DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Selasa, 18 Juni 2013

AL-QUR’AN : ANTARA PEDOMAN, HIASAN DAN BEDA PENAFSIRAN (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Secara umum, memang ada kesalah-kaprahan dalam memaknai kata “mengaji” yang hingga saat ini dipahami hampir sebagian besar  umat islam, khususnya di Indonesia. Mengaji diidentikkan sebatas dengan membaca dan atau menghafal Al-Qur’an. Padahal secara tata bahasa kata “mengaji” berasal dari kata dasar “kaji” yang artinya mendalami. Jadi ketika kata dasar “kaji” ditambah dengan awalan “meng” maka artinya seseorang secara aktif harus mempelajari lebih mendalam atas informasi yang diperolehnya. Baik itu saat mendengar tausyiah, mendatangi majelis taklim, dan lain sebagainya. Itu mengapa Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Belajarlah dari ayunan (anak-anak) sampai liang lahat”. Artinya, sungguh banyak ilmu pengetahuan dan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Lalu bagaimana cara mengaji Al-Qur’an kepada Allah SWT? Hakikinya  semua umat islam dapat mempelajari dan memahami isi kandungan Al-Qur’an dengan cara meneladani apa yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Bukankah Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat semesta alam? Kalau ada pendapat bahwa Allah SWT tidak mungkin mengajarkan isi kandungan Al-Qur’an kepada umat islam yang awam dan hanya dikhususkan kepada para pemegang otoritas agama saja, maka pendapat itu patut dipertanyakan.
Justru yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kalau pemahaman isi Al-Qur’an dikhususkan kepada pemegang otoritas agama, namun realita justru menunjukan sebaliknya? Misalnya, antara satu pemegang otoritas agama dengan yang lainnya memiliki penafsiran berbeda dalam memahami suatu ayat yang sama atau mengambil dalil ayat-ayat yang berbeda (tidak holistik) dalam menjustifikasi (menyimpulkan) satu topik permasalahan yang dihadapi umat? Mengapa hal ini bisa terjadi?  Ambillah contoh tentang fatwa haram terhadap rokok di Indonesia. Antara satu tokoh agama dengan lainnya berbeda dalam menyikapinya. Mengapa? Sebab di dalam mengambil keputusan berdasarkan sudut pandang masing-masing dan terkadang pula melibatkan sisi kepentingan (nafsu) kelompoknya. Islam yang sebenarnya bersifat universal pada akhirnya menjadi simbol keagamaan, komunitas dan terkotak-kotak.
            Al-Qur’an adalah firman-firman suci dari Allah SWT, maka untuk mempelajari dan memahami tentu saja tidak boleh melibatkan kepentingan (nafsu). Demikian pula dengan otak manusia yang memiliki keterbatasan dan tidak dapat terhindar dari berbagai bombamdir informasi yang terkadang mempengaruhi dalam mengambil keputusan.  Al-Qur’an bukanlah pelita otak, tapi pelita hati. Hanya hati yang jernih, bening dan bersih (suci) dari kepentingan yang akan mampu menerima petunjuk dan pengajaran dari Allah SWT.
Sekali lagi saya tekankan bahwa wahyu adalah bahasa qalam yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali pemilik ayat itu, yaitu Allah SWT. Wahyu adalah bahasa dialog antara Sang Khalik dengan seluruh ciptaan-Nya yang akan diterangkan melalui takwil dan ilmu pengetahuan-Nya. Bukankah di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memperingatkan kepada umat islam bahwa kitab dan iman adalah rahasia-Nya? Ini berarti pemahaman Al-Qur’an adalah hak prerogatif Allah SWT yang dijelaskan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, bukan hasil usaha manusia sendiri. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Asy-Syura 42:52).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa yang berhak menjelaskan, menguraikan dan memahamkan takwil atas ayat-ayat-Nya kepada manusia adalah sang pemilik wahyu itu sendiri, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang dialami Rasulullah Muhammad SAW dan hamba-hamba pilihan-Nya. Kalau boleh di-analog-kan belajar Al-Qur’an ibarat seorang ilmuwan yang menemukan suatu teori setelah sekian lama bergelut dengan eksperimen, pengamatan dan analisis, maka yang mampu menjelaskan dan menguraikan teorinya secara mendetail tentunya sang ilmuwan itu sendiri.
Kalau demikian halnya, pertanyaan yang perlu mendapat jawab adalah “Apakah benar bahwa Al-Qur’an diajarkan Allah SWT kepada setiap hamba yang bersedia belajar kepada-Nya tanpa melihat latar belakangnya? Apakah pasca Rasulullah SAW wafat wahyu berhenti atau tetap turun?Kalau wahyu tidak lagi turun, mengapa Al-Qur’an dikatakan tidak akan lekang di telan zaman? Kalau wahyu masih turun, lalu apakah sama kriteria wakyu  di zaman Rasulullah Muhammad SAW hidup dengan makna wahyu saat ini? Lalu bagaimana cara mengaji Al-Qur’an kepada Allah SWT sehingga kita tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidup ini? Langkah-langkah apa yang mesti dilakukan sehingga kita memahami isi kandungan Al-Qur’an secara utuh dan holistik? Pertanyaan-pertanyaan ini insya Allah akan diuraikan dalam E-Book saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH Selamat mendownload dan membaca. Dan silahkan download juga E-Book saya yang pertama  berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH.
Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar