DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 29 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (7)-Selesai


ALLAH, SANG MAHA HADIR (7)-Selesai

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Allah, Sang Maha Hadir

Sampailah kita pada pokok bahasan terakhir dari artikel ini. Sebelumnya saya mohon maaf kalau dalam tulisan ini ada bagian-bagian tertentu yang tidak saya sampaikan kepada para sahabat. Kenapa? Pertama, perjalanan spiritual bukanlah cerita, sehingga mau tidak mau anda harus terjun langsung menjalani dan mengalami. Apabila saya menceritakan sesuatu kepada anda, yang mana anda belum pernah mengalami, saya takut terjadi fitnah atau anda mengatakan saya tukang cerita atau pembohong.

Kedua, bagi para sahabat yang memang saat ini sedang “on the track”, saya tidak akan menceritakan pengalaman/perjalanan spiritual saya dan apa saja yang pernah saya alami. Kenapa? Hal ini untuk mencegah agar anda tidak terperangkap pada apa-apa yang saya alami. Sehingga anda akan “memaksa”-kan diri untuk meraihnya atau ingin mengalami. Kalau ini terjadi maka anda bermain dengan pikiran/imajinasi/prasangka. Dan ini berarti saya menjerumuskan anda.

Pencapaian pengalaman spiritual disetiap “maqam” adalah pemberian dari Allah SWT, sedangkan setiap orang membutuhkan waktu dan pencapaian yang berbeda tergantung keistiqomahan masing-masing orang. Spiritual bukanlah permainan pikiran/imajinasi/prasangka. Biarlah anda mengalami sendiri dan apabila ada yang kurang dimengerti dalam perjalanan spiritual anda, barulah anda menanyakan apa yang pernah anda alami kepada kami (SC-HSS). Untuk itu dalam tulisan terakhir ini, saya hanya mengupas kulit luarnya saja. Semoga anda termotivasi untuk mendalaminya.

Sungguh unik memang cara Allah SWT memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Di puncak perkenalan kepada para hamba-Nya Allah SWT dalam Al-Qur’an berfirman : “.....Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah).....(QS. Asy-Syura 42 : 11).

Membaca ayat di atas, dapat saya pastikan bahwa otak anda langsung bekerja untuk mencari file memori yang berada di otak anda tentang Allah SWT. Saya juga dapat memastikan bahwa otak anda tidak akan menemukan file memori tersebut untuk membayangkan wujud Allah SWT. Karena panca indera anda tidak mungkin pernah melihat-Nya dan disisi lain panca indera anda penuh dengan keterbatasan. Dan hasilnya pasti kebingungan. Kenapa ini terjadi? Karena alat yang anda gunakan untuk “berjumpa” dengan Allah SWT salah.

Ibarat anda ingin menggali sumur, alat yang anda gunakan adalah ballpoint atau potlot. Alat ini-kan tidak mungkin untuk menggali sumur dan menemukan sumber mata airnya. Seharusnya anda menggunakan mesin bor, atau paling tidak yang lebih konvensional adalah cangkul. Pasti anda dapat menggalinya dan menemukan sumber mata air.

Otak dan panca indera bukanlah alat untuk mengenal dan “berjumpa” dengan Allah SWT. Otak adalah alat untuk berfikir/ilmu pengetahuan (logic dan hafalan), misalnya matematika, bahasa inggris, kimia, sejarah, dll. Otak hanya dapat menyimpan memori ketika panca indera anda berfungsi dengan baik. Apa yang anda lihat, anda rasakan, anda dengar, anda cium, maka seketika itu juga otak akan menyimpan memori, berdasarkan panca indera mana yang berfungsi.

Sementara alat untuk mengenal dan “berjumpa” dengan Allah SWT adalah hati/qolbu (bukan dalam arti fisik). Maka di dalam salah satu hadits Allah SWT berfirman, “Tidak sanggup alam semesta ini menampung Dzat-Ku, kecuali hati para Kekasih-Ku”. (terjemahan bebas tanpa mengurangi esensi hadist tersebut).

Sedangkan di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Dia tidak diperdapat dengan penglihatan (mata) dan Dia mengadakan penglihatan dan Dia Maha Lembut dan Maha Mengetahui”. (QS. Al-An’am 6 : 103).

“....Sedang mereka tidak ada pengetahuan tentang (hakikat Dzat-Nya).” (QS. Ath-Thaha 20 : 110).

Namun bagi para hamba-hamba pilihan-Nya, perkenalan dan perjumpaan dengan Allah SWT bukan sesuatu yang mustahil. Karena Allah SWT-lah yang memperkenalkan kepada hamba-Nya. Sementara sang hamba tinggal menerima. Allah SWT akan membuka hijab-Nya mulai dari tajally Asma, tajally sifat, tajally af’al dan tajally Dzatullah (untuk masalah ini sekali lagi maaf tidak dapat saya uraikan lebih jauh karena ini perjalanan dan pengalaman spiritual sang Abdi yang berada dalam wilayah Allah SWT).

Untuk lebih menyederhanakan “identitas” Allah SWT, sehingga para sahabat dan pembaca agak “ngeh” dapat saya analogkan dengan angin (meskipun wujud Allah SWT ini jauh dari apa yang dapat anda bayangkan dan saya contohkan, namun paling tidak analog ini membantu anda).

Ketika saya bertanya apakah angin itu ada? Maka pasti anda menjawab ADA. Kalau angin ADA, lalu bentuknya bagaimana? Maka pasti anda menjawab TIDAK TAHU. Jadi kesimpulannya bahwa angin itu ADA, tetapi bentuknya TIDAK TAHU. Sekali ADA tapi TIDAK BERWUJUD.

Begitu pula dengan Allah SWT, bagi anda yang tingkat kesadaran mulai terkuak maka anda akan menyaksikan bahwa Allah SWT itu ADA. Karena Dia-lah Sang Maha ADA.

Contoh lain yang mungkin dapat menggugah kesadaran anda adalah nafas. Seringkali kita menganggap bahwa nafas ini milik kita. Betulkah? Tentu saja salah. Kalau anda meng-klaim bahwa nafas adalah milik anda coba tahan nafas anda barang 15 atau 20 menit. Mampukah anda? Dapat saya pastikan bahwa anda tidak mampu. Logikanya kalau nafas itu milik anda, maka anda seharusnya berhak mengatur-atur sesuai dengan selera dan keinginan anda. Sebagaimana anda mengaku memiliki kertas, maka terserah anda apakah kertas itu mau anda corat-coret, anda buang, bakar, jadi terserah anda. Tapi untuk nafas dapatkah anda mengatur-atur sesuka anda? Dan kenyataannya anda tidak bisa melakukannya. Kalau toh mampu hanya sebatas mengatur keluar masuknya saja. Itupun untuk beberapa waktu (15 menit, 30 menit atau 1 jam, seperti pada olah nafas, meditasi, dll). Anda tidak akan mampu mengaturnya selama 24 jam.

Lalu siapa pemilik nafas ini? Allah SWT. Begitu sayangnya Dia kepada manusia sehingga untuk bernafaspun manusia tidak susah-susah menggerakkan dan mengaturnya. Allah-lah yang menggerakkan dan mengaturnya secara otomatis, karena Dia-lah Al-Qahar dan Al-Muhith. Perhatikan pula jantung berdetak, darah mengalir, lapisan kulit yang lama diganti dengan yang baru disetiap detiknya, rambut dan kuku bertambah panjang, dll (secara mikrokosmos). Dan perhatikan pula alam semesta ini (makrokosmos). Semua diatur, ditata, dan digerakkan dengan rapi, teliti, dan cermat.

Dari beberapa contoh diatas seharusnya anda mulai tersadar bahwa Allah SWT adalah Sang Maha Hadir. Namun sayang banyak manusia yang terhijab dari contoh-contoh yang sederhana namun sebenarnya dari contoh tersebut menggiring kesadaran manusia untuk menyadari adanya Allah SWT.

Maka dari itu Allah SWT mempertanyakan kepada manusia dalam surat Ar-Rahman nikmat-nikmat ini semua, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. Dari 78 ayat dalam surat Ar-Rahman ini, pertanyaan Allah SWT tentang nikmat-nikmat ini sampai dipertanyakan sebanyak 31 kali. Jadi hampir separo surat Ar-Rahman berisikan pertanyaan (ayat) yang sama!.

Allah adalah Sang Maha Hadir, Allah Maha Dekat, oleh karena itu ketika kita punya masalah (sakit, problem kerja, keluarga, dll) atau saat kesulitan memahami ayat-ayat Al-Qur’an atau rindu untuk berjumpa dengan-Nya, maka kita tinggal berdoa kepada-Nya. Dan pasti Allah SWT akan memberikan solusi atau jawaban. Meskipun dikabulkan atau tidaknya adalah hak preorogatif Allah, SWT namun tetap ada jawaban atas doa tersebut. Sehingga manusia tinggal menerima. Tidak usah mempertanyakan,” Kok jawaban Allah SWT tidak mengabulkan doa saya?”. Karena Allah SWT lebih mengetahui apa yang akan terjadi besok.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqarah 2 : 186).

“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, apadahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah 2 : 216).

Yang perlu kita garis bawahi adalah, “Sudahkah kita memenuhi perintah Allah? Dan sudahkah kita di-iman-kan oleh Allah (bukan meng-iman-kan diri sendiri)”. Sebelum berdoa akan kebutuhan kita, sudahkah hak Allah SWT anda penuhi? Jangan sampai kita menuntut hak sementara kewajiban belum kita penuhi.

Demikian sekilas bahasan artikel mengenai Allah, Sang Maha Hadir. Semoga bermanfaat. Sampai bertemu kembali pada pokok bahasan yang lain.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang.

Rabu, 28 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (6)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (6)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Merekonstruksi Pemahaman Al-Qur’an

Suatu ketika saya secara iseng menulis status di facebook yang berbunyi kurang lebih sbb: “Umat islam mengaku beriman pada Al-Qur’an (Kitabullah), namun dalam kenyataannya banyak dari umat islam sendiri yang jarang membuka, membaca, mempelajari, memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau pun umat islam mendadak rajin membaca Al-Qur’an hanya ketika bulan ramadhan atau moment pengajian, itu pun dalam hari-hari tertentu saja. Apakah ini tanda bahwa benar-benar umat islam beriman kepada Al-Qur’an?”.

Demikian tulisan saya di status facebook dan tulisan tersebut sengaja saya akhiri dengan sebuah pertanyaan. Hal ini semata-mata sebagai suatu bentuk motivasi dan berharap...Insya Allah kita semua (termasuk saya) agar selalu mau dan mau belajar Al-Qur’an. Karena kitab suci ini adalah mukjizat, pelita hati dan pedoman hidup umat islam, sehingga dengan berpegang kitabullah, Insya Allah umat islam akan mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Dan Insya Allah...kita semua tidak menyesal di kemudian hari. Amin.

Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia, hampir sebagian besar umat islam merasa “alergi” untuk mempelajari Al-Qur’an. Mereka tidak merasa bangga diwarisi mukjizat. Atau apakah mereka merasa begitu sulit mempelajarinya? Bukankah sekarang banyak penemuan/metode cara belajar membaca Al-Qur’an? Seandainya toh anda masih sulit membaca, bukankah Al-Qur’an banyak yang sudah diterjemahkan dan ditafsirkan? Bukankah esensi Al-Qur’an diwahyukan kepada umat islam agar memiliki perilaku yang islami dan Qur’ani? Disisi lain banyak juga yang pandai membaca Al-Qur’an namun jarang mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal penerapan perilaku inilah point terpenting dalam kehidupan, meskipun pandai membaca Al-Qur’an juga baik. Syukur Alhamdulillah bila umat islam mau dan mampu menjalankan kedua-duanya, baik pandai membaca sekaligus mengaplikasikannya.

Allah SWT sebenarnya sudah memperingatkan kepada umat islam, bahwa mempelajari Al-Qur’an itu mudah. Bahkan Allah SWT dalam surat Al-Qamar memberitahukan kepada umat islam. Untuk meyakinkan, Allah SWT sampai mengulang ayat tersebut sebanyak 4 kali.

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. Al-Qamar 54 : 17, 22, 32, 40).

Yang perlu dicermati umat islam adalah membedakan antara membaca dengan memahami Al-Qur’an. Ini jelas beda. Secara tekstual/tersurat bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an tidak akan berubah sampai kapanpun karena Allah SWT yang langsung menjaganya. Tetapi secara pemahaman/tersirat makna Al-Qur’an dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Ini-lah keistimewaan Al-Qur’an, sehingga kitabullah tidak akan pernah lapuk ditelan zaman, tetapi tetap up to date sampai akhir zaman (kiamat).

Jalan spiritual antara Rasulullah SAW dan umat islam dalam memahami Al-Qur’an adalah sama. Mengapa? Karena pemahaman tersebut bukan hasil olah pikir manusia, tetapi Allah SWT yang memahamkan. Dalam setiap perjalanan perilaku spiritual, maka Allah SWT akan menjelaskan ayat demi ayat yang menyertai perjalanan spiritual Sang Salik. Sang Salik hanya tinggal melangkah berdasarkan petunjuk yang diberikan kepadanya atas kemurahan Allah SWT. Sungguh suatu bentuk hubungan antara Sang Abdi dan Sang Khalik yang begitu mesra. Maka tidak heran, Sang Abdi tidak pernah bersedih dalam menjalani hidup ini. Tidak ada rasa sedih gembira, susah senang, duka cita karena itu semua sudah berada dalam genggamannya. Mereka semua berjalan di atas rasa. Bahkan syurga dan neraka-pun tidak pernah dipikirkan. Karena syurga dan neraka adalah makhluk (diciptakan). Hanya kerinduan dan kedekatan disisi Sang Khalik-lah yang diidam-idamkan serta tidak mau dilepas sedikitpun. Sang Abdi merasa damai dalam dekapan dan belaian-Nya.

Manusia yang telah tunduk, patuh, menyerahkan shalat, ibadah, hidup dan matinya kepada Allah SWT, maka hidupnya begitu tentram dan damai. Totalitas Sang Abdi ini-lah yang...Insya Allah akan mendapatkan limpahan karunia dan hidayah dari Allah SWT. Bahkan untuk memahami Al-Qur’an-pun mereka dituntun dan dijelaskan oleh Allah SWT. Karena Allah-lah pemilik asma Al-Alim, Dia-lah Sang Guru Sejati. Maha Guru atas segala makhluk-Nya.

”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (Al-Qiyamah 75 : 16-19).

Yang menarik untuk dikaji dan dicermati dari umat silam sekarang ini adalah salah kaprah dalam memahami Al-Qur’an. Mereka menggunakan otak atau hanya berdasar olah pikir. Maka tidak heran dari hasil pemahaman ini menghasilkan out put yang berbeda, akibatnya banyak dari umat islam terpecah menjadi beberapa golongan, saling mengklaim paling benar, gontok-gontokan bahkan saling mengkafirkan. Na’udzubilahi min dzalik!. Karena pemahaman Al-Qur’an bukan berdasarkan olah pikir atau berada dalam wilayah otak. Al-Qur’an dipahamkan oleh Allah SWT yang diturunkan dalam hati hamba-hamba-Nya yang mau menghamba secara ikhlas, sabar, tawakal dan istiqomah kepada-Nya secara totalitas.

Sebenarnya perpecahan ini tidak perlu terjadi kalau umat islam mau meniru/mencontoh (sunnah Rasulullah SAW) dalam berspiritual. Karena bagi Sang Abdi saling menyalahkan, perpecahan, dsb tidak akan pernah terjadi. Karena pemahaman mereka sama, sebab Allah SWT-lah yang memahamkan. Bagaimana pemahaman bisa berbeda kalau sumber pemahamannya sama yaitu dari Allah SWT. Tidak mungkinkan?

Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang


Selasa, 27 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (5)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (5)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

Lalu bagaimanakah langkah yang harus umat islam tempuh bila “merasa” punya masalah?

Seringkali manusia memandang dengan cara yang salah untuk mencari solusi tentang masalah. Bahkan kalau boleh dibilang, manusia yang merasa mempunyai masalah seperti “ orang yang tidak waras”. Lho kok bisa? Ya bisa. Coba anda melakukan recall ulang memori saat diri anda memiliki masalah dimasa lalu atau sekarang. Maka hal yang biasa anda lakukan dalam memandang, menengok dan memikirkan masalah tersebut adalah bertanya kepada diri sendiri. Apa ini bukan indikasi anda “kurang waras?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain berkisar atau seperti berikut ini:

“Kok bisa ya jadinya begini? Padahal saya sudah berusaha sungguh-sungguh dan rencananya sudah perfect. Kok tiba-tiba di tengah jalan berubah jadi begini? Kenapa ya? Apa salah saya? Lalu bagaimana ya menyelesaikannya? Waduh pusing saya! Kok mereka nggak mau mengerti ya?”...Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus-menerus berulang dan muncul tanpa bisa anda kendalikan. Sehingga dampaknya anda gelisah, stres, depresi dan akhirnya insomnia, nggak bisa tidur, seperti orang ling-lung, dll.

Sebagai Tuhannya umat islam, sebenarnya Allah SWT sudah memberikan solusi kepada umatnya dalam memohon pertolongan kepada-Nya dan Rosulullah SAW sendiri-pun telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana cara Beliau ketika mendapat suatu masalah. Lalu bagaimana Allah SWT mensyaratkan? Dan bagaimana Rosululloh SAW mencontohkan?

Pertama, Iyyaa kana’budu wa iyyaa kanasta’iin. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah 1:5).

Inilah syarat dan cara umat islam untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupnya. Di dalam surat Al-Fatihah tersebut yang seringkali kita baca minimal 17 kali dalam satu hari di dalam shalat fardhu, Allah SWT sebenarnya telah mengajari umat islam. Allah SWT berkomunikasi dengan kita bagaimana kalau manusia ingin meminta pertolongan kepada-Nya. Namun sayang seringkali umat islam hanya sebatas membaca sambil lalu ayat tersebut di dalam shalat tanpa mau menggali dan memahami lebih jauh maknanya. Jadi bacaan itu hanya terucap di bibir saja dan sebatas ritual saja.

Dari ayat tersebut sangat jelas, bahwa sebelum umat islam meminta pertolongan didahului bahwa manusia harus menyembah kepada-Nya secara lurus (tidak syirik), men-tauhid-kan Allah SWT dengan sebenar-benarnya, dan “berjumpa” dengan-Nya. Ibarat anda meminta pertolongan kepada tetangga atau orang lain. Tentunya syarat utama yang anda harus lakukan adalah bertemu dengannya. Bagaimana bisa anda minta pertolongan kalau tetangga atau orang yang akan anda minta pertolongannya tidak ada temui/bertemu. Mungkinkah? Ya tidak mungkin.

Kedua, shalat khusyu’ adalah salah satu media untuk “berjumpa” dengan Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya. Rasululloh SAW bila mendapat masalah maka Beliau akan mendirikan shalat sunnah 2 (dua) rakaat untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT. Dalam shalat tersebut, Rasululloh SAW “berjumpa” dengan Allah SWT, baru kemudian Beliau memohon pertolongan-Nya. Dan dapat dipastikan pertolongan dan solusi akan Beliau dapatkan, karena tata cara atau adab dalam meminta pertolongan kepada Allah SWT sudah tepat. Lalu bagaimana dengan umat Beliau atau umat islam?

Ya..sama saja, cuma permasalahannya dapatkah umat islam dengan sebenar-benarnya mau belajar dan mampu mengikuti apa yang dicontohkan Rosululloh SAW (sunnah rosul)? Inilah permasalahan pokoknya, karena seringkali manusia sering meng-klaim dan sudah merasa mengikuti apa yang dicontohkan Rasululloh SAW. Manusia merasa bahwa shalatnya sudah benar dan khusyu’, karena sudah sesuai dengan syariat. Padahal shalat tidak hanya melibatkan dimensi syariat saja (fisik) tetapi utamanya justru dimensi hakikat batiniyah). Ash Sholatu Mi'rajul Mukminin.

Paradigma salah kaprah ini ditambah keyakinan sebagian umat islam bahwa manusia tidak mampu “bertemu” dengan Allah SWT di dunia, manusia hanya akan bertemu dengan Allah SWT nanti di akhirat. Peng-klaim-an inilah menjadikan hijab bagi dirinya, karena paradigma yang salah. Kalau manusia tidak “bertemu” Alllah SWT dalam atau saat shalat, lalu saat mendirikan shalat manusia menyembah siapa?

Memang manusia tidak mampu untuk meng-khusyu’-kan diri sendiri dalam shalat. Khusyu’ adalah pemberian dari Allah SWT. Maka manusia seharusnya mengakui kebodohannya, sehingga manusia selalu dan terus menerus mohon kepada Allah SWT untuk menuntun shalatnya (baca artikel-artikel saya mengenai shalat khusyu’). Yang perlu menjadi modal awal seseorang menghadap kepada Allah SWT adalah mengakui kebodohannya sehingga meminta dituntun shalatnya oleh Allah SWT, dan disisi lain manusia harus memiliki keyakinan bahwa dalam shalat dia akan “berjumpa” dengan Allah SWT. Insya Allah, Allah SWT akan memperjalankan hamba-Nya tersebut setahap demi setahap untuk mengenal-Nya dan puncaknya adalah “berjumpa” dengan Dzatullah.

Ketiga, menyerahkan penyelesaian segala masalah yang dihadapinya kepada Allah SWT. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia berposisi sebagai obyek dan Allah SWT adalah subyek, pusat dari segala makhluk-Nya yang berada di alam semesta. Manusia ibarat gerbong kereta api (obyek) dan Allah SWT berposisi sebagai “masinisnya”. Allah SWT-lah yang menggerakkan, karena Dia adalah Sang Maha Penggerak. Terserah Sang Masinis, apakah gerbong kereta api mau dijalankan, diberhentikan, di rem bahkan dimasukkan gudang karena sudah habis masa kelayakannya untuk beroperasional.

Bukan sebaliknya, masak gerbong kereta api (obyek) protes ketika masinis (subyek) ingin gerbong kereta api berjalan, gerbong kereta api idak mau jalan, atau sebaliknya. Ya...ini namanya tidak mungkin, lha wong gerbong kereta api itu tidak bisa apa-apa karena dibawah kendali Sang Masinis.

Sebenarnya tidak hanya manusia, alam semesta yang terdiri dari benda-benda langit seperti bintang, matahari, galaksi, juga benda-benda di bumi seperti gunung, tumbuhan, hewan dan bahkan segala jenis makhluk yang berada dalam alam semesta ini semua tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya. Cuma karena manusia di-karunia-i potensi an-nafs dan pikiran maka manusia sering protes, semua serba dipikir dengan logika serta tidak mau menerima karena bertentangan dengan keinginan-keinginannya.

Manusia sering memposisikan diri, tidak mau menerima apa yang diberikan Tuhannya, tidak mau ikut kehendak-Nya dan merasa/berhak memilih jalan kehidupannya. Kalau empat kondisi ini yang anda pegang maka bersiap-siaplah anda menderita menjalani hidup ini.

Masalah itu berasal dari Allah, SWT maka kembalikan masalah tersebut kepada Allah SWT. Dia-lah yang akan menyelesaikannya. Jangan dipikir, karena manusia tidak mampu menyelesaikannya. Laa haula wa laa quwwata Illa bilah. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk bertawakal. Perkara berapa lama waktu yang dibutuhkan...ya jangan ditargetkan. Manusia kok menyuruh-nyuruh Tuhan. Di mana logika, etika dan sopan santunnya? Dan apa hak manusia menyuruh-nyuruh Allah SWT? Manusia sebatas memohon dan minta pertolongan, adalah hak preorogatif Allah SWT segala keputusan-Nya. Oleh karena itu, setelah kita memohon pertolongan, ya...nggak usah dipikir lagi. Serahkan totalitas ke Allah SWT. Jadi pada akhirnya manusia “ mengatasi masalah, tanpa masalah”. Hidupnya jadi tentram, tenang dan nyaman. Jadi masalah itu sebenarnya tidak ada.

“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara (masalah) antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml 27 : 78-79).

Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Senin, 26 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (4)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (4)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Adakah Masalah?

Hidup ini penuh dan dihiasi dengan masalah. Namun ada dan tidaknya masalah, semua tergantung dari masing-masing manusia dalam menyikapinya. Masalah muncul apabila kejadian/kenyataan yang bersifat atau berurusan dengan hal-hal duniawi tidak sesuai dengan apa yang manusia inginkan/dipikirkan atau yang direncanakan.

Misalnya anda berkeinginan bekerja di tempat X yang anda sukai, namun anda malah bekerja di tempat Y yang anda tidak/kurang sukai atau bahkan keinginan anda bekerja di tempat X, justru lamaran kerja anda ditolak. Contoh lain, ada seorang pedagang yang menargetkan bulan ini mendapatkan keuntungan sebesar A, namun justru profit yang diperoleh hanya sebesar A minus (untung tapi tidak mencapai target) atau rugi atau bahkan mendapat A plus (untung melebihi target, meskipun ini membuat pedagang senang namun ini tergolong masalah karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan semula).

Sering kali manusia terjebak pada keinginan-keinginan, bukan kebutuhan. Sehingga apabila keinginan tersebut tidak terpenuhi maka akan timbul masalah, kegelisahan, dan kekecewaaan. Padahal keinginan itu sendiri bukanlah sesuatu yang harus dipenuhi. Misalnya anda berkeinginan memiliki mobil dengan merek X, tahun Y, warna Z. Namun karena kondisi keuangan anda tidak mendukung maka anda hanya mampu membeli mobil dengan merek A, tahun B, dan warna C. Hal ini terjadi karena anda sewaktu menginginkan (menargetkan) sesuatu tidak berdasarkan kesadaran diri, namun berpedoman kepada nafsu anda.

Bila manusia dalam kehidupan ini masih dibelenggu oleh nafsu (an-nafs yang berkuasa) maka manusia tersebut masih memiliki atau dikuasai oleh rasa, baik itu rasa sedih atau gembira, susah atau senang, duka atau cita, dsb. Jadi rasa (an-nafs) menjadi tolok ukur atau standarisasi kehidupannya. Sementara an-nafs ini sendiri memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang bersifat duniawi. Manusia jenis ini menganggap bahwa sesuatu yang diinginkan berdasarkan keinginannya (an-nafs) adalah selalu baik baginya. Dan bila keinginannya tidak terpenuhi maka dia akan gelisah dan menganggapnya sebagai masalah. Betulkah demikian?

“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, apadahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah 2 : 216).

Hal ini berbeda bila seseorang telah memasuki wilayah kesadaran (ar-ruh yang berkuasa) maka disitu tidak ada suasana atau rasa sedih gembira, susah senang, duka cita. Dll. Karena ar-ruh sendiri tidak pernah atau dibelenggu oleh suasana rasa itu. Ar-ruh hanya memiliki kecenderungan dan selalu ingin berdekat-dekatan dengan Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Disinilah sebenarnya fungsi manusia yang sebenarnya ketika hidup di dunia.

An-nafs cenderung kepada sifat egois, pingin menang sendiri, sombong, dan bermegah-megahan kepada sesuatu yang sebenarnya sifatnya sepele dan temporer yaitu duniawi. Manusia jenis ini menganggap apa-apa yang dimiliki selama di dunia ini adalah miliknya. Kekayaan (harta) dianggap miliknya, istri/suami dan anak adalah miliknya, kekuasaan adalah miliknya, dsb. Padahal ini semua bersifat temporer. Apabila suatu hari apa-apa yang merasa mereka miliki diambil oleh Allah SWT, maka akan merasa sedih, kecewa, gelisah bahkan sampai pada tingkat depresi atau stress. Manusia jenis ini dalam Al-Qur’an termasuk atau tergolong sebagai makhluk. Maka tidak mengherankan bila Allah SWT dalam Al-Qur’an Al-Karim menyindir bahwa manusia jenis ini lebih buruk dibandingkan dengan binatang ternak. Hal ini sebabkan binatang dalam memenuhi hidupnya hanya berdasarkan kenyang tidaknya isi perut. Bila telah kenyang maka binatang akan tenang hidupnya. Sementara manusia tidak hanya puas dengan perut yang kenyang, tetapi mencari dan mencari untuk menumpuk-numpuk hartanya untuk memenuhi perutnya dihari-hari berikutnya.

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. At-Taghabun 64 : 15).

Sementara bila dalam diri manusia yang berkuasa adalah ar-ruh maka dia berhak disebut atau digolongkan sebagai khalifatullah (wali/wakil Allah SWT di dunia). Manusia jenis ini menganggap bahwa harta, jabatan, istri/suami atau anak adalah titipan dari Sang Illahi. Manusia ini tidak merasa terikat oleh sesuatu yang bersifat duniawi. Dia telah terlepas dari dunia (tidak membuang). Maka tidak heran bila sifat pengasih dan penyayang selalui menyertainya. Hartanya didistribusikan untuk manusia lain, dia hanya mengambil seperlunya, sementara jabatan yang disandangnya digunakan untuk menyejahterakan dan memakmurkan manusia lain. Manusia jenis ini tidak pernah mementingkan dirinya, justru sebaliknya yaitu ingin membahagiakan, dan menolong orang lain. Bahkan manusia jenis ini selalu ridha dengan kehendak Illahi, kapanpun harta, jabatan dan anggota keluarganya diambil oleh Allah SWT, dia selalu siap. Karena semua itu hanya titipan.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Yunus 10 :62).

Kalau kita mengaku sebagai umat Rasulullah SAW maka seharusnya target inilah yang mesti diperjuangkan dalam hidup ini, yaitu menjadi khalifatullah. Muhammad SAW tidak pernah menyimpan hartanya, bahkan Beliau takut bila hari ini masih ada hartanya yang belum disedekahkan. Beliau memegang amanah sebagai kepala negara dengan memanfaatkan jabatannya untuk kesejahteraan dan memakmurkan rakyatnya, tidak memperkaya diri sendiri. Maka betapa terharunya para sahabat ketika memasuki rumah Rasululloh SAW ketika Beliau wafat. Rumahnya kecil dan sederhana, Beliau hanya tidur beralaskan daun kurma, tidak ada harta yang disimpannya. Dan dalam kehidupan Beliau sehari-hari tidak pernah sedih, kecewa, gelisah, dll, karena pada diri Beliau yang berkuasa adalah Ar-ruh (khalifatullah). Beliau dalam kehidupannya tidak menganggap semua yang bersifat duniawi menjadi masalah. Justru sebaliknya masalah terjadi kalau hubungannya dengan Allah SWT tidak terjalin dengan mesra.

Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Kamis, 22 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (3)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (3)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

b. Kedua

Allah SWT memperkenalkan diri-nya melalui ayat Kauniyah (kejadian atau peristiwa yang terjadi di alam semesta) dan ayat Kauliyah (Al-Qur’an). Cara Allah SWT menuntun dan memberi pelajaran kepada Rosululloh SAW dan manusia melalui Al-Qur’an memang unik.

Pertama, Al-Qur’an diturunkan kepada Rosululloh SAW secara bertahap (ayat per ayat), inilah cara Allah SWT memberi pelajaran sekaligus memahamkan kepada Rasul SAW. Kadang ayat Al-Qur’an turun setelah atau sebelum terjadinya sesuatu peristiwa.

Demikian pula kepada umat Beliau sampai saat ini. Meskipun secara tekstual ayat Al-Qur’an sama tetapi makna dan pemahaman dapat berbeda yang menyesuaikan dengan kondisi zaman. Fleksibel. Al-Qur’an tidak akan pernah usang oleh berjalannya waktu. Selalu up to date. Bahkan sampai hari kiamat.

Kedua, Al-Qur’an yang tersusun sekarang tidaklah sama dengan susunan buku, yang tersusun rapi dan berurutan, mulai pengantar, isi, dan penutup. Mengapa Allah SWT menggerakan melalui pikiran dan tenaga para sahabat Rosul SAW membentuk/menyusun Al-Qur’an sedemikian rupa yang tidak berurutan namun sistematis? Karena Allah SWT menyuruh agar umat Rosul SAW selalu dan mau belajar secara “aktif”, mampu menganalisis dan memahami hubungan antar satu ayat dengan ayat lain, dsb.

Namun sayang tidak semua hamba-Nya mampu mencerna maksud Allah SWT dibalik itu semua yaitu menyusun Al-Qur’an yang tidak berurutan. Ada sebagian umat yang menafsirkan secara tekstual saja dan asal ambil. Namun yang lebih parah lagi, ada yang mengambil ayat tanpa mengkaitkan dengan ayat lain. Padahal ayat tersebut memiliki korelasi (hubungan). Misalnya ada sebagian umat Islam yang sampai hari ini masih menganggap Allah SWT bagaikan seorang raja yang duduk manis di atas singgasana-Nya di langit lapis tujuh (Arsy). Salah tafsir ini karena umat tersebut hanya mengambil sepotong ayat dari Al-Qur’an yaitu QS. Al-Baqarah 2 : 225 atau yang dikenal dengan Ayat Kursi tanpa menghubungkan dengan ayat lain. Benarkah kondisi Allah SWT demikian? Tentu tidak! Kenapa? Paling tidak ada 2 alasan:

Pertama: secara bahasa logika, bila Allah SWT hanya duduk di singgasana-Nya di Arsy, anda dapat bayangkan seberapa besar singgasana itu untuk menampung Allah SWT dan ini berarti Allah SWT lebih kecil dibandingkan singgasana-Nya. Apakah ini masuk akal? Padahal Allah Maha Besar (Allahu Akbar). Disamping itu, Allah SWT tidak terikat oleh ruang. Karena ruang yang menciptakan Allah SWT. Sebenarnya yang dimaksud dengan Arsy adalah kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi. Inilah salah satu bentuk persepsi yang salah dari manusia tentang Allah SWT karena menafsirkan secara tekstual dan mengambil sepotong-sepotong ayat Al-Qur’an. Hal ini juga terjadi pada salah persepsi terhadap kiblat umat islam yaitu Baitullah (rumah Allah). Kalau rumah-Nya sebesar itu betapa kecilnya Allah SWT. Padahal Baitullah artinya rumah yang dirahmati karena sebagai kiblat umat islam saat mendirikan shalat. Lagi-lagi salah persepsi ini karena diartikan secara tekstual dan berdasar pikir (otak).

Kedua, berkaitan dengan point pertama, hendaknya umat islam jangan mengambil ayat sepotong-sepotong, karena ayat di atas (QS. 2 : 225) diterangkan (memiliki hubungan) Allah SWT dengan ayat-ayat lain yang berada di Al-Qur’an, seperti :
~ QS. An-Nissa 4 : 126 : Allah meliputi segala sesuatu.
~ QS. An-Nissa 4 : 108 : Allah meliputi yang manusia kerjakan.
~ QS. Al-Baqarah 2 : 115 : Allah meliputi Timur dan Barat.
~ QS. Ash-Shaaf 50 : 16 : Allah lebih dekat dari urat leher manusia.
~ QS. Az-Zumar 39 : 62 : Allah mencipta sesuatu dan yang memeliharanya.

Sekali lagi, jangan salahkan Allah SWT karena manusia yang ingin mengenalnya justru terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang vital. Hal ini karena manusia hanya menggunakan pikir (otak) untuk memahami Al-Qur’an dan merasa pandai kalau sudah menyelesaikan studi islam dari jazirah Arab atau pondok pesantren terkenal. Padahal fungsi otak (pikir) adalah untuk sesuatu yang bersifat logic, mathematic, analitic dan keilmuan, bukan pemahaman. Sementara pemahaman tentang Al-Qur’an adalah pengajaran dan wilayah Allah SWT, yang diajarkan langsung dalam dada (qolbu) manusia. Oleh karena selama ini kebanyakan umat islam memakai alat yang salah (pikir/otak) maka output-nya juga pasti salah.

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (Al-Qiyamah 75 : 16-19).

Yang lebih berbahaya lagi, ada sebagian umat islam yang coba mengotak-atik dan menta’wilkan ayat-ayat Mutasyabihat (samar). Seperti contoh pada kasus QS. Al-Baqarah 2 ayat 1 yaitu Alif Lam Mim. Alif ditafsirkan Allah SWT, Lam ditafsirkan Islam dan Mim ditafsirkan Muhammad SAW. Padahal jelas-jelas Allah SWT melarangnya, karena ini ayat mutasyabihat dan Allah-lah yang tahu maksudnya. Allah SWT menganggap orang yang mencoba mengotak-atik (ta’wil) seperti itu tidak berakal.

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (terang), itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:’Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran 3 : 7).

Melihat beberapa contoh diatas kita jadi ngeri melihatnya. Karena kesombongan manusia maka persepsinya semua jadi salah. Seperti peribahasa “Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Inilah peringatan Allah SWT kepada umat Islam agar berhati-hati. Dan orang-orang seperti ini sesungguhnya telah tertipu. Ini semua disebabkan kesombongan manusia karena merasa paling pandai dan paling benar. Nau’dzubillahi min dzalik!. Padahal kepandaian dan kebenaran hanya milik Allah SWT.

Lalu bagaimana umat islam harus bersikap atas masalah (kegelisahan) ini?, Bagaimana agar dapat mengenal Allah SWT yang sebenar-benarnya sehingga tidak salah persepsi tentang Allah SWT dan ayat-ayat-Nya?

Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Rabu, 21 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (2)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (2)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mereposisi Persepsi Tentang Allah SWT

a. Pertama
Ada ungkapan peribahasa yang sungguh indah dan anda pasti pernah mendengarnya, yaitu “Tak Kenal maka Tak Sayang”. Kalimat ini sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam. Intinya, kalau anda kebetulan tidak mengenal seseorang luar dalam (nama, sifat, perbuatan dan diri orang tersebut) maka anda seharusnya tidak berhak menilai seseorang. Kenapa? Karena dapat dipastikan penilaian anda pasti tidak tepat 100%. Ini dapat menjadikan fitnah. Bahkan karena salah dalam menilai maka rasa sayang anda tidak mungkin akan timbul, karena anda diliputi kecurigaan dan prasangka. Kalaupun anda tetap bersikukuh dan beranggapan bahwa anda mengenal orang tersebut, mungkin itu sebatas kulit luarnya saja. Dan bersiap-siaplah kecewa dikemudian hari apabila apa yang anda anggap benar ternyata salah besar.

Demikian pula persepsi manusia mengenai Allah SWT. Manusia sering menilai berdasar an-nafs-nya, ego-nya, kepentingan-nya semata-mata untuk mengkambing-hitamkan atau menyalahkan Allah SWT. Astaghfirullah!.

Maka di dalam Al-Qur’an, Allah SWT jauh-jauh hari sudah memperingatkan tentang persepsi manusia kepada-Nya.

“Mereka (manusia) tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hajj 22 : 74).

Manusia sering beranggapan bahwa cobaan, peringatan, ujian dan hukuman yang terjadi baru-baru ini (seperti peristiwa gempa di Tasikmalaya dan Padang) disebabkan karena Allah SWT sedang murka dan marah kepada makhluk-Nya. Allah SWT diidentikkan dengan sifat kejam, suka menyiksa, marah, benci, dll. Na’udzubillahi min dzalik!.

Benarkah demikian sifat Allah SWT? Sungguh celakalah manusia yang mempersepsikan bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat buruk seperti manusia. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak layak menyandang sifat-sifat buruk.

“...Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al-Anbiya 21 : 18).

Allah SWT itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Penyayang). Allah SWT tidak pernah menyiksa, marah, benci, kejam, dll. Justru manusialah yang mendzalimi diri sendiri sehingga ia berhak mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Coba simak, perhatikan dan pahami ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Sesungguhnya Allah tiada mendzalimi manusia, tetapi manusialah yang mendzalimi diri”. (QS. Yunus 10 : 44).

” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)....” (QS. Ar-Rum 15 : 4).

Dari dua ayat di atas jelas sekali bahwa semua kerusakan dan akibat-akibatnya (gempa, banjir, global warning, krisis ekonomi global, dll) adalah akibat perbuatan tangan manusia sendiri. Manusialah yang mendzalimi diri sendiri, maka manusia berhak atas akibatnya. Karena suatu akibat pasti ada sebab (hukum sebab akibat).

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena manusia telah dikuasai oleh nafsu, rendahnya tingkat kesadaran, terhijabnya perilaku/akhlak, buta mata hatinya dan rakus akan kehidupan dunia. Bila ini terjadi maka mudahlah iblis/syaitan menghembus-hembuskan, memanas-manasi dan mengipasi bara api yang telah disediakan manusia. Ya...jangan salahkan iblis/syaitan, karena yang menyediakan bahan bakar adalah manusia sendiri, sementara iblis/syaitan hanya menyalakan apinya.

Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Selasa, 20 Oktober 2009

Allah, Sang Maha Hadir (1)


ALLAH, SANG MAHA HADIR (1)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan dan dicintai Allah SWT. Pertama-tama saya~dari lubuk hati yang paling dalam~memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena baru sekarang ini dapat mengunjungi kembali para sahabat melalui tulisan ini. Hal ini disebabkan rencana saya menerbitkan ringkasan Kimia Kebahagiaan-nya Al-Ghozali yang saya prediksikan “memakan” waktu 14 hari untuk mengisi kekosongan pada saat “kesibukan” Hari Raya Idul Fitri 1430 H, ternyata tidak sesuai dengan rencana semula, sehingga ringkasan artikel tersebut baru selesai hampir 30 hari.

Mulai hari ini Insya Allah, SC-HSS kembali hadir dan mengetengahkan tulisan hasil diskusi dan perjalanan spiritual para sahabat kami. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, sekaligus mengobati kerinduan kita selama ini melalui jalinan silaturrahmi tulisan ini.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kalau kita sedikit mau meluangkan waktu barang sejenak untuk mambaca (iqra) dan mengamati pemberitaan-pemberitaaan akhir-akhir ini baik melalui media elektronik maupun cetak, muncul fenomena kegelisahan manusia dalam menjalani kehidupan ini. Tingkat penyakit yang bernama kegelisahan ini tidak hanya berskala lokal, nasional, dan regional, bahkan international. Mulai fenomena bumi yang semakin panas akibat global warning, krisis ekonomi global yang belum berakhir, penyebaran epidemi penyakit baru seperti flu babi dan flu burung, dll. Sedangkan kegelisahan tingkat regional melanda kawasan ASEAN dimana bangsa Indonesia merasa sering dianiaya dan didzalimi oleh Malaysia, baik TKI yang tidak diperlakukan secara manusiawi maupun peng-klaim-an budaya Indonesia. Padahal kita adalah bangsa yang serumpun.

Ditingkat nasional kegelisahan menyelimuti bangsa ini mulai dari kurangnya penegakan hukum (tebang pilih), perilaku elit yang lebih memperhatikan diri sendiri dibanding mengurus dan mensejahterakan rakyat, ketakutan masyarakat atas terjadinya beberapa peristiwa bencana alam, kebakaran, banjir, dsb. Sementara di tingkat lokal (daerah) sendiri banyak kejadian-kejadian yang sudah tidak dapat lagi atau sulit diterima akal sehat, seperti membunuh gara-gara uang yang jumlahnya tidak seberapa, bunuh diri satu keluarga karena beban ekonomi, anak membunuh orang tua, dll.

Fenomena apakah ini? Mengapa manusia tergagap-gagap dalam menjalani hidup ini? Dimanakah akal sehat diletakkan selama ini?

Salah satu sebab yang mendasar adalah terjadinya kegersangan ruhani. Ya...selama ini masyarakat Indonesia banyak dijejali oleh urusan-urusan duniawi. Standarisasi hidup hanya diukur oleh banyaknya kekayaan, tingginya jabatan, Ilmu Pengetahuan yang “sempurna” dengan cara sekolah setinggi-tingginya, dll. Sehingga kita semua lupa bahwa “pembangunan” kepribadian manusia menjadi tidak utuh, timpang dan pincang karena hanya melibatkan unsur lahiriah saja. Semestinya pembentukan kepribadian manusia harus seimbang, tidak hanya melibatkan sisi lahiriyah saja, namun juga sisi batiniyah.

Pembentukan unsur batiniyah justru sangat pokok, karena dari sinilah lahir perilaku atau ahlak yang mulia, namun kenyataannya justru unsur ini ditinggalkan. Setinggi-tingginya ilmu manusia, bila tidak dibarengi dengan pembangunan unsur batiniyah, maka ilmu pengetahuan yang semestinya untuk membangun kesejahteraan dan kemakmuran bersama malah digunakan untuk memuaskan hawa nafsunya. Maka yang muncul ilmu kelicikan dan kecurangan.

Begitu pula jabatan yang disandang, mestinya dimanfaatkan sebagai sarana untuk memanajemeni dan membangun kesejateraan bersama baik tingkat lokal maupun nasional, tapi amanah ini justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Maka lihatlah hasilnya, negara kita termasuk memiliki “prestasi” dengan menduduki peringkat tinggi dalam memproduksi para oknum koruptor, pungli dan nepotisme.

Demikian pula dengan nikmat materi atau kekayaan yang semestinya sebagian ada hak bagi orang fakir miskin. Namun dengan alasan bahwa kekayaan ini diperoleh semata-mata karena hasil kerja keras sendiri selama ini maka sang pemilik kekayaan bebas menggunakannya untuk kepentingan pribadi, tanpa mau berempati atau manusia jenis ini mengalami dekadensi rasa sosial.

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian,...(QS. Adz-Dzariyat 51 : 19).

Dan yang lebih parah lagi akibat salah membentuk kepribadiaan hanya dari sisi lahir saja, maka banyak manusia Indonesia saat ini yang buta akan Tuhan. Padahal mereka mengaku beragama dan negara ini memiliki Pancasila yang mengakui adanya Tuhan, namun sayang semua ini hanya tinggal sebatas slogan, agama hanya dijadikan formalitas di KTP, bahkan kalau diperbolehkan Tuhan tidak boleh ikut "campur tangan" urusan manusia, Tuhan disuruh "ngumpet" saja. Na’udzubillahi min dzalik!

Saat ini sepertinya manusia Indonesia mulai menuai buah kesombongan yang ditanam selama ini, yang disebabkan dosa kolektif. Maka tidak heran bila Allah SWT memperingatkan kepada bangsa Indonesia melalui bencana gempa yang datangnya susul menyusul. Dengan kuasa-Nya hanya menggeser sedikit lempengan bumi, sebagian besar masyarakat Indonesia dilanda ketakutan, kebingungan dan kegelisahan yang luar biasa. Mereka mengalami kerugian tidak hanya materi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga non materi yaitu psikologis traumatis. Bahkan masyarakat yang kebetulan daerahnya belum terjadi gempa berpikiran,”Jangan-jangan giliran gempa sebentar lagi terjadi di daerah saya?”. Atau masyarakat yang daerahnya pernah di landa gempa juga berpikiran,"Jangan-jangan ada gempa susulan?". Jadi hampir sebagian besar masyarakat kita ini selalu dilingkari, diliputi dan diselubungi rasa ketakutan, kebingungan dan kegelisahan.

Dari peristiwa ini hikmah apa yang dapat kita petik dan perilaku apa yang seharusnya kita ubah? Mengapa manusia jauh lebih percaya dengan kekuatan ilmu pengetahuan dibandingkan pertolongan Allah? Padahal jelas-jelas manusia tidak mampu memprediksikan peristiwa alam yang bakal terjadi meskipun dibantu peralatan dan teknologi secanggih apapun. Manusia hanya mampu menyampaikan informasi dan peringatan pada saat gempa sedang berlangsung. Padahal diperlukan waktu lebih dari 5 menit untuk menyampaikannya peristiwa ini. Sementara gempa hanya cukup 3 menit sudah memporakporandakan rumah, bangunan dan fasilitas umum. Mengapa manusia yang mengaku beragama dan ber-Tuhan lebih mengandalkan kesombongannya? Mengapa kita semua tidak secara kolektif datang ke Tuhan dengan kesadaran penuh mohon ampun atas perilaku kita selama ini yang jauh dari tuntunan agama? Apakah ini disebabkan persepsi yang salah dari manusia dan menganggap bahwa Tuhan itu tidak riil/nyata? Padahal jelas-jelas Allah SWT itu ada dan nyata. Dia-lah pemilik asma Ad-Dhahir sekaligus Al-Bathin.

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha 20 : 14)


Bersambung...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (24)-Selesai


KIMIA KEBAHAGIAAN (24)-SELESAI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah

Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan "teman"nya. Nabi saw. Berkata: "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.

Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.

Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada seseorang: "Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: 'Ya, saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."

Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.

Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur'an yang merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.: "Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.

Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan." Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata: "Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku." Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan meh.ncintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat, sebagaimana kara al-Qur'an: "Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya." Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun."

KIMIA KEBAHAGIAAN

"Jika Anda menemui sesuatu kesulitan di dalam memahami tawasuf, bacalah buku saya Kimia-i Sa'adat (Kimia Kebahagiaan) yang akan membimbing Anda ke jalan yang benar, dan memberi Anda, sekurang-kurangnya, suatu kesempatan yang adil untuk memanfaatkan kemamp0uan-kemampuan yang dikaruniakan oleh Allah kepada Anda." Demikianlah Al-Ghazali menulis dalam salah satu suratnya kepada Nizamuddin Fakhrul Mulk, wazir Seljuk.

Kimia Kebahagiaan adalah ringkasan dari karya monumental Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, ditulis sendiri secara populer oleh beliau dalam bahasa Parsi, tidak dalam bahasa Arab sebagaimana Ihya. Mengenai Ihya cukuplah kita kutipkan di sini pendapat Muhaddits Zainuddin Iraqi: "sebagai seorang ulama, Al-Ghazali telah berhasil meringkaskan dan kadang-kadang menjelaskan ajaran-ajaran Al-Qur'an dan hadis, dalam karya abadinya ini yang, disamping Al-Qur'an dan hadis, merupakan buku petunjuk praktis terakhir dan agama sejati yang ada."

Tulisan ini memuat delapan bagian dari naskah aslinya. Semoga bermanfaat. Untuk artikel selanjutnya adalah hasil diskusi di Shalat Khusyu Halaqah Sampangan Semarang.

SELESAI

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Jumat, 16 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (23)


KIMIA KEBAHAGIAAN (23)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Yahya Ibnu Mu'adz meriwayatkan bahwa ia mengamati Bayazid Bistami dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid berdiri dan berkata: "O Tuhan! Beberapa hamba telah meminta dan mendapatkan kemampuan untuk membuat mukjizat, berjalan di atas permukaan air, terbang di udara, tapi bukan semua itu yang kuminta; beberapa yang lain telah meminta dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula yang kuminta." Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya: "Engkaulah yang di sanan itu Yahya?" Ia jawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Sejak kapan?" "Sudah sejak lama." Kemudian Yahya memintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya. "Akan kuungkapkan", jawab Bayazid, "apa-apa yang halal untuk diceritakan kepadamu." Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari yang paling mulia hingga yang terenah. Ia mengangkatku ke atas 'Arsy dan KursiNya dan ketujuh langit. Kemudian Ia berkata: 'Mintalah kepadaKu apa saja yang kau ingini.' Saya jawab: 'Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.' 'Sesungguhnya,' kataNya, 'engkau adalah hambaKu."

Pada kali lain Bayazid berkata: "Jika Allah akan memberikan padamu keakraban dengan diriNya atau Ibrahim, kekuatan dalam doa Musa dan keruhanian Isa, maka jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja, karena Ia memiliki khazanah-khazanah yang bahkan melampaui semuanya ini." Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepadanya: "Selama tigapuluh tahun aku telah berpuasa di siang hari dan bersembahyang di malam hari, tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu sebut-sebut itu." Bayazid menjawab: "Kalaupun engkau berpuasa dan bersembahyang selama tigaratus tahun, engkau tetap tak akan mendapatinya." "Kenapa?" tanya sang sahabat. "Karena," kata Bayazid, "perasaan mementingkan-diri-sendirimu telah menjadi tirai antara engkau dan Allah." "Jika demikian, katakan padaku cara penyembuhannya." "Cara itu takkan mungkin bisa kaulaksanakan." Meskipun demikian ketika sahabatnya itu memaksanya untuk mengungkapkannya, Bayazid berkata: "Pergilah ke tukang cukur terdekat dan mintalah ia untuk mencukur jenggotmu. Bukalah semua pakaianmu kecuali korset yang melingkari pinggangmu. Ambillah sebuah kantong yang penuh dengan kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: 'Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapatkan buah kenari'. Kemudian dalam keadaan seperti itu pergilah ke tempat para qadhi dan faqih." "Astaga!" kata temannya, "saya benar-benar tak bisa melakukannya. Berilah cara penyembuhan yang lain." "Itu tadi adalah pendahuluan yang harus dipenuhi untuk penyembuhannya," jawab Bayazid. "Tapi, sebagaimana telah saya katakan padamu, engkau tak bisa disembuhkan."

Alasan Bayazid untuk menunjukkan cara penyembuhan seperti itu adalah kenyataan bahwa sahabatnya itu adalah seorang pengejar kedudukan dan kehormatan yang ambisius. Ambisi dan kesombongan adalah penyakit-penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti itu. Allah berfirman kepada Isa: "Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hambaKu kecintaan yang murni terhadap diriKu yang tidak terkotori dengan nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini atau dunia yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu." Juga ketika orang-orang meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia, ia menjawab: "Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya." Wali Rabi'ah pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. "Kecintaan kepada Sang Pencipta," katanya, "telah mencegahku dari mencintai mahluk." Ibrahim bin Adam dalam doanya berkata: "Ya Allah, di mataku surga itu sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika dibandingkan dengan kecintaan kepadaMu dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kauanugerahkan kepadaku."

Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Allah, sudah terlalu jauh tersesat, karena inti kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang sudah lama didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang banyaknya. Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah sebelumnya sangat kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.

Tetapi na'udzu billah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaan kehidupan akhirat akan saa sekali asing baginya. Dan apa-apa yang akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.

Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah. Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Ia mendekatkan sampah ke hidung orang itu, maka orang itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan: "Wah, ini baru benar-benar wangi-wangian!" Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur'an: "Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia." Dosa-dosa dan syahwat langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata: "Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi." Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pencerapan mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizat-mukjizat, seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular yang masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Kamis, 15 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (22)


KIMIA KEBAHAGIAAN (22)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Menampak Allah

Semua muslim mengaku percaya bahwa menampak Allah adalah puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami saja, karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.

Pertama sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulai dari nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman intelektual. Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu jasmaniah. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia. Misalnya, kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa Allah adalah obyek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga "yang luasnya seluas langit dan bumi"; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.

Tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukankita dengan ihwal inderawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari menampak Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihatKu."

Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Sebagaimana benih manusia akan menjadi seorang manusia dan biji korma yang ditanam akan menjadi pohon korma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah mengalami penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai dengan pengetahuan mereka. Tuhan itu satu, tetapi Ia akan terlihat dalam banyak cara yang berbeda, persis sebagaimana suatu obyek tercerminkan dalam berbagai cara oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan yang lurus, ada pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainny akabur. Sebuah cermin mungkin telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin membawa sebuah hati yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang bagi orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah menjadi sumber kesedihan. Seseorang yang di hatinya cinta terhadap Tuhan telah mengungguli yang lain akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di hatinya cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang sama memiliki pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia dalam menatapnya daripada orang yang tidak mencinta. Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan dengan zuhud. Ketika berada di dunia ini, keadaan manusia berkenaan dengan menampak Allah adalah seperti seorang pencinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan kalajengking yang terus menerus menyiksanya. Tetapi jika matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dalam segenap keindahannya dan binatang berbisa berhenti menyiksanya, maka kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia ini, melihatNya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata: "Orang yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak."

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Rabu, 14 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (21)


KIMIA KEBAHAGIAAN (21)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintaiNya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenaliNya. Karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw., karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bartakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikanNya, manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan terhadapNya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintaiNya, karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentangNya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud, "AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah?"

Sebab keempat dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri." Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya." Juga Allah berfirman kepada Musa as.: "Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungiKu."

Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah. Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri."

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Selasa, 13 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (20)


KIMIA KEBAHAGIAAN (20)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

CINTA KEPADA ALLAH

Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang diperlukan untuk itu. Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan kepada Allah mesti menaklukkanhati manusia dan menguasainya sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekedar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.

Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: "Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya." Dan Nabi saw. Bersabda, "Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar." Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah menjawabnya, "Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu. Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."

Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita. Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musk, dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw. ketika bersabda bhwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik. Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita - seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.

Bersambung....

Wassamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS


Senin, 12 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (19)


KIMIA KEBAHAGIAAN (19)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Keempat; dalam hal pelanggaran susila, seorang suami harus sangat berhati-hati agar tidak membiarkan istrinya dipandang atau memandang seorang asing, karena awal dari seluruh kerusakan itu adalah dari mata. Sebisa-bisanya jangan izinkan ia untuk keluar rumah, berdiri di loteng rumah atau berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan dan bersikap terlalu ketat. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fathimah: "Apakah yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab: "Mereka tidak boleh menemui orang-orang asing, tidak pula orang-orang asing boleh menemui mereka." Nabi saw. senang mendengar jawaban ini dan memeluknya seraya berkata; "Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari hatiku." Amirul Mu'minin Umar berkata: "Jangan memberi wanita pakaian-pakaian yang baik, karena segera setelah mereka mengenakannya mereka berkeinginan untuk keluar rumah." Pada masa hidup Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara bertahap hal ini dilarang.

Kelima; seorang suami mesti memberi nafkah secukupnya kepada istrinya dan tidak bersifat kikir kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada istri lebih baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: "Misalkan seorang laki-laki menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar lagi untuk menebus seorang buda, satu dinar lagi untuk sedekah dan memberikan satu dinar juga kepada istrinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya."

Keenam; seorang suami tidak boleh makan sesuatu yang lezat sendirian; atau kalaupun ia telah memakannya, ia mesti diam dan tidak memujinya di depan istrinya. Jika tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk makan bersama, karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan hal itu, Allah menurunkan rahmatNya atas mereka dan para malaikat pun berdoa untuk mereka." Hal yang paling penting adalah bahwa nafkah yang diberikan kepada istri itu harus didapatkan dengan cara-cara halal.

Jika istri bersikap memberontak dan tidak taat, pertama sekali suami mesti menasehatinya dengan lemah lembut. Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil, maka suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula terlalu keras hingga bisa melukainya. Jika istri lalai dalam tugas-tugas keagamaannya, suami mesti menunjukkan sikap tidak senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.

Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena, meskipun perceraian diizinkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai saja sudah mengakibatkan penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana bisa dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali dilakukan, maka ucapan itu tidak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus pada tiga waktu yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baik-baik, tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak pula tanpa alasan. Setelah perceraian, seorang laki-laki mesti memberikan pemberian (mut'ah) kepada bekas istrinya, dan tidak menceritakan kepada orang lain alasan-alasan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan istrinya sehingga mereka bercerai. Dari seorang suami yang hendak menceraikan istrinya, diriwayatkan bahwa orang-orang bertanya kepadanya: "Mengapa engkau menceraikannya?" Ia menjawab: "Saya tak akan membongkar rahasia-rahasia istri saya." Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata; "Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan dengan soal-soal pribadinya."

Sejauh ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya, tetapi hak-hak suami atas istrinya lebih mengikat lagi. Nabi saw. bersabda: "Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka."

Seorang istri tidak boleh menggembar-gemborkan kecantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas kebaikan sang suami dengan perasaan tidak terima kasih. Istri tidak boleh berkata kepada suaminya: "Kenapa kauperlakukan aku begini dan begitu?" Nabi saw. bersabda: "Aku melihat ke dalam neraka dan menampak banyak wanita di sana. Kutanyakan sebab-sebabnya dan mendapat jawaban, karena mereka berlaku tidak baik kepada suami-suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya."

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Minggu, 11 Oktober 2009

Kimia Kebahagiaan (18)


KIMIA KEBAHAGIAAN (18)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Hal-hal yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan

Pertama; karena perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antar hewan. Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf merayakan perkawinannya Nabi saw. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing." Ketika Nabi saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia adalah mahkota penciptaan.

Kedua; seorang suami istri mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap tidak-berterimakasihnya. Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan perlindungan; karenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw. bersabda: "Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya." Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw. bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawanan-tawananmu." Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, ia berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?" Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Ia menjawab: "Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri." Dan ketika ia berjumpa Hafshah, ia berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul." Nabi saw. juga berkata: "Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku."

Ketiga; seorang suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan istrinya dan tidak mencoba menghalanginya. Nabi saw. sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan 'Aisyah dan pada kali kedua, 'Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istri-istrinya seperti yang dilakukan Nabi saw. Orang-orang bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia." Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar bahan tertawaan saja. Dalam al-Qur'an tertulis: "Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita," dan Nabi saw. berkata: "Celakalah laki-laki yang menjadi budak istrinya." Seharusnya istrinyalah yang menjadi pelayannya. Orang-orang bijak berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan berbuatlah yang bertentangan dengan apa yang mereka nasehatkan." Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri wanita; dan jika mereka diizinkan meskipun sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah untuk mengembalikannya kepada sikap yang baik. Dalam urusan dengan mereka, seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih sayang dengan kasih sayang sebagai bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata: "Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika kaucoba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau biarkan demikian, ia akan tetap bengkok. Karena itu perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang."

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS