DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Senin, 31 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (29)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Peristiwa II

Peristiwa ini saya alami juga ketika akan menunaikan ibadah shalat Jum’at bersama salah seorang teman. Untuk menuju ke masjid, kami berdua mengendarai sepeda motor dengan posisi saya dibelakang. Selama dalam perjalanan kami berdua hanya diam karena posisi duduk tidak memungkinkan untuk bercakap-cakap.

Saya melihat jam tangan, waktu menunjukan jam 12.15 WIB, berarti shalat Jum’at segera di mulai dan kami tidak mempunyai waktu banyak. Pada saat saya melihat masjid di depan, secara reflek saya langsung mengusulkan berhenti dan lebih baik shalat di masjid tersebut karena waktu sudah mendesak. Namun betapa terkejutnya saya ketika teman tadi langsung menjawab,”Jangan di situ, itu masjid milik organisasi B!”. Pada akhirnya saya terdiam, pasrah dan menyerah kepada teman saya, karena posisinya yang memegang kendaraan. Terserah dia mau shalat di mana yang sesuai dengan keinginannya, yang penting tidak terlambat. Untunglah tidak berapa lama pada akhirnya kami menemukan masjid untuk mendirikan shalat. Namun rasa penasaran akan peristiwa tadi sempat menggelayuti pikiran saya, “Ada apa gerangan?”

Di lain waktu, saat teringat peristiwa tersebut, saya mencoba mencari informasi mengenai teman saya. Selidik punya selidik ternyata dia adalah aktivis dari salah satu organisasi islam di Indonesia, dan baru saya ketahui pula bahwa masjid yang dulu saya usulkan untuk shalat Jum’at adalah milik organisasi islam lain yang menjadi seterunya.

Saya hanya sempat merenung, kok bisa ya sesama saudara seiman ada sentimen organisasi. Bahkan menjurus ke arah perpecahan. Padahal Tuhannya sama, Rasulnya tidak berbeda, dan kitabnya juga Al-Qur’an. Saya hanya geleng-geleng kepala dan merasa sedih melihat kondisi umat islam sekarang ini.

Peristiwa III,

Kejadian yang ketiga ini juga hampir sama namun beda sebabnya. Suatu saat ada salah seorang ustadz bercerita kepada saya. Mungkin karena kegelisahan dan kegundahan hati beliau selama ini. Terlihat jelas dari raut wajahnya ketika bercerita.

Tersebutlah salah seorang yang kaya raya di suatu daerah X. Mungkin sebagai tanda terima kasih kepada Allah SWT atas rejeki yang dilimpahkan kepadanya maka dia mendirikan sebuah masjid. Namun anehnya masjid tersebut hanya boleh digunakan dan diperbolehkan untuk berdakwah harus seijin darinya. Anehnya lagi banyak dari masyarakat sekitar yang ingin mengunakan masjid tersebut untuk berdakwah namun ditolak dengan berbagai alasan yang kadang tidak masuk akal.

Selidik punya selidik, ternyata pendiri dan pemilik masjid tersebut adalah pengikut dari aliran dan golongan islam Y. Maka apabila ada ustadz yang ingin berdakwah, sementara dia bukan dari aliran dan golongan islam Y pasti ditolaknya.

***

Sebagai seorang muslim, tentu saja saya sedih melihat berbagai peristiwa yang saya alami dan dengar tersebut. Bukankah masjid di bangun berfungsi untuk kemashlahatan umat islam? Mengapa harus dibeda-bedakan? Sungguh sangat ironis, mengapa umat islam mudah terpecah belah dan tidak mengutamakan ukhuwah islamiyah. Mengapa mereka berbangga-bangga dengan golongan, aliran dan organisasi? Mengapa masalah ini sampai masuk dalam wilayah ibadah?

Betapa sedihnya Rasulullah SAW kalau melihat perkembangan umatnya saat ini. Adalah benar ketika Rasulullah SAW pernah bersabda: “Suatu saat umat islam akan berkembang dengan pesat, namun jumlah yang besar ini ibarat buih di lautan”. Ya...saat ini umat islam bertambah banyak, namun dari segi persatuan dan kesatuan sangatlah rapuh, karena mementingkan aliran, dan golongannya masing-masing. Masya Allah. Saya hanya terdiam teringat pesan Nabi SAW tersebut.

Mengapa umat islam yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an selalu menganggap remeh peringatan Allah SWT? Tidak takutkah mereka dicap sebagai orang yang munafik? Kalau begini kondisinya, bagaimana kita menyikapinya? Apakah perlu kita tidak usah mendirikan shalat di masjid yang digunakan untuk memecah belah umat dan hanya untuk memuaskan ego masing-masing kelompok, aliran, golongan dan organisasi. Adakah ayat Allah SWT yang memberikan jalan keluar atas kondisi ini?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Jumat, 28 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (28)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Mengapa begitu penting dan mulianya masjid bagi syiar agama dan umat muslimin? Paling tidak ada tiga hal :

Pertama, sebagai tempat shalat berjamaah. Dengan shalat tidak saja melakukan ibadah mahdloh, tetapi juga memupuk rasa persaudaraan dan persatuan umat, karena orang-orang yang bersama-sama mendirikan shalat akan merasakan ikatan batin yang menyatukan rasa dan kepribadian mereka.

Dengan demikian shalat berjamaah merupakan alat perekat hubungan sosial di tengah-tengah umat dan dapat digunakan untuk membangun serta menggalang rasa persaudaraan yang kuat dan berbuat untuk kesejahteraan bersama. Melalui shalat berjamaah pula, akan tercipta rasa persatuan, rasa persamaan derajat manusia, terciptanya kekuatan yang utuh dan dapat menopang rasa solidaritas yang tinggi. Dari kaitan ini maka Rasulullah SAW pernah bersabda:”Orang yang menghadap kiblat kami, shalat bersama kami, memakan sembelihan kami adalah muslim, antara seorang muslim dengan muslim lainnya saling memilki” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, dan at-Tirmizi dari Anas bin Malik).

Shalat berjamaah juga mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulllah SAW. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,

QS. An-Nisaa’ 4 :102,
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu”.

Meskipun ayat ini mengandung perintah untuk melaksanakan shalat berjamaah dalam keadaan takut di medan perang. Namun dalam kondisi seperti itu saja Allah SWT memerintahkan shalat berjamaah, apalagi dalam kondisi aman (tidak ada perang). Logika ini dalam usul fiqih disebut dengan qiyas ula (kias yang lebih utama). Lebih lanjut kalau kita memakai bahasa logika, kalaulah shalat jamaah tidak disyariatkan, tentu saja di waktu perang juga tidak di syariatkan.

Di ayat lain perintah shalat berjamaah diperjelas oleh Allah SWT, yaitu pada surat Al-Baqarah.

QS. Al-Baqarah 2 : 43,
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”

Kedua, Sebagai tempat berdakwah, membaca dan mengkaji Al-Quran. Masjid adalah “rumah” umat islam. Siapa saja yang beragama muslim berhak dan boleh menggunakan untuk syiar tanpa memandang latar belakang dan asal usul. Karena pada hakekatnya setiap muslim itu saudara, yang diikat dalam kesamaan iman. Masjid juga sebagai wadah bertemunya (silaturahmi) antar umat muslim, untuk mengenal satu dengan lain dan tempat mediasi menjalin ukhuwah islamiyah.

Ketiga, Aktivitas sosial dan kesejahteraan umat. Fungsi lain dari masjid ialah sebagai tempat untuk kegiatan sosial seperti pembagian zakat fitrah, pembagian hewan qurban dan peringatan hari-hari besar umat islam.

***

Lalu bagaimana dengan fungsi masjid dijaman sekarang ini? Apakah kegunaannya masih sama ketika jaman Rasulullah SAW? Secara garis besar dapat dikatakan sama yaitu sebagai tempat ibadah shalat, berdakwah, dan kegiatan sosial. Namun disisi lain ada beberapa masjid yang sedikit berubah fungsinya. Sedikit berbelok arah. Tidak melayani umat dengan baik.

Kalau kita perhatikan selintas dari luar memang tidak ada perbedaaan fungsinya, namun apa yang kita lihat dari luar belum tentu sama isi dalamnya. Kok bisa? Mari kita bedah beberapa contoh peristiwa yang saya sendiri pernah mengalami atau mungkin juga anda pernah menemui.

Peristiwa I,

Suatu hari ketika saya bepergian keluar kota di sebelah selatan Jawa Tengah dan akan menunaikan ibadah shalat Jum’at, saya dikejutkan oleh peristiwa yang hingga saat ini tidak pernah saya lupakan.

Kebetulan siang itu jam menunjukan pukul 12.00 WIB, karena waktu sudah mepet maka saya mengusulkan kepada teman-teman untuk berhenti sejenak menunaikan shalat Jum’at. Tidak ada pilihan lain, kami harus berhenti pada saat menemukan masjid yang terlihat pertama kali. Syukur Alhamdulillah, akhirnya kami menemukan masjid tersebut.

Tanpa memperhatikan kondisi sekeliling dan tanpa pikir panjang kami bertiga segera mengambil air wudhu dan masuk ke dalam masjid. Saat itu khotib masih memberikan khotbah. Disinilah awal kejadian aneh bermula.

Ketika mengambil duduk sambil mendengarkan khotbah, jamaah di sekeliling memperhatikan kedatangan kami. Saya sempat memperhatikan dan beradu pandang. Sorot mata mereka menunjukan tanda curiga. Namun kami tidak mempedulikannya.

Setelah khotbah selesai dan dilanjutkan dengan shalat Jum’at berjamaah, kami masing-masing berdzikir sebentar. Namun ketika akan beranjak meninggal masjid, kami masih menemui hal yang sama seperti saat memasukinya. Para jamaah memandang dan mengamati tingkah laku kami. Seolah-olah manusia yang salah dan patut dicurigai. Sungguh mengherankan tingkah laku mereka.

Di lain waktu, kejadian tersebut saya ceritakan kepada salah seorang ustadz dan betapa terkejutnya saya atas jawaban yang diberikan.

Ternyata masjid itu khusus diperuntukkan dan hanya digunakan oleh aliran islam A (demi kerahasiaan dan etika sengaja tidak saya sebutkan). Bagi jamaah yang bukan anggotanya maka mereka beranggapan bahwa saya umat muslim yang berada di luar kelompok mereka. Seperti bukan saudara seiman. Astaghfirullah! Saya kaget dan kurang mengerti jalan pikiran mereka. Apa hak mereka mengadili kami seperti itu?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Kamis, 27 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (27)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(8) INI MASJID KAMI!

Pernah suatu kali saya mencoba mengkalkulasi jumlah masjid dan mushola di Jawa, terutama di Propinsi Jawa Tengah. “Keisengan” ini muncul dalam pikiran berawal ketika saya sering bepergian dari satu kabupaten ke kabupaten lain di Jawa Tengah karena tugas kantor dahulu. Hampir di setiap pinggir jalan raya yang saya lalui, banyak ditemui dan berdiri bangunan masjid dengan jarak antara satu dengan yang lainnya tidak saling berjauhan. Ini belum termasuk yang tidak terlihat secara fisik, karena terletak di dalam perkampungan. Sungguh sangat fantastis cara umat islam mencintai agamanya.

Bagi orang seperti saya yang sering bepergian ke luar kota, kondisi ini secara tidak langsung memberikan keuntungan tersendiri. Kenapa? Karena tidak perlu bingung dan repot-repot lagi untuk mencari masjid ketika akan melaksanakan ibadah shalat dan atau sejenak mengistirahatkan badan.

Mungkin kalau kita mau berandai-andai, ada pihak yang mensponsori rekor jumlah tempat ibadah terbanyak untuk dimasukan dan dicatat didalam guinessbook of record, mungkin Indonesia akan menduduki peringkat pertama dalam memiliki masjid dan mushola (tempat ibadah), atau paling tidak minimal peringkat dua-lah setelah salah satu negara di Timur Tengah.

Banyaknya tempat ibadah ini menunjukan semangat beragama dan sebagai salah satu tolok ukur upaya umat islam di Indonesia dalam mengembangkan dan mengenalkan ajaran agama islam. Bahkan jumlahnya akan terus bertambah, karena setiap tahun pasti ada yang membangun.

Namun maksud baik ini kadang ditanggapi umat islam sendiri dengan cara yang kurang simpatik dan sedikit sinis. Kurangnya dana dan donatur menyebabkan mereka mengharuskan meminta sumbangan dari rumah ke rumah atau di tengah-tengah jalan dengan cara memberhentikan kendaraan yang lewat. Meskipun cara ini kadang kurang mendapat simpatik namun bagi saya upaya ini patut dihargai.

Saya sendiri sebenarnya tidak memandang cara itu kurang simpatik dan elegan. Berbaik sangka-lah karena siapa tahu melalui mereka-lah Allah SWT mengingatkan kepada umat islam akan perlunya amal jariyah, shadaqah atau infaq. Tanpa melalui “tangan” mereka, mungkin kita sendiri lupa bahwa ada hak bagi orang lain dalam harta yang kita miliki.

Kalau kita mau menengok sebentar ke belakang, banyaknya masjid yang berdiri saat ini tidak saja atas peran umat islam secara swadaya. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto (terlepas dari kekurangan dan kelebihannya) banyak juga sumbangan untuk pemugaran, renovasi dan mendirikan masjid baru melalui bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Sungguh bangga rasanya sebagai seorang muslim melihat dan menemui sekian banyak masjid yang didirikan. Tidak hanya dari segi jumlahnya saja, tetapi kebanggaan juga muncul karena masjid tersebut dibangun dengan memperhatikan segi estetika. Ada yang meniru desain dari Timur Tengah, ada juga yang menggabungkan beberapa ciri budaya lokal dan etnis tertentu atau pun yang hanya berbentuk standar-standar saja namun tetap kokoh, arstistik dan representaif sebagai tempat ibadah. Inilah salah satu tanda cinta umat islam untuk syiar agama sekaligus memuliakan tempat ibadah.

***

Salah satu tanda cinta Rasulullah SAW terhadap islam juga diwujudkan dengan membangun masjid pertama kali di madinah, setelah tidak berapa lama beliau hijrah.

Dengan membeli sebidang tanah yang sebelumnya digunakan oleh dua orang anak yatim (kaum anshar) untuk menjemur buah kurma, didirikanlah masjid di atas lahan tersebut. Meskipun sebelumnya kedua anak yatim ini bermaksud menghibahkan tanah tersebut, namun ditolak Rasulullah SAW.

Dalam pembangunan masjid tersebut, Rasulullah SAW turun tangan langsung dan bergotong royong dengan kaum muslimin (Anshar dan Muhajirin) seraya berdo’a :”Ya Allah, imbalan terbaik adalah imbalan akhirat, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar dan Muhajirin!”. Do’a ini juga ditirukan dan dilafalkan oleh kaum muslimin selama pembangunan masjid itu berlangsung.

Dulu bentuk masjid yang didirikan Rasulullah SAW di madinah sangatlah sederhana, hanya berbentuk segi empat dan temboknya terbuat dari adukan tanah liat dan pasir. Separuh atapnya hanya ditutup dengan daun kurma dan sebagian lagi dibiarkan terbuka. Pada malam hari sebagai penerangan menggunakan jerami yang dibakar untuk sekedar menerangi masjid ketika akan menunaikan ibadah shalat Isya’. Di masjid yang sederhana ini, umat muslimin bershalat jamaah tanpa membedakan kaum muhajirin atau anshar. Disamping itu, masjid tersebut juga digunakan Rasulullah SAW untuk berdakwah/syiar, menyusun strategi perang dan berdiskusi membicarakan sesuatu hal demi kepentingan, kemajuan dan kesejahteraan umat islam.

Sementara di sekitar masjid tersebut, dibangun beberapa bilik tempat kediaman Rasulullah SAW. Bilik itu pun beliau tempati setelah hampir tujuh bulan beliau tinggal di rumah Ayyub Al-Anshariy (kaum anshar).

Pada salah satu sisi masjid lain dibangun pula tempat khusus untuk menampung fakir miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal. Kondisi ini menunjukan betapa Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-harinya hidup secara sederhana, lebih memperhatikan umat dan mendahulukan kepentingan agama daripada kepentingan pribadi.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Rabu, 26 Mei 2010

Belajar Dari Kasus Arumi


BELAJAR DARI KASUS ARUMI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bagi ibu-ibu dan remaja putri yang suka menonton televisi, utamanya tentang tayangan gosip selebritis, pada medio Mei 2010, dikejutkan oleh berita perginya artis cantik Arumi Bachsin (16 tahun) dari rumah tanpa pamit kepada orang tuanya. Kabar yang beredar menengarai bahwa artis ini pergi karena tidak diperbolehkan pacaran dengan seorang aktor dari negeri jiran dan aktor inilah yang mempengaruhi agar si artis meninggalkan rumah. Alasan orang tuanya melarang pacaran karena Arumi masih belum cukup dewasa (baik secara umur maupun cara berfikir), sementara dari sang artis merasa bahwa hak pribadinya dikekang, tidak sebagaimana gadis-gadis lain di metropolitan yang rata-rata bebas mengatur hidupnya tanpa campur tangan lebih jauh dari orang tuanya.

Hampir sepuluh hari lebih sang artis berlindung pada KOMNAS Perlindungan Anak. Meskipun telah dilakukan mediasi oleh pihak-pihak terkait namun kesepakatan dari dua belah pihak sulit dicapai. Yang terjadi kemudian adalah datangnya “siksa” yang menimpa orang tuanya (sang ibu), yaitu sakit. Sementara siksa yang diterima artis adalah rasa dendam dan amarah. Dan baru tanggal 21-Mei-2010 berhasil dibujuk pulang oleh ayahnya setelah proses negosiasi dicapai kesepakatan.

Dari sekelumit peristiwa di atas pelajaran apa yang dapat kita petik?

Pertama, Seringkali manusia lupa bahwa apa-apa (fasilitas) yang diberikan Allah SWT kepada manusia hanyalah pinjaman dan sebagai sarana untuk beribadah kepada-Nya. Manusia sering merasa memiliki,”Hartaku, anakku, sitriku, suamiku, rumahku, dll”. Apabila manusia mengklaim pinjaman itu sebagai miliknya dan menanamkan rasa cinta, maka suatu saat manusia akan mengalami duka cita bila pinjaman itu diambil atau dihilangkan sementara. Adalah keliru bila cinta dijadikan perangkat untuk mencintai dunia, karena cinta adalah hubungan spesial milik antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Sebagai gantinya hubungan antara manusia dan makhluk-Nya, Allah SWT mengkaruniakan rasa kasih sayang. Cinta dan kasih sayang kadarnya berbeda. Cinta lebih kepada rasa memiliki seutuhnya, sementara kasih sayang lebih kepada rasa saling menerima dan memberi (hubungan sosial atau antar makhluk).

QS. At-Taubah 9 : 55,
”Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka; sedang mereka dalam keadaan kafir.”

Allah SWT melarang manusia mengklaim apa-apa yang di langit dan di bumi sebagai miliknya, karena Allah SWT-lah yang menciptakan maka Dia-lah sebagai pemiliknya.

QS. Tha Ha 20 : 6,
“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah,..”

QS. Ibrahim 14 : 2,
“Dia-lah Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi...”

Kedua, Manusia sering juga tidak menyadari dan menganggap bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang lain yang berada di luar komunitas keluarganya, seperti perampok, maling atau orang yang penyebar fitnah. Anggapan ini tidak benar 100%. Justru musuh yang paling berbahaya adalah orang yang berada dalam lingkup keluarga, karena tidak hanya menyakiti secara fisik namun juga psikis. Bisa anda bayangkan bila salah satu anggota keluarga menganiaya anggota yang lain. Beban psikis yang diterima jauh lebih berat.

Seringkali kita mendengar dan melihat berita tentang orang tua yang menganiaya anak atau sebaliknya. Demikian pula suami menganiaya istri dan sebaliknya. Sebuah tindakan dan perilaku di luar akal sehat dan logika manusia. Tetapi memang kenyataan itulah yang terjadi.

Allah SWT sendiri menyontohkan kepada umat islam bahwa para utusannya (nabi/rasul), juga dimusuhi anggota keluarganya dalam menegakkan syiar agama islam, seperti anak nabi Nuh AS yang bernama Kan’an yang memusuhi ayahnya dan pada akhirnya di azab Allah SWT tenggelam oleh banjir. Ayah nabi Ibrahim AS yang bernama Aazar (Tarih) tetap menyembah berhala dan tidak mau masuk islam bahkan memusuhinya. Istri nabi Luth AS yang mengkhianati suaminya dan berkomplot dengan musuh, paman nabi Muhammad SAW yang bernama Abu Jahal dan Abu Lahab yang memusuhi beliau dan umat muslim.

Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan kepada kita agar berhati-hati dengan musuh dalam selimut ini. Tanpa iman yang kuat dan kokoh maka mudah sekali kita akan tenggelam dalam irama permainan mereka sehingga mudah jatuh dalam kenistaan dan kehinaan karena kebencian.

QS. At-Taghabun 64 : 14-15,
”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu & anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah-lah pahala yang besar”.

Sebagai orang beriman, kita tidak harus menerima ujian dan cobaan sendiri untuk paham dan belajar tentang arti hidup, tetapi juga bisa belajar dari peristiwa yang dialami orang lain.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Selasa, 25 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (26)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pertanyaannya adalah kalau para penyampai dakwah merasa telah mendapat dan menguasai ilmu agama hanya berdasarkan persangkaannya, sementara Allah SWT belum memahamkan dan menjelaskan kepadanya, mampukah mereka memberikan pencerahan kepada umat? Kalau Nurullah (cahaya Allah) tidak ada, dapatkah syiarnya menyinari jamaahnya? Tidakkah sudah terlihat secara kasat mata, bukan ukhuwah islamiyah yang di dapat tetapi justru perpecahan dan berbangga atas golongannya yang terjadi? Tidaklah mungkin terjadi perpecahan apabila para ustadz memperoleh pemahaman tentang Al-Qur’an dari sumber yang sama yaitu Allah SWT. Lalu mengapa perpecahan terjadi?

Padahal Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, pelita hati dan peringatan kepada umat manusia selama menempuh perjalanan di dunia ini agar selamat sampai tujuan di akhirat kelak. Tetapi manusia malah lebih suka memilih selalu berbantahan serta tidak meyakini, mengikuti dan memahami petunjuk ayat-ayat Allah SWT.

QS. Al-Kahfi 18 : 54,
”Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.

QS. Al-Isra’ 17 : 89,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya)”.

QS. An-Nahl 16 : 104-105,
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, maka Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka dan untuk mereka siksaan yang pedih. Hanya yang mengadakan dusta, ialah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang yang dusta”.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin umat islam dapat bersatu dan tidak terpecah belah? Jawabanya adalah mungkin bila Allah menghendaki dan kita betul-betul mengikuti petunjuk-Nya dalam Al-Qur’an. Bila setiap umat islam mendapatkan cahaya iman dari Allah SWT, Insya Allah pemahaman tentang agama islam akan sama, holistik dan utuh sehingga tidak akan terpecah belah. Tidak memandang itu nabi/rasul, wali, ulama maupun umat semua sama. Hanya derajatnya saja yang berbeda. Coba perhatikan dan cermati ayat dibawah ini,

QS. Al-Baqarah 2 : 136-137,
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin) : Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Renungan :

Banyak dari umat islam yang diam-diam berbangga dengan keterpecah-belahan. Mengaku dan merasa paling benar dengan cara mengangkat tinggi-tinggi identitas kelompoknya. Padahal mereka belum mendapat pengetahuan sedikit pun, karena kebenaran ilmu agama (Al-Qur;an) itu datangnya dari Allah SWT. La ‘ilma lana illa ma ‘allamtana, manusia tidak punya ilmu kalau Allah SWT tidak berkenan mengajarkannya.

Kalau satu golongan mengaku bahwa merekalah yang paling benar, mengapa golongan lain juga mengakui hal yang sama? Kalau mereka mengaku bahwa Allah-lah sumber dari segala sumber ilmu tentang islam mengapa pemahaman yang didapat bisa berbeda? Seharusnya pemahaman tersebut tentulah harus sama.

Kalau mereka mengaku berpedoman pada Al-Qur’an, mengapa justru banyak ayat-ayatnya sering dilanggar? Jangan-jangan mereka hanya menuruti dan berpedoman pada hawa nafsunya (kepentingan pribadi/kelompok) saja?

Saya sejenak mengajak kepada sidang pembaca yang budiman, agar merenung dan bertafakur atas beberapa pertanyaan yang saya ajukan diatas.

Cobalah luangkan waktu untuk merenungkan!

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Sabtu, 22 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (25)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Banyak dari pimpinan aliran, kelompok dan golongan islam yang merasa bahwa mereka telah pandai dan mumpuni, karena merasa telah menguasai ilmu agama, sehingga mengaku bahwa aliran, kelompok dan golongannya yang paling benar. Dapat anda bayangkan kalau hal ini yang terjadi, maka perpecahanlah yang akan timbul. Padahal tidak-lah demikian. Ilmu pengetahuan agama, yang menerangkan dan menjelaskan adalah Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih. Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, maka Dia-lah yang menjelaskan.

QS. Ar-Ruum 30 : 29,
“Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah?. Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun”.

QS. Al-An’aam 6 : 116,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanya berdusta (terhadap Allah)”.

QS. Al-Israa’ 17 : 36,
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.

Ilmu dari Allah SWT bukanlah hasil olah pikir manusia, karena kebenaran ilmu ini letaknya di hati. Otak tidak mampu menjangkau, namun hatilah yang mampu. Oleh karena itu, Alqur'an adalah pelita hati, bukan pelita pikir (otak).

Al-Qur'an juga sebagai rahmat bagi alam semesta, artinya mampu "berbicara" di setiap jaman. Meskipun secara redaksional ayat Al-Qur’an itu sama dan tidak berubah, namun pemahaman akan berbeda antara apa yang diajarkan manusia dengan yang diajarkan oleh Allah SWT. Itulah mengapa Al-Qur’an tidak akan usang ditelan jaman dan selalu mampu memberikan solusi ditiap-tiap masa sampai hari kiamat kelak.

Hanya Allah-lah yang menurunkan pemahaman dan kebenaran melalui hati manusia, sebagaimana yang dialami para utusan-Nya dan orang yang dipilih-Nya. Allah-lah Sang Maha Guru (Al-Alim), yang memahamkan dan menjelaskan ayat-ayat-Nya.

QS. Al-An’aam 6 : 126,
”Dan inilah jalan Tuhanmu (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran”

QS. An-Nisaa’ 4 : 58,
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik mengajar kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Melihat”.

QS. Yunus 10 : 57,
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

QS. Al-Hajj 22 : 54,
“Agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”.

Bahkan juga Allah SWT memperingatkan kepada manusia, apabila mereka tidak mau belajar dan berguru kepada-Nya dan hanya mengikuti hawa nafsunya maka syaitan-lah yang menjadi pemimpinnya untuk menyesatkan dari jalan Allah, SWT.

QS. Az-Zukhruf 43 : 36,
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.


QS. Al-A’raaf 7 : 179,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka inilah orang-orang yang lalai”.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Jumat, 21 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (24)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sebenarnya kalau umat islam mau sedikit meningkatkan kesadaran dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, seharusnya mereka takut akan peringatan Allah SWT seperti yang difirmankan dalam Al-Qur’an,

QS. Al-Mukminuun 23 : 52-54,
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka berpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu”.

QS. Al-An’aam 6 : 159,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.

QS. Asy-Syuura 42 : 13,
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.

Lalu mengapa umat islam tidak mau menuruti peringatan Allah SWT tersebut, justru dari kita banyak yang membangkang dan membantah ayat-ayat-Nya? Kejadian ini sebenarnya sudah ditengarai oleh Allah SWT, dengan maksud supaya umat islam mawas diri.

QS. An-Nahl 16 : 4,
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata”.

Faktor lain yang menyebabkan keterpurukan dan keterpecah-belahan umat islam adalah tingkat kesadaran dalam beragama yang rendah. Kebanyakan dari umat islam masih terbelenggu ego, diliputi hawa nafsu berbentuk kesombongan dan merasa yang paling benar. Padahal kebenaran adalah mutlak milik Allah SWT.

QS. Al-Baqarah 2 : 147,
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.

QS. Al-Kahfi 18 : 29,
“Dan katakanlah :”Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Kamis, 20 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (23)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sebenarnya kondisi tidak perlu dirisaukan kalau perbedaan ini hanya sebatas forum pengajian, karena keyakinan dengan apa yang dipercayai adalah hak masing-masing individu. Tetapi kenyataannya, semua berlanjut dan merembet pada saat mereka harus bekerja. Maka dapat dibayangkan keutuhan tim menjadi tidak solid dan pelayanan ke nasabah tidak maksimal. Karena antara satu person dengan person lain tidak saling membantu, tetapi justru saling menjatuhkan satu dengan lainnya, meskipun pekerjaan tersebut sebenarnya atas nama perusahaan dan profesionalisme. Kondisi inilah yang tidak membuat nyaman sahabat saya. Bahkan dia berencana mengundurkan diri, karena melihat budaya kerja di kantornya sudah tidak sehat lagi.

Contoh dalam skala kecil diatas~kalau kita mau jujur~paling tidak juga mewakili kondisi carut marutnya keterpecah-belahan umat islam di Indonesia. Namun permainan dalam skala nasional (kalangan elite) lebih cantik dan rapi, sehingga umat kadang tidak merasakan. Seolah-olah tidak adanya keterpecah-belahan antar umat islam.

Tapi kalau kita mau lihat dalam tataran empirisnya yang muncul di permukaaan dan tidak dapat dipungkiri lagi kenyataannya adalah pada saat terjadi perbedaan penentuan masuknya bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Indikasi perbedaan terlihat jelas, meskipun dengan mengatas-namakan agama.

Bukankah selama ini umat islam telah menyetujui, mengakui dan menyatakan bahwa umara (pemimpin dalam pemerintahan) sebagai mitra ulama. Sepatutnya mereka mau tunduk dan patuh dengan keputusan pemerintah dalam menentukan hari-hari besar agama. Keputusan pemerintah pun tidak asal-asalan, tetapi berdasarkan rekomendasi para ulama (kepemimpinan dalam ilmu agama) yang telah melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, kajian yang mendalam baik berdasarkan ilmu agama maupun ilmu pengetahuan (teknologi). Tetapi kenyataannya, lain di bibir lain di hati. Para kelompok agama jalan sendiri-sendiri dan komitmen kepada keputusan umara dan ulama di buang jauh-jauh.

Kejadian sentimen kelompok seperti ini juga telah merambah pada wilayah syiar dan para juru dakwahnya. Seorang ustadz yang kebetulan dari organisasi agama X, tidak mau menjadi pembicara bagi jamaah yang latar belakang organisasinya Y. Atau sebaliknya, jamaah yang organisasinya Y, tidaklah mungkin mengundang ustadz dari organisasi X. Ironisnya lagi umat yang tidak tahu menahu urusan “politik agama” ini, ikut terbawa arus perpecahan.

Kondisi umat islam inilah yang telah diprediksi oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya, bahwa umat islam nantinya akan terpecah menjadi 73 golongan, namun hanya satu yang benar. Keterpecah-belahan ini disebabkan oleh ego masing-masing. Oleh karena itu sebelum Beliau wafat mewanti-wanti umat islam agar selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnahnya.

Meski telah berpesan demikian, Rasulullah SAW menyadari bahwa umat islam banyak yang bandel dan tidak mau mentaati pesannya. Sehingga keprihatinan dan rasa sayang kepada umatnya ini Beliau khawatirkan dan cemaskan ketika akan menghadap Sang Khaliq dengan menyebut,” Ya Allah...umati...umati!”. Sungguh peristiwa yang seharusnya diingat dan menjadi pembelajaran bagi umat islam. Namun mengapa kita tidak mau membaca tanda-tanda perpecahan umat dari Rasulullah SAW tersebut?

QS. At-Taubah 9 : 128,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat serasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Rabu, 19 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (22)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(7)
DAKWAH UNTUK MEMECAH BELAH

Kisah ini adalah kejadian yang dialami oleh sahabat saya yang bekerja pada suatu lembaga pembiayaan dengan basic islam (syariah). Maksud hati ingin lebih nyaman dalam bekerja di tempat yang baru dan hijrah dari tempat kerjanya yang lama, justru ketidak-nyamanan yang di dapat. Memang kadang maksud baik seseorang belum tentu didukung oleh lingkungannya.

Dia menceritakan bahwa tempat kerjanya sekarang hampir 100% memeluk agama islam. Hal inilah yang dia syukuri dan dicari selama ini. Dengan keyakinan yang sama maka dia berharap dapat lebih nyaman dan khusyu’ dalam bekerja dan beribadah. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Bentuk yang indah bila dilihat dari luar, ternyata belum tentu isinya enak untuk dinikmati.

Meski semua memeluk agama islam, ternyata kantor tersebut dihuni oleh beberapa kelompok islam dengan berbagai macam latar belakang aliran, golongan maupun organisasi. Kondisi ini menjadikan pemicu conflict of interest dalam perusahaan tersebut.

Kalau para karyawan mau bercermin pada profesionalisme, seharusnya mereka sadar bahwa untuk sementara mereka harus menanggalkan baju-baju itu ketika bekerja. Karena suatu perusahaan membutuhkan tim yang kuat dengan satu visi dan misi, untuk mencapai tujuan bersama.

Kenyataannya lain, mereka masih mengenakan “baju-baju” tersebut dan mengesampingkan profesionalisme. Maka apa yang akan terjadi bila budaya kerja kantor seperti itu? Sudah dapat ditebak, terpecahlah karyawannya menurut aliran, golongan dan organisasi masing-masing.

Menyadari kondisi tersebut, pimpinan berusaha menyatukan pola pikir karyawannya dengan mengadakan forum dakwah dan diskusi setiap Jum’at sore setelah jam kerja kantor. Dengan maksud untuk meredam konflik. Adapun pembicaranya dari karyawan sendiri yang dianggap mumpuni dan supaya adil dilakukan secara bergiliran.

Maksud hati pimpinan ingin mencari persamaan dan menanggalkan perbedaan-perbedaan yang ada tetapi keterpecah-belahanlah yang di dapat.

Ketika seorang karyawan dari aliran, golongan atau organisasi A mendapat giliran menyampaikan materi dakwah, maka aliran B, C, D dan E sudah siap-siap membantai dengan pertanyaan dan pernyataan yang menyalahkan sang pembicara, karena tidak sesuai dengan “baju” yang dikenakannya. Demikian pula bila si B yang mengisi tausyiah, maka giliran kelompok A, C, D dan E juga melakukan hal yang sama. Meminjam istilah ilmu sosiologi, blunder ini ibarat lingkaran setan yang tak berujung dan bertepi. Jalan keluar sudah tertutup, karena kuatnya ego masing-masing. Sehingga fungsi dakwah yang sebetulnya berusaha menyatukan umat justru menjadi bumerang. Senjata makan tuan.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Selasa, 18 Mei 2010

Mahalnya Tiket Masuk Neraka (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Waduh apalagi ini? Tak berapa lama dia berusaha menguraikan pernyataannya,”Coba amati, banyak dari umat islam yang membangga-banggakan mobil barunya, rumah mewahnya, Handphone model terbaru, dll. Kebanyakan dari mereka salah kaprah dalam menyikapinya. Fasilitas dan rejeki yang diberikan Allah SWT tidak dipergunakan sebagaimana mestinya”.

Sejenak dia terdiam, sambil mengambil satu dua tarikan nafas kemudian melanjutkan argumennya, “Contohnya : mobilnya digunakan untuk bekerja sambil korupsi dan malamnya pergi ke tempat-tempat hiburan malam untuk menghilangkan kepenatan. Islam sih tidak melarang kita untuk kaya, namun kekayaan itu semestinya diletakan dalam proporsi yang benar. Padahal Allah SWT “meminjami” fasilitas mobil tersebutkan seharusnya untuk mempermudah dalam bekerja semata-mata untuk amal ibadah mencukupi kebutuhan keluarga dengan cara halal, atau digunakan untuk pergi ke masjid dan tempat-tempat pengajian, berkunjung dan bersedekah ke rumah yatim piatu dan panti asuhan, dll”.

Sejenak dia memperhatikan yang hadir dan menunggu tanggapan. Tetapi setelah tidak ada yang berusaha menanggapi, pada akhirnya dia meneruskan pendapatnya,”Dan yang lebih parah lagi apabila mobil itu hilang, rumahnya terbakar, jabatannya dicopot, keluarganya ada yang meninggal maka si-empunya sampai stress, pingsan dan menangis. Padahal kalau mereka tidak shalat yang berarti kehilangan komunikasi dan “berjumpa” dengan Allah SWT, mereka tenang-tenang saja! Tidak merasa berdosa. Apalagi sampai pingsan dan bersedih! Ini sangat jarang terjadi, bahkan mungkin dijaman sekarang ini tidak ada!”.

Bagaikan senapan mesin, dia langsung tancap gas meneruskan uraiannya,“Amatilah, banyak manusia lebih senang menyembah berhala-hala dan “tuhan-tuhan” moden yang saat ini bernama mobil, jabatan, rumah mewah, dan sesuatu yang sifatnya materi serta tidak kekal! Mereka lebih memilih “kehilangan” Allah SWT daripada apa-apa yang diklaim sebagai miliknya. Betapa cerdik dan halusnya iblis menjerumuskan manusia. Godaannya disesuaikan dengan perkembangan jaman. Banyak manusia yang jatuh dalam kegelapan karena berbangga-bangga dengan kemewahan yang sifatnya sepele dan temporer. Sungguh kesadarannya telah tertutup oleh hawa nafsunya. Bukankah semua itu nanti diminta pertanggungjawabannya di hadapan-Nya?”. Kemudian dia berusaha menyitir salah satu surat dalam Al-Qur’an:

QS. At-Takasur 102 :1-8,
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”.

Kami yang hadir cukup terkesima mendengar argumen sahabat-sahabat muda itu. Ada rasa bangga yang menyelimuti hati kami tentang cara pandang mereka. Namun kami cuma terdiam karena dibalik semua pernyataan-pernyataan yang “benar” itu perlu tambahan penjelasan tentang bagaimana cara Allah SWT “bekerja”. Supaya sahabat-sahabat baru kami mampu menerima tambahan penjelasan yang lebih dalam, untuk sementara kami biarkan mereka terlebih dahulu meyakini argumennya sambil menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya lebih jauh. Namun demikian kami semua yang hadir malam itu sekali lagi cukup appreciate terhadap pemikiran-pemikiran kritis dan kesadaran tinggi sahabat-sahabat muda kami.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, hidayah, inayah, berkah dan ridho-Nya kepada para sahabat muda saya pada khususnya dan umat muslim pada umumnya. Dan bagi saudara-saudara kita yang meninggal akibat miras oplosan semoga Allah SWT mengampuni dosa-doa mereka. Adalah hak prerogatif Allah SWT mengampuni dosa hamba-Nya yang dikehendaki, tanpa ada yang mampu melarang apalagi mencegahnya. Amin ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Senin, 17 Mei 2010

Mahalnya Tiket Masuk Neraka (1)


Mahalnya Tiket Masuk Neraka

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Agar para sahabat dan pembaca budiman tidak jenuh mengenai pembahasan masalah “Dakwah Salah Kaprah” maka ijinkanlah saya berinisiatif mengambil waktu jeda tersebut untuk membahas permasalahan lain yang sedang hangat-hangatnya di sekitar kita yang membuat kita semua prihatin dan miris.

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita-berita yang menghiasi media masa, baik elektronik maupun cetak perihal banyaknya nyawa melayang dengan sia-sia yang diakibatkan oleh pesta minuman keras oplosan. Beritanya susul menyusul, dan korbannya baik dalam jumlah kecil sampai puluhan. Coba perhatikan beberapa cuplikan berita tersebut dibawah ini.

1.Bulan September 2009, miras oplosan menelan korban 37 orang di Indramayu.

2.Bulan April 2010, di Pati, Jawa Tengah, korban miras oplosan meminta korban 6 orang meninggal dan 3 orang dalam kondisi kritis.

3.Bulan April 2010, di Boyolali, Jawa Tengah, korban miras oplosan sebanyak 4 orang meninggal dunia.

4.Bulan April 2010, Salatiga, Jawa Tengah, korban miras oplosan menelan korban nyawa melayang sebanyak 21 orang.

5.Bulan Mei 2010, di Cirebon, korban miras oplosan sebanyak 17 nyawa melayang dengan sia-sia.

6.Dan masih banyak korban lain yang berjatuhan dalam skala kecil.

Apa gerangan yang sedang terjadi dengan masyarakat kita? Dihinggapi sakit jiwakah mereka? Sedemikian parahkan penyakit sosio-kultural yang mendera saudara-saudara kita? Seriuskah pemerintah memberantas minuman keras yang menyebabkan penyakit sosial? Lalu kemanakah fungsi agama selama ini? Salahkah mereka dalam beragama? Dimanakah peran para pendakwah yang “mendidik” rohani mereka? Salahkah para pendakwah dalam mengurai dan menjelaskan tentang agama sehingga yang didapat umat hanya kegersangan jiwa dan doktrin belaka, bukan suatu kesadaran spiritual? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengelilingi dan berputar-putar di kepala saya, sehingga bibir ini terdiam tak mampu berkata-kata.

Esok paginya saya baru teringat salah satu joke meski bernada satire dari beberapa sahabat muda saya yang baru saja tergabung dalam komunitas Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang (SC-HSS). Meskipun sahabat tersebut masih tergolong muda (kuliah dan kebanyakan anak kost), namun memiliki pengamatan yang jeli terhadap apa yang terjadi di masyarakat dan kegelisahan umat.

Pada suatu malam sebelum acara pengajian dimulai, salah seorang sahabat muda saya membuat pernyataan yang cukup menarik dan diutarakan sambil tersenyum-senyum,”Heran ya, jaman sekarang mau masuk neraka aja tiketnya begitu mahal, jangan-jangan malah harus pesan kavling dulu!”

Kami semua yang kebetulan hadir mendadak sontak tertarik dengan pernyataannya. Dengan diliputi rasa penasaran, salah seorang dari kami mencoba mengajukan pertanyaan,”Maksudnya bagaimana?”

“Coba lihat, dengar dan perhatikan berita yang menghiasi di koran dan TV akhir-akhir ini, banyak saudara-saudara kita yang meninggal dunia karena menenggak miras oplosan!, sebuah pengorbanan yang sia-sia dan tak masuk akal sehat!”

“Lho apa hubungannya dengan pernyataan sebelumnya? Bahwa masuk neraka itu mahal?”

“Ya ada. Menurut informasi yang saya dengar dari mereka yang suka mengkonsumsi miras bahwa mereka “sedikit kecewa” karena harga miras sekarang naik lagi, sehingga terpaksa harus merogoh kocek lebih untuk memenuhi kegemarannya dengan cara memotong “anggaran” dari jatah konsumsi lainnya. Seperti kita ketahui, bukankah miras itu haram? Apalagi kalau sampai meninggal dunia dalam kondisi mengkonsumsinya! Sudah harganya naik (mahal), di akhir perjalanan hidupnya su’ul khotimah, masuk neraka lagi. Itu makanya mau masuk neraka saja begitu mahal!”

Kami yang mendengar jadi tersenyum setelah mendengarkan uraiannya. Tidak berapa lama gantian sahabat muda satunya juga melempar pernyataan sejenis,”Itu masih mendingan, lha sekarang untuk menyembah berhala-berhala saja mahalnya bukan main!”

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Minggu, 16 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (21)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Banyak juga dari masyarakat kita yang tidak menyadari kalau sebetulnya mereka telah akrab dengan isu, gosip atau berita yang menjurus ke arah fitnah dan dusta. Mungkin saking terbiasanya sehingga tayangan tersebut memberikan efek imun, tidak terasa otak telah disusupi berita-berita yang semestinya tidak perlu dan layak dikonsumsi.

Maka tidak mengherankan ketika minggu terakhir bulan Desember 2009, Majelis Ulama Islam (MUI) bereaksi atas etika beberapa oknum jurnalis televisi yang dianggap kadang sudah tidak memperhatikan lagi etika jurnalistik hanya demi mengejar berita dan menaikan rating program. Mereka kadang sudah mengemas berita dengan melibatkan unsur ghibah.

Selain itu kadang perilaku beberapa oknum jurnalis sudah tidak lagi memberikan ruang privasi bagi selebritis, sehingga tidak merasa sebenarnya mereka telah melanggar hak asasi manusia. Bagaimana pun juga selebritis adalah manusia, yang menuntut hak-haknya untuk dihargai.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya secara umum banyak pemirsa di Indonesia yang belum cukup dewasa untuk mampu berfikir jernih atas berita yang disampaikan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Minimnya tambahan akses informasi dari media lain (misal internet), menjadika mereka hanya menelan mentah-mentah berita infotainment yang disampaikan, tanpa ada pembanding untuk mengkaji ulang berita yang diterima.

Jika sudah begini, apa mau dikata? Baik diakui atau tidak ternyata diam-diam secara kolektif kita semua secara berjamaah menanamkan isu, fitnah, prasangka buruk dan kebencian dalam memori otak kita. Dan ironisnya lagi ternyata perilaku negatif ini tidak hanya masuk dalam ranah hiburan, tetapi juga sudah merambah ranah agama (dakwah) seperti yang dialami istri saya.

Hanya kesadaran bersamalah yang dapat dan mampu membangunkan kita semua dari mimpi buruk kesalahan-kesalahan kolektif ini. Tanpa adanya kesadaran bersama dan mengusahakannya secara bersungguh-sungguh tentulah semua itu bagai mimpi tak bertepi.

QS. An-Nuur 24 : 15,
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.

Renungan :

Sampai dengan jatah umur kita sekarang ini, pernahkah kita coba menghitung sudah berapa kali kita telah menyakiti hati dan perasaan orang tua, saudara, teman, sahabat, tetangga, rekan kerja dan orang-orang yang pernah kita kenal dengan olok-olok, fitnah dan dusta yang keluar dari mulut kita?

Pernahkah olok-olok, dusta dan fitnah menimpa diri anda? Betapa perihnya perasaan dan hati yang kita rasakan. Kalau merasakan perih dan sakitnya, mengapa kita teramat sering dan tega berbuat demikian kepada orang lain? Benarkah kalau perbuatan semacam ini juga dilakukan oleh seorang ustadz yang notabene sebagai pembimbing umat? Na’udzubilllahi min dzalik!

Coba anda renungkan!

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Dakwah Salah Kaprah (20)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Masih mendingan kalau yang melanggar ustadz itu sendiri. Namun alangkah berbahayanya bila perilaku olok-olok, prasangka buruk, umpatan dan celaan yang diumbar di depan khalayak ramai saat memberikan tausyiah di hadapan jamaahnya, kemudian ditiru, akibatnya kan bisa tambah runyam.

Kalau jamaah yang menghadiri kebetulan bersikap dewasa dan arif tentu tidak masalah, karena dapat menyaring, menilai, mempertimbangkan baik-buruknya dan tidak buru-buru mengambil kesimpulan. Tetapi kalau kebetulan emosi jamaah yang hadir mudah dibakar dan terprovokasi, tentulah situasi ini akan menimbulkan stigma, pembunuhan karakter dan fitnah yang efeknya sungguh luar biasa karena diam-diam tuduhan-tuduhan tersebut yang belum tentu kebenarannya itu masuk terekam dalam otak bawah sadar para jamaah pengajian dan kemudian di”syiar”kan berita ini kepada teman-temannya. Kan bisa berabe!

Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Api fitnah akan mudah berkobar dengan disiram “bensin” isu-isu sekecil apapun. Fitnah ibarat musuh yang tak tampak namun menikam dan membunuh secara kejam. Ibarat kita membunuh dengan meminjam tangan orang lain. Sang aktor sekaligus kreator selamat sementara pelaku akan menanggung akibatnya di mata hukum.

Bila fitnah telah menyala, biasanya akan disertai dengan tambahan berita-berita bohong (dusta) untuk membuat api itu menjadi besar. Ujung-ujungnya kita selalu dan selalu merangkai berita-berita bohong untuk menutupi dusta sebelumnya. Padahal berbuat dusta itu larangan.

QS. Al-Jaatsiyah 45 : 7,
“Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa”.

QS. Yunus 10 : 69,
“Katakanlah : Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung”.

Saya sendiri kadang ikut prihatin. Kenapa? Karena tanpa disadari sebenarnya masyarakat kita telah akrab dengan budaya fitnah dan dusta. Ini merupakan bentuk orgasme psikologis massal yang hampir terjadi di setiap masyarakat kita.

Ambil-lah contoh dalam skala kecil, dapat kita lihat ketika para ibu-ibu arisan. Mereka lebih asyik menceritakan gosip atau isu yang sedang beredar di lingkungannya yang kadang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan untuk meyakinkan kadang-kadang ditambah bumbu-bumbu cerita yang sebenarnya tidak pernah ada. Lucunya lagi si ibu penerima isu itu menjadi penasaran dan ingin menggali informasi lebih lanjut. Jadi klop-lah isu atau berita bohong itu kemudian menjadi populer dan berkembang di lingkungan tersebut. Tentu tetangga yang jadi bahan obrolanlah yang dirugikan.

Contoh lain yang dampak dan sifatnya lebih luas dalam bisnis hiburan, banyak gosip (ghibah) yang dibungkus rapi dengan meng-atasnama-kan hiburan. Banyaknya tayangan infotainment yang menayangkan berita selebritis dan kadang berita itu belum tentu semua dijamin kebenarannya. Tidak terasa berita yang sifatnya ghibah ini telah menjadi konsumsi sehari-hari bagi masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga. Coba perhatikan, hampir dari pagi sampai malam masyarakat dijejali dan dibombardir dengan tayangan infotainment menayangkan isu selebritis. Layaknya epidemi penyakit atau virus, tayangan ini telah menyerang dan mengotori otak pemirsa tanpa mereka sadari.

Bahkan mungkin bagi fans berat seorang selebritis, kadang perilaku sang artis tersebut ditiru, tanpa reserve. Kalau sifatnya positif sih tidak masalah, lha kalau negatif?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Dakwah Salah Kaprah (19)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kemudian secara panjang lebar diceritakanlah semua kekesalannya kepada ustadz yang baru saja memberi dan mengisi tausyiah di masjid.

“Coba renungkan, masak seorang ustadz mencurigai, dan menvonis dengan nada sinis suatu acara pelatihan keagamaan yang diadakan oleh seorang ustadz (trainner), yang katanya : “Masak pelatihan kok materinya yang sudah diajarkan sebelum masa akhil baliq, jangan–jangan dikomersialisasikanlah pelatihannya, pokoknya macam-macam deh tuduhan negatif diberikan”.

Saya cuma terdiam, karena nada bicaranya masih terdengar emosi.

“Apa begini ya perilaku seorang ustadz dengan berkomentar dan menuduh macam-macam di depan jamaah. Seharusnya ya tidak usah begitu, belum tentu apa yang dikatakannya benar. Kalau benar sih tidak apa-apa, lha kalau salah kan bisa menimbulkan fitnah! Lalu apa yang mendasari dia bisa berkomentar macam-macam sementara dia sendiri belum pernah mengikuti pelatihan dan tahu isi dalamnya. Ibarat orang hendak berenang ke laut, tetapi takut terkena air, bagaimana dia bisa bercerita tentang berenang di laut apalagi isi lautnya? Kan tidak mungkin. Justru ini bisa jadi fitnah, pembunuhan karakter, prasangka buruk, su’udzon!”

Istri saya menarik nafas panjang untuk mengurangi beban yang menghimpit dadanya dan kemudian terdiam seribu bahasa. Tak berapa lama dia beranjak dari kursi dan langsung tidur. Saya hanya was-was terhadapnya. Takut akibat terburuk selanjutnya. Dan apa yang sudah saya prediksi ini terjadi pada acara pengajian berikutnya. Dia tidak mau lagi menghadiri pengajian di masjid tersebut, ketika sang ustadz troublemaker tersebut mendapat giliran mengisi tausyiah. Istri saya trauma dan takut terulang kembali “insiden” yang pernah dialaminya.

Pada saat malam kejadian itu, saya hanya tertawa geli dalam hati melihat kegusaran dan tingkah laku istri saya. Tapi setelah merenung, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Kemudian saya teringat, membuka dan membaca ayat Al-Qur’an yang melarang orang-orang beriman mengolok-olok, berprasangka buruk dan mencela kepada orang lain.

QS. Hujuraat 49 : 11-12,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah mereka orang-orang yang zalim”.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

QS. Al-Humazah 104 : 1,
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela,”

Dari ayat di atas jelas sekali bahwa Allah SWT melarang kita untuk mengolok-olok, berprasangka buruk, mengumpat, mencela tanpa dasar dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mempertegas larangannya, Allah SWT menggunakan kata “janganlah”. Bahkan memanggil seseorang dengan tidak menyebut nama aslinya saja dilarang meskipun dengan alasan biar akrab, cair dan gaul.

Ibarat anda sedang mengendarai mobil atau kendaraan di jalan raya. Demi keselamatan bersama pengguna jalan tentu ada rambu-rambu lalu lintas untuk mengurangi insiden kecelakaan, misal : dilarang parkir, maka seharusnya anda jangan parkir di tempat itu. Mungkin larangan tersebut berkenaan dengan kondisi sempitnya jalan dan ini bisa menjadi penyebab kemacetan atau bahkan kecelakaan. Kalau anda melanggar tentu anda harus siap menerima konsekuensinya yaitu di tilang.

Demikian pula peringatan dan larangan Allah SWT, kalau anda langgar tentulah anda harus siap dengan segala konsekuensinya. Tetapi sering ditemukan dalam keseharian, banyak umat islam (apalagi kalau hal ini dilakukan oleh seorang ustadz), sudah tahu jelas rambu-rambu dan larangan tersebut tetapi tetap dilanggar juga. Lalu ditaruh dimana pengakuan bahwa anda beriman kepada Al-Qur’an?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Kamis, 13 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (18)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(6)
Menanam Benih Fitnah

Saya sangat bersyukur sekali karena bermukim di komplek perumahan yang menjunjung tinggi nilai toleransi dalam beragama, bahkan lebih dari itu. Perumahan tempat saya bermukim tidak hanya plural agama, tetapi juga suku, ras dan golongan. Semua warga menyadari bahwa kita semua satu bangsa. Adapun masalah keyakinan yang dianut adalah hak individu.

Perbedaan ini tidak menjadikan masing-masing berbangga dengan golongannya. Justru sebaliknya, perbedaan dinilai sebagai rahmat, menjadikan warna keberagaman semakin indah, adanya kesadaran untuk saling menghormati privasi dan hak individu, sehingga semua terjalin dengan mesra. Mungkin warga harus berterima kasih kepada sang “founding father” yang merintis harmonisasi sosial antar warga dimulai sejak penghuni perumahan masih beberapa kepala keluarga hingga saat ini yang telah berkembang hampir 40 kepala keluarga.

Sikap saling menghormati dan toleransi dapat dilihat, misalnya disaat warga muslim menjalani ibadah puasa Ramadhan, warga non muslim berusaha tidak menyinggung perasaan tetangganya dengan cara tidak makan, minum atau merokok di luar rumah. Demikian pula sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan natal, warga muslim juga menghormati kegiatan mereka.

Bahkan oleh pengurus RT, setiap warga diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan acara keagamaan di luar kegiatan keagamaan RT asalkan dengan tujuan baik, tidak mengganggu tetangga dan telah mendapat ijin pengurus RT. Sungguh menyejukan sekali atmosfir keberagaman di perumahan kami.

Kenyamanan juga dirasakan kaum muslim untuk melakukan ritual ibadah. Paling tidak ada tersedia 4 buah masjid yang letaknya sangat berdekatan. Terserah individu, tinggal pilih yang mana untuk menunaikan ibadah shalat.

Banyaknya jumlah masjid paling tidak juga menguntungkan kaum muslim, misalnya, ketika akan menunaikan ibadah shalat jum’at, dan kebetulan terlambat datang di satu masjid, maka dapat mengambil alternatif lain ke masjid lainnya yang belum mendirikan shalat jum’at, karena khatib masih berkhotbah. Enakkan?

Selain ibadah shalat fardhu yang sifatnya rutin, di setiap masjid juga menyelenggarakan pengajian setiap bulan sekali dengan mengundang ustadz dari luar komplek perumahan. Ini bukan saja menambah wawasan beragama warga tetapi juga mempererat tali silaturahmi dengan warga RT lainnya.

Namun seringkali niat baik tidak selamanya menghasilkan output yang positif. Kadang ada kerikil yang membuat langkah jamaah menjadi terganggu. Seperti yang terjadi pada medio tahun 2006 ketika istri saya pulang ke rumah sehabis mengikuti pengajian rutin RW di masjid depan blok kami.

Tidak seperti biasanya, idealnya orang sepulang pengajian raut wajahnya diliputi keceriaan, kesejukan, kedamaian dan ketentraman karena baru saja mendapat pencerahan. Namun kali ini sebaliknya, istri saya terlihat gelisah, bibirnya sedikit manyun, ditambah wajah yang kurang bersahabat.

Saya yang kebetulan sedang menonton televisi hanya memperhatikan gerak-geriknya dan tidak berani bertanya atau berkomentar. “Nanti saja-lah setelah agak tenang. Tidak ada gunanya menanyakan pada orang yang emosinya belum stabil. Jangan-jangan nanti malah ikut kena getahnya,” pikir saya.

Setelah berganti pakaian yang lebih santai kemudian istri saya duduk bersebelahan menonton TV. Cukup lama saya biarkan dia menurunkan emosinya. Baru setelah hampir 30 menit berlalu, saya mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

“Pulang-pulang dari pengajian kok malah suntuk, seharusnya ceria dong mendapat tambahan ilmu baru. Memang ada apa sih?”

Tanpa menoleh ke arah saya, dia langsung menjawab,”Bagaimana tidak suntuk, niatnya mau mengaji malah dijejali, diprovokatori, dan di brain wash untuk membenci dan mengolok-olok saudara kita sendiri!”

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Selasa, 11 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (17)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kabar berita tentang tinggi rendahnya tarif bagi sebagian pendakwah di Indonesia (meski tidak semuanya berperilaku seperti ini) bukan lagi sebagai rahasia umum. Semakin terkenal seorang ustadz maka semakin tinggi pula tarifnya. Semakin me-nasional semakin banyak pundi-pundi yang harus disetor kekantongnya.

Jadi esensi sebagai seorang penceramah telah berubah fungsi, yaitu bukan sebagai “kepanjangan tangan” dan ikhlas bekerja untuk Allah SWT, tetapi telah menjelma menjadi seorang selebritis. Segala sesuatunya diukur dengan materi. Sesuatu tugas yang semestinya harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih namun justru dijadikan komoditi. Layaknya barang dan jasa yang diperjual-belikan.

Maka tidaklah mengherankan, bila para ustadz yang tergolong komersiil ini berlomba-lomba untuk dikenal dan menjadi terkenal. Bahkan sering juga untuk mencapai tujuan tersebut seringkali melanggar etika masyarakat maupun agama dengan melebih-lebihkan dirinya dan mencela ustadz lain, demi sebuah ketenaran. Mereka lupa posisi dan fungsinya. Terlena dengan keindahan dunia. Takut dan khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka hanyut dalam hingar bingar dan keramaian dunia.

Padahal kalau mereka mau membaca dan memahami isi Al-Qur’an, masalah rezeki adalah hak prerogatif Allah SWT. Orang beriman diperintahkan untuk bersabar. Namun ternyata mereka justru lalai, tidak percaya dan tidak yakin akan kekuasaan-Nya. Dunia yang sifatnya semu dan kenikmatannya temporer mereka anggap sebagai kebahagiaan abadi.

QS. Al-Baqarah 2 : 155,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Bagi kita umat muslim, dan kebetulan menemui perilaku manusia (apalagi seorang ustadz) yang berbuat demikian (mencintai dunia secara berlebihan), maka Allah SWT menyuruh kita untuk meninggalkannya.

QS. Al-An’aam 6 : 70,
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkan(lah) mereka dengan Al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam nereka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari Allah. Dan jika, ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu”.

Sebenarnya kedudukan ustadz di dunia ini dimuliakan oleh Allah karena diangkat sebagai waliyullah (wakil dari Allah SWT) untuk mensyiarkan agama dan mencerahkan umat. Oleh karena itu kalau seorang ustadz masih takut, khawatir dan berduka cita atas keterjaminan kehidupan dunianya maka dia tidak tergolong waliyullah dan gelar ustadz-nya patut dipertanyakan. Karena dia tidak percaya lagi dengan jaminan dari Allah SWT, bahwa Allah SWT akan memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya.

QS. Yunus 10 : 62,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dalam Al-Qur’an pun sebenarnya telah dijelaskan dan cukup gamblang keterangannya perihal perilaku menjual agama, khususnya bagi seseorang yang berdakwah dijalan Allah agar jangan sekali-kali “menjual agama”.

QS. Al-Baqarah 2 : 41,
“...dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga rendah, dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa”.

QS. Yaasiin 36 : 21,
“Ikutilah orang yang tiada meminta balasan (upah) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

QS. Al-Mukminuun 23 : 72,
“Atau kamu meminta upah kepada mereka? Maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia-lah Pemberi rezeki Yang Paling Baik.”

Lalu bagaimana sikap dan perilaku yang seharusnya diambil dan dilakukan seorang ustadz? Pertama, ada baiknya bagi seorang ustadz hendaknya memilki pekerjaan atau profesi di luar fungsinya sebagai penceramah. Sehingga fungsi dia sebagai waliyullah tidak ternodai dengan hal-hal yang berkenaan dengan upah.

Kedua, Bagi ustadz yang bekerja, kalau pun dipaksa harus menerima pemberian dari pengundang maka terimalah, namun supaya tidak terjadi fitnah, katakanlah bahwa upah itu akan di sumbangkan ke panti asuhan, yatim piatu, lembaga sosial atau disadaqahkan ke masjid.

Ketiga, Kalau pun kondisi sang ustadz memang tidak memiliki pekerjaan lain, maka terimalah pemberian upah itu, dengan catatan jangan memasang tarif, karena dia tergolong fisabilillah Terimalah dengan ikhlas berapapun jumlahnya yang diberikan oleh pihak pengundang. Serahkanlah segala rezeki kepada Allah SWT karena Dia-lah Sang Pengatur dan Pemberi Rezeki.

QS. Saba’ 34 : 39,
“Katakanlah : Sesungguhnya Tuhanku melapang rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi Rezeki yang sebaik-baiknya.

QS. Ath-Thalaaq 65 : 2-3,
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.

Renungan:

Kita semua tidak usah malu mengakui, bahwa ada sebagian ustadz yang menyalahgunakan syiar agama sebagai profesi dunia dengan memasang tarif untuk mengisi acara keagamaan. Sesungguhnya, baik ditinjau dari etika sosial, khususnya etika agama perilaku demikian tidaklah tepat. Bahkan Allah SWT sendiri jelas-jelas menegur manusia yang memperjual-belikan ayat-Nya. Entah itu dalam bentuk acara keagamaan.

Bagaimanapun bentuknya, sekali lagi hal ini tidaklah benarkan, karena tindakan ini semua pangkalnya bermuara demi memenuhi dan memuaskan ego manusia itu sendiri yang dibingkai dalam frame agama. Padahal ayat-ayat Allah SWT sungguh agung dan mulia, yang tidak mampu terbeli oleh siapa dan suatu apapun, kecuali keikhlasan kepada Allah SWT, untuk mensyiarkan dan mencerahkan umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat.

Bagaimana menurut pendapat anda?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Senin, 10 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (16)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kasus II:

Lain lagi yang dialami seorang sahabat saya. Masalah yang ditemui intinya hampir sama dengan kasus pertama di atas. Ketika sahabat saya bercerita, terlihat sekali dari raut wajah dan nada bicaranya menunjukkan rasa kekesalan dan kekecewaaan. Kondisi ini ternyata juga dialami hampir semua warga komplek di mana sahabat saya tinggal. Apa gerangan yang terjadi?

Dia menceritakan bahwa di kompleknya ada seorang yang menguasai ilmu agama dan lulusan dari sebuah pondok pesantren. Selepas lulus dia tidak bekerja, sementara sudah berumah tangga. Maka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia “menjual agama” dengan memasang tarif untuk kegiatan agama di komplek tersebut. Untuk menjadi imam shalat fardhu, dia memasang tarif per bulannya sebesar Rp. X, menjadi khotib shalat jum’at sebesar Rp. Y dan untuk mengisi pengajian pada acara keagamaan juga memasang tarif sebesar Rp. Z (besarnya tarif sengaja tidak saya sebutkan, demi etika).

Perilaku sang ustadz ini di-latarbelakang-i karena tidak ada warga yang mumpuni di komplek tersebut dalam ilmu agama, sehingga dia secara “arogan” membisniskan ilmu agama yang dimilikinya. “Beginikah perilaku seorang ustadz dan pembimbing umat, yaitu menjual agamanya?” tanya sahabat saya.

Kasus III :

Kasus lain tentang tarif juga terjadi di daerah saya. Tersebutlah seorang ustadz. Gelar ini sendiri dipakai oleh sang empunya entah berasal dari mana, dan sebagian masyarakat mengetahui bahwa latar belakang dari pendidikannya tidak ada hubungannya atau bukan dari lembaga pendidikan agama baik formal maupun non formal.

Dengan menempelkan gelar ustadz ditambah dengan pakaian gamis dan sorban yang sering dia kenakan, maka dipakailah aksesoris ini untuk meyakinkan orang lain agar percaya bahwa dia adalah seorang hamba Allah SWT yang shaleh dan seorang ustadz. Ironisnya lagi sebagian masyarakat ada yang percaya. Masya Allah.

Selain memberi tausyiah, sang ustadz ini juga mengklaim bahwa mampu mengobati segala penyakit. Bagi masyarakat yang sakit dipersilakan datang untuk berobat. Cara pengobatannya pun disertai oleh bacaan ayat-ayat Al-Qur’an supaya pasien lebih mantap. Namun ujung-ujungnya atas jasa pengobatan tersebut, dipatoklah tarif. Besar kecilnya tarif tergantung dari berat tidaknya penyakit yang diderita pasien.

Seharusnya, kalau sosok ini mengaku memang seorang ustadz dan diberi kelebihan mengobati orang lain yang sedang susah, sebenarnya tidaklah perlu memasang tarif. Justru kelebihan ini digunakan untuk bershadaqah dan amal jariyah, bukan malah dikomersialisasikan. Kalau pun ada pasien yang memberi diterima saja tanpa menentukan tarif. Karena sudah kewajiban bagi seorang muslim (apalagi yang mengaku sebagai ustadz), diwajibkan tolong menolong, apalagi dengan sesama muslim yang baru ditimpa musibah. Bukan malah menambah dan membebani derita pasien yang baru sakit. Ironis bukan?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SC-HSS
Pondok Cinta Kasih

Jumat, 07 Mei 2010

Dakwah Salah Kaprah (15)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(5)
Ustadz “Selebritis”

Kasus I :

Untuk menjalin silaturahmi antar warga, setiap satu bulan sekali di komplek perumahan dimana saya bermukim diadakan rapat RT. Acara ini biasanya dijadwalkan di Minggu kedua setelah shalat Isya’. Forum yang bukan saja untuk membahas permasalahan yang terjadi di lingkungan RT, namun lebih dari itu, yaitu sebagai forum untuk mengakrabkan satu warga dengan warga lainnya.

Sering juga forum rapat ini digunakan untuk membicarakan persiapan moment-moment tertentu yang akan diperingati pada bulan-bulan berikutnya, seperti acara 17 Agustus, pergantian tahun, piknik keluarga maupun acara-acara keagamaan.

Ada hal yang menarik ketika berlangsung acara rapat RT pada bulan September 2009 lalu, yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan 1430 Hijriyah. Pada waktu itu dalam sesi lain-lain, kami membahas mengenai persiapan acara halal bihalal yang akan diselenggarakan warga pada bulan Oktober 2009 pasca mudik lebaran.

Salah satu pokok bahasannya adalah mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan ustadz sebagai penceramah. Hal ini tidak terlepas dari jumlah anggaran penyelenggaraan halal bihalal yang sangat pas-pasan mengingat adanya biaya lain yang tidak bisa dikesampingkan seperti menyewa panggung, tratak, kursi, sound sistem, jajanan, minum dan makan malam.

Setelah seksi bendahara dan panitia menghitung-hitung jumlah biaya yang harus dikeluarkan (minus uang untuk mengundang ustadz) ada sisa anggaran sekitar Rp. 250.000,-. Seksi bendahara kemudian berpesan agar mengundang ustadz yang tarifnya tidak melebihi sisa anggaran tersebut sehingga tidak defisit.

Atas peristiwa tersebut, dalam hati saya hanya bisa bertanya,”Apakah begini cara berdakwah yang terjadi di Indonesia, dimana seorang penceramah dinilai atau diukur berdasarkan tarif? Atau jangan-jangan hal ini semata-mata karena rasa sungkan dari pihak penyelenggara acara sehingga mematok harga sesuai dengan seberapa terkenalnya ustadz yang akan dipanggil tersebut?”.

Terus terang, saya sendiri sempat malu, entah bapak-bapak yang lain. Mengapa? Karena rapat tersebut tidak hanya dihadiri oleh mereka yang beragama muslim, tetapi juga yang non-muslim. Entah apa dan bagaimana penilaian mereka terhadap penerapan cara beragama kita (islam), saya sendiri hanya bisa menduga-duga penilaian itu.

Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih