DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (18)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (18)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

18. TAJALI KE-ESAAN, TIADA KEMAMPUAN HAMBA

Penampakan Allah kepada hambanya disebut Tajalli. Menurut pandangan sufi, Tajalli Allah Ta’ala adalah Dia menampakkan dirinya sendiri tanpa ada yang lain dari Dia, dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya, nur-Nya yang ‘Laisa kamitslihi syai’un,’ (tidak ada sesuatu dan satu apapun yang seumpama/menyamai-Nya). Tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat dirangkai.

Allah SWT, bisa saja Tajalli kepada makhluknya. Sepeti tajalli pada Bukit Sin (Thursina), dalam peristiwa dialog antara Allah dengan Nabi Musa AS. Bukit Sinna hancur, dan Musa AS pun tak sadarkan diri. Dengan peristiwa itu Allah nyata. Namun mata kepala tak mampu melihatnya. Itu disebabkan keterbatasan mata.

Mengenai Allah tajalli, bisa saja kepada siapa saja. Terutama pada rasul-rasul/nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. Atau kepada siapapun yang dikehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan masalah ini.

Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperoleh Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari zat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin. Tetapi pandangan syuhud.

Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan tajalli pada hamba-Nya yang dikehendaki. Karenanya, disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:

Ingsun tajallining dzat
Kang Maha Suci
Kang Amurba amisesa
Kang kawasa angandika Kun Fayakun
Dadi sak ciptaningsun
Ana sak sedyaningsun
Teka sak kersaningsun
Metu saka kodratingsun

Red : Dalam berdo'a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW : "Shalatlah seperti engkau melihat shalatku".

Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, dibutuhkan ketekunan. Idep, mantep, madep, lan tetep. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.

Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’. Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’. Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”

Dialog
Kalau Allah sudah tajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi.

Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).

Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasa (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.

Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebahpun mendapat perintah. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai.

Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.

Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku diketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.

Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

1 komentar:

  1. doa itu bisa di translate ke bahasa melayu biasa tidak, saya tidak bisa faham bahasa jawa, saya orang melayu malaysia

    BalasHapus