Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ternyata ustadz tersebut salah memprediksikan perolehan suara dengan mengandalkan “loyalitas” jamaahnya. Beliau berasumsi, dengan banyaknya jamaah yang selalu hadir disetiap acara pengajiannya selama ini, minimal 75% akan memilih partainya. Namun asumsi tersebut meleset. Apa penyebabnya? Paling tidak ada 2 hal:
a.Parpol dimana sang ustadz bernaung adalah parpol baru yang di masa pemerintahan orde baru belum pernah ada. Mungkin para jamaah beranggapan, bahwa track record dari parpol tersebut belum kelihatan dan terbukti membela kepentingan rakyat. Sehingga untuk menjatuhkan pilihan kepada parpol tersebut dirasa amat berat. Ibarat membeli kucing dalam karung. Parpol tersebut tidak hanya semata-mata diisi oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas seperti ustadz X, tetapi banyak anggota lainnya yang tidak dikenal masyarakat.
b.Banyaknya jamaah yang hadir dalam setiap pengajian bukanlah sebagai tolok ukur keberhasilan. Iman boleh sama tapi pilihan parpol boleh beda, adalah hak pribadi masing-masing individu.
Tidak terpilihnya ustadz X menjadi anggota legislatif berdampak pada pamor sang ustadz di masyarakat. Ibarat bulan tertutup awan, pamor ustadz X langsung turun drastis di masyarakat. Hanya beberapa jamaah yang pro masih menghadiri pengajiannya. Sementara yang kontra tidak mau hadir dalam pengajian-pengajian berikutnya. Justru yang terjadi, banyak jamaah yang kontra dan tidak respect cukup banyak terhadap pencalonannya sebagai anggota dewan.
Memang demikianlah kondisi masyarakat di Indonesia, terutama di daerah. Mereka kadang belum cukup dewasa untuk berdemokrasi dalam menerima perbedaaan. Satu perbedaan saja sudah cukup sebagai tolok ukur bahwa mereka berseberangan. Semua dipukul rata, tanpa mau memilah dan memilih.
Kondisi ini baru disadari oleh sang ustadz pasca pemilihan, sehingga hampir 8 tahun nama beliau seolah-olah hilang di telan bumi. Kharismanya langsung turun di mata jamaahnya, disebabkan hanya untuk memenuhi ambisi pribadi dan pemuasan egonya. Baru 2 tahun terakhir ini, kehadiran beliau mulai mendapat simpati dan mulai diterima masyarakat kembali setelah beliau menyatakan keluar dari parpol tersebut.
***
Dalamnya lautan masih bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu. Demikianlah bunyi peribahasa yang sering kita dengar dan hafalkan ketika duduk belajar di bangku Sekolah Dasar. Sederet kata yang memiliki makna dan filosofi tinggi. Seberapa pun dalam lautan atau samudera, dengan peralatan atau teknologi cangkih yang dimiliki manusia sekarang ini maka kedalamannya dapat diukur. Berbeda dengan suasana hati seseorang, betapa pun cangkihnya peralatan atau teknologi, manusia tidak mampu bahkan tidak akan pernah dapat mengukurnya.
Manusia dengan perangkat tubuh yang dimilikinya hampir semua dapat diukur. Detak jantung dapat dihitung, tarikan nafas per menitnya dapat dikalkulasi, kebohongan disiasati dengan peralatan lie detector, kemampuan dan kapasitas otak dapat ditest melalui psikotest untuk menentukan tingkat Intelegence Quotient (IQ), kondisi emosional seseorang dapat dibaca sebelum emosi itu muncul dan bagaimana cara meredamnya melalui metode Emotional Quotient/EQ. Hanya hatilah yang tidak mampu ditebak meskipun manusia berusaha mencoba mendeteksi melalui perangkat Spiritual Quotient (SQ). Karena ruang ini adalah rahasia Illahi.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Ternyata ustadz tersebut salah memprediksikan perolehan suara dengan mengandalkan “loyalitas” jamaahnya. Beliau berasumsi, dengan banyaknya jamaah yang selalu hadir disetiap acara pengajiannya selama ini, minimal 75% akan memilih partainya. Namun asumsi tersebut meleset. Apa penyebabnya? Paling tidak ada 2 hal:
a.Parpol dimana sang ustadz bernaung adalah parpol baru yang di masa pemerintahan orde baru belum pernah ada. Mungkin para jamaah beranggapan, bahwa track record dari parpol tersebut belum kelihatan dan terbukti membela kepentingan rakyat. Sehingga untuk menjatuhkan pilihan kepada parpol tersebut dirasa amat berat. Ibarat membeli kucing dalam karung. Parpol tersebut tidak hanya semata-mata diisi oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas seperti ustadz X, tetapi banyak anggota lainnya yang tidak dikenal masyarakat.
b.Banyaknya jamaah yang hadir dalam setiap pengajian bukanlah sebagai tolok ukur keberhasilan. Iman boleh sama tapi pilihan parpol boleh beda, adalah hak pribadi masing-masing individu.
Tidak terpilihnya ustadz X menjadi anggota legislatif berdampak pada pamor sang ustadz di masyarakat. Ibarat bulan tertutup awan, pamor ustadz X langsung turun drastis di masyarakat. Hanya beberapa jamaah yang pro masih menghadiri pengajiannya. Sementara yang kontra tidak mau hadir dalam pengajian-pengajian berikutnya. Justru yang terjadi, banyak jamaah yang kontra dan tidak respect cukup banyak terhadap pencalonannya sebagai anggota dewan.
Memang demikianlah kondisi masyarakat di Indonesia, terutama di daerah. Mereka kadang belum cukup dewasa untuk berdemokrasi dalam menerima perbedaaan. Satu perbedaan saja sudah cukup sebagai tolok ukur bahwa mereka berseberangan. Semua dipukul rata, tanpa mau memilah dan memilih.
Kondisi ini baru disadari oleh sang ustadz pasca pemilihan, sehingga hampir 8 tahun nama beliau seolah-olah hilang di telan bumi. Kharismanya langsung turun di mata jamaahnya, disebabkan hanya untuk memenuhi ambisi pribadi dan pemuasan egonya. Baru 2 tahun terakhir ini, kehadiran beliau mulai mendapat simpati dan mulai diterima masyarakat kembali setelah beliau menyatakan keluar dari parpol tersebut.
***
Dalamnya lautan masih bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu. Demikianlah bunyi peribahasa yang sering kita dengar dan hafalkan ketika duduk belajar di bangku Sekolah Dasar. Sederet kata yang memiliki makna dan filosofi tinggi. Seberapa pun dalam lautan atau samudera, dengan peralatan atau teknologi cangkih yang dimiliki manusia sekarang ini maka kedalamannya dapat diukur. Berbeda dengan suasana hati seseorang, betapa pun cangkihnya peralatan atau teknologi, manusia tidak mampu bahkan tidak akan pernah dapat mengukurnya.
Manusia dengan perangkat tubuh yang dimilikinya hampir semua dapat diukur. Detak jantung dapat dihitung, tarikan nafas per menitnya dapat dikalkulasi, kebohongan disiasati dengan peralatan lie detector, kemampuan dan kapasitas otak dapat ditest melalui psikotest untuk menentukan tingkat Intelegence Quotient (IQ), kondisi emosional seseorang dapat dibaca sebelum emosi itu muncul dan bagaimana cara meredamnya melalui metode Emotional Quotient/EQ. Hanya hatilah yang tidak mampu ditebak meskipun manusia berusaha mencoba mendeteksi melalui perangkat Spiritual Quotient (SQ). Karena ruang ini adalah rahasia Illahi.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar