DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (21)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

21. PUASA KUNCI PINTU KEGAIBAN

Tentunya pembahasan ilmu tidak akan ada habis-habisnya. Sebab, diibaratkan ilmu itu, “yen ginelar ngebaki jagat”, yen ginulung sak mrica jinumput gedene.” Karenanya, bahasan tafakur kita sampailah pada kunci cara belajar mendalami ilmu menuju Tuhan. Bagaimana kuncinya?

Tuhan sifatnya gaib, untuk menuju-Nya harus melalui jalan gaib pula. Yaitu melakukan kontak dengan alam gaib. Perjalanan menuju kegaiban tidak lain dengan berpuasa, menyatu dengan alam, dan berzikir. Namun, bukan berarti harus pergi menyendiri ke hutan atau masuk gua kemudian bertapa (Uzlah). Didalam keramaian juga bisa dilakukan. Dalam istilah Jawa disebut tapa “ngrame” (berpuasa dalam keramaian dunia). Tetapi, etimologi (istilahnya) harus minggir dari keramaian artinya di dalam keramaian kita harus bisa ‘mensunyikan’ kalbu. Mengambil posisi diperbatasan antara alam nyata dan alam kegaiban. Minggir, istilah Jawanya Nepi. Tembung ‘Nepi’ merupakan kepanjangan dari “meneping pikir”

Dalam konsepsi tasawuf Jawa, manusia terbagi menjadi tiga bagian alam. Masing-masing; kepala yang didalamnya terdapat otak, dinamakan ‘Baitul Makmur’ (tempat keramaian), bagian tengah adalah Dada yang didalamnya terdapat hati nurani, disebut ‘Baitul Muharram’ (tempat kesucian), dan bagian terbawah adalah Kemaluan yang disebut ‘Baitul Muhadas’ (tempat kotor atau nafsu).

Alam pikir atau tempat keramaian semuanya terdapat di dalam kepala. Segala macam keinginan, keruwetan, dan bermacam-macam angan-angan, yang bersifat keduniaan bersumber dari alam pikir. Karenanya harus dijernihkan sejernih mungkin. Segala keinginan selain Allah harus dihilangkan. Hal ini tentunya membutuhkan pelatihan. Sebab, jika dilakukan secara spontan jelas tidak mungkin. Karena itu itu untuk memahami ilmu tasawuf membutuhkan waktu sangat lama.

Baitul Muhadas, tempat nafsu. Disebut demikian, sebab segala keinginan, pemikiran jahat, perbuatan angkara murka, perbuatan mungkar, sumbernya adalah nafsu. Maka harus dikalahkan. Dihilangkan. Jalan menghilangkannya dengan cara menyendiri. Menjauhi keramaian. Jika sudah dari keramaian, jauh dari dunia dan seisinya, maka nafsu bisa menjadi lemah.

Tak terkecuali hati. Tempat suci ini bisa dikotori akibat terpengaruh oleh samudra alam pikir, dan dorongan nafsu yang bersumber dari kemaluan. Seperti iri dengki, riya’, tamak, dan sebagainya. Karena itu, untuk memohon ampunan kepada Allah SWT, harus memohonkan ketiga-tiganya.

Perbatasan Gaib
Perbatasan antara dunia ramai dengan dunia gaib di dunia keramaian ini adalah kesunyian. Di dalam kesunyian kita harus menyendiri. Sedangkan kesunyian itu bukan berarti harus berada di tengah hutan atau di dalam gua. Tetapi bisa juga ditengah malam yang senyap. Pada lebih tengah malam itu, kesibukan nyaris berhenti. Semua makhluk pada terlelap dalam tidur dan asyik masyuk di alam mimpi. Pada waktu itulah kita bangun, kemudian bersuci lalu beribadah, memperbanyak salat sunah dan zikir. Juga tidak meninggalkan salat sunah nawafil lainnya seperti salat Isra’ Dhuha, qobliyah dan ba’diyah.

Aktivitas demikian ini harus dilakukan secara istiqamah (kontinyu). Istilah yang sering disinggung, idep, madep, mantep dan tetep. Idep artinya memiliki tekad yang sungguh-sungguh. Madep artinya menghadap/ menyongsong kehidupan yang akan terjadi. Mantep artinya penuh keyakinan lahir batin. Dan Tetep artinya istiqamah (kontinyu), terus menerus tak kenal lelah dan susah.

Dalam menjauhi dunia seisinya, konsepsinya harus ‘mbudeg lan micek’. Mbudek artinya tidak mendengarkan suara yang isinya menjurus keduniawian (dicela dan disanjung sama saja). Micek (membutakan diri) artinya tidak memperhatikan sekelilingnya yang tidak ada arti dan manfaatnya.

Disisi lain, dalam menjalankan ketafakuran juga harus memperhatikan tatakrama. Baik soal makan, bekerja, beribadah, dan lainya. Seyogyanya meniru apa saja yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Yang tidak kalah pentingnya, hendaknya memperhatikan waktu ijabah. Malam-malam dan hari-hari yang mulia. Sebab, pada saat-saat itulah rahmat dan karunia Allah diturunkan. Karenanya, paling afdal dipergunakan memperbanyak salat sunnah dan zikir, serta berpuasa pada siang harinya. Tidak lupa berdoa dan memohon ampunan pada Illahi Robbi.

Waktu Ijabah
Mengenai waktu-waktu ijabah yang sangat penting untuk dipergunakan memperbanyak ibadah, disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ada 15 malam, yaitu malam ke 7 dan 10 hari terkhir di bulan Ramadhan. Malam Nisfu Sa’ban, malam ke 27, yaitu malam Mi’raj, malam hari di malam dua Id, malam Jumat dan banyak lagi.

Nabi Muhammad bersabda: “Orang yang beramal di malam tersebut di atas mendapat kebaikan-kebaikan 100 tahun. Maka siapa yang shalat di malam-malam tersebut melaksanakan shalat 12 rakaat dengan membaca Fatihah dan surat Qoof dalam setiap rakaatnya, membaca tasyahut dalam setiap dua rakaat, dan memberikan salam pada akhirnya. Kemudian membaca: “Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar, 100 kali dan memohon ampunan (istghfar) 100 kali, salawat Nabi 100 kali, dan mendoakan dirinya sekehendaknya tentang urusan dunia dan akhirat, serta berpuasa di pagi harinya, maka Allah Ta’ala akan mengabulkan seluruh doanya, kecuali maksiat.”

Sabda Nabi SAW: “Barang siapa menghidupkan dua malam Id, tidaklah mati hatinya disaat banyak hati manusia telah mati.” Dan malam terakhir Zulhijah yang memiliki keutamaan besar. Selesailah seperempat kitab tentang ibadah dan disusul seperempat kitab tentang adat.

Tidak lupa pula membaca Al-Quran. Pentingnya membaca, dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi: “Tidaklah ada juru safaat yang utama derajatnya disisi Allah pada hari kiamat daripada Al-Quran, bukan Nabi, bukan Malaikat, dan bukan lainnya.”

Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa Allah Azza wa Jalla membaca surat Thaha dan Yasiin 200 tahun sebelum menciptakan makhluk. Tatkala malaikat mendengar Al-Quran, mereka berkata, “Beruntunglah umat yang diturunkan Alquran ini kepada mereka, dan beruntunglah rongga tubuh yang mengandung Alquran ini serta beruntung pula lisan yang membacanya.”

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar