DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Selasa, 11 Juni 2013

MASYARAKAT MADANI (ANTARA PLURALITAS DAN PLURALISME)-1

MASYARAKAT MADANI
(ANTARA PLURALITAS DAN PLURALISME)-1

Assalamu’alaikum Wr. Wb.   
        
           Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib. Nama Yasrib sebenarnya diambil dari salah satu keturunan Nabi Nuh AS yang mendiami kota tersebut beserta keturunannya. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah terdiri atas orang muslim dan non-muslim. Bahkan menurut informasi, jumlah penduduk muslim saat itu hanya berjumlah 30% dari total masyarakat Madinah.
      Abdur Rosyid, dalam artikelnya berjudul Membangun Masyarakat Madani menuliskan bahwa Kata Madani berasal dari bahasa Arab  m-d-n  yang artinya menempati suatu tempat (Ar Raziy dalam Mukhtar as Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian dibentuk kata madinah yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan  kata al-madinah  adalah al-badiyah  yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk  jamaknya  adalah madain  atau mudun. Kata  madani  merupakan bentuk  dari  mashdar shina’iy, yang  menunjukkan arti  sifat  yang  dimiliki  orang  kota (min ahlil madinah).
           Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata madani --juga kata hadharah--, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization  yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam  konteks  hukum, madani  berarti  bukan pidana. Sehingga,  hukum perdata  sering  disebut qanun madani,  seperti  undang-undang  sipil  perkawinan  disebut  dengan qanun al-zawaj al-madani.
           Anwar Ibrahim mengartikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perseorangan dengan kestabilan masyarakat. Pelaksanaannya antara lain berupa pelaksanaan pemerintahan yang tunduk pada undang-undang dan terselenggaranya sistem yang transparan.
    Nurcholis Madjid mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.
          BJ Habibie pernah memerintahkan LIPI dan BP7 untuk merumuskan makna masyarakat madani yang lebih tepat untuk konteks Indonesia. Lantas apa bedanya? Menurut Dr Alfitra Salamm, peneliti pada LIPI dan BP7 yang mendapat tugas menginventarisasikan konsep masyarakat madani dari para cendekiawan se-Indonesia, konsep masyarakat madani tidak terlalu jauh berbeda dengan konsep civil society, yakni berintikan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tapi kalau civil society melulu bicara dalam paradigma politik, konsep masyarakat madani juga mengandung unsur keagamaan.
            Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas -- yang pernah mengadakan diskusi bertema "Masyarakat Madani or Civil Society"-- berusaha mempresentasikan bahwa paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal masa depan daripada konsep civil society. Menurut Hatta, istilah masyarakat madani yang dipopulerkan oleh Al Attas ini merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
            Namun bagi Ahmad Hatta, secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat Khulafaur-Rasyidin. Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
      Upaya Ahmad Hatta merujuk pada komunitas zaman Nabi itu tentu bukan sekadar mengada-ada serta bukan sebuah sikap pembelaan yang tanpa alasan. Sebab kecanggihan masyarakat yang pernah dibangun Nabi itu juga masih bisa dirunut jejaknya melalui sebuah piagam tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah).
        Inilah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
         Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama. Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-'adalah) Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen (baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan) kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka.
        Yang mungkin menjadi pertanyaan, bagaimana Rasulullah SAW bisa membangun sebuah masyarakat modern di tengah padang gersang dan dalam sebuah lingkungan yang dicitrakan tak beradab itu? Menurut Ahmad Hatta, masyarakat Madinah bernilai peradaban itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlaq. "Karena itu iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah," paparnya. Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan hukum masa itu, sehingga masyarakat madani yang diidealkan itu secara empiris pernah terwujud di muka bumi ini, bukan sekedar sebuah impian.

Bersambung....

Untuk menambah wawasan beragama anda silahkan baca dan download E-Book saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH DALAM BERMA'RIFATULLAH dan E-Book Kedua saya : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar