DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Rabu, 29 Juli 2009

Yang Berhak Atas Adzab Allah


YANG BERHAK ATAS ADZAB ALLAH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai dan dimuliakan Allah SWT.

Begitu kita mendengar kata-kata adzab, terutama bila adzab itu dari Allah SWT maka bulu kuduk kita langsung merinding, ketakutan menyelimuti diri kita dan bayangan akan siksa membuat tubuh lemah lunglai. Padahal Allah SWT bukanlah penyiksa, tetapi kesalahan persepsi manusialah yang menjadikan sosok Tuhan begitu angker, kejam dan penyiksa.

Dalam ummul kitab, yaitu surat Al-Fatihah (yang merupakan inti sari dari Al-Qur’an) bahwa Allah SWT memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Kepada siapa? Ya kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Kalaupun Allah SWT memberikan balasan (kenikmatan atau kesengsaraan) itu semata-mata dari perbuatan manusia itu sendiri. Manusialah yang mendzalimi diri sendiri. Coba perhatikan ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi, manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri” (QS. Yunus 10 : 44).

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…”. (QS. Asy-syura 42 : 30).

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…(QS. An-Nisa 4 : 79).

Mengapa hanya manusia yang berhak atas adzab Allah SWT? Karena manusia sering membangkang (diberdaya oleh nafsunya) kepada ketentuan dan kehendak Allah SWT. Hal ini tidak terjadi dengan alam semesta (termasuk makhluk Allah SWT) yang selalu taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT.

“Kemudian Dia (Allah) menuju kepada langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa, keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati”. (QS. Fussilat 41 : 11).

Kepatuhan langit dan bumi mereka bertasbih dengan caranya yaitu berputar tidak akan pernah berhenti sebelum mereka dihancurkan oleh waktu (dibatasi oleh waktu). Begitu pula dengan makhluk-makhluk lain yang selalu memuji (bertasbih) kepada Allah SWT dengan menuruti perintah Tuhannya.

“Tidakkah engkau tahu, bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang-binatang melata dan sebagian besar manusia?.... (QS. Al-Hajj 22 : 18).

Patuh, tunduk dan berserah diri itu wujud dari ikhlas. Sedangkan manusia diperintah Allah SWT senantiasa berharap akan surga dan pahala. Namun jika tujuan manusia menyembah Allah hanya berharap pahala dan surga, mampukah manusia mengumpulkan amal shalihnya lebih banyak dari pada mungkarnya? Karena salah dalam menentukan tujuan hidupnya maka manusia berhak atas adzab Allah SWT. Sesungguhnya tujuan hidup manusia itu adalah untuk berjumpa dengan Allah SWT dan selamat kembali kepada-Nya. Barang siapa dapat kembali kepada-Nya maka surga sudah pasti didapat.

Sedangkan yang dimaksud dengan ibadah/menyembah oleh Allah SWT bukanlah semata-mata melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dengan benar menurut dirinya, tetapi lebih condong kepada tunduk dan patuh kepada Allah dengan ikhlas. Bukankah Islam itu sendiri berarti ketundukan dan kepatuhan kepada peraturan-peraturan Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Kata Islam dalam Al-Qur’an digunakan dengan beberapa perubahan atau tambahan. Misalnya dalam kata “aslama” yang berate menyerah.

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran 3 : 83).

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…” (QS. An-Nisa’ 4 : 125).

Bahkan di ayat lain, Islam untuk memiliki makna penyerahan total kepada Allah (istaslama-taslim-mustalimun).

“Bahkan mereka pada hari itu menyerahkan diri.” (QS. As-Saffat 37 : 26).

Orang yang ikhlas itu hanya menerima apa yang ada pada dirinya dengan syukur. Mereka memahami apa yang sudah diciptakan-Nya itu sudah ditentukan untuk dirinya yang tidak bias dirubah. Sehingga suatu saat datang musibah menimpa dirinya, mereka bias menerima apa adanya tanpa rasa takut dan berduka cita.

“Kami berfirman : Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah 2 : 38).

Jika mereka (manusia) tidak bias menerima, kemudian ia berusaha untuk merubah apa yang ada, adzab Allah sangatlah pedih. Apa yang terjadi pada diri manusia semuanya baik menurut Allah, tetapi bagi manusia bisakah memahami demikian?

“Dan (ingatlah juga) , tatkala Tuhanmu mema’lumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim 14 : 7).

Oleh karena itu cintailah dunia dan kehidupan, tetapi jangan sampai kita hanyut dalam keramaian dunia. Carilah keramaian hati kita yang senantiasa mendendangkan Asma-Nya (Dzikir Qalbi). Sehingga kemana saja kita berada maka tiada merasa sepi dan sunyi karena ditemani kebahagiaan. Itulah kunci surgamu yang melepaskan dari belenggu adzab Allah SWT.

Demikian sedikit sumbangsih dari saya, semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar