:

“...Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki...,” (QS. An-Nur 24 : 35).

Cahaya itu berarti putih, bersih dan cemerlang. Kondisi ini dapat tidak hanya bisa dilihat oleh mata batin saja, tetapi dengan mata telanjang (panca indera). Ini pertanda bahwa Allah SWT menurunkan rahmat, berkah dan ampunan atas dosa-dosa hamba-Nya. Maka Ramadhan identik dengan bulan suci yang penuh rahmat, berkah dan ampunan.
 
Demikian sekilas uraian saya, semoga dengan sisa waktu pada bulan Ramadhan 1434 H ini, Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, berkah dan maghfirah-Nya kepada umat islam dan menerima amal ibadah kita semua. Amin. (3)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH, (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Iwan Fahri Cahyadi,
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Senin, 15 Juli 2013

MERAIH “PIALA” RAMADHAN (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Nuzulul Qur’an

Sebelum memasuki uraian pembahasan apa itu Nuzulul Qur’an, mari kita simak ayat Al-Qur’an berikut ini :

“(Beberapa hari yang telah ditentukan itu) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...,(QS. Al-Baqarah 2 : 185).

Setiap tanggal 17 Ramadhan, umat islam memperingati peristiwa Nuzulul Qur’an sebagai bentuk penghormatan atas firman Allah SWT yang diturunkan (diwahyukan) pertama kali pada paruh kedua bulan Ramadhan, 14 abad yang lalu, melalui Rasulullah SAW saat berkhalwat di Gua Hira. Sebuah peringatan yang sebenarnya memiliki arti yang sangat dalam, salah satunya yaitu sebagai bahan intropeksi diri bagi umat islam dalam men-tadabbur-i (merenungkannya) kalam Illahi. Tetapi sungguh disayangkan, banyak dari kalangan umat islam sendiri tidak mau mengambil momentum ini sekaligus menggali lebih jauh makna (hakikat) dari peringatan Nuzulul Qur’an.

Banyak dari umat islam sendiri yang menganggap bahwa peristiwa ini hanya sebatas seremonial saja. Sungguh disayangkan. Padahal tidaklah demikian. Banyak sekali hikmah yang terkandung di dalamnya, seperti mengapa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan? Apa hubungan Al-Qur’an dengan angka 17? Ternyata dibalik peristiwa ini semua berkaitan erat dengan jumlah rakaat shalat fardhu yang ditunaikan dalam sehari semalam. Shalat Isya’ terdiri dari 4 rakaat, Subuh 2 rakaat, Dhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat dan Maghrib 3 rakaat, sehingga kalau dijumlah secara keseluruhan sebanyak 17 rakaat.

Peringatan Nuzulul Qur’an sebenarnya juga memiliki makna untuk mengingatkan kembali perilaku (sikap) umat islam dalam “membumikan” Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan saja firman Illahi dan mu’jizat yang diberikan kepada Rasulullah SAW, tetapi esensinya adalah pedoman hidup umat islam sampai hari kiamat, karena Al-Qur’an tidak akan pernah usang sampai akhir zaman. Pemahaman ayat-ayatnya selalu memiliki makna yang up to date sesuai perkembangan jaman. Tanpa berpedoman dengan Al-Qur’an maka dapat dipastikan perilaku kita sehari-hari akan jauh dari kebenaran.

Memang kalau melihat perkembangan akhir-akhir ini dan minat mempelajari kitab suci ini cukup menggembirakan, seperti banyak didirikan TPQ, metode atau cara belajar membaca Al-Qur’an dengan waktu singkat atau Al-Qur’an dikemas dalam bentuk media elektronik agar mudah dipelajari, dan yang tak kalah pentingnya adalah masih diadakannya lomba MTQ secara periodik. Namun ini belumlah cukup karena Al-Qur’an tidak hanya dipelajari dan dibaca. Justru yang terpenting adalah memahami maknanya dan mengaplikasikan dalam perilaku (ahlak) kehidupan sehari-hari. Sehingga umat islam betul-betul menjadi umat yang rahmatan lil ‘alamin.

Yang lebih memprihatinkan lagi banyak kalangan dari umat islam sendiri jarang menyentuh Al-Qur’an, apalagi membuka, membaca dan mempelajari isinya. Kitab suci ini hanya sebagai penghias lemari buku saja dan sebagai penunjuk identitas agama yang dianutnya. Hal ini disebabkan umat islam kurang harmoni dalam me-manage waktu antara kebutuhan dunia dan akhirat. Bahkan saat ini banyak yang tenggelam dalam aktivitas duniawi. Maka tidak mengherankan bila dewasa ini banyak terjadi dekadensi moral, terutama di kalangan kawula muda.

Sedikit uraian diatas sebenarnya syarat bila umat islam ingin meraih  Nuzulul Qur’an, yaitu menjaga ke-ajeg-an shalat fardhu (diisyaratkan dengan tanggal 17 Ramadhan) serta bersedia mengaplikasikan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah, bagi yang mampu menjalankannya akan mendapatkan karunia Nuzulul Qur’an berupa pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fatir 35 : 32).

“Dialah yang mengajarkan Al-Qur’an.”(QS. Ar-Rahman 55 : 2).

Cara Allah SWT mengajarkan pemahaman Al-Qur’an memang terkadang unik. Dimana uniknya? Kadang pemahaman langsung diturunkan ke hati/dada hamba-Nya, kadang anda diperjalankan dahulu baru kemudian dipahamkan ayat-Nya, dll. Kondisi ini juga dialami Rasulullah SAW, dimana Allah SWT menurunkan pemahaman Al-Qur’an secara bertahap. Tidak sekaligus.

”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (Al-Qiyamah 75 : 16-19).

”Allah menganugerahkan al-Hikmah (Kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Surat Al-Baqarah 2 : 269).

”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al-Baqarah 2 : 147)

Yang perlu menjadi catatan disini adalah beda maknanya antara anda tahu (belajar sendiri, entah itu dari ustadz, buku, dll) dan paham (diajarkan oleh Allah SWT). Tahu sifatnya sementara sehingga kadang manusia akan lupa karena tahu adalah hasil dari olah pikir/otak. Sedangkan paham sifatnya kekal karena hasil pengajaran Allah SWT yang ditanamkan dalam hati hamba-Nya dan sang hamba mengalami peristiwa ayat tersebut. Proses ajar mengajar ini berlangsung terus menerus sampai ajal menjemput. Sang hamba juga akan dipelihara dan dijaga oleh Allah SWT selama masa hidup-Nya, Insya Allah, Inilah makna hakiki dari Nuzulul Qur’an.


(Bersambung....)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi,

Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang 

Jumat, 12 Juli 2013

REPACKAGE : MERAIH “PIALA” RAMADHAN (1)


Kalau boleh saya analogkan dengan dunia olah raga, maka puasa Ramadhan merupakan ajang pertandingan bagi umat Islam. Seluruh waktu, tenaga dan pikiran difokuskan pada aktivitas prosesi ibadah, baik puasa Ramadhan itu sendiri, maupun ibadah wajib dan sunah lainnya seperti memelihara shalat fardhu 5 (lima) waktu, shalat tarawih, shalat tasbih, tadarus dan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam 1 bulan, iktikaf di masjid pada 10 hari terakhir, dan lain sebagainya.

Saat ini umat islam bagaikan seorang atlit yang bertanding mati-matian agar menjadi juara untuk memperebutkan “piala” yang bernama Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Kenapa harus mati-matian? Karena piala ini hanya diperebutkan hanya satu tahun sekali yaitu pada bulan suci Ramadhan dan kita belum tentu di tahun depan dapat menemui kembali moment seperti ini, kecuali diberi karunia panjang umur dan nikmat iman oleh Allah SWT.

Ada sebagian pendapat yang saya kira perlu diluruskan yang menyatakan bahwa bulan Ramadhan adalah waktunya umat islam untuk melatih diri dengan memperbanyak amal ibadah. Tetapi menurut pendapat saya pribadi, bahwa yang namanya berlatih bukanlah pada saat Ramadhan, tetapi 11 bulan di luar bulan suci ini. Ibarat seorang atlit, sebelum melakukan pertandingan maka dia harus melakukan latihan di luar event itu. Kenapa? Tanpa melakukan latihan pastilah sang atlit lambat atau cepat akan mudah tersingkir dari arena pertandingan.

Seyogyanya, umat islam selama 11 bulan berlatih untuk menyambut bulan Ramadhan. Entah itu dengan ibadah “tambahan” seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud AS, selalu menjaga frekuensi shalat sunah, memelihara perilaku (ahlak) yang islami serta ibadah lainnya. Dengan catatan, tentunya tetap menjaga ke-ajeg-an shalat fardhu 5 (lima) waktu. Dengan persiapan yang matang maka diharapkan di bulan Ramadhan umat islam tidak akan keteteran dalam melaksanakan prosesi ibadah tambahan, seperti shalat tarawih, iktikaf dan lain sebagainya.

Dengan berlatih diharapkan pula ketahanan fisik (badan) dan batin (ruhani) lebih prima dan siap untuk menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan dengan penuh ikhlas dan khusyu’. Karena bagaimanapun juga setiap prosesi ibadah melibatkan 2 (dua) aspek yaitu batiniyah dan badaniyah yang harus terus dipelihara dan berjalan secara seimbang. Tanpa adanya keseimbangan maka dalam menunaikan ibadah pastilah gersang, terutama bila aspek batiniyah tidak dilibatkan.

Bila masa latihan selama 11 bulan tersebut dipenuhi, Insya Allah, umat islam mampu melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan memperoleh piala berupa Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Pertanyaannya sekarang adalah apa makna (hakikat) dari Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar? Marilah coba kita uraikan satu per satu.
(Bersambung….)

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridho Allah SWT!!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi

Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Rabu, 10 Juli 2013

IKHLAS-LAH DALAM BERPUASA RAMADHAN


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Salah satu pondasi dasar dalam beribadah yaitu harus disertai dengan keikhlasan. Ketika seseorang dalam “maqam” ini maka ibadah yang dilakukannya tidak menjadi beban sedikit pun karena didasari rasa yang senang. Dalam beribadah pada intinya semata-mata hanya untuk menggapai rahmat dan ridho Allah SWT, dengan mengesamping sesuatu dan apapun selain Allah SWT.

Apa jadinya bila ibadah yang anda jalankan ingin dilihat orang? maka ibadah anda masuk kategori riya’; Apa jadinya jika ibadah tersebut anda pamer-pamerkan di depan makhluk Allah SWT lainnnya? Maka anda masuk klasifikasi sombong (ujub); Apa jadinya jika ibadah yang anda kerjakan ingin dihargai/dihormati orang lain? Pastilah ibadah yang anda jalankan tidak atau jauh dari ikhlas.

            Ketika anda mendirikan shalat sendiri atau berjamaah, maka yang dituntut keikhlasan, sehingga shalat anda tidak menjadikan beban (kewajiban) bagi anda tetapi menjadi suatu kebutuhan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini,

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; …(QS. Saba’ 34:46).

            Hal yang sama juga dituntut keikhlasan ketika anda menjalankan ibadah puasa ramadhan. Ibadah puasa ramadhan anda adalah “rahasia kemesraan tertinggi” karena yang tahu hanya antara Allah SWT dengan diri anda sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."

Lalu bagaimana jika ibadah puasa ramadhan yang anda jalankan ingin dihormati atau dihargai orang lain yang kebetulan tidak berpuasa?

            Inilah dua posisi yang membedakan antara orang yang di-iman-kan oleh Allah SWT dan meng-iman-kan diri sendiri (baca artikel saya yang berjudul Sudahkah Kita Beriman?). Manusia yang di-iman-kan oleh Allah SWT maka tidak terpengaruh oleh kondisi dan situasi lingkungan apapun di mana dia menunaikan ibadah tersebut. Tidak ada rasa kekhawatiran dan ketakutan bahwa ibadahnya terpengaruh oleh lingkungannya karena hamba “maqam” ini dijaga langsung oleh Allah SWT saat menjalankan ibadah tersebut.   Justru manusia jenis ini bersikap bijak dengan menghormati, berempati dan bertoleransi kepada manusia lain yang kebetulan tidak menunaikan ibadah puasa, tanpa takut terpengaruh sedikit pun.

Kondisi ini sangat jauh berbeda bagi manusia yang meng-iman-kan diri sendiri (merasa beriman), maka ada rasa ketakutan dan kekhawatiran pada dirinya yaitu jangan-jangan ibadahnya tidak khusyu’ karena terpengaruh oleh kondisi dan situasi lingkungannya. Oleh sebab itu dia menginginkan orang lain untuk menghormati dan menghargai. Lho kok aneh ya? Beribadah itu semata-mata (ikhlas) karena Allah SWT, bukan pengin dihormati orang lain. Apa jadinya kalau ibadah kita ingin dinilai orang lain? Ikhlaskah anda?

Oleh karena itu yang “dipanggil” Allah SWT untuk menjalankan ibadah puasa ramadhan adalah orang-orang yang beriman (lebih tepatnya telah di-iman-kan Allah SWT). Mengapa? Karena ibadah ramadhan adalah salah satu moment untuk “menaikkan” level orang beriman menjadi taqwa sehingga menjadi orang islam yang kaffah karena di akhir ramadhan akan kembali menjadi fitrah.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,..(QS. Al-Baqarah 2:183)

            Bagaimana agar kita di-iman-kan Allah SWT dan meraih level taqwa? Riyadloh apa yang mesti di-istiqomah-kan? Lalu bagaimana cara meraih lailatul qodar dan ke-fitrah-an? Saya tidak mungkin menjabarkan dan menjawab pertanyaan tersebut dalam artikel ini karena terbatasnya ruang dan waktu. Untuk itu silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH . Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan membeli dan membaca juga E-Book Kedua saya yang berjudul  MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH (silahkan klik judul E-Book yang berwarna merah untuk mengetahui syarat dan ketentuannya). Semoga bermanfaat.

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Sabtu, 06 Juli 2013

PERMASALAHAN SETIAP KALI DATANGNYA BULAN RAMADHAN (2-Selesai)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pokok Bahasan
                   Apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW dahulu tentu sah berdasarkan syariat islam dan sesuai dengan kondisi saat itu karena hilal (rukyat) memang baru terlihat dengan mata telanjang ketika posisi bulan telah bergeser di atas 2 derajat. Rasulullah Muhammad SAW sendiri tidak menggunakan metode hisab, karena penanggalan islam sendiri baru muncul di jaman pemerintahan khalifah Umar bin Khattab yang mengacu pada peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan umat islam dari Mekah ke Madinah.
                     
                  Kondisi 14 abad yang lalu tentu sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang ini dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat kemajuannya dengan diketemukannya teropong bintang yang diilhamkan Allah SWT kepada ilmuwan (ulama dunia) sebagai bentuk sunnatullah. Inilah salah satu bentuk kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia dewasa ini. Dengan teropong bintang inilah sebenarnya membantu umat islam dewasa ini untuk menentukan rukyat karena terbatasnya penglihatan dengan mata telanjang (harus 2 derajat). Dengan teropong bintang ini pula pergeseran hilal (rukyat) akan mudah ditentukan untuk menentukan pergantian bulan.
                     
                  Secara ilmu pengetahuan pun kita setujui bersama, bila sesuatu benda yang telah bergeser pada tempatnya semula maka telah terjadi perubahan besarannya. Demikian pula ketika bumi, matahari dan bulan sejajar maka dapat dikatakan dalam posisi 0 (nol) derajat.   Tetapi bila dari ketika benda tersebut salah satunya sudah ada yang bergeser maka posisinya sudah tidak 0 (nol) derajat lagi (ada perubahan) betapa pun kecilnya. Perubahan inilah yang menunjukkan bahwa telah ada perubahan bulan (sya’ban ke ramadhan). Kondisi ini dapat dilihat dengan alat bantu teropong (ilmu pengetahuan) meskipun masih berada di bawah 2 derajat.

               Kalau pun dewasa ini ada sebagian umat islam yang masih menggunakan hilal (rukyat) dengan mata telanjang maka sungguh disayangkan, karena sejatinya mereka mengabaikan ilmu pengetahuan yang telah diturunkan Allah SWT melalui ulama dunia (ilmuwan). Mereka membantah Allah SWT tanpa ilmu pengetahuan sehingga tidak mendapat petunjuk, sebagaimana bunyi firman berikut ini,

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al-Hajj 22:8).
           
“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu  Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud 11:14).
           
            Mengapa sebagian dari umat islam dewasa ini masih menggunakan metode lama, dimana memang secara sunnatullah saat itu ilmu pengetahuan dan teknologi belum diketemukan dan semaju sekarang (sekali lagi saya tekankan bahwa penentuan hilal saat itu sah sesuai syariat islam karena belum ada teknologi dalam melihat hilal~rukyat). Mengapa kita masih berhukum jahiliyah (masih dibodohkan) dengan melihat jauh ke belakang sementara peradaban saat ini sudah demikian pesat kemajuannya? Apakah kita tidak menghiraukan peringatan Allah SWT sebagaimana bunyi firmannya,

“Apakah hukum Jahiliyah (masih dibodohkan) yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah 5:50)

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan (kebodohan), kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’aam 6:54)

                 Apa jadinya kalau kita menunaikan ibadah justru dijadikan main-main sesuai dengan kehendak kita dan tidak mengikuti peringatan Allah SWT? Maka berhati-hatilah karena perbuatan ini termasuk dalam kekafiran sebagaimana bunyi ayat berikut ini,

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (bulan suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri  kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah 9:36)
                                   
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram (suci) itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. At-Taubah 9:37).

                   Ayat di atas (QS. At-Taubah 9:36) berkenaan dengan larangan Allah SWT kepada umat islam agar jangan melakukan perang, kecuali pihak musuh yang memulainya. Gencatan senjata adalah hal yang sebaiknya dilakukan. Adapun maksud dari 4 bulan haram (suci) itu adalah Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah.
                 
                  Lalu bagaimana dengan penjelasan ayat berikutnya (QS. At-Taubah 9:37)? Adakah kaitannya dengan ayat sebelumnya? Sebelum saya menjawab, terlebih dahulu saya ingin bertanya kepada anda. “Apakah Ramadhan termasuk bulan suci?”. Pasti jawaban anda, “IYA”. Kalau demikian halnya, sejatinya ramadhan termasuk bulan haram.

        Jadi sebenarnya antara ayat At-Taubah 9:36 dengan At-Taubah 9:37 beda peruntukkannya dan tidak diturunkan secara bersamaan, meskipun letaknya berurutan (yang disusun oleh para sahabat Rasulullah SAW pasca beliau wafat). Yang satunya larangan terhadap perang di 4 bulan haram (Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah) dan Yang satunya larangan mengundur-undurkan masuknya bulan ramadhan (dan ini terjadi disetiap tahunnya sesuai yang disinyalir pada ayat tersebut di atas) yang berakibat pada kekafiran.  Inilah salah satu misteri ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan buku ciptaan manusia yang pembahasannya secara berurutan untuk memahaminya. Umat islam tidak akan paham ayat-ayat Al-Qur’an (takwil beserta ilmu pengetahuannya) kalau tidak mau belajar sendiri kepada Allah SWT (selaku pemilik wahyu) dengan meneladani cara Rasulullah Muhammad SAW. 

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Syuraa 42:52)

               Untuk itu, ada baiknya untuk menentukan kapan datangnya bulan ramadhan, para pemegang otoritas agama islam di Indonesia mau duduk bersama tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan yang telah diturunkan Allah SWT, sehingga tidak ada perbedaan dalam menentukan datangnya ramadhan. Tidak perlulah kita mengedepankan ego masing-masing. Malu rasanya kalau beberapa tahun belakangan ini umat islam menjadi buah bibir pembicaraan umat lain. Semoga penentuan awal ramadhan, awal syawal dan 10 dzulhijah tahun ini tidak ada perbedaan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah 5:57)

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah 9:119)

              Demikian sedikit pokok bahasan tentang penentuan puasa ramadhan. Semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamiin.

Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan 1434 H, semoga kembali ke fitrah. Saya mohon maaf lahir batin bila ada kata-kata yang sengaja atau tidak menyinggung para pembaca selama ini.

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, silahkan download E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (silahkan klik tulisan/judul di samping yang berwarna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). saya juga telah me-launching E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH                           (silahkan klik tulisan/judul di samping yang warna biru untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang