Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Secara umum, memang
ada kesalah-kaprahan dalam memaknai kata “mengaji” yang hingga saat ini
dipahami hampir sebagian besar umat
islam, khususnya di
Indonesia. Mengaji diidentikkan sebatas dengan membaca dan atau menghafal
Al-Qur’an. Padahal secara tata bahasa kata “mengaji” berasal dari kata dasar
“kaji” yang artinya mendalami. Jadi ketika kata dasar “kaji” ditambah dengan
awalan “meng” maka artinya seseorang secara aktif harus mempelajari lebih
mendalam atas informasi yang diperolehnya. Baik itu saat mendengar tausyiah,
mendatangi majelis taklim, dan lain sebagainya. Itu mengapa Rasulullah Muhammad
SAW pernah bersabda, “Belajarlah dari ayunan (anak-anak) sampai liang
lahat”. Artinya, sungguh banyak ilmu pengetahuan dan hikmah yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
Lalu bagaimana cara mengaji
Al-Qur’an kepada Allah SWT?
Hakikinya semua umat islam dapat mempelajari dan memahami isi kandungan Al-Qur’an dengan cara
meneladani apa yang pernah
dicontohkan
Rasulullah SAW. Bukankah Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat semesta alam? Kalau
ada pendapat bahwa Allah SWT tidak mungkin mengajarkan isi kandungan Al-Qur’an kepada
umat islam yang awam dan hanya dikhususkan kepada para pemegang otoritas agama
saja, maka pendapat itu patut dipertanyakan.
Justru yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa kalau pemahaman isi Al-Qur’an dikhususkan kepada pemegang
otoritas agama, namun realita justru menunjukan sebaliknya? Misalnya, antara
satu pemegang otoritas agama dengan yang lainnya memiliki penafsiran berbeda
dalam memahami suatu ayat yang sama atau mengambil dalil ayat-ayat yang berbeda
(tidak holistik) dalam menjustifikasi (menyimpulkan) satu topik permasalahan
yang dihadapi umat? Mengapa hal ini bisa terjadi? Ambillah contoh tentang fatwa haram terhadap rokok di Indonesia. Antara satu tokoh
agama dengan lainnya berbeda dalam menyikapinya. Mengapa? Sebab di dalam
mengambil keputusan berdasarkan sudut pandang masing-masing dan terkadang pula melibatkan
sisi kepentingan (nafsu) kelompoknya. Islam yang sebenarnya bersifat universal
pada akhirnya menjadi simbol keagamaan, komunitas dan terkotak-kotak.
Al-Qur’an
adalah firman-firman suci dari Allah SWT, maka untuk mempelajari dan memahami
tentu saja tidak boleh melibatkan kepentingan (nafsu). Demikian pula dengan
otak manusia yang memiliki keterbatasan dan tidak dapat terhindar dari berbagai
bombamdir informasi yang terkadang mempengaruhi dalam mengambil keputusan. Al-Qur’an bukanlah pelita otak, tapi pelita
hati. Hanya hati yang jernih, bening dan bersih (suci) dari kepentingan yang
akan mampu menerima petunjuk dan pengajaran dari Allah SWT.
Sekali lagi saya
tekankan bahwa wahyu adalah bahasa qalam yang tidak diketahui oleh siapapun
kecuali pemilik ayat itu, yaitu Allah SWT. Wahyu adalah bahasa dialog antara
Sang Khalik dengan seluruh ciptaan-Nya yang akan diterangkan melalui takwil dan
ilmu pengetahuan-Nya. Bukankah di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memperingatkan kepada
umat islam bahwa kitab dan iman adalah rahasia-Nya? Ini berarti pemahaman
Al-Qur’an adalah hak prerogatif Allah SWT yang dijelaskan kepada hamba-hamba
pilihan-Nya, bukan hasil usaha manusia sendiri. “Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya
kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS.
Asy-Syura 42:52).
Dari ayat di atas
dapat disimpulkan bahwa yang berhak menjelaskan, menguraikan dan memahamkan takwil
atas ayat-ayat-Nya kepada manusia adalah sang pemilik wahyu itu sendiri, yaitu
Allah SWT, sebagaimana yang dialami Rasulullah Muhammad SAW dan hamba-hamba
pilihan-Nya. Kalau boleh di-analog-kan belajar Al-Qur’an ibarat seorang ilmuwan yang menemukan suatu teori setelah
sekian lama bergelut dengan eksperimen, pengamatan dan analisis, maka yang
mampu menjelaskan dan menguraikan teorinya secara mendetail tentunya sang ilmuwan
itu sendiri.
Kalau demikian
halnya, pertanyaan yang perlu mendapat jawab adalah “Apakah benar bahwa Al-Qur’an
diajarkan Allah SWT kepada setiap hamba yang bersedia belajar kepada-Nya tanpa
melihat latar belakangnya? Apakah pasca Rasulullah SAW wafat wahyu berhenti
atau tetap turun?Kalau wahyu tidak lagi turun, mengapa Al-Qur’an dikatakan
tidak akan lekang di telan zaman? Kalau wahyu masih turun, lalu apakah sama
kriteria wakyu di zaman Rasulullah
Muhammad SAW hidup dengan makna wahyu saat ini? Lalu bagaimana cara mengaji Al-Qur’an
kepada Allah SWT sehingga kita tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidup
ini? Langkah-langkah apa yang mesti dilakukan sehingga kita memahami isi
kandungan Al-Qur’an secara utuh dan holistik? Pertanyaan-pertanyaan ini insya
Allah akan diuraikan dalam E-Book saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH Selamat mendownload dan membaca. Dan silahkan download juga E-Book saya yang pertama berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH.
Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar