DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Senin, 20 Juli 2009

Syirik Salah Kaprah


SYIRIK SALAH KAPRAH

Assalamu'alaikum Wr. Wb.



Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan, dan dicintai Allah SWT.

Awal Sabtu malam Minggu bulan Juli 2009 lalu di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang (SC-HSS) terjadi diskusi yang menarik mengenai makna ketauhidan terutama yang berhubungan dengan syirik. Tidak hanya anggota komunitas SC-HSS saling beradu argumentasi (tentunya berpedoman dengan Al-Qur’an dan Sunnah/hadits) juga berbagai pertanyaan mengalir (saling meng-counter) sehingga suasana diskusi benar-benar hidup.

Diskusi ini ”dipicu” ketika salah seorang sahabat kami di SC-HSS mempertanyakan banyaknya masyarakat kita yang masih percaya dengan adat/kebiasaan yaitu perilaku memberikan sesaji atau bunga tujuh rupa di perempatan jalan yang dianggap angker dan sering terjadi kecelakaan atau juga memberikan sesaji di sendang (semacam kolam penampungan air alami) yang dipercaya ada penunggunya.

Diskusi terus berlanjut, dan tidak terasa waktu menunjukan jam 03.00 wib pagi namun diskusi belum selesai. Kami, komunitas SC-HSS cooling down dengan melakukan shalat Tahajud dan Witir serta dilanjutkan dengan dzikir (shilatun) bersama. Sambil menunggu waktu subuh kami membicarakan masalah agama namun dengan tema yang ringan-ringan saja serta ditemani jajanan dan wedang kopi. Sungguh indah suasana keakraban diantara kami meskipun para sahabat di SC-HSS memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, strata, usia dan ”kiblat” organisasi islam yang berbeda. Benar-benar penuh warna-warni, justru inilah yang menjadikan indah.

Setelah shalat subuh berjamaah, diskusi mengenai ketauhidan kembali dibahas, ini semata-mata untuk mendapatkan solusi yang tepat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah/Hadits dan ketika para sahabat SC-HSS pulang, tema yang dibahas telah clear, tidak mengambang, sehingga pulang dengan perasaan lega.

Dalam artikel ini tentu saja saya tidak dapat menguraikan secara lengkap mengenai diskusi tersebut namun bukan berarti saya mengesampingkan inti pembahasan. Adapun persoalan dan solusi dapat saya ringkaskan sebagai berikut.

Memang sering kali kita (umat islam) entah secara sadar atau tidak, gampang men-cap perilaku seseorang yang dinilai ”menyimpang” dari hal-hal yang umum dalam beragama dan menganggap perilaku itu dengan sebutan syirik. Mungkin ini bisa benar tetapi juga bisa salah. Lho kok bisa? Ya bisa saja.

Kita ambil contoh saja seseorang yang sering memberikan sesaji di sekitar sendang yang dianggap ada penunggunya (biasanya terjadi di pedesaan, karena sawah dan ladang mereka dialiri oleh air yang bersumber dari sendang tersebut). Kita dapat menganggap sesuatu itu syirik atau tidak tergantung niat. Kalau niat seseorang memberikan sesaji untuk mengagung-agungkan (mengarahkan ke penyembahan) dan beranggapan bahwa sang penunggu sendang adalah yang memberikan ”kehidupan” maka dia dapat dianggap syirik.

Namun kalau kita memberikan sesaji (makanan untuk sebangsa makhluk halus) sebatas hanya memberi imbalan dan rasa terima kasih karena telah menunggu dan membantu mengatur air di sendang ya tidak syirik. Toh makhluk halus itu juga makhluk Allah SWT (sebagaimana kita memberikan makanan kepada manusia~tetangga, fakir miskin, dll) dan kita tidak menyembah sang penunggu itu kok.

Logikanya begini, kebetulan di lingkungan anda saat ini bermukim, memiliki seorang security/satpam/penjaga malam yang berjasa mengamankan lingkungan di sekitar anda bertempat tinggal. Maka sebagai imbalan atas jasanya, setiap bulannya anda menggajinya atau memberi upah. Bahkan disaat dia bertugas anda kadang memberi makanan, minuman dan rokok. Kondisi ini sama dengan kasus di atas. Karena sang penunggu sudah berpartisipasi membantu menjaga dan mengatur sendang maka anda memberi upah berupa sesaji (lha ini memang makanan dia kok).

Pertanyaannya adalah apakah salah kalau sesama makhluk Allah SWT kita saling berbagi. Ini sama saja kok ketika anda memberikan pupuk, air dan obat-obatan kepada tanaman anda karena sang tanaman (makhluk Allah SWT) memberikan keindahan dan memanjakan penglihatan anda, bahkan dapat dijual untuk menghasilkan uang. Atau juga sama saja ketika anda memandikan, memberi makan dan minum kepada burung peliharaan anda, karena selama ini kicauannya memanjakan telinga anda. Ya sebatas ini saja kok, tidak ada tendensi lain-lain yang lebih dari itu. Apalagi sampai menyembah. Na'udzubillahi min dzalik!

Namun kalau alasan saya diatas anda kurang setuju dan tetap menganggap perilaku itu tergolong syirik, saya sih nggak masalah dan menyerahkan keputusan kepada pendapatan para sahabat dan sidang pembaca. Tetapi tolong juga hargai pendapat saya.

Kalau bagi anda yang kurang setuju, justru saya tergelitik ingin menanyakan sesuatu kepada anda yaitu apakah shalat itu baik? Pasti dan tak ragu-ragu lagi anda menjawabnya Ya. Tetapi jawaban saya justru belum tentu. Lho kok bisa? Ya bisa. Mau tahu alasannya?

Begini, ketika anda shalat adalah menyembah Allah SWT setotal-totalnya. Sesaat setelah anda Takbir anda mengucapkan,.. Inni wajahtu wajhiyalilladzi.......dst yang artinya ”Aku hadapkan wajah diriku kepada yang menciptakan langit dan bumi (Allah) dengan selurus-lurusnya (tidak syirik)...” (Surat Al-An’am 6 : 79) dan anda seharusnya dalam posisi ”berhadapan” dengan Allah SWT.

Tetapi apa yang terjadi? Justru disaat menjalankan shalat pikiran melayang-layang terbayang kerjaan yang belum selesai, hutang belum dibayar, lupa mematikan kompor, usahanya untung apa rugi, dll. Inilah yang menjadikan shalat kita tidak baik, lha wong katanya menghadapkan diri kepada Allah SWT, kok yang terlintas justru yang lain. Justru inilah syirik yang sebenar-benarnya. Katanya shalat untuk menyembah Allah SWT tetapi kok malah menyembah ”berhala-berhala” yang lain.

Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini:

“Hai orang-orang beriman janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar) sampai kamu mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. An-Nissa 4 : 43).

“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya”.. (QS. Al-Maa’uun 107 : 4-5).

Padahal Allah SWT jelas-jelas memperingatkan kita, bahwa kita harus menyembah Allah SWT secara total dalam shalat.

”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Sholat untuk mengingat Aku”. (QS. Taha 20 : 14).

...dan sesungguhnya mengingat Allah (Sholat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut 29 : 45).

Demikian sumbangsih saya, mohon maaf apabila ada kesalahan dan barangkali ada sebahagian sahabat dan sidang pembaca tidak/kurang berkenan dengan artikel ini. Semoga Allah SWT memaafkan kesalahan dan kekhilafan kita semua. Amin Ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
SC-HSS
www.akubersujud.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar