MENYELAMI MAKNA DI BALIK KATA
Ketika dalam hidup anda sedang mendapat
cobaan, ujian, musibah atau dipenuhi masalah pastilah anda akan berdoa kepada
Allah SWT agar diberi ketegaran, kesabaran, dan semoga permasalahan apa yang
anda hadapi segera terselesaikan. Atau sebaliknya, ketika anda menginginkan
sesuatu dalam hidup anda pastilah anda juga berdoa untuk minta pertolongan
Allah SWT agar dikabulkan hajat yang anda inginkan, diberikan kelancaran dan
segera terkabul.
Siang dan
malam anda berdoa, bahkan sampai meneteskan air mata karena kesedihan sedang
mendera anda, atau harapan yang tak pernah pada karena keinginan anda cepat
terealisasi. Namun apa yang terjadi setelah sekian lama segala bentuk doa anda
panjatkan? Ternyata doa yang anda panjatkan tidak mendapat respon atau jawaban
dari Allah SWT. Hingga suatu titik nadir dalam kehidupan anda timbullah
pertanyaan, “Mengapa Allah SWT tidak
mengabulkan doa saya? Sungguh sia-sia doa yang kupanjatkan siang malam dan
ternyata Allah SWT tidak segera menolongku!”
Sebentar
dulu, jangan berprasangka buruk (su’udzlon) kepada Allah SWT, ini tidak baik.
Coba tengoklah dan koreksi dulu diri anda dalam berdoa sebelum men-justifikasi. Benarkah
anda telah benar-benar berdoa atau sekedar membaca doa? Ini perlu diluruskan, mengapa? Karena selama
ini kita lebih sering membaca doa daripada berdoa. Sungguh beda makna diantara
keduanya. Membaca doa bermakna bahwa anda sekedar membaca doa sambil lalu saja.
Bahkan tak jarang kita membaca doa yang panjang-panjang berbahasa arab tanpa
anda tahu arti dan maknanya. Ini kan konyol, masak kita berdoa tidak tahu apa
yang kita ucapkan dan mintakan ke Allah SWT. Padahal Allah SWT sendiri tidak
mewajibkan berdoa dalam bahasa arab. Allah SWT Maha Tahu segala bahasa manusia
bahkan bahasa binatang, tumbuhan maupun makhluk-makhluk lainnya.
Kemudian
anda berkilah, “Saya berdoa pakai bahasa
Indonesia kok dan saya tahu arti dan maknanya atas apa yang saya baca! Tetapi
mengapa doa saya tidak segera dikabulkan? Bukankah Allah SWT Maha Mendengar?”. Benar
sekali Allah SWT Maha Mendengar, tetapi doa anda tidak didengarkan. Mengapa?
Karena ya itu tadi, anda membaca doa, bukan berdoa.
Lalu
bagaimana doa yang benar? Tentu saja merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Anda berdoa ya harus “berjumpa” dengan yang anda mintai pertolongan terlebih
dahulu. Bagaimana mungkin anda mengharap sesuatu tetapi anda tidak berjumpa
dengan yang anda mintai pertolongan. Ibarat anda menelepon seseorang, tetapi
teleponnya/handphonenya tidak diangkat/on, kemudian anda
berbicara terus, sampai mulut anda berbusa-busa ya mana mungkin orang yang akan
anda ajak bicara tahu apa yang anda ingin omongkan? Tidak mungkin bukan?
Peristiwa
tersebut sama dengan ketika anda shalat. Selama ini memang secara syariat, shalat
anda sudah sah karena telah menunaikan rukun, wajib, bahkan sunah wudhu maupun
shalat. Pertanyaannya adalah anda mengerjakan shalat atau mendirikan shalat?
Ini juga penting dibahas, mengingat makna keduanya berbeda. Al-Qur’an sendiri
memakai kata mendirikan, bukan mengerjakan. Demikian pula saat adzan
dikumandangkan, mengajak kita mendirikan shalat bukan mengerjakan shalat.
Mengerjakan
shalat identik dengan (sekedar) menggugurkan kewajiban perintah Allah SWT. Jadi
hakikat shalat tidak anda ketahui, anda mengerjakan dengan tolok ukur yang
penting membaca apa yang diperintahkan
disetiap gerakan shalat, mengerjakan rakaat shalat sesuai dengan jumlahnya
berdasarkan waktunya, dsb. Perkara diterima atau tidak, kita tidak tahu. Dan
yang penting kita tidak berdosa karena telah mengerjakan kewajiban, sehingga nanti
tidak masuk neraka. Bahkan tak jarang pula kita menyerahkan diterima atau
tidaknya shalat kita tanpa kita ketahui hasilnya apa. Ujung-ujungnya kita
berdalih atas apa yang kita kerjakan semua diserahkan kepada Allah SWT. Sungguh
aneh kita ini. Mengerjakan sesuatu kok tidak tahu hasilnya.
Berbeda
dengan mendirikan shalat. Kondisi ini pastilah sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW, “Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’miniin”,
dan shalatnya pasti khusyu’. Sholat hakikatnya adalah perjumpaan seorang hamba
dengan Allah SWT tanpa perantara siapa dan apapun, sehingga kita dapat
berdialog, berkomunikasi dan berkeluh kesah langsung kepada Allah SWT. Itu
mengapa ketika Rasulullah SAW menghadapi suatu persoalan, beliau mendirikan
shalat sunnah doa rakaat untuk minta petunjuk dan solusi atas permasalahan yang
sedang beliau hadapi. Orang yang mendirikan shalat akan ditandai dan diberi
bukti bahwa shalatnya sudah dibenarkan Allah SWT, sehingga apa yang kita
lakukan ada hasilnya.
Hal yang
paling mendasar yang membedakan antara mengerjakan dan mendirikan shalat adalah
selama proses sholat itu sendiri berlangsung. Di sini saya tidak bermaksud men-justifikasi
anda, namun semata-mata ingin menggugah kesadaran diri anda sehingga anda
sendiri yang mampu menilainya.
Benarkah
ketika anda shalat benar-benar hanif (lurus) menghadap Allah SWT atau selama
proses shalat justru anda teringat pekerjaan anda yang belum selesai, hutang
anda yang belum terbayar, teringat belum menjemput anak dari sekolah, dan lain
sebagainya? Kalau kondisi terakhir ini yang terjadi, maka sebenarnya anda
sedang tidak menyembah Allah SWT. Mengapa? Karena anda justru menyembah “berhala-berhala”
yang bernama masalah dunia. Kalau ini yang terjadi, bukankah kita termasuk
syirik karena selama shalat kita tidak menyembah Allah SWT? Justru malah
disibukkan oleh selain Allah SWT. Silahkan direnungkan.
Bahkan
Allah SWT sendiri mengingatkan, janganlah kita mendapat celaka karena lalai
dalam shalat kita. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya (QS.
Al-Maa’uun 107:4-5).
Adapun yang dimaksud lalai dari shalat pada ayat di atas
bukanlah orang yang tidak shalat, karena apa? Sudah jelas hukumnya kalau tidak shalat pastilah kita berdosa. Jadi ayat di
atas maknanya lebih kepada peringatan kepada kita yang shalat tapi lalai atau
tidak hanif (lurus) menghadap Allah SWT tapi justru yang teringat (menyembah?)
masalah-masalah yang sedang kita hadapi.
Tidak hanya dalam hal berdoa dan mendirikan
shalat saja, kondisi yang sama juga sering kita alami dalam pemaknaan kata
mengaji dan membaca Al-Qur’an. Selama ini kita memaknai kedua kata ini sama.
Membaca Al-Qur’an ya sama saja mengaji. Padahal keduanya berbeda. Membaca
Al-Qur’an identik kita membaca ayat-ayat Allah SWT yang telah dibukukan dalam
Al-Qur’an sesuai dengan ilmu tajwid, nahwu sharaf, balaghah, dll. Jadi disini
titik beratnya dalam hal membaca tata bahasa Arab (Grammar). Oleh sebab itu,
untuk membaca Al-Qur’an yang baik dan benar maka kita dapat belajar kepada
manusia atau orang yang ahli.
Membaca
Al-Qur’an memang baik dan dianjurkan, namun maksud Allah SWT dan Rasulullah SAW
tidak-lah sebatas itu. Itu mengapa perlu mengaji Al-Qur’an. Secara tata bahasa
kata “mengaji” berasal dari kata dasar “kaji” yang artinya mendalami. Jadi
ketika kata dasar “kaji” ditambah dengan awalan “meng” maka artinya seseorang
secara aktif harus mempelajari lebih mendalam atas informasi yang diperolehnya.
Mengaji
Al-Qur’an tidak hanya sebatas membaca dan menghafalkan ayat tersurat (tekstual)
saja tetapi juga harus paham ayat tersirat (kontekstual/tafsir/takwil) dibalik ayat-ayat
Al-Qur’an. Lalu bagaimana mengaji yang sesuai seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW? Mengapa kita begitu
sombongnya telah mengklaim merasa paham isi Al-Qur’an ketika telah hafal ayat tersurat (tekstual) dalam waktu
3-5 tahun saja? Sedangkan Rasulullah SAW sendiri memerlukan waktu hampir 23
tahun (tidak hanya ayat tersurat tetapi juga ayat tersirat/takwilnya). Apakah
paham isi kandungan Al-Qur’an identik dengan menghafal saja? Mengapa dalam
realita seringkali kita temui tafsir yang berbeda untuk menafsirkan ayat dalam Al-Qur’an? Mengapa ini sering terjadi
sehingga mengakibatkan timbulnya perpecahan umat dan berbagai aliran dalam
islam. Padahal berpecah belah adalah larangan Allah SWT. Rasulullah SAW pun
pernah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kami dari
ahli kitab terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umat ini akan
terpecah menjadi 73 golongan. Adapun yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan
satu golongan akan masuk surga, yaitu “Al-Jama’ah” (HR. Ahmad).
Apa yang
sebenarnya tengah terjadi dalam beragama kita?
Bagaimana agar kita termasuk “Al-Jama’ah” (Ahlusunnah wal jama’ah) sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah
Muhammad SAW pada
hadits di atas?
Untuk mendapatkan
jawabannya silahkan download E-Book (Electronic Book) Kedua saya yang berjudul
: MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH yang merupakan sambungan dari E-Book Pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH
untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar