DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label tafakur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafakur. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (22)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (22)-SELESAI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

22. HAKIKAT RUH CERMIN KETUHANAN

Tuhan tidak ada di luar. Tuhan ada di dalam diri kita sendiri. Bahkan lebih dekat dari urat leher. Karenanya, jika dicari diluar tidak akan ketemu. Harus dicari di dalam diri sendiri. Al-Haq ada di dalam hati. Kalau kita mampu membuka mata hati, Insya Allah akan menemukan Nurrul Haq. Kuncinya adalah dengan menyibakkan (membuka) tabir yang menutupi pandangan mata hati kita untuk menemukan hakikat ruh. Apabila sudah menemukan hakikat ruh kita, maka Nurrul Haq akan hadir seperti tampaknya matahari pada siang hari.

Orang yang menuntut atau mencari Tuhan disebut Salik. Perjalanan pencarian Tuhan itu cukup panjang dan memakan waktu sangat lama, selama umur kita. Itupun belum tentu ketemu, manakala Allah sendiri yang tidak menghendaki. Para Wali, Auliya sampai pada Ittihad atau Hulul dan setingkat dibawahnya (makrifatullah), membutuhkan waktu rata-rata lebih dari 30 tahun penggemblengan.

Kunci utamanya adalah kepasrahan. Pasrah secara total, dalam arti pasrah yang sebenar-benarnya pasrah. Tidak takut sengsara dan lapar, tidak berharap surga dan takut neraka. Makanan yang dimakan harus yang halal, dan tidak berlebihan, serta sedikit tidur dan bersungguh-sungguh menjauhi keduniaan. Kendati demikian, haruslah rajin bekerja dan giat beribadah. Memperbanyak amal saleh, menjaga penglihatan dan pendengaran, serta rajin berpuasa dan memperbanyak zikir. Tujuannya adalah wuquf Qalbi.

WUQUF QALBI
Seorang salik (pencari), jika perjalanannya sudah sampai pada wuquf qalbi (penghentian hati), maka harus mengosongkan dulu semua pemikiran-pemikiran, kemudian melemaskan seluruh kekuatannya/tenaganya dan penginderaannya dari semua alat penginderaan. Lalu melepaskan nafsunya dalam proses menggerakkan organ tubuh. Setelah itu, pandangan mata hatinya berhadap kepada hakikat hati, yang menurut ajaran ‘istighfaraq dan ishtihlak’ (tenggelam dan sirna) dilakukan secara terus menerus. Apabila tawajjuhnya meningkat kepada hakikat hati, maka bertambah pulalah makrifatullahnya kepada Tuhan Yang Maha Suci. Tawajjuh adalah penggerakan pandangan mata hati (Sirajudin Thalibin).

Inti wuquf qalbi adalah pencarian hakikat ruh yang ada dalam diri. Cara pencarian itu harus melalui ijazah khusus oleh seorang Mursyid kamil, bukan ijazah secara umum. Sebab, jika terjadi sesuatu ada yang membimbingnya. Karenanya, yang diulas ini hanyalah kulit luarnya saja, dalam artian belum menyangkut esensi yang mendalam.

Dalam Sirajudin Thalibin disebutkan, siapa yang menghadapkan (tawajjuh) pandangan hatinya kepada ruhnya sendiri, niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada ‘Hidlarat ketuhanan’ dari segala rahasia. Maka ia akan sampai kepada makrifat Tuhannya dengan makrifat syuhudi (penyaksian). Karena hakikat ruh-kemanusiaan adalah seperti cermin untuk Hidlarat Ketuhanan, yang, padanya terdapat ‘quwwatul ‘aqliyah’ (kekuatan pikiran murni) yang merupakan Jauhar Illahi. Siapa yang terbuka baginya Jauhar itu, dia dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah, rahasia nama-nama-Nya dan rahasia Dzat-Nya dengan tersisihnya bayangan, dan dia melihat pula semua keadaan pikiran penginderaan.

Jalan lain bertawajjuh ke daerah hati bagi salik adalah harus mengosongkan segala macam kesibukan/pemikiran, lalu memandang/mengamati tubuhnya pada titik tengah hati itu seperti bola, selanjutnya ia rasakan ruhnya menembus lapisan-lapisan langit dan bumi, kemudian tenggelam dalam pandangan/pengamatan itu secara terus menerus, dan harus kembali lagi kepandangan/pengamatan itu manakala lupa atau lalai dengannya, sampai kepada hilang/fana dari pandangan tubuhnya yang seperti bola bundar itu.

Berikutnya, si salik melemaskan seluruh kekuatan dan penginderaannya. Setelah wuquf qalbi berhasil, tampaklah baginya Ruh Yang bersifat Ruhani semata-mata bersih cemerlang dan sirnalah semua apapun dalam kandungan langit dan bumi pada ke-nurani-an itu. Sehingga tidak ada sisa sedikit pun dalam pandangan yang ada ini selain ruhnya, yang mana ruh itu adalah ‘amrun illahi (urusan Tuhan). Setelah itu, sirnalah cahaya ruh berhubungan dengan Nurul Haqqi Allah SWT.

Tampaknya Nurul Haq mengalahkan semua cahaya-cahaya, dan cahaya-cahaya itu padam ketika Nurul Haq tampak, sebagaimana padamnya cahaya lampu ketika tampak nyata cahaya matahari. Ketika itu tak ada yang lebih tampak kecuali Nurul Haq. Dialah wujud mutlak, Maha Tampak Ke-Agungan-Nya.

GODAAN
Yang perlu diingat bahwa dalam perjalanan pencarian, tiba-tiba seseorang memperoleh karomah/kelebihan diluar akal, yang dapat mendatangkan harta dan kenikmatan duniawi. Hal itu merupakan godaan. Kalau terpengaruh, maka bisa menghambat perjalanan, bahkan bisa terperosok kederajad yang rendah. Sebab, kembali ke keduniawian. Sedangkan hal itu bukanlah tujuan. Tujuannya adalah Allah SWT.

Demikian ulasan tentang tafakur. Adanya kesalahan dan kekurangan yang didasari keterbatasan saya, semoga Allah SWT mengampuni, menghidayahi, dan merahmati kepada kita semua. Amin ya Rabbal'alamin.

Selesai

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (21)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

21. PUASA KUNCI PINTU KEGAIBAN

Tentunya pembahasan ilmu tidak akan ada habis-habisnya. Sebab, diibaratkan ilmu itu, “yen ginelar ngebaki jagat”, yen ginulung sak mrica jinumput gedene.” Karenanya, bahasan tafakur kita sampailah pada kunci cara belajar mendalami ilmu menuju Tuhan. Bagaimana kuncinya?

Tuhan sifatnya gaib, untuk menuju-Nya harus melalui jalan gaib pula. Yaitu melakukan kontak dengan alam gaib. Perjalanan menuju kegaiban tidak lain dengan berpuasa, menyatu dengan alam, dan berzikir. Namun, bukan berarti harus pergi menyendiri ke hutan atau masuk gua kemudian bertapa (Uzlah). Didalam keramaian juga bisa dilakukan. Dalam istilah Jawa disebut tapa “ngrame” (berpuasa dalam keramaian dunia). Tetapi, etimologi (istilahnya) harus minggir dari keramaian artinya di dalam keramaian kita harus bisa ‘mensunyikan’ kalbu. Mengambil posisi diperbatasan antara alam nyata dan alam kegaiban. Minggir, istilah Jawanya Nepi. Tembung ‘Nepi’ merupakan kepanjangan dari “meneping pikir”

Dalam konsepsi tasawuf Jawa, manusia terbagi menjadi tiga bagian alam. Masing-masing; kepala yang didalamnya terdapat otak, dinamakan ‘Baitul Makmur’ (tempat keramaian), bagian tengah adalah Dada yang didalamnya terdapat hati nurani, disebut ‘Baitul Muharram’ (tempat kesucian), dan bagian terbawah adalah Kemaluan yang disebut ‘Baitul Muhadas’ (tempat kotor atau nafsu).

Alam pikir atau tempat keramaian semuanya terdapat di dalam kepala. Segala macam keinginan, keruwetan, dan bermacam-macam angan-angan, yang bersifat keduniaan bersumber dari alam pikir. Karenanya harus dijernihkan sejernih mungkin. Segala keinginan selain Allah harus dihilangkan. Hal ini tentunya membutuhkan pelatihan. Sebab, jika dilakukan secara spontan jelas tidak mungkin. Karena itu itu untuk memahami ilmu tasawuf membutuhkan waktu sangat lama.

Baitul Muhadas, tempat nafsu. Disebut demikian, sebab segala keinginan, pemikiran jahat, perbuatan angkara murka, perbuatan mungkar, sumbernya adalah nafsu. Maka harus dikalahkan. Dihilangkan. Jalan menghilangkannya dengan cara menyendiri. Menjauhi keramaian. Jika sudah dari keramaian, jauh dari dunia dan seisinya, maka nafsu bisa menjadi lemah.

Tak terkecuali hati. Tempat suci ini bisa dikotori akibat terpengaruh oleh samudra alam pikir, dan dorongan nafsu yang bersumber dari kemaluan. Seperti iri dengki, riya’, tamak, dan sebagainya. Karena itu, untuk memohon ampunan kepada Allah SWT, harus memohonkan ketiga-tiganya.

Perbatasan Gaib
Perbatasan antara dunia ramai dengan dunia gaib di dunia keramaian ini adalah kesunyian. Di dalam kesunyian kita harus menyendiri. Sedangkan kesunyian itu bukan berarti harus berada di tengah hutan atau di dalam gua. Tetapi bisa juga ditengah malam yang senyap. Pada lebih tengah malam itu, kesibukan nyaris berhenti. Semua makhluk pada terlelap dalam tidur dan asyik masyuk di alam mimpi. Pada waktu itulah kita bangun, kemudian bersuci lalu beribadah, memperbanyak salat sunah dan zikir. Juga tidak meninggalkan salat sunah nawafil lainnya seperti salat Isra’ Dhuha, qobliyah dan ba’diyah.

Aktivitas demikian ini harus dilakukan secara istiqamah (kontinyu). Istilah yang sering disinggung, idep, madep, mantep dan tetep. Idep artinya memiliki tekad yang sungguh-sungguh. Madep artinya menghadap/ menyongsong kehidupan yang akan terjadi. Mantep artinya penuh keyakinan lahir batin. Dan Tetep artinya istiqamah (kontinyu), terus menerus tak kenal lelah dan susah.

Dalam menjauhi dunia seisinya, konsepsinya harus ‘mbudeg lan micek’. Mbudek artinya tidak mendengarkan suara yang isinya menjurus keduniawian (dicela dan disanjung sama saja). Micek (membutakan diri) artinya tidak memperhatikan sekelilingnya yang tidak ada arti dan manfaatnya.

Disisi lain, dalam menjalankan ketafakuran juga harus memperhatikan tatakrama. Baik soal makan, bekerja, beribadah, dan lainya. Seyogyanya meniru apa saja yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Yang tidak kalah pentingnya, hendaknya memperhatikan waktu ijabah. Malam-malam dan hari-hari yang mulia. Sebab, pada saat-saat itulah rahmat dan karunia Allah diturunkan. Karenanya, paling afdal dipergunakan memperbanyak salat sunnah dan zikir, serta berpuasa pada siang harinya. Tidak lupa berdoa dan memohon ampunan pada Illahi Robbi.

Waktu Ijabah
Mengenai waktu-waktu ijabah yang sangat penting untuk dipergunakan memperbanyak ibadah, disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ada 15 malam, yaitu malam ke 7 dan 10 hari terkhir di bulan Ramadhan. Malam Nisfu Sa’ban, malam ke 27, yaitu malam Mi’raj, malam hari di malam dua Id, malam Jumat dan banyak lagi.

Nabi Muhammad bersabda: “Orang yang beramal di malam tersebut di atas mendapat kebaikan-kebaikan 100 tahun. Maka siapa yang shalat di malam-malam tersebut melaksanakan shalat 12 rakaat dengan membaca Fatihah dan surat Qoof dalam setiap rakaatnya, membaca tasyahut dalam setiap dua rakaat, dan memberikan salam pada akhirnya. Kemudian membaca: “Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar, 100 kali dan memohon ampunan (istghfar) 100 kali, salawat Nabi 100 kali, dan mendoakan dirinya sekehendaknya tentang urusan dunia dan akhirat, serta berpuasa di pagi harinya, maka Allah Ta’ala akan mengabulkan seluruh doanya, kecuali maksiat.”

Sabda Nabi SAW: “Barang siapa menghidupkan dua malam Id, tidaklah mati hatinya disaat banyak hati manusia telah mati.” Dan malam terakhir Zulhijah yang memiliki keutamaan besar. Selesailah seperempat kitab tentang ibadah dan disusul seperempat kitab tentang adat.

Tidak lupa pula membaca Al-Quran. Pentingnya membaca, dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi: “Tidaklah ada juru safaat yang utama derajatnya disisi Allah pada hari kiamat daripada Al-Quran, bukan Nabi, bukan Malaikat, dan bukan lainnya.”

Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa Allah Azza wa Jalla membaca surat Thaha dan Yasiin 200 tahun sebelum menciptakan makhluk. Tatkala malaikat mendengar Al-Quran, mereka berkata, “Beruntunglah umat yang diturunkan Alquran ini kepada mereka, dan beruntunglah rongga tubuh yang mengandung Alquran ini serta beruntung pula lisan yang membacanya.”

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (20)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (20)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

20. BENARKAH MANUSIA DUPLIKAT TUHAN?

Bahasan soal ittihad dan hulul, tentunya tidak lepas dari Ibnu Arabi. Tokoh sufi besar abad ke-12 ini, menyikapi pengalaman dua senior sejawatnya yakni Abu Jazid dan Al-Halaj, lebih arif. Ia membawa ajaran kesatuan wujud antara makhluk dengan Tuhan itu lebih mudah dipahami. Dalam terminologi tasawuf dikenal dengan istilah Wahdat al-Wujud. Ajaran apakah yang dimaksudkan?

Wahdatul Wujud konsepsi Ibnu Arabi adalah sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud yang sejati kecuali Allah Yang Maha Mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya. Pengertian yang bisa dipahami, segala perwujudan yang ada didunia, termasuk manusia, serta makhluk-makhluk gaib, sesungguhnya hanyalah semu belaka. Yang Nyata dan Mutlak hanyalah Allah semata.

Ajaran Wahdatul al-Wujud, prosesi perjalanannya menuju pada ajaran insan Kamil. Penjabarannya, sebelum adanya segala sesuatu, Tuhan hanya sendirian. Ibaratnya, Tuhan pada awalnya adalah “harta” yang tersembunyi. Kemudian Ia ingin dikenal, lalu menciptakan makhluk, sehingga melalui makhluk-makhluk-Nya Ia dikenal.

Alam sebagai makhluk adalah penampakan diri dari Tuhan (Tajalli). Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bergantung wujud Tuhan. Itulah ajaran Ibnu Arabi dalam Wahdatul al-Wujud.

Taraqqi
Ajaran wahdatu al-wujud dengan Tajalli Tuhan, lebih jelas dan nyata pada diri seorang ‘Insan al-Kamil’ (manusia sempurna). Tuhan bertajalli secara sempurna dalam diri insan kamil. Bagaimana untuk bisa menjadi insan kamil? Maka seorang sufi harus mengadakan Taraqqi (pendakian) melalui tiga tahapan, yaitu hidayah, tawasut, dan khitam.

Ketiga hal tersebut terdapat pada diri para Nabi dan para Wali. Nabi Muhammad SAW merupakan penampakan insan kami yang paling sempurna (kamil mukamil). Realita membuktikan, bahwa dalam menjalankan tugas sebagai seorang Rasul, beliau sama sekali tidak pernah menyakiti ummatnya. Tidak pernah memohon kepada Allah untuk membinasakan umatnya yang biadab (kafir) seperti yang dilakukan nabi-nabi pendahulunya. Ketika bermandikan darah lantaran terkena lemparan batu, dan malaikat Jibril pun marah kemudian menawarkan kepada Rosululloh SAW agar Jibril diperkenankan untuk membunuh mereka Namun apa jawaban Rosululloh SAW? Beliau melarang Jibril dan justru memohonkan kepada Allah agar diampuni karena yang berbuat demikian tidak mengerti. Rosululloh SAW berpandangan kalaupun mereka saat ini mereka kafir, mungkin anak keturunannya atas rahmat dan hidayah Allah ada yang menjadi muslim. Betapa mulianya akhlak Rosululloh SAW. Bagaimana dengan kita? umatnya yang mengaku-aku mengikuti Sunnah Beliau!.

Insan kamil adalah sebuah tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai suatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Kesempurnaan itu adalah sifat Tuhan. Jadi, insan kamil punya tugas sebagai penguasa alam, dan mediator yang mendatangkan syafaat.

Manusia Duplikat Tuhan?
Dengan demikian, konsepsi Ibnu Arabi tentang Wahdatul Wujud, insan kamil adalah duplikat Tuhan (nuskhah al-haq). Yaitu nur Muhammad yang merupakan tempat penjelmaan (tajalli) asma’, dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah-Nya dimuka bumi.

Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua dimensi hubungan. Yang pertama dimensi kealaman sebagai asas pertama untuk penciptaan alam, dan kedua dimensi kemanusiaan, yaitu sebagai hakikat manusia.

Dari dimensi kealaman, hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang diciptakan oleh Allah SWT lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun ini tidak mengandung makna pencapaian tujuan dari tujuan diciptakannya kenyataan-kenyataan yang ada. Karena semuanya yang ada masih merupakan tempat penampakan (tajalli) dari yang masih kabur. Sebab, belum cukup dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah SWT yang di-tajalli-kan atasnya.

Dimensi kemanusiaan, hakikat Muhammad merupakan insan kamil yang dalam dirinya terkandung himpunan realitas. Pada tahap inilah penampakan Dzat Tuhan menjadi sempurna. Disebut insan kamil karena ia merupakan suatu manifestasi kesempurnaan dari Tuhan, dan karena kesadarannya melalui pengalaman sufistiknya, tentang makna pokok dari penyatuan esensialnya dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sempurna adalah miniatur realitas (Tuhan dan alam). Dalam tubuh manusia terdapat kesamaan-kesamaan yang ditakdirkan antara mikrokosmos dan makrokosmos.

Ada sebuah hadist yang cukup berpengaruh, “Inna Allaha khalaqa Adama ‘Ala shauratih.” (Sesungguhnya Allah swt menjadikan Adam atas bentuk-Nya.”)

Dalam sebuah risalah menguraikan, sebelum Allah menciptakan manusia (Adam), Dia melihat pada Diri-Nya sendiri (tajalli al-Haq linafsihi). Dalam kesendirian-Nya, terjadilah dialog antara Tuhan dengan Diri-Nya sendiri. Suatu dialog yang tidak mengandung kata dan huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya (syahada sabahati dzatihi fi dzatihi). Dia melihat Dzat-Nya dan Dia cinta pada-Nya sendiri. Maka, Dia pun mengeluarkan yang tiada bentuk (duplikat/copy) dari Diri-Nya. Bentuk atau copy (tiruan) itu adalah Adam dijadikan Tuhan dalam bentuk copy-Nya.

Dengan demikian, konsepsi manusia yang sesungguhnya itu hanyalah satu. Yaitu Nabi Adam AS. Karenanya, keberadaannya langsung memperoleh kemuliaan sebagai penghuni surga. Sedangkan keberadaan manusia didunia yang seseorang sendiri tak mampu menghitung jumlahnya, tidak lain adalah turunan manusia.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (19)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

19. ITTIHAD

Tajalli-nya Tuhan pada diri seorang hamba merupakan puncak makrifat. Bahasan makrifat, tidak lepas dari dunia sufisme. Tokoh sufi yang sudah sampai pada stasiun makrifat adalah Rabiah al-Adawiyah. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Namun, banyak tokoh yang tidak puas hanya sampai pada makrifat. Mereka ingin meningkatkan lagi menuju Ittihad (peleburan/ penyatuan diri dengan Allah). Menurut konsepsi sufisme Jawa dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawula ing Gusti”

Bagaimana perjalanan menuju Ittihad?
Dzunnun al-Misri, salah satu tokoh sufi abad ke 8 mengemukakan bahwa makrifat adalah anugerah Allah kepada sufi yang telah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cintanya yang suci dan ikhlas itulah akhirnya Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir tersebut akhirnya ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan yang abadi.

Ketika Dzunnun al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh makrifat, ia menjawab, “Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan karunia-Nya. Sekiranya bukan karena Tuhan, aku tidak akan pernah melihat dan tidak tahu Tuhan.”
K
ata-kata seorang tokoh sufi tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba tidaklah bisa apa-apa. Walaupun tingkat ketakwaannya membuat para Malaikat kagum, seperti kisah Barshisah pada zaman Nabi Musa AS, tak berarti apa-apa jika Allah Ta’ala belum memancarkan karunia-Nya kepada hati seseorang. Apa lagi tidak bertakwa, setidaknya hanya sekedar memenuhi syariat saja.

Ittihad
Seorang sufi yang dapat menangkap cahaya makrifat dengan mata hatinya, maka kalbunya akan dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Maka tidak mengherankan, jika seorang sufi merasa tak puas hanya sampai maqam makrifat saja. Ia ingin mengadakan "penyatuan" dengan Tuhan, yang dengan istilah sufi dikenal dengan sebutan "ittihad, hulul".

Dua orang tokoh sufi termasyur pada abad ke 8 hingga kini yang berpengalaman "ittihad" adalah Abu Jazid al-Bustami dan Al-Hallaj. Keduanya dianggap kontroversi dan gila, bahkan di cap kafir karena mengaku Tuhan. Di Jawa yang terkenal adalah Syech Siti Jenar.

Proses sebelum sampai maqam ittihad, ia akan mengalami Fana’ dan Baqa. Yang disebut Fana’ adalah hilangnya kesadaran. Mengenai fana’ Al-Qusyairi mengatakan, “Fana’ seorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi ketika hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain.”

Maksudnya, diri seorang yang sudah sampai maqam ittihad tetap ada. Demikian pula makhluk lain. Tetapi ia tidak sadar lagi tentang dirinya dan makhluk lain. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk-makhluk lain, akhirnya lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan, sampai akhirnya terjadilah pengalaman ittihad.

Ada sebuah istilah Jawa, wujud manusia hidup pada umumnya merupakan “curiga manjing warangka.” Jika sudah manunggal dengan Tuhan, konsepsinya berbalik, “Warangka manjing curiga.” Artinya, jasad terbungkus oleh jiwa (ruh). Karenanya tidak terlihat apa-apa. Dirinya yang berwujud badan wadag, termasuk makhluk-makhluk lain tidak terlihat. Yang terlihat dirinya sendiri sedang bersama Dzat Tuhan.

Teopatis
Tatkala sampai ambang pintu ittihad, dari bibir seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil, dalam istilah tasawuf peristiwa ini disebut syatahat (ungkapan teopatis). Diantara ungkapan-ungkapan teopatis yang pernah dituturkan Abu Yazid al-Bisthami, “Sesungguhnya akulah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”

Di kalangan kaum sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan oleh lidah Abu Yazid al-Bisthami. Tetapi itu tidak berarti Abu Yazid mengaku sebagai Tuhan. Mengakui dirinya sebagai Tuhan adalah dosa besar. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk dapat mendekati Tuhan, seorang sufi harus bersih dari dosa dan terhindar dari hal-hal yang berbau subhat (meragukan).

Jika saja Abu Jazid berdosa besar, maka Abu Jazid pasti akan jauh dari Tuhan, dan tidak mungkin orang yang berdosa besar dapat melihat Tuhan. Apalagi dapat "menyatu (ittihad)". Maka, hakikat ucapan tersebut sesungguhnya Allah-lah yang mengatakan bahwa dirinya Tuhan yang wajib disembah, melalui lidah Abu Jazid al-Bisthami, sebagai tanda limpahan cinta Tuhan kepada Hamba-Nya.

Seorang tokoh sufi lain yang mengalami ittihad adalah Husain ibn Manshur al-Hallaj. Namun pengalaman al-Hallaj tidak disebut ittihad, tetapi dinamakan al-Hulul. Menurut Al-Hallaj, manusia memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat Nasut (kemanusiaan) dan sifat Luhut (Ketuhanan). Dengan membersihkan diri melalui ibadah, maka Nasut manusia akan lenyap dan muncullah sifat Luhutnya. Kemudian berikutnya, terjadilah pengalaman Hulul. Ketika terjadi Hulul, keluarlah ucapan-ucapan teopatis.

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (18)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (18)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

18. TAJALI KE-ESAAN, TIADA KEMAMPUAN HAMBA

Penampakan Allah kepada hambanya disebut Tajalli. Menurut pandangan sufi, Tajalli Allah Ta’ala adalah Dia menampakkan dirinya sendiri tanpa ada yang lain dari Dia, dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya, nur-Nya yang ‘Laisa kamitslihi syai’un,’ (tidak ada sesuatu dan satu apapun yang seumpama/menyamai-Nya). Tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat dirangkai.

Allah SWT, bisa saja Tajalli kepada makhluknya. Sepeti tajalli pada Bukit Sin (Thursina), dalam peristiwa dialog antara Allah dengan Nabi Musa AS. Bukit Sinna hancur, dan Musa AS pun tak sadarkan diri. Dengan peristiwa itu Allah nyata. Namun mata kepala tak mampu melihatnya. Itu disebabkan keterbatasan mata.

Mengenai Allah tajalli, bisa saja kepada siapa saja. Terutama pada rasul-rasul/nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. Atau kepada siapapun yang dikehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan masalah ini.

Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperoleh Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari zat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin. Tetapi pandangan syuhud.

Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan tajalli pada hamba-Nya yang dikehendaki. Karenanya, disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:

Ingsun tajallining dzat
Kang Maha Suci
Kang Amurba amisesa
Kang kawasa angandika Kun Fayakun
Dadi sak ciptaningsun
Ana sak sedyaningsun
Teka sak kersaningsun
Metu saka kodratingsun

Red : Dalam berdo'a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW : "Shalatlah seperti engkau melihat shalatku".

Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, dibutuhkan ketekunan. Idep, mantep, madep, lan tetep. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.

Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’. Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’. Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”

Dialog
Kalau Allah sudah tajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi.

Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).

Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasa (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.

Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebahpun mendapat perintah. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai.

Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.

Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku diketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.

Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (17)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (17)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

17. NURUL BASHIRA,TERLIHATNYA TUHAN DI DUNIA

Bisakah manusia melihat Tuhan? Kenapa tidak? Setiap muslim yang bertaqwa sudah menginginkan. Namun, tidak sedikit pendapat yang menyangsikan. Dalihnya, Tuhan bersifat gaib. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Apabila menghendaki seorang hamba dapat melihat-Nya, maka terlihatlah.

Soal melihat Tuhan, ada dua pendapat. Sebuah keyakinan mengatakan bahwa Tuhan hanya bisa dilihat di akhirat saja. Namun pendapat yang satunya menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya bisa dilihat di akhirat saja, tetapi di dunia ini juga dapat dilihat. Yaitu dengan mata batin (Bashirah). Yang sudah dapat melihat Tuhan adalah orang yang sudah terbuka tirainya yang lazim disebut Kasyaf.

Di dalam ilmu Tauhid, konsepsi melihat Tuhan itu disebut Ihsan. Yang merupakan buah dari Islam dan Iman. Sedangkan Ihsan, dijelaskan di dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar R.A, bahwa ihsan adalah “Jika engkau menyembah Allah SWT (shalat), seakan-akan engkau melihat-Nya, namun bila engkau tidak mampu maka bersikaplah seakan-akan engkau dilihat Allah.”

Di dalam Al-Hikam diterangkan, ibadah shalat tidak tergolong suatu ibadah yang Ihsan atau baik, manakala tidak disertai perasaan seperti sungguh-sungguh melihat Tuhan. Bagaimana perasaan melihat Tuhan? Sudah barang tentu tidak bisa dijelaskan dan digambarkan. Hal tersebut merupakan pengalaman ruhani. Intinya menyangkut masalah rasa. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Menuju Ihsan sangatlah berat. Karenanya Allah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 45-46, yang artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu sulit, kecuali orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang meyakini berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka kembali kepada-Nya.”

Di Akhirat
Pendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat di akhirat, memakai landasan surat Al-Qiyamah ayat 22 & 23, yang artinya: “Wajah-wajah penuh ceria memandang kepada Tuhannya.” Itu merupakan buah ketakwaannya saat menjalani kehidupan di dunia. Bagi mereka yang kadar ketakwaannya tipis, tidak akan dapat melihat Tuhan.

Di dalam surat Yunus ayat 26 ditegaskan, “Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat Tuhan).” Bagaimana melihat Tuhan di akhirat? Digambarkan, melihat Tuhan saat di akhirat, laksana melihat matahari dan bulan.

Gambaran tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat? Maka Rasulullah menjawab: “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan purnama? Para sahabat menjawab: “Tidak Ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi: “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu siang hari tanpa awan?” “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu.”

Di Dunia
Sedangkan melihat Tuhan saat masih hidup di dunia, berdasarkan peristiwa Isra’ Mikraj Nabi Muhammad SAW. Bahkan saat Mikraj, Rasulullah benar-benar melihat Tuhan. Karenanya, Sayidina Hasan bin Ali ra berani bersumpah sewaktu menerangkan hal ini.

Kalangan Ahlush Sunah sepakat tentang terjadinya Rasulullah melihat Tuhan di malam Mikraj dengan nyata/mata.

Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah Jalla Jalaluhu dengan mata batinnya, sebagai satu ‘karomah’ untuk mereka, seperti juga Mukjizat untuk para Nabi dan Rasul. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan ulama sufi umumnya mengemukakan, “Apabila ruhaniah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata kepala tidak dapat melihat, kecuali hanya pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin.”

Di kalangan sufi, melihat Tuhan bisa terjadi di dunia ini dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT; yang oleh Syeikh Junaid RA disebutkan Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat Wara’i (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang sufi besar pada zamannya, tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, Abu Bakar Al-Attar, Al-Jurairi, ‘Athowi, dan banyak lagi lainnya.

Diceritakan, saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Quran. Beliau wafat pada hari Jumat tahun 297 H setelah selesai membaca ayat ke 70 surat Al-Baqarah.

Sehubungan dengan ucapannya tentang melihat Tuhan, muridnya bertanya, "Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Kami (para Alim) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Tidak juga kami bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenalnya.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (16)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM MENUJU TUHAN (16)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

16. MUKASYAFAH, TERSINGKAPNYA CAHAYA HATI

Seorang muttaqin yang telah terbuka tirai mata hatinya disebut kasyaf. Berasal dari kata mukasyafah, terbuka tirainya. Mukasyafah ada dua macam yaitu, mukasyafah Rububiyah dan Mukasyafah Ghaibiyah. Keduanya tentang kegaiban, tetapi maknanya yang berbeda. Mukasyafah Rububiyah terbukanya tirai Ketuhanan, sedangkan mukasyafah Ghaibiyah terbukanya tirai kegaiban.

Sebelum membahas mukasyafah Ketuhanan, terlebih dulu kita menyinggung mukasyafah Keghaiban. Sebab berdasarkan kenyataan yang sering terjadi pada umumnya ada hubungannya dengan ‘bakat’ seseorang. Biasanya, sebelumnya terlebih dulu melakukan latihan-latihan tertentu yang didukung oleh bakatnya, sehingga ia mampu melihat hal-hal yang ghaib. Lazimnya disebut tembus pandang.

Mereka yang memiliki kemampuan pandangan tembus, mampu melihat benda yang berada pada tempat yang jauh, tertutup atau gelap, atau mampu melihat peristiwa yang akan atau sedang terjadi disuatu tempat yang jauh. Orang yang memiliki kemampuan demikian ini biasa terjadi. Malahan bisa terdapat pada orang yang sama sekali buta terhadap Tuhan, bahkan mungkin anak-anak dibawah umur. Dalam hal ini dikenal dengan istilah ‘khariqul lil adat’ (luar biasa).

Hal tersebut berbeda sekali dengan mukasyafah Ketuhanan. Sebab mukasyafah Ketuhanan merupakan karunia dan rahmat dari Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan Mukasyafah Kegaiban, bisa saja sebagai cobaan, dan bisa lenyap. Sedangkan Mukasyafah Ketuhanan sifatnya kekal.

Yang kita harapkan adalah limpahan rahmat, kemantapan batin dalam iman dan istiqamah, tekun, dalam sifat kehambaan, dapat melaksanakan perintah-Nya, serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Nur Hati
Di dalam Sirajut Tholibin disebutkan, “Ilmu Mukasyafah adalah nur yang menyatu di dalam ketika dilakukan pembersihannya, maka tampaklah di dalam hati itu pengertian-pengertian yang menyeluruh merupakan hasil Makrifatullah Taala, makrifat kepada Asma-Nya, makrifat kepada Sifat-Nya, makrifat kepada Af’al-Nya, dan terbukalah segala tutupan, dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi…”.

Di dalam kitab Ihya’, rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu dzuqy (perasaan) yang terbuka cerah, di dapat dari Musyahadah tanpa dalil dan keterangan.

Maksudnya perintah menyembunyikan apa yang didapat dalam saat terbuka tirai (mukasyafah), apakah itu berupa pengertian-pengertian atau hal-hal gaib lainnya. Sebab, peristiwa yang dialaminya adalah suatu keadaan yang bersifat individu, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah, berfungsi sebagai suatu ‘rahasia tersembunyi’ yang hanya diketahui antara si penemu dengan Allah Aza Wa Jalla.

Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas, besar kemungkinan mendatangkan fitnah, tuduhan negatif, atau bisa menimbulkan perasaan ujub (merasa hebat sendiri) yang akibatnya bisa menghancurkan nilai-nilai penemuan. “Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Mukasyafah itu adalah kepada/dengan Allah ‘Azza Wa Jalla yang menunjukkan suatu pemberian terhadap orang yang Musyahadah dengan ketauhidan yang dimilikinya, berdasar ilmu yakin, iman, dan ilmu makrifat. Ilmu Mukasyafah adalah puncak segala ilmu dan kesana pulalah titik akhir cita-cita orang yang ‘Arif. Tidak ada lagi batas pandang sesudah itu.

Rahasia GAIB
Dari segi lughowi (bahasa) Mukasyafah adalah ‘terbuka tirai’. Maksudnya terbuka segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi, pengertian-pengertian atau hal-hal yang gaib. Ilmu Mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksakta yang pada umumnya memiliki metode-metode yang sistematik tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya “fauqa thuril ‘aqli” (di atas puncak akal).

Peredaran akal paling tingga adalah pada batas titik optimum yang kemudian bisa menurun kembali. Sedang ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Karena hanya bisa didapat dengan nur dari Allah SWT. Syech Muhammad Ikhsan Dahlan, Kediri Jawa Timur mengemukakan bahwa ilmu ini bersumber dari hadits Nabi SAW. Sebab dia adalah yang amat halus/tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘Alim. Bila mereka bicara tentang ilmu itu tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar’ (berhati lalai).

Seorang yang sudah mendapatkan mukasyafah, maka hal-hal yang gaib dapat terlihat. Tak ada yang bisa disembunyikan darinya. Bahkan pikiran dan hati seseorang nampak dengan sendirinya dihadapannya. Kalau ada orang bisa membaca pkiran orang lain, bukan berarti sudah kasyaf. Sebab, ada ilmu tertentu untuk baca membaca seseorang.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (15)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (15)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

15. NYATA ! ALLAH TAK TERSELIMUTI TABIR

Pandangan Syuhud, suatu pandangan yang tidak ada keraguan. Jika masih ragu-ragu, maka gemerlapnya cahaya yang disaksikan, bukanlah Nur Ilahi. Sebab, Al-Musyahadah adalah kehadiran Al-Haq tanpa adanya prasangka. Jadi suatu kebenaran tanpa keraguan. Itulah penyaksian dengan perasaan murni, yang disebut Musyahadah bidz-Dzauqi. Ulama sufi menyebutnya ‘Naadir’.

Seorang bisa menyaksikan kehadiran Allah, semua tergantung dari ada tidaknya ‘Jidzib’ (tarikan) Allah Yang Maha Rahman. Jadi kehadiran Al-Haq yang bisa disaksikan, adalah kebenaran yang tidak ada keraguan seserpih pun. Karena kehadiran Allah nyata. Tidak ada tabir yang mampu menutupi.

Karenanya, penyaksian terhadap Yang Haq, tidak bisa digambarkan atau dilukiskan. Jika masih bisa dilukiskan atau digambarkan, maka itu bukanlah yang sesungguhnya. Tetapi bias pikiran yang selalu berharap ingin bertemu. Atau setan yang sengaja datang menggoda.

Pertemuan dengan yang Haq, adalah urusan pribadi. Bainahu wa bainallah (antara diri dengan Allah). Ini bisa dicapai jika ada Jidzib (tarikan) dari Allah. Jadi Allah Ta’ala-lah yang menghendaki, Dia hadir pada seorang hamba. Cahaya keagungan Allah membias pada cahaya hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Dan, hamba yang mampu melihat-Nya berarti telah melampaui maqam-maqam takwa.

Keyakinan
Yang dinamakan Musyahadah bidz-Dzauqy adalah menyangkut perasaan. Allah Ta'ala yang memasukkan perasaan dan pikiran. Berupa keyakinan. Keyakinan adalah kecenderungan batin untuk memastikan benar atau tidaknya sesuatu dengan melalui sebab atau tidak melalui sebab. Karena yakin itu merupakan kecenderungan batin, sedangkan batin bukan urusan langsung manusia, tetapi diurus oleh Allah swt, maka sangat perlu berdoa memohon kepada Allah agar batin dikaruniai. Tanpa karunia Allah seseorang tak akan menemukan apa yang dinamakan yakin.

Yakin adalah ilmu yang diletakkan pada hati, bukan pada pikiran. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yakin itu tidak termasuk ilmu yang bisa diusahakan. Ilmu yakin ada tiga macam. Hal ini yang membedakan keyakinan orang yang satu dengan yang lainnya yaitu Ilmu Yakin, Ainul Yakin, dan Haqqul Yakin.
1. Ilmu Yakin adalah keyakinan yang setelah adanya beberapa keterangan dan dalil (dasar). Sehubungan dengan Musyahadah, dirumuskan sebagai berikut:”Ilmul yaqiini alladlii huwa makrifatuhu Ta’ala bil baraahiina (Ilmu yakin ialah makrifat kepada Allah Ta’ala dengan beberapa keterangan).

2. ‘Ainul Yakin adalah keyakinan berdasarkan kenyataan. Tidak ada alasan ataupun yang menolaknya, bila kenyataan itu ada. “Wa musyaahadatuhu Ta’ala qobla kullasyai-i wa huwal musama ‘indahum bilmu’aayananah.” (Musyahadah terhadap Allah Ta’ala sebelum menyaksikan segala sesuatu yang menurut para sufi disebut ‘muayanah (kenyataan/pembuktian). Hal inilah ‘Ainul Yakin.

3. Haqqul Yakin ialah keyakinan yang sebenarnya. Musyahadah terhadap Allah Ta'ala secara nyata dan meyakinkan, tanpa dalil dan pembuktian. “Haqqul Yaqiin huwa musyahadatuhu Ta’ala fi kulla syai-in bilaa huluulin wat tihaadiu wan fishaliu wala ittishaalin.” (Haqqul Yaqin ialah musyahadah terhadap Allah dalam segala sesuatu tanpa hulul (bersatu) tanpa ittihad (terpadu) tanpa ittishol (bersambung), dan tanpa infishol (berhubung-hubungan).

Karenanya, penyaksian dengan perasaan murni itu adalah suatu penyaksian yang tidak perlu diragukan lagi. Harus Haqqul Yakin, sebab keyakinan itu ditanamkan oleh Allah pada perasaan dan pikiran yang menemukannya. Sehingga, tidak sedikit pun ada prasangka bahwa yang disaksikan lain dari Al-Haq.

ALLAH NYATA
Dalam kitab Al-Hikam disebutkan, bahwa Allah itu sangat nyata. Tanpa ada sesuatu pun yang menabiri atau menutupinya. Dia bisa dilihat secara jelas. Namun mengapa kita tidak bisa melihat-Nya? Itu tidak lain ada sesuatu yang menutupi pandangan kita. Ada yang menabiri mata hati kita. Sehingga penglihatan kita tidak mampu menyaksikan Allah Ta’ala.

Jadi, yang tertabiri adalah mata hati kita. Tertutup oleh banyaknya cahaya selain Allah. Yaitu tabir kebendaan, tabir keduniaan dan segala isinya, nafsu, birahi, dan sebangsanya. Bukan Allah SWT yang terselimuti, sehingga tidak dapat dilihat.

Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwal ladzi adh haru kulla syaiin (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dialah yang menzahirkan sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwal ladzi dhohari fi kulla syaiin” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dialah yang tampak pada segala sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwadh dhaahiru qobla wujuudi kulli syaii” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dia Maha Nyata sebelum adanya sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwa adhharu mingkulli syaii” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat mendingi Allah, padahal Dia lebih nyata dari sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun walaullahu maakaana wajuudu kulli syai” (Bagaiaman mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal kalau tidak Dia, tidak segala sesuatu).

“Yaa ‘ajabaa kaifa yadh harulwujuuduhu fil ‘adami” (Alangkah ajaibnya, bagaimana mungkin Yang Maha Ada bisa Zhahir/nyata di dalam yang tidak ada).

Dalam ajaran Musyahadah (penyaksian) terhadap Allah SWT, Allah Maha Nyata dari segala yang nyata. Ada suatu prinsip yang paling mendasar, yaitu keyakinan yang tertanam pada batin bahwa Allah Maha Nyata dibanding dari segala yang nyata. Dan, Allah Maha Dekat dari segala yang dekat.

Hakikat ketuhanan (yang ada pada diri manusia) yang membedakan antara manusia dengan binatang. Maka sesungguhnya bukan mata, tetapi buta hati yang ada di dalam dada.

“Siapapun yang hidup di dunia ini dalam kebutaan, maka di akhirat kelak akan lebih buta dan sesat jalan. (QS. Al-Isra’ : 72)

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (14)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (14)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

14. MUSYAHADAH, PENYAKSIAN KEAGUNGAN NUR ILLAHI

Bahasan kita kali ini sampai pada Musyahadah, yaitu penyaksian. Kata penyaksian mengandung dua hal, yang menyaksikan dan yang disaksikan. Siapa yang menyaksikan dan apa yang disaksikan. Di dalam ilmu makrifat, yang disaksikan adalah Nur Illahi. Sedangkan yang menyaksikan adalah mata hati. Yang istilah tasawufnya adalah ‘pandangan Syuhud’. Suatu pandangan batin sebagai penyaksian yang tidak diragukan lagi.

Seseorang yang sudah dapat menyaksikan Nur Illahi adalah orang ‘alim yang benar-benar kasyaf. Artinya sudah terbuka tirai/cadar/penutup, yang menutupi lensa mata hatinya.
Mata hati tidak akan dapat menyaksikan keagungan Nur Illahi, apabila masih tertutup oleh tirai gemerlapnya cahaya-cahaya kebendaan. Cahaya kebendaan itu sesungguhnya amat tebal. Ia diserap oleh nafsu melalui pandangan mata kepala, kemudian melekat pada mata hati. Jika kita ingin melihat keagungan Nur Illahi, maka cadar penutupnya harus dihilangkan.

Asalnya Suci
Sebenarnya untuk menyaksikan gemerlapnya nur illahi itu bukan suatu yang baru. Keinginan itu merupakan kerinduan, karena telah lama berpisah. Ingin sekali bernostalgia, bahkan "menyatu". Karena jaraknya teramat jauh, bahkan nyaris hilang, maka keinginan itu menjadi muskil untuk tercapai.

Manusia adalah terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jiwa dan raga. Dulunya, kondisi jiwa adalah bersih dan suci. Mampu berkomunikasi dengan Al-Haq. Namun setelah dibungkus dengan jasad, yang dibuat dari lumpur, dibumbui dengan nafsu, maka jiwa menjadi kotor. Untuk menjaga agar tidak kotor, Allah mempersenjatai dengan akal yaitu hati dan perasaan. Ajang pertempuran antara nafsu dan akal.

Di dalam kitab Tawirul Qulub dijelaskan, jiwa manusia pada asalnya adalah ‘lathifah Rabbaniyah’ (cahaya Ketuhanan) dan dekat sekali hubungannya dengan Allah SWT. Selalu memuja dan memuji serta bertasbih. Yang diketahuinya hanya Allah semata. Akan tetapi, setelah jiwa berhubungan dengan jasad, barulah jiwa mengerti bahwa ada yang lain lagi selain Allah SWT.

Disinilah titik awal, apa yang disebut ‘lupa’. Lupa terhadap keaslian dirinya yang disebut ‘Lathifah Rabbaniyah’. Lupa terhadap tugas yang harus diembannya, karena segala yang lain dari Allah yang baru diketahuinya itu mampu menguasai jiwanya. Munthabi’atan fi mir’atihi (melekat pada lensa mata hatinya).

Pembersihan
Agar supaya dapat kembali menyaksikan Al-Haq seperti dahulu, dapat pula menyaksikan ‘Arasy, Kursiy dan lain-lain yang berada dalam alam Malakut, maka tirai itu harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka selamanya tidak akan mampu melihat kembali sang Haq.

Untuk pembersihan diri itu dalam surat at-Dzariat Allah menyerukan peringatan, “Berilah peringatan olehmu (hai Muhammad) sesungguhnya peringatan itu berharga sekali untuk orang yang beriman.” Jika tidak diperingatkan, maka: “Bagaimana mungkin hati akan cemerlang, sedangkan gambaran dari semua keadaan terlalu lekat pada lensa mata hatinya, atau bagaimana mungkin akan bisa menuju Allah sedang dia sendiri menjadi tunggangan nafsu syahwat.”

“Segala keadaan dan peristiwa alam semesta ini seluruhnya menunjukkan kegelapan. Padahal, yang memberikan cahaya pada semua itu karena amat nyata Al-Haq padanya. Siapa yang melihat semua keadaan tetapi tidak dia saksikan Allah Al-Haq padanya, atau pada saat melihat keadaan (kaun) atau sebelum dan sesudahnya, maka sesungguhnya dia disilaukan oleh cahaya-cahaya itu, dan tertutuplah mata hati makrifatnya akibat tebalnya awan kebendaan.” (Al-Hikam).

Syekh Ahmad Ibnu Athaillah, dengan kata-kata hikmahnya tersebut, menegaskan bahwa segala kaun/ka-inaat (keadaan alam) adalah ‘zhulmatun’ (kegelapan). Gelap tak ada apa-apa yang dapat dilihat.

Alam bisa terlihat karena adanya cahaya. Mata dapat melihat disebabkan adanya cahaya, yaitu cahaya mata. Antara cahaya mata dengan cahaya alam terjadi pantulan, sehingga terlihat. Jika salah satunya tidak berfungsi, maka akan menjadi gelap. Apalagi keduanya tidak bercahaya, tentu akan menjadi amat pekat. Terasa tidak ada apa-apa. Kosong, hampa. Jadi, cahayalah yang meliputi apa yang dipandang oleh mata.

Nur Makrifat
Musyahadah atau penyaksian terhadap Al-Haq, tentu dibutuhkan tembusan sinar kebenaran yang menelusup dalam jiwa, perasaan dan hati. Yaitu sinar yang dinamakan “Nur Makrifat”. Dengan Nur Makrifat itulah seseorang bermusyahadah.

Untuk suatu penyaksian, ada tiga macam alat batin. Yaitu, Bashirah (pandangan batin), “Ainul Bashirah (Mata pandangan batin), dan Syi’a ul Bashirah (nyala pandangan batin).

Banyak faktor yang menutupi pandangan batin, sehingga sulit untuk menyaksikan kebenaran hakiki. Lebih-lebih nafsu dan syahwat sudah menguasai terlalu dalam dalam menguasai diri. Ditunggangi nafsu dan syahwatnya. Tetapi bukan berarti tidak dapat terbuka.!

Imam Al-Ghazali memisalkan keadaan hati laksana kepingan baja hitam. Walaupun bagaimana hitamnya kepingan baja itu, seberapa tebal karat dan keraknya, jika diasah secara tekun terus menerus (kontinyu), istiqamah, pasti akan menjadi putih, licin dan bersih, sehingga mampu menerima bayangan dari arah manapun datangnya.

Begitulah hati. Apabila dijaga terus secara baik dan benar, dibersihkan dari karat-karat yang melekat, maka hati akan sanggup menerima bayangan tulisan yang ada pada Lauh Mahfuzh. Sebab, hati amat luas dibandingkan bumi dan langit. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar ra. “Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku (Allah SWT). Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerimanya.”

Dalam al-Quran surat Al-Ahzaab ditegaskan, “Disodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka enggan menerima/menanggungnya, karena mereka khawatir. Lalu manusialah yang bersedia menerimanya. Sungguh manusia menyakiti dirinya sendiri dan bodoh.”

Sungguh berat tanggungjawab manusia. Dan, berat pula menerima Al-Haq. Tetapi, di sisi lain Allah memberikan kemampuan untuk menerimanya, yaitu suatu pemberian dan anugerah yang amat mulia dan paling bijaksana. Hati diberi nur makrifat sehingga mampu melaksanakan amanah itu.

Lagi pula, dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Karena tebalnya cahaya awan kebendaan, membuat tidak mampu kembali melihat Nur Illahi. Allah tidak memaksa untuk melihat-Nya. Hanya saja diperintahkan beribadah menurut kemampuannya.

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (13)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (13)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

13. BAIAT, BIMBINGAN MURSYID MENUJU KEAGUNGAN ILLAHI


Bagi tiga ratus orang, empat puluh orang, tujuh, lima, tiga, dan yang seorang, memiliki kelebihan jauh dari manusia biasa. Ia tidak pernah sakit. Mereka mampu berpindah-pindah tidak hanya pada alam spiritual, tetapi alam semesta yang lain bisa dijangkau. Tidak seorangpun yang mampu mengganggu mereka. Siapapun orangnya. Sebab, orang seperti ini kebal terhadap kesulitan dan penderitaan dunia.

Pada umumnya, seseorang tidak akan diterima kedalam golongan syeikh sampai dia mencapai maqam ar-ruh atau yang lebih tinggi darinya. Penerimaan oleh para pengikut jalan kesufian, pemegang tugas-tugas yang dibebankan pada syeikh, diformulasikan dalam suatu upacara inisiasi khusus, yang disebut baiat (pelantikan).

Sejarah Baiat.
Baiat banyak jenisnya. Setiap jamiyah tharekat, khususnya yang keruhaniannya sudah menginjak kejalan kemakrifatan, selalu ada upacara baiat. Dan, pelantikan itu ada tingkatannya. Diantaranya, yang pertama adalah baiat Jahar, kemudian Sirri, ada yang dinamakan Tabib Tujuh, dan seterusnya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah perlu dan harus ada baiat? Hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarahnya. Awal mula baiat adalah berasal dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam keruhanian, beliau pertama kali membaiat sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Namanya baiat Jahar. Ali diberi zikir membaca kalimat tauhid ‘La ilaha illallah’, yang dibaca dengan suara (keras).

Pembaiatan terhadap Ali RA tersebut, diketahui oleh Abu Bakar Assidiq RA. Lalu Abu Bakar RA minta pembaiatan jahar itu dari Syayidina Ali RA, termasuk kalimat zikirnya. Hal tersebut diketahui oleh Nabi SAW, sehingga beliau memanggil Abu Bakar RA. Karena Abu Bakar RA sudah mendapat baiat Jahar, maka Nabi SAW membaiatnya dengan baiat Sirri (samar). Zikirnya dalam hati, menyebut Allah…Allah…Allah. Syayidina Ali RA mengetahui hal tersebut, lalu beliau bertanya pada Abu Bakar RA, dan meminta dibaiat. Itulah awal mula pembaiatan, sehingga menjadi tradisi dikalangan sufi.

Tujuan Baiat
Apa tujuan pembaiatan itu? Pelopor orde Chishti di India, Hazrat Khwaja Mu’inuddin ra, menerima tanggung jawab pembaiatan dari gurunya Syeikh ‘Utsman Haruni ra, mengabarkan pembaiatan pada dirinya yang berlangsung pada tahun 561 H. Ia memperoleh pembaiatan setelah menghabiskan waktunya selama 12 tahun untuk belajar dan melayani syeikhnya. Orang suci tersebut menggambarkan pembaiatan pada dirinya sebagai berikut:

Saya mendapat kehormatan untuk tampil dihadapan syeikh saya, Hazrat ‘Usman, dengan hadirnya beberapa tokoh spiritual lainnya. Saya membungkuk memberi salam pada orang suci itu. Hazrat “Utsman menyuruh saya melakukan salat 2 rakaat. Saya melakukannya. Kemudian beliau menyuruh saya menghadap Ka’bah di Mekkah.

Beliau kemudian menyuruh saya membaca Al-Qur’an surat Al-Baqarah. Saya melakukannya. Beliau menyuruh saya megulang-ulang doa dan salawat untuk Rasulullah SAW dan keluarganya 21 kali dan mengucapkaan Subhanallah 60 kali, saya melakukannya. Setelah itu beliau bangkit, menggenggam tangan saya dan memandang ke arah langit, dan berkata, “Mari kuperlihatkan engkau kepada Allah”.

Setelah itu, beliau memotong rambut saya dengan sebuah gunting dan kemudian meletakkan sebuah penutup kepala khusus (kolah chabar tarki) di kepala saya dan menyuruh saya duduk. Kemudian beliau menyuruh saya membaca surat Al-Ikhlas seribu kali, saya melakukannya. Kemudian beliau berkata, “Diantara para pengikutku hanya ada satu hari satu malam masa percobaan (mujahadah), karena itu pergilah dan lakukanlah hal itu hari ini. “Sesuai petunjuk beliau saya menghabiskan waktu satu hari satu malam untuk melakukan shalat terus menerus dan muncul kembali setelah itu.

Beliau menyuruh saya duduk dan membaca surat al-Ikhlas 1000 kali lagi, saya lakukan. Kemudian beliau menyuruh saya, “Pandanglah ke langit.” Sewaktu saya pandangkan mata ke arah langit, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke al’arsyal-muala (puncak singgasana suci). Kemudian beliau berkata, “Lihatlah ke bawah”. Saya lakukan itu. Beliau bertanya,”Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Kebawah tahtats-tsara (ke dasar neraka).

Beliau lantas menyuruh saya duduk dan membaca al-Ikhlas 1000 kali, saya melakukannya. Beliau berkata kepada saya, “Pandanglah ke arah langit”. Sewaktu saya memandang, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke Azmat (Kilauan Keagungan Allah). Beliau kemudian berkata, “Tutuplah matamu.” Saya lakukan itu, dan setelah itu beliau berkata, “Bukalah matamu.” Saya lakukan itu. Beliau kemudian memegang dua dua jari pertama di tangan kanannya dan bertanya, “Apa yang kau lihat melalui jari-jari itu?”

Saya berkata, “Saya melihat 800 ribu dunia.” Sewaktu beliau mendengar itu, beliau berkata, “Sekarang pekerjaanmu selesai”. Beliau kemudian memandang ke arah batu bata yang terletak di dekatnya dan menyuruh saya memungutnya. Sewaktu saya melakukan hal tersebut, saya temukan beberapa koin emas dibawahnya. Beliau menyuruh saya pergi dan membagikan koin-koin itu kepada orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya, yang kemudian saya lakukan. Beliau kemudian menyuruh saya untuk tetap bersama beliau beberapa saat lamanya.

Syeikh Mursyid
Seorang syeikh mursyid yang bisa membimbing hingga mampu melihat kilauan Keagungan Allah, adalah ia yang seperti digambarkan oleh Syeikh Sughrawardi, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu laksana Kibrit Ahmar (yakut merah), permata yang tergolong langka di saat itu, yang sulit dijumpai. Tetapi masih lebih sulit menemui mursyid Kamil (guru pembimbing) yang berkelayakan.

Mursyid tersebut memiliki ketajaman mata batin (bashier) yang memiliki silsilah keguruan sampai kepada Rasulullah. Berilmu (‘Aalim), menghindar dari cinta harta dan pangkat, sedikit makan, tidur dan ucapannya. Banyak shalat sunah, puasa sunah, luhur budi pekertinya, dan banyak lagi.

Apabila seseorang taat kepada Allah serta rahmat-Nya, maka jiwa berkembang dari keadaan egotisme yang tak berdaya, sampai pada penyatuan suci, tentunya jika Allah menghendaki. Cara melakukan perjalanan dari perhentian terbawah ke perhentian lebih tinggi adalah dengan melawan dan mengendalikan dorongan nafs. Dalam usaha ini para sufi menerima latihan khusus yang ditentukan oleh Allah sendiri untuk mencapai hasil yang pasti. Paling cepat dan menyeluruh.

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Kamis, 02 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (12)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (12)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

12. QURB DAN WISHAL

Di atas maqam As-Sirr adalah maqam Al-Qurb. Artinya adalah kedekatan. Tetapi juga berkonotasi mendekat, pendekatan, berdekatan, berhubungan erat dan berhubungan kekeluargaan, Taqarrub. Seseorang yang berada dalam maqam ini benar-benar akan menikmati suasana kedekatan dengan yang Maha Tinggi, di langit yang tertinggi, yang berisi Arsy, atau singgasana Yang Mahakuasa. Orang yang menempati maqam ini memiliki kedudukan yang tinggi di bumi dan dapat memandang dunia selanjutnya, dunia ciptaan lain.

AL- QURB
Seseorang yang ketaqwaannya sudah sampai pada tahap maqam Al-Qurb, akan mengalami sedikit ketidakseimbangan dan kesulitan dalam masalah kesehatan serta penyakit. Namun ketidakseimbangan yang terjadi dapat parah sekali. Salah satu kondisi itu adalah perasaan gembira yang berlebihan. Orang yang terpengaruh dengan kondisi ini disebut Majdzub. Ia seperti kehilangan seluruh perhatian dan hubungannya dengan dunia. Mereka dalam keadaan gembira sepanjang waktu dan tidak perduli apakah mereka tidur, makan, berpakaian, dll. Dalam pandangan pikiran awam, sudah dianggap gila. Sesungguhnya mereka benar-benar telah "menyatu" dengan Yang Maha Pengasih. Kata-katanya mengandung hikmah tinggi. Hatinya senantiasa menyiratkan nur.

Orang-orang yang sudah sampai pada maqam ini, mampu melihat alam lain, serta berkomunikasi dengan penghuninya. Alam malaikat, binatang, benda-benda mati, seperti batu, angin, api, bumi, langit dan lainnya ia pahami. Mereka mengetahui bagaimana para makhluk-makhluk itu berbicara, bertasbih, bergurau, dan lainnya. Karenanya, terkadang mendapati mereka tersenyum sendiri. Orang awam tidak mengerti, bahwa sebenarnya mereka melihat dan mendengar lelucon makhluk-makhluk lain. Seperti gurauannya burung, serangga, atau lainnya.

Kelembutan yang terpancar dari kalbunya, menyiratkan kasih sayang. Karenanya, burung-burungpun menjadi lulut (menurut). Binatang buaspun menjadi jinak padanya. Binatang-binatang itu bukan takut, tetapi merasa sungkan, segan dan menghormat padanya.Realita itu sangat indah dalam jalannya. Namun semua itu bukanlah kondisi yang diinginkan. Tetapi akan dilalui dengan sendirinya.

Mereka, yang berada di maqam al qurb, kebanyakan memiliki kesulitan berkomunikasi dengan sesama manusia. Juga memiliki sifat pelupa, yang mengesankan seperti orang bodoh. Hal ini disebabkan diamnya. Memilih sikap bungkam, dan menyendiri. Praktik yang dilakukan mengerahkan pikiran dan nafas yang mendalam, sehingga sampai kehilangan ingatan mental. Tetapi, hal itu sangat jarang terjadi.

WISHAL
Tingkatan perhentian berikutnya adalah maqam al-Wishal. Sebuah terminal jiwa yang tertinggi. Karena sudah sampai pada "penyatuan". Kadang-kadang disebut "penyatuan" dengan yang Maha Kuasa. Dunia sufi menyebutnya, disini Allah adalah kekasih Anda dan dan Anda adalah kekasih-Nya. Seseorang yang sudah sampai di maqam ini, "melebur" dalam "Penyatuan Suci" untuk selamanya.

Namun, perlu sekali difahami bahwa maqam ini tidak bisa dicapai dengan usaha. Sebab, mutlak hak preogatif Allah yang memutuskan, dan memilih siapa yang dikehendaki. Sebab, hanya ada seorang hamba yang bisa menempati maqam ini. Dialah yang disebut sufi. Sedangkan lainnya adalah orang yang menjalankan kehidupan sufistik.

Untuk penentuan maqam-maqam tersebut, menurut hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud r.a disebutkan, “Diantara makhluk Allah, ada tiga ratus orang yang memiliki hubungan istimewa dengan Allah, yang hatinya seperti Nabi Adam AS. Dan empat puluh orang yang hatinya sama seperti Nabi Musa AS. Tujuh orang yang hatinya sama seperti Nabi Ibrahim AS. Lima orang yang hatinya sama seperti Malaikat Jibril. Tiga yang hatinya sama seperti malaikat Mikail. Ada seorang hamba Allah diantara makhluk-makhluknya yang hatinya sama seperti malaikat Israfil. Apabila yang satu ini wafat, maka Allah memilih satu diantara yang tiga untuk menggantikannya. Apabila satu diantara yang tiga wafat, maka satu diantara lima yang ditunjuk menggantikannya. Apabila satu diantara lima wafat, maka Allah menyuruh satu diantara tujuh untuk menggantikan posisinya. Apabila ada yang wafat di antara yang tujuh, maka salah seorang dari yang empat puluh untuk menggantikannya. Apabila seorang diantara empat puluh wafat, maka seorang di antara yang tiga ratus untuk menggantikannya. Dan, apabila diantara yang tiga ratus ada seorang yang wafat, maka seorang diantara umat manusia akan dipilih sebagai penggantinya. Demikianlah, karena Allah mengatur kehidupan, kematian, hujan, penciptaan dan membebaskan manusia dari kemalangan".

Ketiga ratus orang tersebut, semuanya selalu bergembira setiap saat, dan tak lagi memikirkan apapun yang ada di dunia. Mereka, tidak perlu makan, minum, mereka mampu melampaui batas kemampuan manusia. Mereka dapat pergi kemana saja mereka mau, di bumi maupun seantero langit. Hanya sedikit dalam sejarah manusia yang telah mencapai derajat ini. Tidak mungkin untuk digambarkan dengan kata-kata. Inilah tujuan hidup yang sebenarnya dan melibatkan janji yang telah kita ucapkan terhadap sang Pencipta sebelum kita datang dalam kehidupan ini.

Orang-orang seperti ini disebut wali, jamak dari auliya, yang berarti kekasih Allah. Mereka adalah wakil Allah yang sesungguhnya di muka bumi. Pada umumnya, mereka tidak dikenal luas di dunia.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (11)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (11)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

11. MAQAM AS-SIRR

Bahasan selanjutnya dalam perhentian jiwa memasuki maqam Ar-Ruh dan maqam As-Sirr. Dua terminal yang membuat kejiwaan seseorang sampai pada tataran ini bisa melupakan dunia. Suasana nurani nyaris di pintu gerbang dekat dengan Nur Ilahi. Di sisi lain kejiwaan tak stabil, karenanya orang awam menganggap gila.

Seseorang apabila sudah memasuki maqam tersebut, maka tidak bisa berpindah kemana-mana. Kecuali harus menekuninya. Untuk meningkat ke maqam berikutnya sangatlah berat. Malahan terkadang bisa tergelincir turun. Jika sampai tergelincir, maka bisa memprihatinkan.

Ar-Ruh.
Kondisi kejiwaan apabila sudah berada di maqam ar-Ruh, bisa seperti orang gila. Terutama apabila tidak ada yang membimbing. Bagaimana sikap orang gila itu? Tidak memperdulikan kondisi sekelilingnya. Pergi kesana kemari semaunya sendiri, tidak berkata-kata, terkadang bicara sendiri (karena sedang berkomunikasi dengan hati nuraninya). Tak ada orang yang memperdulikan disebabkan dianggap gila. Perilaku seperti itu disebut Zadab (gila karena cintanya pada Tuhan yang tak terbendung).

Dalam kondisi Zadab, sering mengalami bermacam-macam illusi diri yang sangat "destruktif". Kondisi badan sering kali mengalami demam. Hal tersebut disebabkan, sedang mengalami perubahan. Jika sudah mengalami seperti itu, bisa berlangsung cukup lama. Bertahun-tahun. Ia sedang dalam proses pelepasan dan pembebasan, yaitu suatu peleburan dari jiwa yang kotor.

Dalam pengertiannya, apabila kita kehilangan kesadaran, maka yang terasa adalah kehangatan jiwa. Itulah yang dirasakan oleh para sufi selama praktek zikir. Hal seperti itu sudah biasa bagi para praktik sufisme dalam memandang suatu haqiqah (kebenaran). Apabila belum sampai maqam ar-Ruh, maka belum bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri, yaitu nurani.

As-Sirr
Maqam selanjutnya adalah maqam as-sirr, perhentian rahasia-rahasia ilahi. Istilah Sirr menunjuk pada misteri besar yang tak dapat terbayangkan, bahkan apabila dialami, hal itu sukar untuk dipercaya. Istilah tersebut juga mempunyai arti yang lain, yaitu bagian tengah, bagian yang paling baik dari setiap benda, daerah yang paling kaya, akar, asal mula dan kesuburan

Inilah maqam yang dimaksud oleh Allah ketika Dia berfirman, “Ada hamba-hamaba-Ku yang tak pernah berhenti untuk mendekatkan diri kepada-Ku dengan beribadah yang ikhlas, sampai Aku menjadi lidahnya ketika mereka berbicara, matanya ketika mereka melihat, telinganya ketika mereka mendengar, tangannya ketika mereka memegang dan kakinya ketika mereka melangkah.”

Orang yang sampai pada maqam As-Sirr ini dapat memahami mekanisme- mekanisme yang mengatur seluruh alam semesta. Mereka telah mengembangkan kemampuan kasat mata sehingga dapat membaca pikiran orang lain. Para malaikat datang kepada mereka dengan ilham dari wilayah yang tak terlihat (alam gaib).

Seseorang yang sudah di maqam ini, maka tidak ada yang samar baginya. Padang trawangan tan ana sawiji-wiji kang samar (Dapat melihat dengan jelas apa yang selama ini terlihat samar/ghaib). Jin, setan, mahluk halus, ruh manusia yang sudah meninggal, insya Allah akan terlihat oleh mata hati sekaligus mata kepala.

Suatu hari ada seseorang datang kepada Rasulullah saw, lalu bertanya, “Untuk apa seluruh alam semesta ini diciptakan? Nabi menjawab, “Saya tidak tahu jawabannya. Akan kutanyakan pada malaikat Jibril.” Kemudian beliau pergi menemui malaikat Jibril dan bertanya, Jibril menjawab, “Aku tak tahu jawabannya, akan kutanyakan kepada Allah.” Kemudian malaikat Jibril bertanya kepada Allah, dan kembali lalu berkata, “Allah telah berfirman: “Telah Aku ciptakan angkasa dan langit sebagai suatu pemandangan yang indah dan hiburan bagi kamu sekalian, dan untuk menciptakan keindahan serta pesona keagungan dan kekuasaan-Ku. Aku ingin bintang-bintang yang berkerlap-kerlip membahagiakan kamu dan menyebabkan kamu sekalian kagum terhadap ciptaan-Ku.”

Sewaktu ditanya, bagaimana Allah mencipta semua ini, Jibril mengatakan bahwa Allah menjawab, “Aku tidak ciptakan manusia dengan kemampuan mental untuk memahami cara-cara dan mekanisme yang dengannya telah Aku ciptakan semua makhluk. Walaupun Aku ceritakan kepadamu, niscaya kamu tidak akan mengerti. Namun, saat datang kematian, sewaktu tabir telah terbuka, kamu segera akan melihat bagaimana hal ini terjadi dan kamu akan takjub pada kehebatan-Ku. Akulah sebaik-baiknya pencipta. Seperti Aku menciptakan langit yang rumit dan kompleks." Rasulullah SAW yang telah berada pada maqam yang tertinggi mampu memahami informasi ini. Kebanyakan manusia tidak akan pernah mencapai tempat kedudukan yang tertinggi seperti itu dari Allah Yang Maha Kuasa.

Orang yang telah mencapai maqam As-Sirr, berarti telah melewati ujian-ujian yang sangat berat dan ia tidak lagi mencari aspek-aspek kehidupan manusia yang bersifat egoistik. Mereka hanya ada untuk, dan karena, hubungan yang sangat eksklusif dan dekat dengan Sang Pencipta serta para penghuni langit. Bagaimanapun juga mereka adalah manusia, sehingga kejadian-kejadian phisik serta emosi masih terjadi pada tahap ini. Namun kejadian-kejadian ini tidak bisa dianggap sebagai ‘penyakit’. Semua ini merupakan ketidak-seimbangan atau penyimpangan yang dapat menyebabkan seseorang turun dari maqam ini atau lemah didalam maqam ini dan tidak melanjutkan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketidak-seimbangan utama dari maqam As-Sirr meliputi interprestasi yang salah terhadap fenomena Ilahi, ketidak-rasionalan, kurang perhatian terhadap masalah duniawi, mengoceh yang sukar dimengerti, serta rasa sakit dan terbakar dijantung.

Gejala fisik yang terjadi pada maqam As-Sirr adalah demam, kesulitan bernafas dan kadang-kadang sesak. Penderitaan tersebut dapat terjadi karena untuk sampai pada tahap ini memerlukan praktik pernafasan bertahun-tahun. Ketidakseimbangan dapat terjadi jika praktik-praktik tersebut dilakukan secara tidak tepat atau apabila berlebihan.

Selain itu, biasanya pada tahap ini orang terganggu oleh kejadian-kejadian dari alam tak nyata. Ganguan jin adalah contohnya. Seseorang yang semakin tinggi kedudukannya, maka ujiannya juga semakin berat. Syekh Abdul Qadir al Jaelani, pernah didatangi seberkas cahaya ketika hendak menjalankan shalat malam. Cahaya itu mengaku (menyamar) sebagai malaikat Jibril. Ia menipu Syekh dengan mengatakan tidak perlu lagi memerlukan ibadah shalat, karena sudah dijamin kesuciannya.

Karena Syekh Abdul Qadir Jaelani sudah sampai pada maqam As-Sirr, maka tidak ada yang samar baginya. Ia melempar terumpahnya pada cahaya itu, sembari berucap ‘pergilah kau iblis!’ Dengan ucapan itu, iblis pun mengaku dan bertanya, “Dari mana engkau tahu?” Abdul Qadir pun menjawab, “Aku tahu dari ucapannmu sendiri. Yaitu tidak lagi perlu menjalankan shalat, Rosululloh SAW, manusia yang mendapat jaminan Allah Ta’ala saja tak pernah meninggalkan shalat.”

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (10)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (10)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

10. KUALITAS TAKWA DIUKUR DARI DZIKIRNYA

Zikir merupakan rangkaian ibadah yang mengiringi shalat. Maknanya eling (ingat) pada Tuhan. Kualitas takwa seseorang diukur dari zikirnya. Zikir yang bagaimana? Zikir yang sesungguhnya zikir, bukan sekedar zikir yang dapat meneteskan air mata dan jumlah hitungan. Tetapi zikir secara ikhlas dan keseluruhan (lahir batin). Lisan berzikir, hati berzikir, pori-pori berzikir, kulit bahkan bulu-bulu pun ikut berzikir. Bagi mereka yang sudah sampai pada tataran zikir, tidak dalam kondisi terjaga, ketika tidurpun tetap berzikir. Zikir yang demikian itulah zikirnya kalbu.

Bagaimana caranya agar hati senantiasa berzikir kepada Allah? Seorang Syech sebuah tarekat mengajarkan hendaknya dilatih siang malam. Berzikir dengan menyebut asma Allah sebanyak-banyaknya, dilakukan terus menerus, tidak berbatas waktu dan tempat. Tidak hanya sekadar dibibir saja, tetapi harus menghadirkan hati dan pikiran berkonsentrasi. Tanpa kehadiran hati, maka tidak akan mencapai ruhani. Praktik ini harus dilakukan secara terus menerus sampai detak jantung dan kalbu bergemuruh menyebut asma Allah. Begitu lisan diam, bahkan bercakap-cakap, secara jelas hati terdengar hati berzikir. Jika sudah bisa demikian, tidurpun tetap berzikir.

Tuan Guru Muda, sebutan seorang Kiai atau Syech aliran tarekat Naqsabandiyah di Kalimantan, mengajarkan pada santrinya yang usianya muda hingga kakek-kakek untuk berdzikir, pada siang dan malam hari terus menerus. Tujuannya untuk melatih berzikir. Jika hati sudah bisa berzikir, walaupun pikiran melayang kemana-mana, mata tertidur, begitu bangun lalu memeriksa hatinya, tetap terdengar berzikir. Jamaah zikir asuhan Tuan Guru itu berlomba meningkatkan kualitas diri mencapai ‘Arif’.

Bagaimana tentang ‘Arif” itu? Dalam sebuah risalah, Abu Yazid al-Bustami ditanya tentang hal itu beliau menjawab: “Tak terlihat dalam tidurnya selain Allah, dan tidak terlihat dalam terjaganya selain Allah, dan tak ada yang ia sukai kecuali Allah”.

Gambaran pezikir dalam kehidupan menurut Nabi Muhammad SAW: “Orang yang mengingat Allah di antara orang-orang yang lalai adalah seperti orang hidup diantara orang-orang mati”. Sebuah hadits lainnya menyebutkan, “Orang yang mengingat Allah diantara orang yang lalai adalah seperti pohon hijau di tengah rumput-rumput kering”. Sudah jelas bahwa kehidupannya dimata Allah segar dan subur.

Tata Krama
Berzikir itu juga ada tata kramanya. Diantaranya, dalam kondisi berwudhu dan menghadap kiblat. Dilakukan dengan suara lembut, merendahkan diri, dan merasa yakin dikabulkan doanya dan zikirnya oleh Allah Ta’ala.

Dalam aliran tarekat tertentu, ada gerakan-gerakan khusus dalam berzikir. Ada yang memutar kepala, manggut-manggut, menoleh kekanan dan endingnya menoleh kearah dada kiri, persisnya hati.

Berapa lama waktu yang paling baik untuk berzikir? Syed Daoud Iqbali, pimpinan tarekat Naqsabandiyah Afganistan pernah menyatakan, bahwa zikir yang berlangsung kurang dari empat atau lima jam hanyalah membuang waktu. Artinya kurang memperoleh hasil.

Bagi setiap orang yang serius tertarik dengan manfaat-manfaat zikir, bimbingan seorang Syeikh (Mursyid) merupakan keharusan. Seorang sufi besar mengatakan, “Orang yang tidak memiliki guru (syeikh) dan mengikuti dirinya sendiri berarti telah mengambil setan sebagai pembimbingnya”.

Pada umumnya, upaya zikir dilaksanakan pada Kamis malam (para sufi menganggapnya sebagai awal hari Jumat, hari ibadah bagi umat Islam). Biasanya para peserta zikir berdatangan sebelum mengerjakan shalat Isya, lalu ditempat upacara mengerjakan shalat Isya berjamaah. Kemudian menunggu isyarat atau tanda dari syeikh untuk mulai zikir.

Zikir Terbaik
Bacaan zikir apa yang paling afdal? Diberitakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Afdlalu zikri Laa ilaha illallahu”. Sebaik-baik yang diucapkan olehku pada para Nabi sebelum aku ialah: “Laa ilaha ilallah wahdahu la syariika lah (tiada Tuhan selain Allah sendiri, tiada sekutu bagi Diri-Nya).

Pembacaannya mengikuti petunjuk syaikh, mungkin cepat atau lambat, keras atau perlahan-lahan. Sasaran zikir untuk meningkatkan jenjang-jenjang terminal (perhentian) jiwa (maqom), sehingga seseorang sampai pada penyaksian akan Yang Maha Suci.

Apabila hal itu terjadi, (yang tidak tercapai secara merata pada setiap orang) akan jatuh pada keadaan wajd (kebahagiaan). Zikir yang dibaca oleh kelompok zikir, tidak hanya satu. Biasanya diambil dari Alquran, puji-pujian, bertasbih, salawat nabi, asmaul husna, dan lainnya.

Mengenai zikir asmaul husna, sesungguhnya banyak sekali hikmahnya. Masing-masing asma Allah yang merupakan sifat Allah, memiliki hikmah luar biasa. Asma Allah Al-Badii’u (Yang Menciptakan Yang pertama kali) misalnya, terkandung rahasia mulia. Jika di zikir dengan tata kramanya, Insya Allah tidak henti-hentinya memperoleh ilmu Ketuhanan, serta tumbuh berbagai ilmu dari hati dan lisannya.

Syaikh Ahmad bin Ali Al Buni dalam kitab Syamsul Muarief menceritakan pengalamannya. Ia telah merutinkan berzikir dengannya dalam beberapa waktu. Yang semula saya tidak mengerti sesuatu tentang ilmu, dalam waktu tidak lama Allah mengalirkan ilmu Alhikmah (kebijakan) pada lisan saya sehingga jadilah saya mampu berbicara yang saya tidak mengetahui dan memahaminya. Karena nilanya terlalu tinggi (baqi) papar Syaikh.

Asma Allah Nuur (cahaya), juga merupakan asma yang mengandung magnet/daya tarik. Jika dizikir sebanyak-banyaknya secara rutin, Allah akan menerangi hatinya dengan Nuur iman. Jika ia orang jujur, maka Allah akan menampakkan cahaya hatinya pada mukanya. Dan keluarlah cahaya dari mulutnya di saat ia berzikir, sehingga menerangi rumah yang gelap. Sementara itu, kedua matanya tertutup hingga ia tenggelam dalam satu situasi yang bisa melihat dengan jelas terhadap berbagai cahaya yang mengagungkan memenuhi hatinya. Dalam kata lain, dapat melihat kegaiban. Begitu pula asma-asma lainnya.

Salah seorang syaikh telah berkata: “Kebahagiaan yang terjadi pada orang-orang soleh dalam zikirnya merupakan semacam gejolak, yang menjadi penyebab gelombang mengeluarkan buih dan pecah di pantai”.

Nabi Musa AS telah diberi penjelasan oleh Allah bahwa zikir merupakan ibadah khusus yang paling disenangi. Karena kemampuannya untuk menanamkan ketulusan yang sangat dalam pada hati orang yang mempercayainya.

Malaikat Kagum
Rasulullah SAW telah memberikan penjelasan mengenai yang terjadi dalam pelaksanaan zikir secara berjamaah. Beliau bersabda, sekelompok malaikat diberikan tugas khusus oleh Allah untuk melakukan patroli ke seluruh dunia, mencari orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk mengingat Allah yang Maha Kuasa, dan menyebut-nyebut nama-Nya. Tatkala mereka menemukan sekelompok orang yang sedang berzikir, para malaikat sangat kagum dan senang, mereka memanggil para malaikat yang lain untuk bergabung dengan mereka, sambil menggabungkan sayapnya dan membentuk barisan yang mengarah menuju ke surga.

Sewaktu kumpulan zikir ini berakhir, para malaikat kembali ke surga dan Allah bertanya kepada mereka darimana mereka (walaupun sebenarnya Allah tahu apa yang telah terjadi, namun Dia sangat senang mendengarnya). Para malaikat bercerita kepada Allah bahwa mereka baru saja kembali dari sekumpulan orang yang telah menghabiskan waktunya dengan mengingat Allah dan mereka mengagungkan serta memuji-muji-Nya. Allah bertanya kepada para malaikat, “Apakah mereka melihat-Ku?”
Para malaikat menjawab, “Tidak Ya Allah, mereka tidak melihat Engkau.”
Allah kemudian bertanya kepada para malaikat, “Apa yang akan dipikirkan oleh mereka sekiranya mereka melihat-Ku”.
Para malaikat menjawab, “Jika demikian maka mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Engkau Ya Allah.”

Apa yang mereka inginkan dari-Ku?” Allah bertanya
“Mereka sangat merindukan surga-Mu ya Allah.” Jawab para malaikat.
“Apakah mereka melihat surga-Ku?” Allah bertanya kembali.
“Tidak ya Allah, mereka tidak melihatnya.” Jawab para malaikat.
“Apa yang terjadi sekiranya mereka melihatnya?” Allah bertanya lagi.
Mereka semakin merindukannya, jawab para malaikat.

“Dari apa mereka meminta perlindungan.” Allah bertanya lagi.
“Mereka sedang meminta perlindungan dari api neraka.” Jawab para malaikat.
“Apakah mereka telah melihat neraka-Ku?” Allah kembali bertanya.“Tidak ya Allah. Mereka tidak melihatnya”, jawab para malaikat.
“Apa yang terjadi seandainya mereka melihat neraka-Ku? Allah bertanya lagi.
“Mereka akan semakin memohon perlindungan Engkau ya Allah dari siksa api neraka,” jawab para malaikat.

Kemudian Allah mengatakan kepada para malaikat yang hadir bahwa Dia telah memaafkan semua orang yang menghabiskan waktunya untuk mengingat-Nya. Salah satu malaikat berkata kepada Allah, “Tapi, ya Allah, ada diantara mereka orang-orang yang hanya kadang-kadang saja ikut zikir dan tidak termasuk dalam kelompok itu (yaitu orang-orang yang tidak tulus). Allah yang Maha Kuasa menjawab, “Bahkan, orang seperti itu telah Aku maafkan, yang dimuliakan adalah kumpulan zikirnya sehingga sekalipun orang hanya kadang-kadang saja ikut, ia tidak terhalangi dari pahala-Ku.

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (9)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (9)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

9. SHALAT DAN PUASA KELEZATAN ORANG TERPILIH

Jalan yang bisa dilalui menuju Tuhan ada dua arah, yaitu jalannya orang awam dan orang-orang yang terpilih, tinggal kita mau memilih jalan yang mana?

Orang yang terpilih diibaratkan serpihan jarum, sedangkan Tuhan adalah magnet raksasa yang siap menarik jarum yang dilepas. Jadi, orang-orang pilihan itu bukan karena usaha/ikhtiar yang bersangkutan, tetapi Allah-lah yang menghendaki. Serpihan jarum tidak mungkin berjalan menuju magnet dengan sendirinya, tetapi magnet itulah yang menarik jarum menuju kepada-Nya. Orang yang dipilih, yang dikehendaki Allah, sejak di dalam kandungan sudah diberi keistimewaan.

Bagaimana keistimewaannya itu?
Abu Jazid al-Bisthami, misalnya. Ayahnya adalah seorang pemuka negeri. Sejak dikandungan ibunya, ia selalu meronta-ronta. Menendang perut ibunya begitu sang ibu menelan makanan yang subhat, apalagi makanan yang haram. Ibunya bercerita, Yazid berlaku demikian terus sebelum sang ibu memuntahkan semua makanan yang ditelannya.

Imam Syafi’i, dalam riwayat disebutkan, beliau berada dalam kandungan ibunya selama 4 tahun. Begitu umurnya 7 tahun, sudah hafal Alqur’an. Ia menjadi ahli hujjah yang disegani. Bahkan menjadi salah seorang imam ahli Fiqih yang mazhabnya juga dianut di Indonesia. Dan masih banyak lagi keistimewaan-keistimewaan hamba-hamba Allah SWT lainnya.

Jalan yang dilalui orang awam, adalah jalan syari’at. Mengerjakan shalat, berpuasa, berhaji, berzakat, juga bekerja, berkeluarga, dan bermasyarakat. Beramal saleh menjauhi yang haram dan mencegah kemunkaran. Serta yang lain-lainnya. Sedangkan jalan yang khusus, jalannya orang yang terpilih, yang melewati adalah orang-orang yang menjauhi dunia. Orang yang meninggalkan keramaian dunia adalah para zahid, para sufi yang melakukan Uzlah, menyepi ditengah keramaian atau ditengah kesepian dengan jalan memperbanyak shalat, puasa, berdzikir, dan membaca Al-Qur’an untuk merenangi dan menyelami kedalaman samudera Makrifatullah yang menyimpan mutiara Nur Allah.

Shalat
Bagaimana ibadahnya para zahid, para sufi itu?
Mengenai shalat, selain shalat fardhu yang lima waktu, memperbanyak shalat-shalat sunah lainnya dan mengerjakan shalat malam. Selain shalat sunah rawatib, juga shalat sunah nafil, yaitu shalat sunah tambahan yang mengiringi shalat lima waktu, yang tidak termasuk dalam shalat sunah rawatib. Kemudian mengerjakan shalat isra’, dhuha, shalat hajat, shalat tahajud yang raka’atnya tidak terhitung tergantung dari masing-masing. Dan pada bulan Ramadhan selain shalat sunah yang macamnya seperti tersebut di atas, ada shalat sunah khusus yaitu shalat Tarawih. Jumlah rakaatnya paling sedikit 8 rakaat, paling banyak tergantung kemauan, bisa 100 s/d 1000 rakaat setiap malam jika mampu.

Puasa
Ibadah bagi zahid, kaum sufi, masih ada sederetan macam puasa harian hingga tahunan. Puasa Ramadhan sebulan penuh, puasa sunah 6 hari awal bulan Syawal setelah Idul Fitri. Tidak diperkenankan puasa 3 hari sebelum bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Puasa tahunan, yaitu hari-hari Arafah (selama bulan Dzulhijjah), hari Asyurah, yaitu 10 pertama bulan Dzulhijjah, 10 hari pertama bulan Muharam, dan sebanyak mungkin berpuasa di bulan Sya’ban.

Puasa bulanan, yaitu berpuasa pada hari pertama, pertengahan bulan, dan akhir bulan setiap bulannya. Selain itu, ada juga yang disebut puasa ayyam bayad, yaitu pada hari ke 13 , 14, 15 dari setiap siklus bulan.

Puasa mingguan, yang paling baik adalah puasa pada hari Kamis, Jumat dan Senin. Puasa harian, Rasulullah SAW melarang puasa harian. Cara yang paling baik adalah puasa sehari dan makan sehari. Rasulullah saw bersabda, “Kekayaan dunia dipersembahkan kepadaku. Aku menolaknya dan berkata kalau aku akan tetap menahan lapar (berpuasa) selama satu hari dan makan (berbuka) pada hari berikutnya. Sewaktu aku berbuka aku berdoa kepada Allah dan sewaktu berpuasa aku mencari keridhaan Allah.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya, “Tidak ada puasa yang lebih baik dari puasa tersebut.”

Namun, untuk meningkatkan ketaqwaannya, para zahid senantiasa berpuasa setiap harinya. Tidak berpuasa hanya pada hari-hari yang diharamkan. Puasa harian boleh-boleh saja asalkan tidak menyiksa diri dan mampu.

Shalat dan berpuasa, menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi orang-orang khusus. Karenanya kelezatan beribadah itu dirangkai dengan dzikir. Keterlenaan di alam dzikir, membuat, menimbulkan kelezatan rasa nurani. Bagi tingkatan makrifatnya yang sudah tinggi, hatinya bisa mengeluarkan cahaya. Dan cahaya itu keluar melalui bibir, yang menerangi ruangan. Sementara dirinya tidak menyadari lantaran mata terpejam.

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS