Assalamu'alaikum Wr. Wb.
(10)
ANTARA PEMIMPIN DAN UMAT
ANTARA PEMIMPIN DAN UMAT
Pada pertengahan medio tahun 2006, saya beserta istri ikut pelatihan yang diselenggarakan oleh sebuah Yayasan islam, selama dua hari berturut-turut, mulai pagi hari sampai menjelang maghrib. Meskipun kami sudah merasa cukup umur, namun tidak menghalangi untuk tetap terus belajar dan belajar. Semua itu didorong oleh kesadaran bahwa mencari ilmu tidak pernah berakhir selama masih hidup. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan. Rasulullah SAW pernah bersabda,”Belajarlah mulai dari ayunan hingga liang lahat”.
Materi demi materi yang disampaikan coba kami serap dan cerna. Syukur Alhamdulillah keseriusan itu berbuah manis, kami paham inti dari materi pelatihan tersebut dan insya Allah dapat menerapkannya.
Ada hal yang menarik selama pelatihan tersebut berlangsung. Di sela-sela penyampaian materi, sang ustadz menyisipkan pengalamannya tentang kondisi umat islam saat beliau berkunjung di sebuah desa terpencil, di Jawa Timur. Dengan mimik wajah yang serius beliau mulai bercerita.
Tersebutlah suatu desa di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam. Meskipun memiliki keyakinan yang sama, mereka berasal dari 2 kelompok islam yang berbeda. Entah mulai kapan dan bagaimana asal usulnya sehingga terjadi perpecahan. Akibatnya diantara mereka tumbuh semacam sentimen kelompok.
Sebenarnya kondisi ini dipicu hanya karena masalah pemahaman furu’ (cabang) yang berbeda. Tetapi dampaknya sungguh sangat luar biasa dan berakar kuat sampai sekarang. Oleh karena itu, sang ustadz berusaha mendamaikan kedua kubu dan meredam lebih jauh dampak perseteruan tersebut.
Apa yang sedang terjadi sehingga perlu di-damai-kan dan diredam permasalahan tersebut?
Pertama, Sentimen kelompok menyebabkan situasi dan kondisi kehidupan sosial masyarakat menjadi tidak kondusif lagi. Ada semacam konflik kepentingan. Masing-masing pimpinan dari tiap-tiap kelompok saling menaruh curiga. Para berusaha mempertahankan umatnya dan saling mempengaruhi satu sama lain. Karena mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas “keselamatan” umatnya. Segala daya upaya tindakan protektif pun dilakukan. Salah satunya dengan melakukan dakwah yang kurang terpuji dan tidak tepat, seperti merendahkan ustadz dari golongan lain di depan umatnya melalui pengajian yang diadakankan. Kondisi ini semakin memperparah keadaan yang ada dan sentimen kelompok bertambah parah.
Kedua, Di sisi lain, umat berusaha membela mati-matian pemimpinnya yang dilecehkan dan tidak diberlakukan sebagaimana mestinya oleh kelompok lain. Sehingga bila bertemu dengan seterunya di tengah jalan saling tidak bertegur sapa, walaupun mereka bertetangga.
Ketiga, Ketidakharmonisan kehidupan keagamaan juga menyebabkan setiap kelompok berusaha merebut, menguasai dan “menduduki” masjid yang ada. Kebetulan di desa tersebut jumlahnya hanya ada 1 buah.
Keempat, Meskipun tidak sampai beradu otot, namun antar golongan terjadi perang dingin. Hal ini mengakibatkan kehidupan sosial masyarakat tidak terjalin dengan baik. Kegiatan-kegiatan sosial pun menjadi terbengkalai. Masing-masing disibukkan dengan kecurigaan dan urusan kelompoknya.
Demikian sekelumit cerita dari sang ustadz, namun sudah cukup mewakili apa yang menjadi keprihatinan hati beliau saat itu. Saya sendiri terkejut mendengar kisah tersebut dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda penyesalan terhadap perilaku umat islam yang tak kunjung dewasa dalam beragama. Baik dalam cara berdakwah, membina umat, rasa empati dan tingkat toleransi dalam menerima perbedaan. Sungguh suatu cara kehidupan beragama yang naif bukan?
Namun syukur alhamdulillah. Setelah kedua pimpinan (ustadz) golongan tersebut dipertemukan dan diajak berdiskusi dicapailah jalan keluar. Hingga saat ini berdasarkan pantauan yang dilakukan secara periodik, kehidupan masyarakat mulai membaik. Misalnya, mengenai masalah masjid, tidak perlu diperebutkan. Hanya perlu kesadaran dan toleransi golongan. Masing-masing kelompok diberi jatah secara bergiliran untuk digunakan beribadah dan berdakwah.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Materi demi materi yang disampaikan coba kami serap dan cerna. Syukur Alhamdulillah keseriusan itu berbuah manis, kami paham inti dari materi pelatihan tersebut dan insya Allah dapat menerapkannya.
Ada hal yang menarik selama pelatihan tersebut berlangsung. Di sela-sela penyampaian materi, sang ustadz menyisipkan pengalamannya tentang kondisi umat islam saat beliau berkunjung di sebuah desa terpencil, di Jawa Timur. Dengan mimik wajah yang serius beliau mulai bercerita.
Tersebutlah suatu desa di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam. Meskipun memiliki keyakinan yang sama, mereka berasal dari 2 kelompok islam yang berbeda. Entah mulai kapan dan bagaimana asal usulnya sehingga terjadi perpecahan. Akibatnya diantara mereka tumbuh semacam sentimen kelompok.
Sebenarnya kondisi ini dipicu hanya karena masalah pemahaman furu’ (cabang) yang berbeda. Tetapi dampaknya sungguh sangat luar biasa dan berakar kuat sampai sekarang. Oleh karena itu, sang ustadz berusaha mendamaikan kedua kubu dan meredam lebih jauh dampak perseteruan tersebut.
Apa yang sedang terjadi sehingga perlu di-damai-kan dan diredam permasalahan tersebut?
Pertama, Sentimen kelompok menyebabkan situasi dan kondisi kehidupan sosial masyarakat menjadi tidak kondusif lagi. Ada semacam konflik kepentingan. Masing-masing pimpinan dari tiap-tiap kelompok saling menaruh curiga. Para berusaha mempertahankan umatnya dan saling mempengaruhi satu sama lain. Karena mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas “keselamatan” umatnya. Segala daya upaya tindakan protektif pun dilakukan. Salah satunya dengan melakukan dakwah yang kurang terpuji dan tidak tepat, seperti merendahkan ustadz dari golongan lain di depan umatnya melalui pengajian yang diadakankan. Kondisi ini semakin memperparah keadaan yang ada dan sentimen kelompok bertambah parah.
Kedua, Di sisi lain, umat berusaha membela mati-matian pemimpinnya yang dilecehkan dan tidak diberlakukan sebagaimana mestinya oleh kelompok lain. Sehingga bila bertemu dengan seterunya di tengah jalan saling tidak bertegur sapa, walaupun mereka bertetangga.
Ketiga, Ketidakharmonisan kehidupan keagamaan juga menyebabkan setiap kelompok berusaha merebut, menguasai dan “menduduki” masjid yang ada. Kebetulan di desa tersebut jumlahnya hanya ada 1 buah.
Keempat, Meskipun tidak sampai beradu otot, namun antar golongan terjadi perang dingin. Hal ini mengakibatkan kehidupan sosial masyarakat tidak terjalin dengan baik. Kegiatan-kegiatan sosial pun menjadi terbengkalai. Masing-masing disibukkan dengan kecurigaan dan urusan kelompoknya.
Demikian sekelumit cerita dari sang ustadz, namun sudah cukup mewakili apa yang menjadi keprihatinan hati beliau saat itu. Saya sendiri terkejut mendengar kisah tersebut dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda penyesalan terhadap perilaku umat islam yang tak kunjung dewasa dalam beragama. Baik dalam cara berdakwah, membina umat, rasa empati dan tingkat toleransi dalam menerima perbedaan. Sungguh suatu cara kehidupan beragama yang naif bukan?
Namun syukur alhamdulillah. Setelah kedua pimpinan (ustadz) golongan tersebut dipertemukan dan diajak berdiskusi dicapailah jalan keluar. Hingga saat ini berdasarkan pantauan yang dilakukan secara periodik, kehidupan masyarakat mulai membaik. Misalnya, mengenai masalah masjid, tidak perlu diperebutkan. Hanya perlu kesadaran dan toleransi golongan. Masing-masing kelompok diberi jatah secara bergiliran untuk digunakan beribadah dan berdakwah.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar