DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 30 Juli 2009

Orang Berhidmat, Rezeki Datang Sendiri


ORANG BERHIDMAT, REZEKI DATANG SENDIRI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimulikan dan dicintai Allah SWT.

Memburu rezeki, sudah barang tentu menjadikan seseorang sibuk. Karena kesibukannya mencari rezeki, membuatnya mengabaikan (lupa) pada sumber rezeki, yaitu Allah swt. Rezeki setiap hamba sudah ditentukan dan diatur sedemikian rupa pemberiannya. Sudah tercatat di Lauhul Mahfudh bersama umur dan jodoh. Rezeki tidak bisa berkurang dan bertambah. Karenannya, tidak bisa diburu. Ia tidak akan lari. Apabila sudah waktunya, rezeki akan datang sendiri.

Manusia dan jin diciptakan oleh Tuhan untuk berhidmat. Melayani Tuhan. Bukan untuk mencari rezeki. Orang yang beribadah dengan berserah diri sepenuhnya, maka rezeki menjadi tanggungan Allah.

Menurut para ulama ada dua hal yang tertulis di Lauhul Mahfudh, yaitu satu bagian tertulis secara mutlak, tanpa syarat dan tanpa menggantungkannya dengan pekerjaan hamba, yakni rezeki dan ajal. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran yang artinya: “Semua hewan yang melata di bumi itu, rezekinya menjadi tanggungan Allah.” Dan apabila ajal telah datang, maka mereka tidak bisa mengundurkan sesuatu pun dan tidak dapat memajukan.”

Sedangkan satu bagian lain yang tertulis dengan syarat, digantungkan dan disyaratkan dengan pekerjaan hamba, yaitu pahala dan siksa. Pahala dan siksa disebut oleh Allah dalam Alquran dalam keadaan digantungkan dengan syarat pekerjaan hamba.

Inilah perbedaan antara rezeki dan ajal dengan pahala dan siksa, memang sudah tertulis di Lauhil Mahfudh. Tetapi, perbedaannya sudah jelas. Pahala atau siksa akan diperoleh berdasarkan pekerjaan manusia di dunia. Amal ibadah imbalannya pahala kenikmatan, dan siksa akan diperoleh sebagai imbalan kemungkaran dan kejahatan atau perilaku buruk lainnya.

Sejak zaman kuno klasik, sudah timbul pertanyaan, “Kita melihat orang-orang yang mencari rezeki pada menemukan banyak rezeki dan harta, sedangkan orang–orang yang tidak mau mencari tidak mempunyai apa-apa dan fakir.”

Menemui pertanyaan seperti ini, Al Ghazali menjawab: “Seakan-akan anda tidak pernah melihat orang yang rajin bekerja tapi fakir. Seolah-olah anda tidak pernah melihat orang yang tidak bekerja dan nganggur, tetapi mendapatkan rezeki dan kaya. Ini semua fakta, bahkan hal semacam inilah yang terjadi, supaya dimengerti bahwa yang demikian itu merupakan ketentuan Allah Yang Maha Menang lagi Maha Mengetahui, serta pengaturan Allah yang Merajai lagi Bijaksana.

Abu Bakr Muhammad bin Sabiq Ash-Shiqieliy mendendangkan syair yang artinya: “Banyak sekali orang kuat yang rajin mondar-mandir (mencari rezeki), lagi pula jernih pendapatanya, tetapi rezeki Allah berpaling darinya. Sebaliknya banyak pula orang lemah enggan mondar-mandir, namun seolah-olah ia tinggal menciduk saja rezeki dari tepi laut. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai rahasia yang samar dikalangan makhluknya, yang tidak bisa terbuka.”

Mengenai rezeki akan datang sendiri, Rasulullah SAW. Pernah didatangi seorang pengemis. Beliau pun bersabda: “Ambilah kurma ini! Seandainya engkau tidak datang, kurma ini pasti datang kepadamu.”

Hal ini juga tidak asing bagi kita. Tidak sedikit orang alim dan ahli hikmah, nyaris tidak pernah samasekali bekerja. Namun Allah mencukupi kebutuhan hidupnya. Entah melalui orang-orang yang mendatanginya, lalu menyerahkan sesuatu baik barang maupun uang dengan maksud minta didoakan. Tidak sedikit orang alim mampu melaksanakan ibadah haji beberapa kali, padahal dia tidak bekerja. Semata-mata berharap rezeki dari Allah.

Mengenai pahala dan siksa, dulu juga banyak yang menanyakan, apakah pahala dapat bertambah karena mencari, atau berkurang sebab meninggalkannya? Yang perlu diketahui adalah mencari pahala itu wajib, karena Allah memerintahkannya dan mengancam kalau meninggalkannya. Lagi pula Allah tidak menanggung pahala orang yang tidak taat. Sedangkan tambahan pahala dan siksa itu disebabkan pekerjaan hamba.

Yang menjadi persoalan dalam mengarungi samudra spiritual berjalan menuju surga, apakah perlu membawa bekal atau tidak berbekal, dalam arti bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Dalam hal ini, para alim berpendapat bahwa membawa bekal dalam beribadah itu boleh-boleh saja. Sebab, boleh jadi bekal itu merupakan rezekinya sebagai penegak dirinya. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah hatinya. Hati tidak boleh terpancang pada bekal yang dibawanya. Tetapi harus terpancang hanya kepada Allah.

Membawa bekal itu tidak haram, boleh. Yang haram adalah terpancangnya hati kepada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah. Terpancangnya rezeki di hati itulah kenyataan hambatan dalam ‘Aqobatul Awaridh (tanjakan) tajam ini yang dimaksudkan Al Ghazali.

Tampaknya sangat remeh. Tetapi sungguh sangat berat. Betapa tidak! Pada tanjakan ini yang diuji adalah hati. Timbulnya gerak hati disebabkan rasa khawatir. Khawatir mati kelaparan dan kehausan jika tidak memiliki bekal. Khawatir jatuh sakit, khawatir ini dan itu, dan sebagainya. Di jalan ini rasa was-was hati harus dihilangkan. Caranya adalah isi hati dengan asma Allah dan pasrahkan sepenuhnya kepada Allah segala sesuatunya (tawakal).

Jika sudah memiliki rasa pasrah, maka pada gilirannya akan merasakan hubungan antara diri pribadi dengan Allah. Merasa jiwa mengambang, lepas terpisah dengan dimensi dunia. Kita akan sadar dalam perenungan, bahwa hubungan manusia dengan dunia (mencari harta) adalah urusan pribadi, sama sekali tidak berhubungan dengan dimensi Ketuhanan. Alangkah indahnya, alangkah nikmatnya apabila terus menerus bisa demikian. Nantinya kita akan merasakan tidak butuh berhubungan dengan sesama manusia yang sibuk dengan dunia. Pada gilirannya juga merasa berat untuk berkata-kata yang tidak berarti. Karena banyak kata akan membuat keseleo, dan sangat tidak bermanfaat.

Demikian sumbangsih kami, semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Rabu, 29 Juli 2009

Yang Berhak Atas Adzab Allah


YANG BERHAK ATAS ADZAB ALLAH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai dan dimuliakan Allah SWT.

Begitu kita mendengar kata-kata adzab, terutama bila adzab itu dari Allah SWT maka bulu kuduk kita langsung merinding, ketakutan menyelimuti diri kita dan bayangan akan siksa membuat tubuh lemah lunglai. Padahal Allah SWT bukanlah penyiksa, tetapi kesalahan persepsi manusialah yang menjadikan sosok Tuhan begitu angker, kejam dan penyiksa.

Dalam ummul kitab, yaitu surat Al-Fatihah (yang merupakan inti sari dari Al-Qur’an) bahwa Allah SWT memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Kepada siapa? Ya kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Kalaupun Allah SWT memberikan balasan (kenikmatan atau kesengsaraan) itu semata-mata dari perbuatan manusia itu sendiri. Manusialah yang mendzalimi diri sendiri. Coba perhatikan ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi, manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri” (QS. Yunus 10 : 44).

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…”. (QS. Asy-syura 42 : 30).

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…(QS. An-Nisa 4 : 79).

Mengapa hanya manusia yang berhak atas adzab Allah SWT? Karena manusia sering membangkang (diberdaya oleh nafsunya) kepada ketentuan dan kehendak Allah SWT. Hal ini tidak terjadi dengan alam semesta (termasuk makhluk Allah SWT) yang selalu taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT.

“Kemudian Dia (Allah) menuju kepada langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa, keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati”. (QS. Fussilat 41 : 11).

Kepatuhan langit dan bumi mereka bertasbih dengan caranya yaitu berputar tidak akan pernah berhenti sebelum mereka dihancurkan oleh waktu (dibatasi oleh waktu). Begitu pula dengan makhluk-makhluk lain yang selalu memuji (bertasbih) kepada Allah SWT dengan menuruti perintah Tuhannya.

“Tidakkah engkau tahu, bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang-binatang melata dan sebagian besar manusia?.... (QS. Al-Hajj 22 : 18).

Patuh, tunduk dan berserah diri itu wujud dari ikhlas. Sedangkan manusia diperintah Allah SWT senantiasa berharap akan surga dan pahala. Namun jika tujuan manusia menyembah Allah hanya berharap pahala dan surga, mampukah manusia mengumpulkan amal shalihnya lebih banyak dari pada mungkarnya? Karena salah dalam menentukan tujuan hidupnya maka manusia berhak atas adzab Allah SWT. Sesungguhnya tujuan hidup manusia itu adalah untuk berjumpa dengan Allah SWT dan selamat kembali kepada-Nya. Barang siapa dapat kembali kepada-Nya maka surga sudah pasti didapat.

Sedangkan yang dimaksud dengan ibadah/menyembah oleh Allah SWT bukanlah semata-mata melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dengan benar menurut dirinya, tetapi lebih condong kepada tunduk dan patuh kepada Allah dengan ikhlas. Bukankah Islam itu sendiri berarti ketundukan dan kepatuhan kepada peraturan-peraturan Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Kata Islam dalam Al-Qur’an digunakan dengan beberapa perubahan atau tambahan. Misalnya dalam kata “aslama” yang berate menyerah.

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran 3 : 83).

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…” (QS. An-Nisa’ 4 : 125).

Bahkan di ayat lain, Islam untuk memiliki makna penyerahan total kepada Allah (istaslama-taslim-mustalimun).

“Bahkan mereka pada hari itu menyerahkan diri.” (QS. As-Saffat 37 : 26).

Orang yang ikhlas itu hanya menerima apa yang ada pada dirinya dengan syukur. Mereka memahami apa yang sudah diciptakan-Nya itu sudah ditentukan untuk dirinya yang tidak bias dirubah. Sehingga suatu saat datang musibah menimpa dirinya, mereka bias menerima apa adanya tanpa rasa takut dan berduka cita.

“Kami berfirman : Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah 2 : 38).

Jika mereka (manusia) tidak bias menerima, kemudian ia berusaha untuk merubah apa yang ada, adzab Allah sangatlah pedih. Apa yang terjadi pada diri manusia semuanya baik menurut Allah, tetapi bagi manusia bisakah memahami demikian?

“Dan (ingatlah juga) , tatkala Tuhanmu mema’lumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim 14 : 7).

Oleh karena itu cintailah dunia dan kehidupan, tetapi jangan sampai kita hanyut dalam keramaian dunia. Carilah keramaian hati kita yang senantiasa mendendangkan Asma-Nya (Dzikir Qalbi). Sehingga kemana saja kita berada maka tiada merasa sepi dan sunyi karena ditemani kebahagiaan. Itulah kunci surgamu yang melepaskan dari belenggu adzab Allah SWT.

Demikian sedikit sumbangsih dari saya, semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Selasa, 28 Juli 2009

Belajar Prihatin Untuk Ibadah


BELAJAR PRIHATIN UNTUK IBADAH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai dan dimuliakan Allah SWT.

Beberapa bulan terakhir ini di sebuah stasiun televisi swasta, kita disuguhkan sebuah tayangan khusus mengenai adu keahlian baik itu sulap, hipnotis, telepati, dll yang diperlombakan untuk mencari seorang master. Saya yakin anda semua pernah melihatnya, minimal 1 kali atau paling tidak anda sekilas melihat beberapa segmen atau adegan tersebut. Bahkan di stasiun televisi lain pun menayangkan hal yang sama namun di kemas dalam bentuk yang berbeda.

Dalam artikel kali ini saya tidak membahas bagaimana cara belajar ilmu itu, tetapi saya hanya sedikit mengulas mengenai kekuatan yang menggunakan otak untuk tujuan positif.

Dalam beberapa tahun terakhir ini dan berdasarkan penelitian laboratorium para pakar dari belahan dunia barat menemukan hasil percobaannya bahwa ternyata otak manusia mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi manusia maupun makhluk lainnya. Dari penelitian tersebut berhasil membuktikan bahwa ternyata otak manusia memiliki dan dapat memancarkan gelombang dengan frekuensi tertentu yang disesuaikan dengan penggunaannya.

Ibarat kita sedang mencari frekuensi radio yang kita pilih dan ingin didengar, tentunya kita harus tune in pada gelombang dan frekuensi tersebut. Begitu pula seorang peng-hipnotis untuk mempengaruhi seseorang maka dia harus memasuki gelombang dan frekuensi orang yang akan dipengaruhi. Biasanya orang yang memiliki gelombang dan frekuensi yang lemah (biasanya kosong/sedang melamun/tidak fokus/tingkat kesadaran rendah) akan mudah dipengaruhi. Oleh karena itu, bila seorang master hipnotis memilih audiens sebagai bukti bahwa dia mampu mempengaruhi orang lain maka dia akan memilih audiens yang memiliki tingkat kesadaran yang rendah. Begitu pula seorang penjahat (yang menggunakan hipnotis) akan mencari korban yang memiliki tingkat kesadaran rendah.

Semua orang dapat belajar hipnotis (tanpa membedakan agama, asal usul, status sosial, dll) dengan latihan secara rutin dan teratur dengan bimbingan guru/master maka potensi gelombang otak manusia akan dapat dibangkitkan. Secara umum gelombang dan frekuensi otak manusia terbagi menjadi empat kategori, yaitu :

a.Beta (kesadaran penuh) dengan kisaran 12 Hz sd 40 Hz.
b.Alpha (rileks, pintu gerbang memasuki bawah sadar) dengan kisaran 8 Hz sd 12 Hz
c.Tetha (kondisi bermimpi dan meditatif) dengan kisaran 4 Hz sd 8 Hz
d.Delta (Tertidur) dengan kisaran 0,1 Hz sd 4 Hz.

Lalu bagaimana menggunakan gelombang dan frekuansi otak manusia untuk hal positif?

****

Suatu kali, salah satu sahabat kami di SC-HSS berkeinginan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Hal ini didorong dengan kesadaran diri bahwa kita (manusia) hanya memiliki sedikit jatah umur, normal atau umumnya jatah usia manusia saat ini berkisar 60 sd 70 tahun (walaupun ini bukan harga mati) sementara itu telah banyak karunia yang Allah SWT telah diberikan kepada kita yang tak terhitung jumlahnya. Dengan cara apa manusia harus berterima kasih dan bersyukur kalau tidak dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita. Kemudian sahabat saya memohon kepada Allah SWT agar diberikan kepahaman bagaimana dapat memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk meningkatkan ibadahnya, semata-mata demi rasa syukur atas karunia Allah SWT selama ini dan rasa rindu ingin selalu berjumpa dengan Kekasihnya.

Sahabat saya suatu hari setelah menunaikan shalat subuh secara tidak sengaja melewati rumah tetangga yang kebetulan memelihara ayam di kandang. Beliau berhenti sejenak karena ada sesuatu yang menarik. Dilihatnya ayam tersebut sedang berpijak diatas sebatang bambu. Sekilas kalau kita perhatikan ayam tersebut tidur. Tetapi apakah betul demikian? Jawabannya tidak, meskipun kelopak matanya tertutup. Kalau ayam tersebut tidur berarti akan hilang kesadarannya dan akibatnya ayam tersebut pasti akan jatuh dari pijakan bambu tersebut.

Demikian pula kalau kebetulan anda memelihara burung di dalam sangkar, pada malam hari coba anda perhatikan, sekilas anda melihat burung tersebut tertidur karena kelopak matanya tertutup, tetapi nyatanya tidak. Kalau burung tersebut tidur (hilang kesadaran) maka akan jatuh dari bambu dimana burung tersebut berpijak.

Subhanallah, inilah pemahaman yang diberikan Allah SWT kepada sahabat saya. Bahwa selama ini baik burung, ayam, ikan, dll adalah binatang yang jarang tidur atau bahkan tidak tidur. Kalau binatang saja sanggup untuk tidak tidur mengapa manusia yang lebih sempurna tidak bisa melakukannya. Tentunya bisa. Lalu apa yang dilakukan sahabat saya?

Pertama, mengafirmasi terus menerus ke otak bahwa Beliau tidak ingin tidur. Selama ini dalam hidupnya dia merasa sudah banyak waktu yang digunakan untuk tidur. Sebenarnya ketika badan kita capek maka otaklah yang merespon untuk menyuruh tubuh kita istirahat. Maka bila otak kita terus diafirmasi atas perintah (niat untuk tidak tidur) maka otak dan tubuh akan merespon perintah/niat kita tersebut. Pada awalnya memang berat, namun bila kita ikhlas maka otak dan badan akan rela pula menerimanya.

Kedua, sahabat saya memohon kepada Allah SWT agar dia tidak tidur, andaipun dia tertidur semata-mata ditidurkan oleh Allah SWT, bukan karena nafsunya (keinginannya). Karena Allah-lah yang menidurkan hamba-Nya, Allah SWT punya hak untuk memaksa meskipun manusia atau makhluk ingin menolaknya.

”Dan Dia (Allah)-lah yang menidurkan kamu di malam hari...(QS. Al-An'am 6 : 60)

Ketiga, meningkatkan kesadaran agar selalu ingat kepada Allah SWT, baik melalui dzikir lisan, dzikir qalbu, dzikir ruh dan dzikir sirr. Dengan metode ini maka Ar-ruh akan berkuasa atas badan dan an-nafs kita. Bila ar-Ruh berkuasa atas diri kita maka rasa capek, ngantuk, penat, tidak akan kita rasakan. Inilah rahasia mengapa para sufi, waliyullah, dan para kekasih Allah SWT mampu menghabiskan sisa waktunya untuk selalu bermunajat kepada Allah SWT tanpa mengenal rasa lelah.

Ini pula yang terjadi pada beberapa sahabat di SC-HSS yang tidak merasa lelah dan ngantuk, bahkan mereka merasakan daya kasih sayang dan cinta Allah SWT mengalir dan mengalahkan kelemahan badan dan an-nafs. Subhanallah!

"Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam,..(QS. Adz-Dzariyat 51 : 17)

Demikian sekelumit bahasan artikel mengenai Belajar Prihatin Untuk Ibadah, semoga bermanfaat. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Kamis, 23 Juli 2009

Peganglah 3 Perkara Dalam Hidup Ini


PEGANGLAH 3 PERKARA DALAM HIDUP INI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan, dan dicintai Allah SWT.

Dalam menjalani perputaran roda kehidupan ini, manusia menginginkan segala sesuatu berjalan nyaman, khususnya untuk diri sendiri. Bila anda merasa nyaman menjalani hidup di dunia ini maka anda akan mendapatkan surga dunia. Demikian pula sebaliknya bila anda tidak merasa nyaman atas hidup ini maka neraka dunialah yang anda dapat.

Orang yang merasa nyaman menjalani hidup maka segala sesuatu yang ada di depan mata maupun apa yang menimpa kepadanya (baik susah maupun senang) tidak ada perbedaan. Hatinya tidak terbelenggu dan hanyut oleh keramaian dunia, tetapi dunia dipandang hanya sebagai sarana menuju kepada Allah SWT. Bila diberi kenikmatan dunia bersyukur dan bila kenikmatan tersebut diambil sang pemiliknya yaitu Allah SWT maka tidak merasa kehilangan apa-apa. Hatinya sudah tidak dipermainkan lagi oleh rasa. Hampa dan kosong, karena hatinya telah dipenuhi dan yang berhak bersemayam hanya Allah SWT. Hatinya terasa lapang.

Sebaliknya orang yang hatinya gelisah, dan diisi oleh penyakit hati seperti marah, iri, dengki, sombong, kecewa, dll maka orang tersebut sedang mendapat siksa dunia atau neraka dunia. Dadanya akan terasa sesak dan sempit. Hal ini dikarenakan hatinya terfokus atau cenderung kepada dunia.

”Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, isacaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi semput, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al-An’am 6 : 125).

Lalu bagaimana kita menyikapi kehidupan ini, sehingga hidup kita merasa nyaman. Paling tidak ada 3 hal pokok yang dapat menjadi pegangan.

Pertama, Jangan membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

Seringkali dalam bermasyarakat (habluminannas) kita dihadapkan pada perbedaan. Entah itu cara pandang, pendapat, prinsip yang dipegang, dll. Sering pula diri kita pribadi, organisasi dimana kita bernaung, golongan dimana kita berkumpul, dll adalah segala-galanya dan kebenaran adalah mutlak miliknya.

Sedangkan kelompok lain diluar komunitas kita identik dengan kesalahan dan kesesatan. Kita akan marah bila diri kita dikritik (padahal maksudnya baik yaitu untuk perbaikan) namun dengan fanatisme buta kita seperti kebakaran jenggot dan marah-marah, kalau perlu bertikai, berdarah-darah, dan mengorbankan nyawa, apalagi kalau sudah menyangkut harga diri. Masya Allah. Padahal apa yang kita bela belum tentu benar atau kadang-kadang salah alamat, ditunggangi oleh kepentingan pihak lain, atau semata-mata menuruti hawa nafsu belaka. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan paling benar. Kebenaran yang sejati adalah milik Allah SWT.


”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu (Allah SWT)....(QS. Al-Baqarah 2 : 147).

Janganlah berpegang kepada kebenaran diri maupun kebenaran umum (orang banyak), tetapi berpeganglah kepada kebenaran yang sejati, yaitu sesuatu yang berasal dari Allah SWT. Sesuatu yang pasti dan tidak berdasarkan persangkaan-persangkaan manusia belaka.

Orang yang berpegang pada prinsip ini (tidak menyalahkan orang lain apa yang menjadi keyakinannya, baik dalam arti luas maupun sempit) maka akan nyaman hidupnya. Mau berkumpul dengan kelompok si A oke, dengan komunitas si B juga oke, dengan organisasi si C no problem. Jadi anda dapat diterima dimana saja, dan kapan saja. Tidak ada curiga mencurigai, intip mengintip, dll.

Kedua, Janganlah anda memilih biarlah Allah yang memilihkan.

Seringkali kita beranggapan bahwa sesuatu yang kita anggap baik, pasti baik pula untuk kita. Sedangkan apa yang kita anggap buruk, pasti buruk pula akibatnya buat diri kita. Padahal anggapan ini belum tentu benar. Apa yang kita pandang baik, belum tentu dari sisi Allah SWT itu baik. Demikian pula apa yang kita pandang buruk, belum tentu dari sisi Allah itu buruk. Coba perhatikan ayat Al-Qur’an berikut ini :

...boleh jadi kamu benci sesuatu, sedang ia lebih baik bagimu; boleh jadi kamu kasihi sesuatu, sedang ia mudharat bagimu. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah 2 : 216).

Oleh karena itu dalam mengarungi bahtera kehidupan ini serahkanlah segala urusan kepada Allah SWT. Cukup Allah SWT sebagai wakil (pengatur segala urusan) kita. Janganlah kita bermain dengan persepsi kita, karena otak kita terbatas. Ibarat hard disk komputer, secanggih-cangihnya alat ini pasti memiliki keterbatasan kapasitasnya. Hanya Allah-lah yang mengetahui dan memegang kunci-kunci ghaib apa yang terjadi besok.

”Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.....(QS. Al-Qasas 28 : 68).

Ketiga, Janganlah berpikr selain Allah, biarlah Allah yang memikirkan kita.

Otak manusia memang nakal. Seringkali stress, kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan, berasal dari pengaruh kenakalan otak. Ketika seseorang dihadapkan kepada suatu masalah maka orang itu berperilaku seperti ”orang gila”. Kok gitu? Habisnya anda bertanya dan berbicara kepada diri sendiri tentang sesuatu masalah dihadapi. Kok bisa begini ya? Mengapa tidak begitu? Kalau kejadiannya begini pasti akan berdampak begini? dan seterus, dan seterusnya...

Padahal segala permasalahan dalam dunia ini berasal dari Allah SWT. Bagi seorang yang beriman maka segala permasalahan akan diterima dengan lapang dada. Setelah diterima maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah SWT. Biarlah Allah SWT yang menyelesaikan.

”...Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong (QS. Al- Baqarah 2 : 107).

Orang beriman cukup berpikir, berserah diri dan mendekat kepada Allah SWT. Biarkanlah Allah SWT yang mengaliri daya dan upaya untuk menggerakkan dan memberi petunjuk kepada kita dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Manusia ikut saja kehendak-Nya. Insya Allah masalah yang sebelumnya kita anggap masalah menjadi tidak bermasalah.

Demikian sedikit sumbangsih dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekhilafan. Semoga Allah SWT senantiasa memaafkan kesalahan dan kekhilafan kita semua. Serta menurunkan rahmat dan ridha kepada kita semua. Amin Ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shlat Center-Halaqah Sampangan Semarang
www.akubersujud.blogspot.com

Rabu, 22 Juli 2009

Cobaan, Tanda Allah Cinta Kepada Kita


COBAAN, TANDA ALLAH CINTA KEPADA KITA

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan, dan dicintai Allah SWT.

Ketika kita jatuh hati atau cinta kepada sesuatu maka anda akan dituntut berani berkorban. Misal, apabila anda cinta kepada mobil anda, maka anda dituntut berani mengorbankan sebagian hidup anda berupa uang, waktu dan tenaga untuk menunjukkan rasa cinta kepada mobil anda. Kalau anda tidak mau berkorban maka mobil anda tidak akan bersahabat dengan anda, ya mogoklah, ngadatlah, nggak enak dipandanglah karena kotor, lajunya nggak kencenglah, dll.

Begitu pula ketika anda menyintai seseorang, maka anda dituntut pula untuk berkorban demi mendapatkan cinta si dia, baik itu berupa waktu, tenaga, uang dan perasaan. Bayangkan bila anda tidak menyintai seseorang maka anda tidak perlu berkorban, istilah sekarang cuek bebek. Mau dia jungkir balik anda nggak punya urusan. Sebaliknya bila mencintai seseorang, tentu anda akan memberikan perhatian, berbagi perasaan, dan bersedia pula berbagi penderitaan. Bahkan nyawapun siap dikorbankan demi mendapatkan cinta sang pujaan hati.

Demikian pula kalau kita mengaku cinta kepada Allah SWT, maka untuk menjadi kekasih-Nya anda harus siap diuji/dicoba seberapa besar cinta anda sebelum Allah SWT menerima pinangan anda sebagai kekasihnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengingatkan kepada orang-orang beriman,

”Adakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan (saja) berkata : Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji (dicoba) lagi?” (QS. Al-Ankabut 29 : 2).

Bila anda mengaku orang-orang yang beriman (cinta) kepada Allah SWT maka anda harus bersiap-siap dengan ikhlas menerima cobaan dari Allah SWT. Dan cobaan ini tidak hanya satu dua kali dalam hidup anda, tetapi terus menerus, satu cobaan selesai maka diganti cobaan lain yang lebih berat dari sebelumnya, cobaan ini akan berakhir sampai ruh meninggalkan badan anda. Cobaan ini tidak hanya yang identik dengan penderitaan (kemiskinan, penyakit, dll) tetapi juga cobaan berupa yang enak-enak seperti jabatan, berlimpahnya harta, wajah yang cantik/tampan, dan jenis cobaan ini lebih berbahaya karena manusia gampang terlena dan hanyut dalam kenyamanan hidup di dunia.

Meski Allah SWT akan menguji hamba-hamba-Nya yang beriman namun antara satu hamba dengan hamba yang lain bobot atau tingkat cobaannya berbeda kapasitasnya. Ibarat gelas maka daya tampung masing-masing gelas berbeda antara gelas yang kecil, sedang, dan besar. Dan Allah SWT mengetahui kemampuan masing-masing makhluknya (manusia).

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..(QS. Al-Baqarah 2 : 286).

Bagi hamba yang mendapat cobaan dari Allah SWT sebenarnya adalah suatu bentuk penghargaan Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena Allah SWT akan memonitoring hamba-Nya. Apabila hamba tersebut masih mampu berjalan diatas rel agama maka Allah akan selalu menambah bonus (derajat) keimanan kepadanya. Namun apabila hamba-Nya mulai limbung dan sudah mulai keluar dari rel agama, Insya Allah, Dia akan menuntun, menurunkan petunjuk dan memalingkan wajah hamba-Nya dari jalan kesesatan.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya : Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS Al-Baqarah 2: 214).

Setiap cobaan dari Allah SWT selain untuk menguatkan atau menambah keimanan hamba-Nya sehingga nantinya naik kelas menjadi orang yang muttaqin (bertaqwa), cobaan juga memberikan hikmah atau pelajaran tersendiri bagi orang yang beriman. Dan setiap hamba yang mampu bersabar dan berserah diri dalam menyelesaikan cobaan maka Allah SWT akan memberikan kemudahan dalam hidupnya. Bahkan Allah SWT sampai mengulang janji-Nya sampai dua kali.

”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Al-Insyirah 94 : 5-6).

Kenapa Allah SWT memberikan cobaan kepada orang-orang beriman? Karena Allah SWT ingin tahu keikhlasan hati hamba-hamba-Nya. Tanpa keikhlasan, cinta yang tulus, murni dan suci tidak akan didapat. Maka puncaknya sang hamba tidak hanya menjadi seorang yang beriman, tetapi menjadi orang yang bertaqwa dan menjelma hamba yang mukhlasin. Maka anda akan diangkat derajatnya, dimuliakan di sisi-Nya, sehingga surga akan peroleh.

Semoga kita semua ridha kepada ketetapan dari Allah SWT, sehingga Allah SWT-pun ridha pula kepada kita semua. Amin.

Demikian sedikit sumbangsih dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekhilafan. Semoga Allah SWT senantiasa memaafkan kesalahan dan kekhilafan kita semua. Amin Ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Fahri SC-HSS www.akubersujud.blogspot.com

Senin, 20 Juli 2009

Syirik Salah Kaprah


SYIRIK SALAH KAPRAH

Assalamu'alaikum Wr. Wb.



Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimuliakan, dan dicintai Allah SWT.

Awal Sabtu malam Minggu bulan Juli 2009 lalu di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang (SC-HSS) terjadi diskusi yang menarik mengenai makna ketauhidan terutama yang berhubungan dengan syirik. Tidak hanya anggota komunitas SC-HSS saling beradu argumentasi (tentunya berpedoman dengan Al-Qur’an dan Sunnah/hadits) juga berbagai pertanyaan mengalir (saling meng-counter) sehingga suasana diskusi benar-benar hidup.

Diskusi ini ”dipicu” ketika salah seorang sahabat kami di SC-HSS mempertanyakan banyaknya masyarakat kita yang masih percaya dengan adat/kebiasaan yaitu perilaku memberikan sesaji atau bunga tujuh rupa di perempatan jalan yang dianggap angker dan sering terjadi kecelakaan atau juga memberikan sesaji di sendang (semacam kolam penampungan air alami) yang dipercaya ada penunggunya.

Diskusi terus berlanjut, dan tidak terasa waktu menunjukan jam 03.00 wib pagi namun diskusi belum selesai. Kami, komunitas SC-HSS cooling down dengan melakukan shalat Tahajud dan Witir serta dilanjutkan dengan dzikir (shilatun) bersama. Sambil menunggu waktu subuh kami membicarakan masalah agama namun dengan tema yang ringan-ringan saja serta ditemani jajanan dan wedang kopi. Sungguh indah suasana keakraban diantara kami meskipun para sahabat di SC-HSS memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, strata, usia dan ”kiblat” organisasi islam yang berbeda. Benar-benar penuh warna-warni, justru inilah yang menjadikan indah.

Setelah shalat subuh berjamaah, diskusi mengenai ketauhidan kembali dibahas, ini semata-mata untuk mendapatkan solusi yang tepat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah/Hadits dan ketika para sahabat SC-HSS pulang, tema yang dibahas telah clear, tidak mengambang, sehingga pulang dengan perasaan lega.

Dalam artikel ini tentu saja saya tidak dapat menguraikan secara lengkap mengenai diskusi tersebut namun bukan berarti saya mengesampingkan inti pembahasan. Adapun persoalan dan solusi dapat saya ringkaskan sebagai berikut.

Memang sering kali kita (umat islam) entah secara sadar atau tidak, gampang men-cap perilaku seseorang yang dinilai ”menyimpang” dari hal-hal yang umum dalam beragama dan menganggap perilaku itu dengan sebutan syirik. Mungkin ini bisa benar tetapi juga bisa salah. Lho kok bisa? Ya bisa saja.

Kita ambil contoh saja seseorang yang sering memberikan sesaji di sekitar sendang yang dianggap ada penunggunya (biasanya terjadi di pedesaan, karena sawah dan ladang mereka dialiri oleh air yang bersumber dari sendang tersebut). Kita dapat menganggap sesuatu itu syirik atau tidak tergantung niat. Kalau niat seseorang memberikan sesaji untuk mengagung-agungkan (mengarahkan ke penyembahan) dan beranggapan bahwa sang penunggu sendang adalah yang memberikan ”kehidupan” maka dia dapat dianggap syirik.

Namun kalau kita memberikan sesaji (makanan untuk sebangsa makhluk halus) sebatas hanya memberi imbalan dan rasa terima kasih karena telah menunggu dan membantu mengatur air di sendang ya tidak syirik. Toh makhluk halus itu juga makhluk Allah SWT (sebagaimana kita memberikan makanan kepada manusia~tetangga, fakir miskin, dll) dan kita tidak menyembah sang penunggu itu kok.

Logikanya begini, kebetulan di lingkungan anda saat ini bermukim, memiliki seorang security/satpam/penjaga malam yang berjasa mengamankan lingkungan di sekitar anda bertempat tinggal. Maka sebagai imbalan atas jasanya, setiap bulannya anda menggajinya atau memberi upah. Bahkan disaat dia bertugas anda kadang memberi makanan, minuman dan rokok. Kondisi ini sama dengan kasus di atas. Karena sang penunggu sudah berpartisipasi membantu menjaga dan mengatur sendang maka anda memberi upah berupa sesaji (lha ini memang makanan dia kok).

Pertanyaannya adalah apakah salah kalau sesama makhluk Allah SWT kita saling berbagi. Ini sama saja kok ketika anda memberikan pupuk, air dan obat-obatan kepada tanaman anda karena sang tanaman (makhluk Allah SWT) memberikan keindahan dan memanjakan penglihatan anda, bahkan dapat dijual untuk menghasilkan uang. Atau juga sama saja ketika anda memandikan, memberi makan dan minum kepada burung peliharaan anda, karena selama ini kicauannya memanjakan telinga anda. Ya sebatas ini saja kok, tidak ada tendensi lain-lain yang lebih dari itu. Apalagi sampai menyembah. Na'udzubillahi min dzalik!

Namun kalau alasan saya diatas anda kurang setuju dan tetap menganggap perilaku itu tergolong syirik, saya sih nggak masalah dan menyerahkan keputusan kepada pendapatan para sahabat dan sidang pembaca. Tetapi tolong juga hargai pendapat saya.

Kalau bagi anda yang kurang setuju, justru saya tergelitik ingin menanyakan sesuatu kepada anda yaitu apakah shalat itu baik? Pasti dan tak ragu-ragu lagi anda menjawabnya Ya. Tetapi jawaban saya justru belum tentu. Lho kok bisa? Ya bisa. Mau tahu alasannya?

Begini, ketika anda shalat adalah menyembah Allah SWT setotal-totalnya. Sesaat setelah anda Takbir anda mengucapkan,.. Inni wajahtu wajhiyalilladzi.......dst yang artinya ”Aku hadapkan wajah diriku kepada yang menciptakan langit dan bumi (Allah) dengan selurus-lurusnya (tidak syirik)...” (Surat Al-An’am 6 : 79) dan anda seharusnya dalam posisi ”berhadapan” dengan Allah SWT.

Tetapi apa yang terjadi? Justru disaat menjalankan shalat pikiran melayang-layang terbayang kerjaan yang belum selesai, hutang belum dibayar, lupa mematikan kompor, usahanya untung apa rugi, dll. Inilah yang menjadikan shalat kita tidak baik, lha wong katanya menghadapkan diri kepada Allah SWT, kok yang terlintas justru yang lain. Justru inilah syirik yang sebenar-benarnya. Katanya shalat untuk menyembah Allah SWT tetapi kok malah menyembah ”berhala-berhala” yang lain.

Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini:

“Hai orang-orang beriman janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar) sampai kamu mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. An-Nissa 4 : 43).

“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya”.. (QS. Al-Maa’uun 107 : 4-5).

Padahal Allah SWT jelas-jelas memperingatkan kita, bahwa kita harus menyembah Allah SWT secara total dalam shalat.

”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Sholat untuk mengingat Aku”. (QS. Taha 20 : 14).

...dan sesungguhnya mengingat Allah (Sholat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut 29 : 45).

Demikian sumbangsih saya, mohon maaf apabila ada kesalahan dan barangkali ada sebahagian sahabat dan sidang pembaca tidak/kurang berkenan dengan artikel ini. Semoga Allah SWT memaafkan kesalahan dan kekhilafan kita semua. Amin Ya Rabbal’alamin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
SC-HSS
www.akubersujud.blogspot.com

Sabtu, 18 Juli 2009

Riba


RIBA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai dan dimulikan Allah SWT.

Pokok bahasan kali ini mengenai riba, namun demikian keputusan akhir dari artikel ini saya serahkan kepada para sahabat dan sidang pembaca. Kami hanya mengambil ayat-ayat di dalam Al-Qur’an mengenai riba. Karena ada dua pendapat dari ulama maka semua saya serahkan kepada ketetapan hati para sahabat dan sidang pembaca. Semoga perbedaan ini menjadi rahmat bagi kita semua. Amin.

Kata riba disebut 8 kali dalam Al-Qur’an. 5 kali di surat al-Baqarah (2) yaitu 3 kali di ayat 275, 1 kali di ayat 276 dan 1 kali di ayat 278; 1 kali di surat Ali ‘Imran ayat 130, 1 kali di surat al-Nisa’ ayat 161 dan 1 kali di surat Ar-Rum (30) ayat 39.

Ayat-ayat Riba
1. Surat Ar-Rum (30) ayat 39, turun sebelum Hijrah, yang artinya : Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah………

2. Surat an-Nisa’ (4) ayat 161 turun sesudah Hijrah, yang artinya : dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya……….

3. Surat Ali-Imran (3) ayat 130 turun sesudah Hijrah, yang artinya : Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan,.

4. Surat al-Baqarah (2) ayat 278-279 turun sesudah Hijrah, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.

Untuk lebih menyingkat pembahasan tentang riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an, cukup menganalisa kandungan ayat 130 surat Ali Imran dan surat al-Baqarah ayat 278-279 di atas. Atau lebih khususnya kata-kata kunci yang tebal pada kedua ayat tersebut, yaitu :
• Yang berlipat ganda.
• Riba yang belum dipungut.
• Bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.


Pengertian tentang yang berlipat ganda
Ibn Zaid mengatakan bahwa ayahnya mengutarakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah pelipat gandaan pada materi atau umur hewan. Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui pengutangnya yang berkata, “ Bayarlah atau kamu tambah untukku”.

Pada saat datang masa pembayaran, kreditur (pemberi hutang) mendatangi debitur (yang memeliki hutang) untuk menagih utangnya. Bila dia tidak mampu membayarnya, ia bersedia melipat gandakannya sehingga menjadi 100, ditahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi mampu dilipatkannya menjadi 400. Demikianlah kejadiannya setiap tahun sampai ia mampu membayarnya.

Dengan demikian terbagilah pendapat para Ulama menjadi dua :
• Pertama, yang memegang teks tersebut mengatakan bahwa berlipat ganda adalah syarat diharamkannya riba.
• Kedua, mengatakan bahwa teks berlipat ganda bukan merupakan syarat tetapi hanya sekedar penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat tersebut.

Sebab turunnya ayat riba di surat al-Baqarah ini disebut dalam riwayat-riwayat yang kesimpulannya berikut ini :
• Al-Abbas (Paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan hutang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam dan diharamkannya riba, mereka masih memiliki sisa harta yang banyak di tangan orang yang mereka beri hutang, maka turunlah Surat Al-Baqarah (2) ayat 278 ini yang melarang memungut sisa harta yang berupa riba ala jahiliyah itu.

• Ayat ini turun menyangkut kabilah Bani Tsaqif.yang melakukan praktek riba, kemudian mereka masuk Islam dan sepakat dengan Nabi SAW untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Mekkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut sebelum turunnya ayat larangan riba ini. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.

Dari situ bisa disimpulkan dengan menggabungkan kata-kata kunci tadi sebagai berikut
• Riba yang dilarang adalah segala bentuk kelebihan apalagi berlipat ganda dari hasil mengutangkan ala jahiliyah tadi (QS. 2 : 279 ; bagimu modal kamu) dan mengandung unsur penganiayaan, (QS. 2 : 279 ; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Dengan kata lain adalah bahwa riba yang dilarang adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutang, seperti pernah dilakukan Nabi atau model bagi hasil. Bagaimana dengan Bunga Bank ?

• Karena di dalam ber-ijtihad Ulama masih ada 2 pendapat, maka untuk menentukan langkah selanjutnya tergantung kepada diri kita sendiri untuk mengambil kesimpulan. Sebagaimana Nabi bersabda : Tinggalkanlah barang / masalah yang meragukan. Bagi Ulama yang berpendapat membolehkan bunga Bank dengan alasan:

-Dalam Al-Qur’an tidak ada kata yang menyebut tentang bunga, yang ada hanya kata riba. Sedangkan riba ada dua macam yaitu:
• Riba Nasi’ah yaitu riba berlipat ganda yang dilakukan pada zaman jahiliyah, riba ini yang dilarang.
• Riba Fadhol yaitu riba sukarela artinya kelebihan pembayaran hutang diberikan tanpa perjanjian. Sebagai contoh : Panjul meminjam uang kepada Bani sebanyak Rp.100,- , karena Panjul merasa ditolong oleh Bani maka sewaktu dia mengembalikan dia membayar sebesar Rp.105,-, riba ini diperbolehkan.

-Bunga Bank didalam pembagian dibagi antara kreditur, debitur dan pengelola, sehingga yang dikatakan bunga tersebut adalah merupakan pembagian hasil usaha.

-Karena tidak ada kesepakatan diantara Ulama secara mutlak, maka bunga bank merupakan masalah yang meragukan, karena sesuatu yang meragukan harus ditinggalkan mencari yang tidak ragu. Untuk selanjutnya dalam menentukan hukum bunga Bank terserah kepada pribadi ummat untuk memilih satu diantara dua pilihan.

Demikian sedikit sumbangsih dari saya. Semoga bermanfaat. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri- Lay Out dan Penyunting

SC-HSS

Kamis, 16 Juli 2009

Hakikat Isra' Mi'raj Bagi Umat Islam (bagian 2)


HAKIKAT ISRA' MI'RAJ BAGI UMAT ISLAM (Bagian 2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

2. Shalat, Wahyu Tanpa Jibril

Ketika mendekati Sidratul Muntaha, malaikat Jibril menghentikan langkahnya dan menyuruh Rasulullah SAW meneruskan perjalanannya sendiri. Jibril berkata kalau Dia memaksakan diri mendampingi dan mendekati Sidratul Muntaha maka Dia akan hancur. Inilah satu-satunya wahyu atau perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa perantara malaikat Jibril, yaitu wahyu mengenai shalat fardhu.

Makanya shalat merupakan ibadah spesial bagi umat Islam. Bahkan shalat inilah yang menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya amal ibadah kita yang lain, sebagaimana dalam hadits Nabi SAW berikut ini:

“Amal yang pertama-tama ditanyakan Allah SWT kepada hamba-Nya di hari kiamat nanti ialah amalan shalat. Bila shalatnya dapat diterima, maka akan diterima seluruh amalnya. Dan bila shalatnya ditolak maka akan tertolak pula seluruh amalnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At Thabrani).

Maka tidaklah mengherankan bila Allah SWT serius menilai kualitas shalat setiap hamba-Nya seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an.

“Hai orang-orang beriman janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar) sampai kamu mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. An-Nissa 4 : 43)

“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat ,yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. (QS. Al-Ma’un 107 : 4-5)

Dalam shalat inilah kadar ketauhidan umat Islam diuji, apakah benar-benar Allah SWT yang dituju atau masih memikirkan hal lain selain Allah SWT ketika shalat. Karena hakikat shalat adalah penyerahan diri secara total kepada Allah SWT atas ketidakberdayaan manusia. Makanya shalat juga sebagai media seorang hamba untuk berdialog, berkomunikasi dan mengadukan permasalahan seorang hamba kepada Rabb-nya.

“ Apabila salah satu diantara kalian mempunyai urusan (persoalan) maka shalatlah 2 rakaat diluar shalat fardhu (shalat sunnah)..” (HR. Bukhari dan lainnya dalam kitab Muhtaruh Sahih wal Hassan hlm. 124).

Mengapa Nabi SAW diberi “oleh-oleh” Allah SWT untuk mengerjakan shalat? Makna apa dibalik perintah itu? Karena shalatlah kado spesial tidak hanya untuk Nabi SAW tetapi juga umat Islam. Kenapa? Disaat umat Islam melakukan aktivitas shalat maka kita akan “bertemu” dengan Allah SWT sebagaimana yang dialami Nabi SAW ketika Mi’raj. Bahkan untuk meyakinkan umatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’minin (Shalat itu Mi’raj-nya orang mukmin)”.

Jadi umat Islam-pun sebenarnya dapat Mi’raj! Lalu bagaimana caranya supaya kita dapat Mi’raj dan misteri apakah antara shalat dengan peristiwa Isra’ Mi’raj? Mari kita bahas secara singkat, dan sederhana semoga kita dapat mengambil pelajaran.

3. Hakikat Isra’ Mi’raj

Dalam salah satu kajian dan pertemuan di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang seorang sahabat kami melontarkan pertanyaan yang cerdas, yaitu mengapa Nabi SAW ketika melakukan Isra’ Mi’raj harus dari Al-Masjidil Haram menuju Al-Masjidil Aqsha baru kemudian ke Shidratul Muntaha? Bukankah bisa dari Al-Masjidil Haram langsung ke Shidratul Muntaha? Ada misteri apakah dibalik peristiwa itu? Dan apa makna serta hakikatnya?

Makna Pertama

Sebelum membahas lebih lanjut, saya petikan standarisasi shalat yang diterima Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an.

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ “. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya. (QS. Al-Mu’minun 23:1-2)

Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya pastilah dia mengalami suasana Mi’raj dan selalu ingin berlama-lama dalam aktivitas shalatnya, karena dia “bertemu” dengan Allah SWT.

Rasa khusyu’ ini didapat ketika antara otak kanan (spiritual) dan kiri (logika) kita mengalami keseimbangan (zero mind). Ketika ini tercapai maka ketenangan akan mengalir atau turun ke hati. Apabila hati telah tenang maka anda akan merasakan Ar-Ruh akan melesat terbang menuju Ar-Rabb. Karena Ar-ruh adalah suci, inilah media kita untuk ber-Mi’raj kepada Allah SWT . Inilah gambaran mengapa Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Al-Masjidil Haram harus ke Al-Masjidil Aqsha terlebih dahulu, baru kemudian ke Mustawa (langit ke sepuluh).

Janganlah anda mempunyai persepsi bahwa yang bisa khusyu’ hanya para Rasul, Nabi, para Sahabat dan Waliyullah. Kalau khusyu’ hanya diperuntukan untuk mereka mengapa Allah SWT memerintahkan umat Islam shalat? Mungkin hanya derajat ke-khusyu’-kan saja yang membedakan.

“Hai manusia, sesungguhnya (jika) kamu telah bersungguh-sungguh (yakin) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu menemui-Nya..... (QS. Al-Insyiqaq 84 : 6)

Makna Kedua

Mengacu pada QS. Al-Israa 17 : 1, maka bagi para pecinta Allah SWT umumnya mencari pengajaran, petunjuk (rahmat) dan ridha-Nya di malam hari. Mengapa? sebagai mana Rosululloh SAW ketika Isra' Mi'raj yang mana perjalanan yang ditempuh malam, selain itu malam hari yang sunyi, sepi dan hening identik dengan "uzlah" di dalam keramaian disaat kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya. Hamba Allah yang hidup di tengah masyarakat, memanfaatkan malam hari yang sunyi, sepi dan hening untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT baik melalui shalat sunnah (tahajud, witir, tobat, dll) dan berdzikir.

Wallahualam bi shawab

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Hakikat Isra' Mi'raj Bagi Umat Islam (Bagian 1)


HAKIKAT ISRA' MI'RAJ BAGI UMAT ISLAM (Bagian 1)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


1. Dibalik Peristiwa Isra' Mi'raj

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Israa’ 17 : 1)

Selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia setiap tahunnya, agenda lain yang mendapat perhatian umat Islam dalam satu tahun adalah peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang jatuh setiap tanggal 27 Rajab, dan tahun ini tepat pada tanggal 20 Juli 2009.

Peristiwa Isra’ Mi’raj ini dilatarbelakangi kesedihan yang dialami Rasulullah SAW karena meninggalnya istri Beliau, yaitu Siti Khadijah RA yang selama ini setia mendampingi perjuangan suaminya serta ikhlas mengorbankan harta, jiwa, dan raganya untuk menegakan agama Allah SWT.

Kesedihan Rasullah SAW bertambah ketika paman Beliau yaitu Abu Tholib, seorang paman yang penuh kasih sayang dan tidak segan-segan melindungi Rasulullah SAW dari intimidasi kaum kafir Quraish. Meskipun Abu Thalib memiliki faham yang berseberangan dengan keponakannya, namun perbedaan ini tidak mengurangi kasih sayangnya. Begitu sayangnya Rasululllah SAW kepada pamannya, Beliau berdo’a kepada Allah SWT agar pamannya meninggal dalam keadaan Islam. Namun Allah SWT mengingatkan Beliau, dan ini diabadikan dalam Al-Qur’an :

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashash 28 : 56).

Peristiwa inilah yang disebut Tahun Duka Cita, karena meninggalnya kedua orang yang dicintai dan selama ini mendampingi serta melindungi Rasulullah SAW berjuang dalam menegakan agama Islam.

Duka lara Rosululloh SAW semakin bertambah, ketika 10 tahun masa kerasulannya, pengikutnya hanya 70 orang. Bayangkan 70 orang dibagi 10 tahun, rata-rata hanya 7 orang per tahun yang memeluk agama Islam.

Untuk melipur duka lara itu maka Allah SWT memberikan “bonus” berupa Isra’ Mi’raj. Sebuah peristiwa yang membutuhkan ketebalan iman secara total bagi umat Islam untuk mempercayainya. Karena begitu Rasululloh SAW menceritakan peristiwa ini, pengikut yang semula 70 orang kembali menjadi kafir dan yang tersisa hanya 40 orang.

Kenapa? Karena peristiwa ini sendiri terjadi di luar batas kemampuan pikir/logika umat manusia. Secara logika tidaklah mungkin dicerna dan diterima akal, bayangkan hanya dalam waktu semalam Muhammad SAW menempuh perjalanan dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang jelas-jelas membutuhkan beberapa hari untuk menempuhnya pada saat itu. Belum lagi ditambah ketika Muhammad SAW menuturkan bahwa Beliau juga melakukan Mi’raj dari Al-Masjidil Aqsha menuju langit ke tujuh. Kemudian memasuki langit ke delapan (Sidratul Muntaha) dilanjutkan ke langit sembilan (Kursi) dan yang terakhir adalah langit ke sepuluh (Mustawa). Bahkan para muffasir menerangkan setiap jarak antara satu langit ke langit yang lebih tinggi membutuhkan waktu 500 tahun. Subhanallah.

Dan yang lebih kontroversial lagi adalah “bertemunya” Muhammad SAW dengan Allah SWT, ketika Rasulullah menerima perintah shalat 5 waktu setelah sebelumnya terjadi "tawar menawar" antara Beliau dengan Allah SWT atas saran nabi Musa AS yang memberi masukan bahwa umat Beliau adalah lemah dan tidak mampu melaksanakan shalat 50 waktu dalam satu hari.

Untuk mengantispasi perdebatan dan kebimbangan umat Islam maka Allah SWT mengabadikan peristiwa Isra’ Mi’raj dalam Al-Qur’an dengan maksud supaya umat Islam mempercayai secara total, tidak ragu-ragu dan beriman atas peristiwa tersebut. Sebagaimana sahabat Abu Bakar RA yang langsung percaya kepada Rasulullah SAW begitu Beliau menceritakan peristiwa tersebut.

Bagi kalangan umat Islam sendiri wajib hukumnya mempercayai secara total peristiwa tersebut. Namun yang masih menjadi diskursus adalah bagaimana Rasulullah SAW melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut?

Pendapat pertama, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj melibatkan secara keseluruhan pada diri Nabi SAW baik raga, jiwa dan ruh. Beliau didampingi Malaikat Jibril dengan mengendarai Bouraq (kendaraan dari surga) yang memiliki kecepatan melebihi cahaya. Pendapat pertama ini berkeyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila Allah SWT berkehendak.

Sedangkan pendapat kedua mempercayai bahwa yang melakukan Isra’ Mi’raj adalah ruh Nabi SAW, sedangkan raganya masih berada di bumi (rumah Nabi SAW). Adapun pendapat kedua ini mempunyai alasan bila raga Rasul ikut Isra’ Mi’raj (keluar dari orbit bumi) maka akan hancur karena bertentangan dengan sunnatullah, padahal sunnatullah itu sendiri tidak akan berubah sampai hari kiamat. Mana yang benar? Hanya Allah SWT yang mengetahui.

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri
SC-HSS

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (22)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (22)-SELESAI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

22. HAKIKAT RUH CERMIN KETUHANAN

Tuhan tidak ada di luar. Tuhan ada di dalam diri kita sendiri. Bahkan lebih dekat dari urat leher. Karenanya, jika dicari diluar tidak akan ketemu. Harus dicari di dalam diri sendiri. Al-Haq ada di dalam hati. Kalau kita mampu membuka mata hati, Insya Allah akan menemukan Nurrul Haq. Kuncinya adalah dengan menyibakkan (membuka) tabir yang menutupi pandangan mata hati kita untuk menemukan hakikat ruh. Apabila sudah menemukan hakikat ruh kita, maka Nurrul Haq akan hadir seperti tampaknya matahari pada siang hari.

Orang yang menuntut atau mencari Tuhan disebut Salik. Perjalanan pencarian Tuhan itu cukup panjang dan memakan waktu sangat lama, selama umur kita. Itupun belum tentu ketemu, manakala Allah sendiri yang tidak menghendaki. Para Wali, Auliya sampai pada Ittihad atau Hulul dan setingkat dibawahnya (makrifatullah), membutuhkan waktu rata-rata lebih dari 30 tahun penggemblengan.

Kunci utamanya adalah kepasrahan. Pasrah secara total, dalam arti pasrah yang sebenar-benarnya pasrah. Tidak takut sengsara dan lapar, tidak berharap surga dan takut neraka. Makanan yang dimakan harus yang halal, dan tidak berlebihan, serta sedikit tidur dan bersungguh-sungguh menjauhi keduniaan. Kendati demikian, haruslah rajin bekerja dan giat beribadah. Memperbanyak amal saleh, menjaga penglihatan dan pendengaran, serta rajin berpuasa dan memperbanyak zikir. Tujuannya adalah wuquf Qalbi.

WUQUF QALBI
Seorang salik (pencari), jika perjalanannya sudah sampai pada wuquf qalbi (penghentian hati), maka harus mengosongkan dulu semua pemikiran-pemikiran, kemudian melemaskan seluruh kekuatannya/tenaganya dan penginderaannya dari semua alat penginderaan. Lalu melepaskan nafsunya dalam proses menggerakkan organ tubuh. Setelah itu, pandangan mata hatinya berhadap kepada hakikat hati, yang menurut ajaran ‘istighfaraq dan ishtihlak’ (tenggelam dan sirna) dilakukan secara terus menerus. Apabila tawajjuhnya meningkat kepada hakikat hati, maka bertambah pulalah makrifatullahnya kepada Tuhan Yang Maha Suci. Tawajjuh adalah penggerakan pandangan mata hati (Sirajudin Thalibin).

Inti wuquf qalbi adalah pencarian hakikat ruh yang ada dalam diri. Cara pencarian itu harus melalui ijazah khusus oleh seorang Mursyid kamil, bukan ijazah secara umum. Sebab, jika terjadi sesuatu ada yang membimbingnya. Karenanya, yang diulas ini hanyalah kulit luarnya saja, dalam artian belum menyangkut esensi yang mendalam.

Dalam Sirajudin Thalibin disebutkan, siapa yang menghadapkan (tawajjuh) pandangan hatinya kepada ruhnya sendiri, niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada ‘Hidlarat ketuhanan’ dari segala rahasia. Maka ia akan sampai kepada makrifat Tuhannya dengan makrifat syuhudi (penyaksian). Karena hakikat ruh-kemanusiaan adalah seperti cermin untuk Hidlarat Ketuhanan, yang, padanya terdapat ‘quwwatul ‘aqliyah’ (kekuatan pikiran murni) yang merupakan Jauhar Illahi. Siapa yang terbuka baginya Jauhar itu, dia dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah, rahasia nama-nama-Nya dan rahasia Dzat-Nya dengan tersisihnya bayangan, dan dia melihat pula semua keadaan pikiran penginderaan.

Jalan lain bertawajjuh ke daerah hati bagi salik adalah harus mengosongkan segala macam kesibukan/pemikiran, lalu memandang/mengamati tubuhnya pada titik tengah hati itu seperti bola, selanjutnya ia rasakan ruhnya menembus lapisan-lapisan langit dan bumi, kemudian tenggelam dalam pandangan/pengamatan itu secara terus menerus, dan harus kembali lagi kepandangan/pengamatan itu manakala lupa atau lalai dengannya, sampai kepada hilang/fana dari pandangan tubuhnya yang seperti bola bundar itu.

Berikutnya, si salik melemaskan seluruh kekuatan dan penginderaannya. Setelah wuquf qalbi berhasil, tampaklah baginya Ruh Yang bersifat Ruhani semata-mata bersih cemerlang dan sirnalah semua apapun dalam kandungan langit dan bumi pada ke-nurani-an itu. Sehingga tidak ada sisa sedikit pun dalam pandangan yang ada ini selain ruhnya, yang mana ruh itu adalah ‘amrun illahi (urusan Tuhan). Setelah itu, sirnalah cahaya ruh berhubungan dengan Nurul Haqqi Allah SWT.

Tampaknya Nurul Haq mengalahkan semua cahaya-cahaya, dan cahaya-cahaya itu padam ketika Nurul Haq tampak, sebagaimana padamnya cahaya lampu ketika tampak nyata cahaya matahari. Ketika itu tak ada yang lebih tampak kecuali Nurul Haq. Dialah wujud mutlak, Maha Tampak Ke-Agungan-Nya.

GODAAN
Yang perlu diingat bahwa dalam perjalanan pencarian, tiba-tiba seseorang memperoleh karomah/kelebihan diluar akal, yang dapat mendatangkan harta dan kenikmatan duniawi. Hal itu merupakan godaan. Kalau terpengaruh, maka bisa menghambat perjalanan, bahkan bisa terperosok kederajad yang rendah. Sebab, kembali ke keduniawian. Sedangkan hal itu bukanlah tujuan. Tujuannya adalah Allah SWT.

Demikian ulasan tentang tafakur. Adanya kesalahan dan kekurangan yang didasari keterbatasan saya, semoga Allah SWT mengampuni, menghidayahi, dan merahmati kepada kita semua. Amin ya Rabbal'alamin.

Selesai

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (21)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

21. PUASA KUNCI PINTU KEGAIBAN

Tentunya pembahasan ilmu tidak akan ada habis-habisnya. Sebab, diibaratkan ilmu itu, “yen ginelar ngebaki jagat”, yen ginulung sak mrica jinumput gedene.” Karenanya, bahasan tafakur kita sampailah pada kunci cara belajar mendalami ilmu menuju Tuhan. Bagaimana kuncinya?

Tuhan sifatnya gaib, untuk menuju-Nya harus melalui jalan gaib pula. Yaitu melakukan kontak dengan alam gaib. Perjalanan menuju kegaiban tidak lain dengan berpuasa, menyatu dengan alam, dan berzikir. Namun, bukan berarti harus pergi menyendiri ke hutan atau masuk gua kemudian bertapa (Uzlah). Didalam keramaian juga bisa dilakukan. Dalam istilah Jawa disebut tapa “ngrame” (berpuasa dalam keramaian dunia). Tetapi, etimologi (istilahnya) harus minggir dari keramaian artinya di dalam keramaian kita harus bisa ‘mensunyikan’ kalbu. Mengambil posisi diperbatasan antara alam nyata dan alam kegaiban. Minggir, istilah Jawanya Nepi. Tembung ‘Nepi’ merupakan kepanjangan dari “meneping pikir”

Dalam konsepsi tasawuf Jawa, manusia terbagi menjadi tiga bagian alam. Masing-masing; kepala yang didalamnya terdapat otak, dinamakan ‘Baitul Makmur’ (tempat keramaian), bagian tengah adalah Dada yang didalamnya terdapat hati nurani, disebut ‘Baitul Muharram’ (tempat kesucian), dan bagian terbawah adalah Kemaluan yang disebut ‘Baitul Muhadas’ (tempat kotor atau nafsu).

Alam pikir atau tempat keramaian semuanya terdapat di dalam kepala. Segala macam keinginan, keruwetan, dan bermacam-macam angan-angan, yang bersifat keduniaan bersumber dari alam pikir. Karenanya harus dijernihkan sejernih mungkin. Segala keinginan selain Allah harus dihilangkan. Hal ini tentunya membutuhkan pelatihan. Sebab, jika dilakukan secara spontan jelas tidak mungkin. Karena itu itu untuk memahami ilmu tasawuf membutuhkan waktu sangat lama.

Baitul Muhadas, tempat nafsu. Disebut demikian, sebab segala keinginan, pemikiran jahat, perbuatan angkara murka, perbuatan mungkar, sumbernya adalah nafsu. Maka harus dikalahkan. Dihilangkan. Jalan menghilangkannya dengan cara menyendiri. Menjauhi keramaian. Jika sudah dari keramaian, jauh dari dunia dan seisinya, maka nafsu bisa menjadi lemah.

Tak terkecuali hati. Tempat suci ini bisa dikotori akibat terpengaruh oleh samudra alam pikir, dan dorongan nafsu yang bersumber dari kemaluan. Seperti iri dengki, riya’, tamak, dan sebagainya. Karena itu, untuk memohon ampunan kepada Allah SWT, harus memohonkan ketiga-tiganya.

Perbatasan Gaib
Perbatasan antara dunia ramai dengan dunia gaib di dunia keramaian ini adalah kesunyian. Di dalam kesunyian kita harus menyendiri. Sedangkan kesunyian itu bukan berarti harus berada di tengah hutan atau di dalam gua. Tetapi bisa juga ditengah malam yang senyap. Pada lebih tengah malam itu, kesibukan nyaris berhenti. Semua makhluk pada terlelap dalam tidur dan asyik masyuk di alam mimpi. Pada waktu itulah kita bangun, kemudian bersuci lalu beribadah, memperbanyak salat sunah dan zikir. Juga tidak meninggalkan salat sunah nawafil lainnya seperti salat Isra’ Dhuha, qobliyah dan ba’diyah.

Aktivitas demikian ini harus dilakukan secara istiqamah (kontinyu). Istilah yang sering disinggung, idep, madep, mantep dan tetep. Idep artinya memiliki tekad yang sungguh-sungguh. Madep artinya menghadap/ menyongsong kehidupan yang akan terjadi. Mantep artinya penuh keyakinan lahir batin. Dan Tetep artinya istiqamah (kontinyu), terus menerus tak kenal lelah dan susah.

Dalam menjauhi dunia seisinya, konsepsinya harus ‘mbudeg lan micek’. Mbudek artinya tidak mendengarkan suara yang isinya menjurus keduniawian (dicela dan disanjung sama saja). Micek (membutakan diri) artinya tidak memperhatikan sekelilingnya yang tidak ada arti dan manfaatnya.

Disisi lain, dalam menjalankan ketafakuran juga harus memperhatikan tatakrama. Baik soal makan, bekerja, beribadah, dan lainya. Seyogyanya meniru apa saja yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Yang tidak kalah pentingnya, hendaknya memperhatikan waktu ijabah. Malam-malam dan hari-hari yang mulia. Sebab, pada saat-saat itulah rahmat dan karunia Allah diturunkan. Karenanya, paling afdal dipergunakan memperbanyak salat sunnah dan zikir, serta berpuasa pada siang harinya. Tidak lupa berdoa dan memohon ampunan pada Illahi Robbi.

Waktu Ijabah
Mengenai waktu-waktu ijabah yang sangat penting untuk dipergunakan memperbanyak ibadah, disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ada 15 malam, yaitu malam ke 7 dan 10 hari terkhir di bulan Ramadhan. Malam Nisfu Sa’ban, malam ke 27, yaitu malam Mi’raj, malam hari di malam dua Id, malam Jumat dan banyak lagi.

Nabi Muhammad bersabda: “Orang yang beramal di malam tersebut di atas mendapat kebaikan-kebaikan 100 tahun. Maka siapa yang shalat di malam-malam tersebut melaksanakan shalat 12 rakaat dengan membaca Fatihah dan surat Qoof dalam setiap rakaatnya, membaca tasyahut dalam setiap dua rakaat, dan memberikan salam pada akhirnya. Kemudian membaca: “Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar, 100 kali dan memohon ampunan (istghfar) 100 kali, salawat Nabi 100 kali, dan mendoakan dirinya sekehendaknya tentang urusan dunia dan akhirat, serta berpuasa di pagi harinya, maka Allah Ta’ala akan mengabulkan seluruh doanya, kecuali maksiat.”

Sabda Nabi SAW: “Barang siapa menghidupkan dua malam Id, tidaklah mati hatinya disaat banyak hati manusia telah mati.” Dan malam terakhir Zulhijah yang memiliki keutamaan besar. Selesailah seperempat kitab tentang ibadah dan disusul seperempat kitab tentang adat.

Tidak lupa pula membaca Al-Quran. Pentingnya membaca, dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi: “Tidaklah ada juru safaat yang utama derajatnya disisi Allah pada hari kiamat daripada Al-Quran, bukan Nabi, bukan Malaikat, dan bukan lainnya.”

Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa Allah Azza wa Jalla membaca surat Thaha dan Yasiin 200 tahun sebelum menciptakan makhluk. Tatkala malaikat mendengar Al-Quran, mereka berkata, “Beruntunglah umat yang diturunkan Alquran ini kepada mereka, dan beruntunglah rongga tubuh yang mengandung Alquran ini serta beruntung pula lisan yang membacanya.”

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (20)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (20)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

20. BENARKAH MANUSIA DUPLIKAT TUHAN?

Bahasan soal ittihad dan hulul, tentunya tidak lepas dari Ibnu Arabi. Tokoh sufi besar abad ke-12 ini, menyikapi pengalaman dua senior sejawatnya yakni Abu Jazid dan Al-Halaj, lebih arif. Ia membawa ajaran kesatuan wujud antara makhluk dengan Tuhan itu lebih mudah dipahami. Dalam terminologi tasawuf dikenal dengan istilah Wahdat al-Wujud. Ajaran apakah yang dimaksudkan?

Wahdatul Wujud konsepsi Ibnu Arabi adalah sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud yang sejati kecuali Allah Yang Maha Mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya. Pengertian yang bisa dipahami, segala perwujudan yang ada didunia, termasuk manusia, serta makhluk-makhluk gaib, sesungguhnya hanyalah semu belaka. Yang Nyata dan Mutlak hanyalah Allah semata.

Ajaran Wahdatul al-Wujud, prosesi perjalanannya menuju pada ajaran insan Kamil. Penjabarannya, sebelum adanya segala sesuatu, Tuhan hanya sendirian. Ibaratnya, Tuhan pada awalnya adalah “harta” yang tersembunyi. Kemudian Ia ingin dikenal, lalu menciptakan makhluk, sehingga melalui makhluk-makhluk-Nya Ia dikenal.

Alam sebagai makhluk adalah penampakan diri dari Tuhan (Tajalli). Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bergantung wujud Tuhan. Itulah ajaran Ibnu Arabi dalam Wahdatul al-Wujud.

Taraqqi
Ajaran wahdatu al-wujud dengan Tajalli Tuhan, lebih jelas dan nyata pada diri seorang ‘Insan al-Kamil’ (manusia sempurna). Tuhan bertajalli secara sempurna dalam diri insan kamil. Bagaimana untuk bisa menjadi insan kamil? Maka seorang sufi harus mengadakan Taraqqi (pendakian) melalui tiga tahapan, yaitu hidayah, tawasut, dan khitam.

Ketiga hal tersebut terdapat pada diri para Nabi dan para Wali. Nabi Muhammad SAW merupakan penampakan insan kami yang paling sempurna (kamil mukamil). Realita membuktikan, bahwa dalam menjalankan tugas sebagai seorang Rasul, beliau sama sekali tidak pernah menyakiti ummatnya. Tidak pernah memohon kepada Allah untuk membinasakan umatnya yang biadab (kafir) seperti yang dilakukan nabi-nabi pendahulunya. Ketika bermandikan darah lantaran terkena lemparan batu, dan malaikat Jibril pun marah kemudian menawarkan kepada Rosululloh SAW agar Jibril diperkenankan untuk membunuh mereka Namun apa jawaban Rosululloh SAW? Beliau melarang Jibril dan justru memohonkan kepada Allah agar diampuni karena yang berbuat demikian tidak mengerti. Rosululloh SAW berpandangan kalaupun mereka saat ini mereka kafir, mungkin anak keturunannya atas rahmat dan hidayah Allah ada yang menjadi muslim. Betapa mulianya akhlak Rosululloh SAW. Bagaimana dengan kita? umatnya yang mengaku-aku mengikuti Sunnah Beliau!.

Insan kamil adalah sebuah tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai suatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Kesempurnaan itu adalah sifat Tuhan. Jadi, insan kamil punya tugas sebagai penguasa alam, dan mediator yang mendatangkan syafaat.

Manusia Duplikat Tuhan?
Dengan demikian, konsepsi Ibnu Arabi tentang Wahdatul Wujud, insan kamil adalah duplikat Tuhan (nuskhah al-haq). Yaitu nur Muhammad yang merupakan tempat penjelmaan (tajalli) asma’, dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah-Nya dimuka bumi.

Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua dimensi hubungan. Yang pertama dimensi kealaman sebagai asas pertama untuk penciptaan alam, dan kedua dimensi kemanusiaan, yaitu sebagai hakikat manusia.

Dari dimensi kealaman, hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang diciptakan oleh Allah SWT lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun ini tidak mengandung makna pencapaian tujuan dari tujuan diciptakannya kenyataan-kenyataan yang ada. Karena semuanya yang ada masih merupakan tempat penampakan (tajalli) dari yang masih kabur. Sebab, belum cukup dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah SWT yang di-tajalli-kan atasnya.

Dimensi kemanusiaan, hakikat Muhammad merupakan insan kamil yang dalam dirinya terkandung himpunan realitas. Pada tahap inilah penampakan Dzat Tuhan menjadi sempurna. Disebut insan kamil karena ia merupakan suatu manifestasi kesempurnaan dari Tuhan, dan karena kesadarannya melalui pengalaman sufistiknya, tentang makna pokok dari penyatuan esensialnya dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sempurna adalah miniatur realitas (Tuhan dan alam). Dalam tubuh manusia terdapat kesamaan-kesamaan yang ditakdirkan antara mikrokosmos dan makrokosmos.

Ada sebuah hadist yang cukup berpengaruh, “Inna Allaha khalaqa Adama ‘Ala shauratih.” (Sesungguhnya Allah swt menjadikan Adam atas bentuk-Nya.”)

Dalam sebuah risalah menguraikan, sebelum Allah menciptakan manusia (Adam), Dia melihat pada Diri-Nya sendiri (tajalli al-Haq linafsihi). Dalam kesendirian-Nya, terjadilah dialog antara Tuhan dengan Diri-Nya sendiri. Suatu dialog yang tidak mengandung kata dan huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya (syahada sabahati dzatihi fi dzatihi). Dia melihat Dzat-Nya dan Dia cinta pada-Nya sendiri. Maka, Dia pun mengeluarkan yang tiada bentuk (duplikat/copy) dari Diri-Nya. Bentuk atau copy (tiruan) itu adalah Adam dijadikan Tuhan dalam bentuk copy-Nya.

Dengan demikian, konsepsi manusia yang sesungguhnya itu hanyalah satu. Yaitu Nabi Adam AS. Karenanya, keberadaannya langsung memperoleh kemuliaan sebagai penghuni surga. Sedangkan keberadaan manusia didunia yang seseorang sendiri tak mampu menghitung jumlahnya, tidak lain adalah turunan manusia.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (19)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

19. ITTIHAD

Tajalli-nya Tuhan pada diri seorang hamba merupakan puncak makrifat. Bahasan makrifat, tidak lepas dari dunia sufisme. Tokoh sufi yang sudah sampai pada stasiun makrifat adalah Rabiah al-Adawiyah. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Namun, banyak tokoh yang tidak puas hanya sampai pada makrifat. Mereka ingin meningkatkan lagi menuju Ittihad (peleburan/ penyatuan diri dengan Allah). Menurut konsepsi sufisme Jawa dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawula ing Gusti”

Bagaimana perjalanan menuju Ittihad?
Dzunnun al-Misri, salah satu tokoh sufi abad ke 8 mengemukakan bahwa makrifat adalah anugerah Allah kepada sufi yang telah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cintanya yang suci dan ikhlas itulah akhirnya Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir tersebut akhirnya ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan yang abadi.

Ketika Dzunnun al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh makrifat, ia menjawab, “Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan karunia-Nya. Sekiranya bukan karena Tuhan, aku tidak akan pernah melihat dan tidak tahu Tuhan.”
K
ata-kata seorang tokoh sufi tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba tidaklah bisa apa-apa. Walaupun tingkat ketakwaannya membuat para Malaikat kagum, seperti kisah Barshisah pada zaman Nabi Musa AS, tak berarti apa-apa jika Allah Ta’ala belum memancarkan karunia-Nya kepada hati seseorang. Apa lagi tidak bertakwa, setidaknya hanya sekedar memenuhi syariat saja.

Ittihad
Seorang sufi yang dapat menangkap cahaya makrifat dengan mata hatinya, maka kalbunya akan dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Maka tidak mengherankan, jika seorang sufi merasa tak puas hanya sampai maqam makrifat saja. Ia ingin mengadakan "penyatuan" dengan Tuhan, yang dengan istilah sufi dikenal dengan sebutan "ittihad, hulul".

Dua orang tokoh sufi termasyur pada abad ke 8 hingga kini yang berpengalaman "ittihad" adalah Abu Jazid al-Bustami dan Al-Hallaj. Keduanya dianggap kontroversi dan gila, bahkan di cap kafir karena mengaku Tuhan. Di Jawa yang terkenal adalah Syech Siti Jenar.

Proses sebelum sampai maqam ittihad, ia akan mengalami Fana’ dan Baqa. Yang disebut Fana’ adalah hilangnya kesadaran. Mengenai fana’ Al-Qusyairi mengatakan, “Fana’ seorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi ketika hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain.”

Maksudnya, diri seorang yang sudah sampai maqam ittihad tetap ada. Demikian pula makhluk lain. Tetapi ia tidak sadar lagi tentang dirinya dan makhluk lain. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk-makhluk lain, akhirnya lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan, sampai akhirnya terjadilah pengalaman ittihad.

Ada sebuah istilah Jawa, wujud manusia hidup pada umumnya merupakan “curiga manjing warangka.” Jika sudah manunggal dengan Tuhan, konsepsinya berbalik, “Warangka manjing curiga.” Artinya, jasad terbungkus oleh jiwa (ruh). Karenanya tidak terlihat apa-apa. Dirinya yang berwujud badan wadag, termasuk makhluk-makhluk lain tidak terlihat. Yang terlihat dirinya sendiri sedang bersama Dzat Tuhan.

Teopatis
Tatkala sampai ambang pintu ittihad, dari bibir seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil, dalam istilah tasawuf peristiwa ini disebut syatahat (ungkapan teopatis). Diantara ungkapan-ungkapan teopatis yang pernah dituturkan Abu Yazid al-Bisthami, “Sesungguhnya akulah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”

Di kalangan kaum sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan oleh lidah Abu Yazid al-Bisthami. Tetapi itu tidak berarti Abu Yazid mengaku sebagai Tuhan. Mengakui dirinya sebagai Tuhan adalah dosa besar. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk dapat mendekati Tuhan, seorang sufi harus bersih dari dosa dan terhindar dari hal-hal yang berbau subhat (meragukan).

Jika saja Abu Jazid berdosa besar, maka Abu Jazid pasti akan jauh dari Tuhan, dan tidak mungkin orang yang berdosa besar dapat melihat Tuhan. Apalagi dapat "menyatu (ittihad)". Maka, hakikat ucapan tersebut sesungguhnya Allah-lah yang mengatakan bahwa dirinya Tuhan yang wajib disembah, melalui lidah Abu Jazid al-Bisthami, sebagai tanda limpahan cinta Tuhan kepada Hamba-Nya.

Seorang tokoh sufi lain yang mengalami ittihad adalah Husain ibn Manshur al-Hallaj. Namun pengalaman al-Hallaj tidak disebut ittihad, tetapi dinamakan al-Hulul. Menurut Al-Hallaj, manusia memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat Nasut (kemanusiaan) dan sifat Luhut (Ketuhanan). Dengan membersihkan diri melalui ibadah, maka Nasut manusia akan lenyap dan muncullah sifat Luhutnya. Kemudian berikutnya, terjadilah pengalaman Hulul. Ketika terjadi Hulul, keluarlah ucapan-ucapan teopatis.

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (18)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (18)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

18. TAJALI KE-ESAAN, TIADA KEMAMPUAN HAMBA

Penampakan Allah kepada hambanya disebut Tajalli. Menurut pandangan sufi, Tajalli Allah Ta’ala adalah Dia menampakkan dirinya sendiri tanpa ada yang lain dari Dia, dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya, nur-Nya yang ‘Laisa kamitslihi syai’un,’ (tidak ada sesuatu dan satu apapun yang seumpama/menyamai-Nya). Tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat dirangkai.

Allah SWT, bisa saja Tajalli kepada makhluknya. Sepeti tajalli pada Bukit Sin (Thursina), dalam peristiwa dialog antara Allah dengan Nabi Musa AS. Bukit Sinna hancur, dan Musa AS pun tak sadarkan diri. Dengan peristiwa itu Allah nyata. Namun mata kepala tak mampu melihatnya. Itu disebabkan keterbatasan mata.

Mengenai Allah tajalli, bisa saja kepada siapa saja. Terutama pada rasul-rasul/nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. Atau kepada siapapun yang dikehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan masalah ini.

Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperoleh Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari zat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin. Tetapi pandangan syuhud.

Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan tajalli pada hamba-Nya yang dikehendaki. Karenanya, disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:

Ingsun tajallining dzat
Kang Maha Suci
Kang Amurba amisesa
Kang kawasa angandika Kun Fayakun
Dadi sak ciptaningsun
Ana sak sedyaningsun
Teka sak kersaningsun
Metu saka kodratingsun

Red : Dalam berdo'a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW : "Shalatlah seperti engkau melihat shalatku".

Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, dibutuhkan ketekunan. Idep, mantep, madep, lan tetep. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.

Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’. Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’. Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”

Dialog
Kalau Allah sudah tajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi.

Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).

Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasa (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.

Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebahpun mendapat perintah. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai.

Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.

Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku diketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.

Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS