DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 29 Agustus 2013

TUGAS PARA NABIYULLAH


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Seringkali secara sadar maupun tidak, kita “meng-amini” ketika mendengar isi tausyiah yang disampaikan seseorang yang mengaku sebagai pemegang otoritas agama bahwa para nabi/rasul diutuskan ke dunia untuk memperbaiki ahlaq manusia. Benarkah pernyataan itu? Mungkinkah seorang manusia, meskipun itu seorang nabi atau rasul dapat memperbaiki ahlaq manusia? Lalu mengapa kalau mereka dapat dan mampu memperbaiki ahlaq manusia banyak manusia yang tetap kafir di saat itu? Atau kalimat “memperbaiki ahlaq manusia” ini perlu direkonstruksi sehingga kita tidak salah kaprah dalam menerima dan memahaminya? Lalu bagaimana sebenarnya Allah SWT dalam Al-Qur’an menjelaskannya perihal tugas para nabi/rasul? Mari kita bahas barang sejenak.

            Kalau kita mau telusuri lebih dalam isi kandungan Al-Qur’an, maka tugas para nabi/rasul adalah menyampaikan risalah islam  sesuai firman-firman-Nya (bukan memberikan petunjuk sehingga manusia berperilaku yang baik/ahlaqul karimah), tidak lebih dari itu. Jadi tugas para nabi/rasul hanya sebagai mediator untuk menyampaikan firman-firman-Nya. Para nabi/rasul pun dalam menyampaikan firman-firman Allah SWT tidak pernah ditambahi atau dikurangi. Semua sesuai dengan “redaksional” dari Allah SWT, sebagaimana bunyi ayat berikut ini.
           
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas." (QS. Yasiin 36:17).

            Sejarah pun mencatat, meskipun Muhammad SAW seorang rasul, beliau tidak mampu men-syahadat-kan kerabat dekatnya seperti pamannya Abu Jahal dan Abu Lahab, demikian pula dengan pamannya yang dikasihinya yang telah mengasuhnya sejak umur 8 tahun, yaitu Abu Thalib. Tatkala beliau memohon kepada Allah SWT agar pamannya bersyahadat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan beliau, saat itu pula turunlah firman Allah SWT yang isinya “menegur” beliau.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash 28:56).

            Dari ayat di atas sudah jelas dan tegas, bahwa tugas dari Rasulullah Muhammad SAW adalah menyampaikan risalah islam, bukan memberikan petunjuk (apalagi mengubah ahlaq manusia), sedangkan yang menjadikan seseorang mendapat petunjuk atau tidak adalah hak prerogatif Allah SWT. Di ayat lain pun, Allah SWT menjelaskan hal yang sama.

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah 2:272).

            Dalam Al-Qur’an maupun literature islam pun mencatat, tidak hanya Rasulullah Muhammad SAW yang tidak dapat memberikan petunjuk, tetapi para nabi/rasul lain pun mengalami hal yang sama. Qabil anak dari nabi Adam AS yang membangkang kepada ayahnya, Kan’an (anak) dan istri nabi Nuh AS yang tidak mau masuk islam, Ayah nabi Ibrahim AS, Istri nabi Luth AS yang berkhianat, dan masih banyak contoh lainnya. Jadi datangnya petunjuk bukanlah dinilai dari keturunan atau hubungan darah, meskipun mereka orang-orang terdekat para utusan Allah SWT. Sekali lagi semua hak prerogatif adalah milik Allah SWT dan Allah SWT tahu hamba-hamba-Nya yang mau menerima petunjuk dan mampu menjalankannya.

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab?” (QS. Az-Zumar 39:36-37)
           
Dari sedikit uraian di atas jelaslah sudah bahwa datangnya petunjuk bukanlah dari nabi/rasul. Tugas para nabi/rasul hanya sebatas menyampaikan risalah islam dari Allah SWT, menemani umatnya dan menjelaskan apa yang belum dipahaminya, memberikan teladan kepada umat agar Allah SWT berkenan memberikan ke-islam-an, ke-iman-an dan ke-ihsan-an melalui ke-istiqomah-an dalam beribadah dan dzikrullah, serta hal-hal lainnya. Adapun datangnya petunjuk, sehingga manusia pada akhirnya mempunyai ahlaq yang mulia buah dari meneladani apa yang dicontohkan para nabi/rasul adalah semata-mata karunia dan rahmat dari Allah SWT, Sang Pemegang Kekuasaan Tunggal. Selama petunjuk belum diberikan Allah SWT, maka sepandai apapun seseorang dalam ber-agama, maka apa yang didapat hanya menjadi teori saja (dalam otak saja layaknya ilmu pengetahuan dan dalam menjalankan ibadahnya hanya secara formalitas saja) dan tidak akan teraplikasi secara totalitas dalam kehidupan ini karena hatinya masih tertutup. Oleh karena itu, mohonlah kepada Allah SWT agar Dia berkenan (mempunyai kehendak) melimpahkan karunia (petunjuk), rahmat dan ridha-Nya kepada kita.

Sebagai tambahan, kalau ada pemegang otoritas agama yang mengaku dapat memberikan pencerahan dan memberi petunjuk kepada umatnya maka hal itu perlu dipertanyakan dan status yang disandang patut diragukan, karena apa yang diucapkan kontraproduktif dengan isi kandungan Al-Qur’an. Tugas pemegang otoritas agama (penerus nabi) juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai penyampai risalah islam, bukan mencerahkan, apalagi mengaku dapat memberikan petunjuk kepada umat manusia.

Demikian pula dengan artikel ini. Bukan bermaksud mencerahkan para pembaca, namun semata-mata menyampaikan apa yang telah dipahamkan Allah SWT kepada saya. Saya ini mengakui bahwa diri ini bodoh, ummi (tidak bisa membaca/iqra’/Maa ana bil qorii), lemah dan tidak memiliki sesuatu pun yang patut dibanggakan dihadapan Allah SWT maupun para pembaca. Saya pun hanya seorang makmum, itu pun pada posisi shaf paling belakang. Jadi semua tulisan yang saya uraikan dan tersaji dihadapan para pembaca semata-mata ridha Allah SWT.

Semoga artikel singkat ini dapat bermanfaat, dan dapat menjadi pijakan (kontemplasi) kita bersama. Amin ya Rabbal’alamiin.

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” ..http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Jumat, 23 Agustus 2013

DIMANA MASJIDKU?


DIMANA MASJIDKU?
           
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Kalau kebetulan para pembaca berdomisili di pulau Jawa dan sering bepergian keluar kota, maka ada perasaan bangga terhadap perkembangan umat islam dalam mendirikan rumah ibadah (masjid). Hanya beberapa kilo jarak antara masjid satu dengan masjid yang lain saling berdekatan, sehingga ketika waktu shalat datang maka anda tidak perlu bersusah payah mencari masjid sebagai tempat untuk memuliakan Allah SWT.

            Namun dibalik kebanggan tersebut, saya secara pribadi juga merasakan kesedihan dan kegelisahan. Mengapa? Karena tidak semua masjid itu benar-benar diperuntukkan bagi umat islam sebagaimana mestinya. Paling tidak saya pernah mengalami tiga peristiwa, Pertama,  Pernah suatu kali pada hari Jum’at di sebuah kota di sebelah selatan Jawa Tengah tatkala saya bepergian dan kebetulan waktu shalat Jum’at akan di mulai, saya mencari masjid yang paling dekat ditemui. Tanpa memandang dan memperhatikan jamaah di sekitar masjid tersebut, saya langsung berwudhu dan bergabung dengan jamaah lainnya yang akan menunaikan ibadah shalat Jumat. Semua terasa biasa-biasa saja hingga prosesi shalat berakhir baru saya sadari ada kejanggalan. Banyak para jamaah yang memperhatikan diri saya, dan ternyata masjid itu milik aliran tertentu, sehingga kehadiran saya terasa asing di mata mereka.

            Kedua,  Hal yang sama juag pernah saya alami ketika saya menjalankan ibadah shalat fardhu. Saat itu pun tidak terbersit ada sesuatu yang aneh dalam masjid maupun jamaahnya. Namun apa yang terjadi setelah saya selesai mendirikan shalat dan meninggal tempat tersebut? Sambil memakai sepatu, saya perhatikan ada seseorang (marbot) mendekati bekas saya shalat dan membersihkan tempat tersebut. Seolah-olah tempat yang saya pakai untuk mendirikan shalat seperti (maaf) meninggalkan bekas najis. Karena rasa penasaran, saya kemudian bertanya kepada penduduk di luar (sekitar) masjid tersebut. Ternyata tempat ibadah itu milik aliran tertentu, jadi jamaah yang di luar dari aliran itu dianggap “orang asing” sehingga bekas tempat shalat perlu dibersihkan. Saya cuma tertegun dan bingung.

            Ketiga,  Peristiwa kali ini lebih membuat saya pengin cepat-cepat meninggalkan masjid. Ini terjadi pada hari jumat ketika mendengarkan khotbah. Sungguh isi khotbahnya “menyeramkan”. Bayangkan mereka menjelek-jelekkan kelompok tertentu karena perbedaan hal-hal yang kecil (furuq). Memang sih antara kelompok ini dengan kelompok lain yang disindir kalau dalam forum kenegaraan seolah-olah mesra, bisa duduk bersama dan tidak ada konflik. Namun bila mereka tidak bersamaan atau dalam forum resmi, maka ada semacam “dendam” bersemayam di dua kelompok ini dan kondisi ini telah berlangsung lama. Tak heran bila saya mempunyai teman yang antipati untuk shalat di masjid kelompok A, demikian pula sebaliknya.

            Itulah kesedihan dan kegelisahan saya. Masjid adalah rumah umat islam dan tempat mulia. Pada jaman Rasulullah Muhammad SAW dulu, fungsi masjid tidak hanya untuk beribadah namun juga sebagai pemersatu umat islam, berdiskusi dan memecahkan masalah umat maupun pemerintahan, dan lain sebagainya.

Lalu apa yang terjadi sekarang? Inikah representasi dari umat islam sekarang ini? Mengapa kita yang seiman dan bersaudara justru saling berpecah belah dan saling mencurigai? Apakah kondisi ini sebagai bentuk realita yang terjadi seperti apa yang disabdakan Rasulullah SAW dulu bahwa pasca beliau wafat umat islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan (firqah) dan hanya satu yang benar? Apakah saat ini umat islam sudah tidak mau mengindahkan peringatan dari beliau untuk kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah? Padahal jaman Rasulullah SAW dulu islam tidak ada aliran, golongan, kelompok. mahzab, dll. Islam itu satu, tidak terkotak-kotak yang didasari kepentingan pribadi atau golongan. Bukankah berpecah belah merupakan salah satu kategori orang munafik? Apa sih orang munafik itu? Dalam pengertian syara’, munafik adalah orang yang lahirnya menyatakan beriman, padahal hatinya kufur.  Hal apa yang mesti kita lakukan ketika menemui masjid malah dijadikan tempat untuk memecah belah umat? Mari kita belajar dari jaman Rasulullah Muhammad SAW dahulu.

Sejarah telah mencatat, pasca perang Tabuk, Rasulullah Muhammad SAW dihadapkan dengan beberapa umatnya yang berperilaku munafik. Ada sekelompok kaum munafik di Dzu Awan (sejauh perjalanan satu jam dari Madinah) yang membangun masjid bernama Dhirar, dengan maksud untuk memecah belah umat islam, membelokkan ajaran agama islam dan sebagai tempat berkumpul bagi golongan mereka. Mereka minta kepada Rasulullah SAW, supaya bersedia membukakan dan menunaikan shalat di dalamnya. Akan tetapi Rasulullah SAW tahu bahwa masjid itu dibangun dengan niat buruk, lalu beliau menolak permintaan mereka bahkan memerintahkan supaya masjid itu dibakar. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an.

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9: 107-110).

                Ayat di atas tentu tidak saja berlaku pada masa Rasulullah SAW dulu, tetapi juga relevan pada saat sekarang ini. Dari ayat di atas ada hal yang saya garis bawahi, bahwa ketika fungsi masjid justru dijadikan untuk memecah belah umat islam maka Allah SWT secara jelas dan tegas melarang kita untuk mendirikan shalat di masjid itu selama-lamanya.  

            Lalu langkah apa yang mesti kita ambil agar tidak melanggar larangan Allah SWT? Jawabannya saya kembalikan ke sidang pembaca, dan saya tahu bahwa anda lebih bijak dalam memberikan jawabannya.

Semoga artikel singkat ini dapat bermanfaat, dan dapat menjadi pijakan (kontemplasi) kita bersama dan lebih berhati-hati. Amin ya Rabbal’alamiin.

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH”  http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Senin, 05 Agustus 2013

UNTUK KITA RENUNGKAN


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Alhamdulillah, kita sudah memasuki akhir bulan ramadhan 1434 H, berbagai amal ibadah semaksimal mungkin tentu telah kita tunaikan di dalam bulan suci ini. Tentu saja apa yang kita lakukan pada akhirnya akan mendapatkan apa yang kita harapkan. Amin.

            Marilah kita merenung sejenak tentang apa yang telah kita lakukan selama ramadhan ini. Pertanyaannya adalah “Apakah ramadhan kali ini anda berusaha ibadah semaksimal mungkin, baik siang maupun malam dengan niat agar mendapatkan pahala yang banyak untuk menebus surga?” Kalau jawaban anda iya, maka pertanyaan selanjutnya adalah “Benarkah anda telah mendapat pahala itu dan apa buktinya?” Kalau anda masih bingung menjawabnya (mungkin karena tidak tahu dan paham), saya malah bertanya, “Lha katanya cari pahala kok tidak tahu buktinya apakah sudah dapat apa belum?” atau anda menjawab (untuk mengelak ketidaktahuan anda) dengan alasan klasik,”Semua saya serahkan kepada Allah!”. Jawaban ini memang benar, tapi kurang tepat juga. Kok bisa? Tentu saja. Janji Allah SWT itu pasti, jadi tidak mungkin Dia memberi tanpa ada buktinya. Jadi, bukti apa kalau anda telah mendapatkan pahala? (silahkan direnungkan sendiri).
*****
            Apakah anda sudah mendapat Lailatul Qodar di sepuluh malam terakhir ramadhan ini? Lalu apa buktinya? Kalau anda mengatakan bahwa saat malam itu suasana langit tidak terang juga tidak mendung, suasana tenang dan hening, angin bertiup sepoi-sepoi, dan pada pagi harinya matahari tidak terik (panas), maka jawaban anda memang benar adanya sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW, “Ubay (bin Ka'ab) berkata, "Demi Allah yang tiada tuhan melainkan Dia. Sesungguhnya ia terjadi di bulan Ramadhan. Dan demi Allah sesungguhnya aku mengetahui malam itu. Ia adalah malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk qiyamullail, yaitu malam kedua puluh tujuh. Dan sebagai tandanya adalah pada pagi harinya matahari terbit dengan cahaya putih yang tidak bersinar-sinar menyilaukan." (HR. Muslim).

Sebenarnya hadist di atas hanya memberikan suasana atau lebih tepat TANDA turunnnya Lailatul Qodar, bukan BUKTI. Oleh karena itu, saya bertanya sekali lagi apa buktinya anda mendapatkan Lailatul Qodar? (silahkan direnungkan sendiri).
*****
            Pertanyaan selanjutnya adalah bahwa anda yakin setelah selesai menunaikan ibadah puasa ramadhan sebulan penuh maka anda akan kembali suci lagi (fitrah) layaknya bayi yang baru dilahirkan pada saat tanggal 1-syawal (Idhul Fitri) karena diampuni dosa-dosa anda. Memang ini benar atau sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan puasa Romadhan dan aku telah mensunnahkan menegakkan shalatnya (terawih), maka barangsiapa berpuasa dan menegakkannya mengharapkan ridho Allah SWT keluar dari dosa-dosanya seperti hari ibunya melahirkannya. (HR. Imam Ahmad/1572, Nasai /2180,Ibnu Majh/ 1318.)
Pertanyaannya, “Apakah bukti bahwa anda kembali fitrah?”. (silahkan direnungkan sendiri)
*****
            Dari beberapa pertanyaan di atas paling tidak ada beberapa hal yang perlu mendapat catatan :
  1. Apakah mungkin anda mendapat pahala, Lailatul Qodar dan kembali fitrah kalau anda tidak terlebih dahulu berjumpa dengan yang memberikan itu semua? Sebagai ilustrasi, ketika anda meminta sesuatu kepada seseorang dan kebetulan anda tidak/belum ketemu dengan orang tersebut mungkinkah anda akan diberi? Tidak mungkin bukan? Kalau pun anda mendapatkan sesuatu yang anda inginkan itu berarti anda mencuri karena tanpa sepengetahuan sang pemilik. Ini bisa saja terjadi kalau di dunia dan berhubungan dengan manusia mungkin saja terjadi. Tetapi dalam beribadah, anda tidak mungkin mencuri pahala, lailatul qodar dan mendapatkan ke-fitrah-an, karena ini berhubungan dengan Allah SWT yang Maha Berkuasa, Maha Menjaga, dan tidak pernah lengah sedikit pun.
  2.  Seringkali niat ibadah kita tidak tertuju atau mengutamakan yang memberi segala kenikmatan, tapi ibadah kita sering terfokus pada apa yang akan kita peroleh. Jadi mungkinkah kita akan memperoleh pahala, lailatul qodar dan ke-fitrah-an kalau tujuan yang kita niatkan tidak tepat?
  3. Pahala, Lailatul Qodar, Ke-fitrah-an (diampuni dosa-dosa kita), dan Surga adalah bonus yang diberikan Allah SWT ketika anda beribadah secara hanif kepada Allah SWT semata-mata untuk mengharap rahmat dan ridho-Nya. Tanpa anda minta pun Allah SWT akan memberi bonus-bonus itu. Tapi kalau dalam beribadah yang anda tuju bukan mengutamakan (menyembah) kepada sang pemberi, maka anda tidak mungkin mendapat bonus itu semua.
  4. Beragama dan beribadah, hasilnya adalah pasti (ada bukti) karena janji Allah SWT itu pasti. Itu mengapa beberapa pertanyaan di atas sengaja saya ajukan, terutama berhubungan dengan BUKTI bahwa ibadah kita diterima Allah SWT dan telah dibenarkan-Nya. Apa jadinya kalau beragama dan beribadah hasilnya sebatas anda duga-duga tanpa adanya bukti?
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS. Yunus 10:36).

Semoga artikel singkat ini dapat bermanfaat, dan dapat menjadi pijakan (kontemplasi) kita untuk memperbaharui niat ibadah kita selanjutnya. Amin.

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH”, http://akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH", http://akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU", http://akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang