Hidup di dunia ini layaknya seorang musafir yang sedang menempuh
perjalanan ke suatu tempat tujuan. Agar perjalanan yang ditempuh berhasil, maka
segala hal perlu dipersiapkan mulai dari uang, bekal makanan dan minuman, persiapan
fisik dan mental, penguasaan medan yang akan dilalui, dan tentu saja penunjuk
jalan (peta). Apa jadinya kalau salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi?
Tentu perjalanannya akan mengalami kesulitan, bahkan tidak menutup kemungkinan yang
ditemui adalah kegagalan demi
kegagalan sehingga tidak akan sampai ke tempat tujuan. Apalagi kalau dalam perjalanan
tersebut harus melewati ganasnya hutan belantara dan lautan padang pasir. Tidak hanya persiapan internal
saja, antisipasi terhadap ancaman eksternal pun perlu diperhitungkan seperti banyaknya
binatang buas, rimbunnya tumbuhan hutan, perubahan cuaca yang ekstrim, beratnya
medan yang harus ditempuh dan berbagai macam gangguan lainnya. Tanpa persiapan
yang matang, maka kegagalan sudah di depan mata, salah satunya adalah tersesat
dan tidak mencapai tujuan.
Seperti halnya
perjalanan sang musafir. Hidup di dunia juga penuh dengan onak duri, godaan,
dan marabahaya yang dapat mengancam keselamatan hidup kita setiap saat. Diperlukan
kesiapan internal maupun antisipasi terhadap pengaruh eksternal. Oleh karena itu, agar perjalanan di dunia ini selamat
sampai tujuan, maka diperlukan peta. Al-Qur’an adalah peta atau pedoman hidup yang
berperan sebagai petunjuk bagi umat islam dalam mengarungi bahtera hidup ini agar
selamat, baik selama di dunia maupun di akhirat kelak. Tanpa Al-Qur’an,
mustahil umat islam berhasil dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan kitab ini
pula manusia akan tumbuh kesadarannya untuk mengenal siapa dirinya, memahami untuk
apa diciptakan, mengetahui darimana ia berasal dan ke mana akan kembali ketika
kematian datang menjemput.
Namun
sayangnya, banyak umat islam sendiri tidak merasa bangga dan mau memanfaatkan
Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman hidup. Secara lisan memang banyak yang telah
mengaku beriman kepada kitabullah ini sebagai bentuk sempurnanya rukun iman, namun realita
menunjukan lain, banyak perilaku umat islam itu sendiri yang melanggar isi kandungan
Al-Qur’an. Jadi antara yang diucapkan dan diyakini berbeda dengan perilakunya.
Terkadang juga
kebanggaan umat islam terhadap Al-Qur’an diletakkan tidak dalam proporsi yang
selayaknya. Kitab ini hanya dijadikan hiasan di lemari-lemari kaca yang mewah
maupun lusuh, disimpan dalam laci meja, bahkan hanya ditumpuk dengan buku-buku
lain semata-mata hanya untuk menunjukkan identitas siapa sebenarnya jati
dirinya. Al-Qur’an jarang dibuka, apalagi dibaca, diamalkan dan dipahami,
sehingga kehidupannya jauh dari tuntunan Illahi. Bahkan ketika mendatangi suatu
majelis taklim, kebanyakan umat islam tidak merasa bangga dengan membawa
Al-Qur’an untuk menyimak apa yang didakwahkan oleh sang mubaligh. Hal ini
berbeda jauh dengan saudara kita yang dengan bangga membawa kitab sucinya ketika setiap minggu mendatangi tempat ibadahnya.
Apa yang
sebenarnya menjadi penyebab sehingga umat islam tidak merasa bangga dengan
kitabnya? Ada masalah apakah yang membuat kebanyakan umat islam jarang membaca
dan mempelajari Al-Qur’an? Salah satunya alasan klise yang sering kita dengar
mengapa umat islam enggan mempelajari Al-Qur’an karena berbahasa arab, maka
kitab ini sulit untuk dibaca, dipelajari dan dipahami. Kalau boleh dibilang, sebenarnya alasan ini
hanya dibuat-buat untuk melindungi diri dari kemalasan.
Mengapa
umat islam begitu “alergi” dengan bahasa Arab? Bukankah Al-Qur’an petunjuk dan
pedoman hidup bagi seluruh manusia tanpa membedakan darimana asal bangsa, negara
dan bahasa. Apakah mempelajari dan memahami Al-Qur’an harus terlebih dahulu
pandai membaca bahasa arab dan sebatas mengetahui seluruh seluk beluk tata
bahasanya (ilmu tajwid, nahwu sharaf,
balaghah dan lain sebagainya)? Kalau ini yang menjadi alasan, tentu tidak masuk
logika akal sehat. Bukankah banyak orang-orang yang tinggal di Timur Tengah dan
pandai bahasa Arab, namun dalam
realita menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang justru tidak
memahami dan mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui Al-Qur’an sehingga tidak memeluk islam?
Kitabullah
diturunkan dalam bahasa Arab, karena memang Rasulullah Muhammad SAW berasal
dari Mekah (Timur Tengah). Tetapi hal ini bukannya dijadikan alasan bahwa umat
islam yang tidak mampu berbahasa arab tidak akan mampu mempelajari, mencerna
dan memahami isi ayat Al-Qur’an. Bahasa adalah masalah kebudayaan, dan di jaman
modern sekarang ini seiring dengan kemajuan teknologi percetakan dan hadirnya
para cerdik pandai (translater/pengalih bahasa), Al-Qur’an telah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa sehingga mudah dibaca, dipelajari,
dimengerti dan dipahami secara tekstual.
Memang akan lebih sempurna bila umat islam mampu menguasai bahasa arab, namun demikian
ini bukanlah satu-satunya jaminan (tolok ukur) untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an.
Orang yang pandai
bahasa Arab mungkin mampu menguasai Al-Qur’an secara tersurat (tekstual), namun secara tersirat (kontekstual) belum tentu. Mengapa? Karena Al-Qur’an adalah bahasa qalam
dan yang menjelaskan makna tersirat ayatnya
(takwil) tentunya
sang pemilik wahyu itu sendiri yaitu Allah SWT, bukan orang yang pandai bahasa
Arab atau pemegang otoritas agama.
Tugas para pemimpin
agama hanya sebatas menyampaikan isi kitab secara tersurat, dan memberikan metode membacanya melalui
ilmu nahwu sharaf, tajwid, balaghah, dan lain-lain. Sementara itu, untuk memahami takwilnya (ayat tersirat), masing-masing
umat islam harus belajar dan berguru sendiri kepada Allah SWT selaku pemilik wahyu,
sebagaimana yang
diperintahkan-Nya: “Barangsiapa lepas dari pengajaran-Ku, akan Aku jadikan
setan sebagai pemimpinnya. Sesungguhnya mereka disesatkan setan dari agama
tetapi mereka merasa mendapat petunjuk.” (QS.Az-Zukhruf 43:36-37).
Fenomena lain juga
menunjukkan, terkadang umat islam lebih memilih cara instan dengan mendengar
ceramah-ceramah agama, dan membaca buku islam. Tentu saja cara ini tidak salah,
namun yang patut disayangkan mengapa umat islam tidak mau melakukan cek dan
ricek apakah memang benar apa yang di dengar dan dibaca sesuai dengan isi
kandungan Al-Qur’an, sehingga dapat menambah kadar keimanan kita. Inilah yang
dinamakan mengaji. ...(Bersambung)
Untuk menambah wawasan beragama anda silahkan baca dan download E- Book Kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH dan jangan lupa sebelumnya juga telah terbit E-Book Pertama saya : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. Silahkan pelajari cara dan ketentuannnya. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar