MASYARAKAT MADANI
(ANTARA PLURALITAS DAN
PLURALISME)-1
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Pada masa sebelum
Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib. Nama Yasrib sebenarnya diambil dari salah satu keturunan Nabi Nuh
AS yang mendiami kota tersebut beserta keturunannya. Ketika Nabi Muhammad
SAW hijrah dari Mekah, kota ini diganti
namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat
dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi
Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan
dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak
politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah terdiri
atas orang muslim dan non-muslim. Bahkan menurut informasi, jumlah penduduk muslim
saat itu hanya berjumlah 30% dari total masyarakat Madinah.
Abdur Rosyid, dalam artikelnya berjudul Membangun Masyarakat Madani
menuliskan bahwa Kata Madani berasal dari bahasa Arab
m-d-n yang artinya menempati suatu tempat (Ar Raziy dalam Mukhtar as
Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian dibentuk kata madinah yang berarti
kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata
al-madinah adalah al-badiyah yang berarti kehidupan yang masih
nomaden. Bentuk jamaknya
adalah madain atau mudun. Kata madani merupakan
bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti
sifat yang dimiliki orang kota (min ahlil madinah).
Hanya saja dalam
perkembangan berikutnya, kata madani --juga kata hadharah--, ini digunakan
oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization.
Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization yang sering
dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks
perangkat negara, madani memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam
konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga,
hukum perdata sering disebut qanun madani, seperti
undang-undang sipil perkawinan disebut dengan qanun
al-zawaj al-madani.
Anwar Ibrahim
mengartikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang diasaskan
kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perseorangan
dengan kestabilan masyarakat. Pelaksanaannya antara lain berupa pelaksanaan
pemerintahan yang tunduk pada undang-undang dan terselenggaranya sistem yang
transparan.
Nurcholis Madjid
mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban
(ber-“madaniyyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran
kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada
hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum
(lawless) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang
penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.
BJ Habibie pernah
memerintahkan LIPI dan BP7 untuk merumuskan makna masyarakat madani yang
lebih tepat untuk konteks Indonesia. Lantas apa bedanya? Menurut Dr Alfitra
Salamm, peneliti pada LIPI dan BP7 yang mendapat tugas menginventarisasikan
konsep masyarakat madani dari para cendekiawan se-Indonesia, konsep
masyarakat madani tidak terlalu jauh berbeda dengan konsep civil society,
yakni berintikan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tapi kalau civil society
melulu bicara dalam paradigma politik, konsep masyarakat madani juga
mengandung unsur keagamaan.
Cendekiawan
Malaysia Profesor Naquib Al-Attas -- yang pernah mengadakan diskusi bertema
"Masyarakat Madani or Civil Society"-- berusaha mempresentasikan
bahwa paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal masa
depan daripada konsep civil society. Menurut Hatta, istilah masyarakat madani
yang dipopulerkan oleh Al Attas ini merupakan terjemahan dari kosa kata
bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti.
Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata
bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban,
karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau
madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai
civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa
berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai peradaban.
Namun bagi Ahmad
Hatta, secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama
di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh
keempat Khulafaur-Rasyidin. Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul
tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural
mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini
sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui
oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief
(1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya terhadap agama-agama
besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah itu merupakan
masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah
melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan
pembangunan sistem politiknya.
Upaya Ahmad Hatta
merujuk pada komunitas zaman Nabi itu tentu bukan sekadar mengada-ada serta
bukan sebuah sikap pembelaan yang tanpa alasan. Sebab kecanggihan masyarakat
yang pernah dibangun Nabi itu juga masih bisa dirunut jejaknya melalui sebuah
piagam tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah).
Inilah dokumen
penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala
itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan
konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat
Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam
Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan
tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi
manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi
Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal
Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama,
antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka
berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan
pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama,
membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan
beragama. Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam
Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua
nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi
pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan
keadilan (al-musawwah wal-'adalah) Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Oleh
sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen
(baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan) kedudukannya sama,
masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas
dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk
membela Madinah tempat tinggal mereka.
Yang mungkin
menjadi pertanyaan, bagaimana Rasulullah SAW bisa membangun sebuah masyarakat
modern di tengah padang gersang dan dalam sebuah lingkungan yang dicitrakan
tak beradab itu? Menurut Ahmad Hatta, masyarakat Madinah bernilai peradaban
itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah melakukan reformasi dan
transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu
yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlaq. "Karena itu iman dan
moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah," paparnya. Semua
prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik,
ekonomi dan hukum masa itu, sehingga masyarakat madani yang diidealkan itu
secara empiris pernah terwujud di muka bumi ini, bukan sekedar sebuah impian.
Bersambung....
Untuk menambah wawasan beragama anda silahkan baca dan download E-Book saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH DALAM BERMA'RIFATULLAH dan E-Book Kedua saya : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.
Marilah kita tetap ISTIQOMAH
untuk meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar