DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Rabu, 30 September 2009

Kimia Kebahagiaan (11)


KIMIA KEBAHAGIAAN (11)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua orang kafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dalam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati. Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang di dalam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?.

Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepiting-kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainul-yaqin)", dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.

Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yang ia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orang-orang seperti itu.

Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya. Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu kebohongan.

Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.

Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.

Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini. Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk. Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.

Bersambung

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Selasa, 29 September 2009

Kimia Kebahagiaan (10)


KIMIA KEBAHAGIAAN (10)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT

Berkenaan dengan nikmat surgawi dan siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal yang sering terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa." Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui - bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.

Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yang telah kehilangan senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.

Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu abadi." Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah. Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."

Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.

Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw. diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."

Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

SC-HSS

Senin, 28 September 2009

Kimia Kebahagiaan (9)


KIMIA KEBAHAGIAAN (9)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama, ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan anda, sementara nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari anda dan menyampaikan salam perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyatannya selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai anda, menyayangi anda dan kemudian membelot kepada musuh anda, meninggalkan anda mati merana karena rasa kecewa dan putus asa. Isa a.s. melihat dunia terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua yang buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang dipunyainya, dan mendapat jawaban, jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah memenggal mereka semua. "Saya heran", kata Isa a.s., "atas kepandiran orang yang melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap menginginimu."

Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dnegan cadar, kemudian mulai merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah saw. Bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, "Ampun! Siapa ini?" Malaikat pun akan menjawab, "Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusakkan kehidupan satu sama lain." Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara dia menjerit keras-keras, "Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?" Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.

Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah lalu, akan melihat bahwa kehidupan ini seperti sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga (ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan, karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.

Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi perutnya dengan bahan makanan terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak-enakannya tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka nikmati - taman-taman, budak-budak laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya - akan makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian, karena jiwa yang telah menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan tetap akan menderita di dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuasi.

Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa a.s. bersabda: "Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuasi," Rasulullah saw. bersabda: "Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah".

Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya tamu-tamu yang tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat semua itu direnggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan kecewa dan malu.

Akan kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek berikut ini. Misalkan sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berhenti selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka para penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yang paling nyaman di dalamnya. Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu yang agak lebih lama di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan mendengarkan nyanyian burung-burung. Ketika kembali ke kapal mereka temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi dan terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman. Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna yang amat indah, lalu membawanya kembali ke kapal. Keterlambatan itu memaksa mereka untuk mendekam jauh di bagian paling rendah kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang mereka bawa - yang ketika itu telah kehilangan segenap keindahannya - mengganggu mereka di perjalanan. Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa dijangkau lagu oleh suara kapten kapal yang memanggil mereka untuk kembali ke kapal. Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar tanpa mereka. Meraka luntang-lantung dalam keadaan tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.

Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman yang sama sekali menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok yang terakhir adalah kelompok orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya adalah orang-orang yang masih mempunyai iman, tapi menyibukkan diri mereka, sedikit atau banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.

Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke dunia yang akan datang dan, meskipun amal-amal baiknya telah lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini termasuk "hal-hal yang baik", dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, "tidak akan hapus."

Ada hal-hal lainnya yang baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian dan lain sebagainya, yang oleh orang yang bijaksana digunakan sekadarnya untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang. Benda-benda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiap kepada dunia ini dan ceroboh tentang dunia lain, adalah benar-benar kejahatan dan disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu."

Bersambung...

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Minggu, 27 September 2009

Kimia Kebahagiaan (8)


KIMIA KEBAHAGIAAN (8)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

PENGETAHUAN TENTANG DUNIA

Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di tengah perjalanannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu. Jelasnya, di sini manusia dengan menggunakan indera-indera jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya Allah serta, melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri. Suatu pandangan tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa-depannya. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke alam air dan lempung ini. Selama indera-inderanya masih tinggal bersamanya, dikatakan bahwa ia berada di "alam ini". Jika kesemuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke "alam lain".

Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya. Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya. Tetapi jika sang peziarah menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir.

Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja, hanya terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tetapi nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.

Sedangkan mengenai dunia yang mesti kita garap, kita dapati ia terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah. Produk-produk dari ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh manusia dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan para penenun, pembangun dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu memiliki banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu dan tukang besi. Tidak ada daripadanya yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan seringkali mengakibatkan kebencian, iri hari, cemburu dan lain-lain penyakit jiwa. Karenanya timbullah pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.

Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi semakin rumit dan menimbulkan kekacauan. Sebab utamanya adalah manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju Makkah yang, karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya. Seseorang pasti akan terpikat dan tersebukkan oleh dunia - yang oleh Rasulullah dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut dan Marut - kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Sabtu, 26 September 2009

Kimia Kebahagiaan (7)


KIMIA KEBAHAGIAAN (7)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang dengan cara berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.

Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.

Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia." Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."

Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.

Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.

Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang tertinggi - terus-menerus mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai dosa yang sedemikian besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Pernah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa korma tersebut diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh setan dan harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah pedang. Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpura-pura telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu. Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa mereka adalah abdi-abdi-Nya.

Bersambung.....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Jumat, 25 September 2009

Kimia Kebahagiaan (6)


KIMIA KEBAHAGIAAN (6)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai "Singgasana" (al-'arsy). Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.

Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.

Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara, ada banyak tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja. Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak pernah melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.

Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka peroleh hanyalah lewat indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang, yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai dengan persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing-masing mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada bintang-bintang, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu, Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS 6:76).

Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama, yaitu dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya jika seseorang kehilangan rasa tertariknya pada urusan duniawi, memiliki rasa benci terhadap kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam dalam depresi, dokter akan berkata: "Ini adalah kasus melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi lembab kembali." Sang ahli astrologi akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet. "Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang berkilauan dari lautan pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.

Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku." (ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya (SAW): "Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku.

Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang mukmin: "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan, karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu - sebagaimana yang bisa kita peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah.

Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang melanggar batas-batas ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.

Bersambung....

Shalat Center Haaqah Sampangan Semarang

Kamis, 24 September 2009

Kimia Kebahagiaan (5)


KIMIA KEBAHAGIAAN (5)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

PENGETAHUAN TENTANG TAHU DIRI

Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah." Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.

Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?" Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut sekalipun.

Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu! Jadi, sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama (Pengetahuan Tentang Diri - pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta. Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia. Misalnya, pada penyesuaian gigi depan dan samping pada pengunyahan makanan, serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi. Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.

Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku." Dan menurut hadits Nabi (SAW), Allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.

Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus mana pun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Bersambung....

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Selasa, 22 September 2009

Kimia Kebahagiaan (4)


KIMIA KEBAHAGIAAN (4)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang yang dangkal yang - dengan menggemakan beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan kutukan terhadap semua pengetahuan. Ia bagaikan seseorang yang tidak cakap di bidang kimia menyebarkan ucapan: "Kimia lebih baik dari emas," dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati. Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.

Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras. Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.

Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang-Nya itu!

Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.

Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka. Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan, Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi - seperti hati, jantung dan otak - tetapi juga yang tidak mutlak perlu - seperti tangan, kaki, lidan dan mata. Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.

Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di dalam dirinya. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.

Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya. Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri - yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya - maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.

Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan kebesaran jiwa manusia. Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya - takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan. Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila. Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.

Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk - bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik - belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Senin, 21 September 2009

Kimia Kebahagiaan (3)


KIMIA KEBAHAGIAAN (3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.

Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam."

Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yang tak-kasat-mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat-syahwat badani dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.

Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata: "Setiap anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi." Setiap manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan "Bukankah Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya". Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati para nabi dan wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.

Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan paling utama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya. Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir.

Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.
2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.

Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui. Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi. Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang telinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta. Di samping ketidakmampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Minggu, 20 September 2009

Kimia Kebahagiaan (2)


KIMIA KEBAHAGIAAN (2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:

Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.

Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka. Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan amarah. Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan - dalam kemajuan anda - menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.

Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan "hati" bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya; dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yang mengunjungi suatu negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.

Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain individualitasnya. Dengan demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh dilarang oleh syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh itu adalah urusan Tuhanku." (QS 17:85). Yang bisa diketahui adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an: "Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yang lurus." (QS 29:69).

Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (ruh) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya. Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.

Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut - yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga bagaikan cermin yang jernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.

Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan, "Tapi jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan belaka?" Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya. Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban. Fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para malaikat. Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang menang, maka setelah kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Sabtu, 19 September 2009

Kimia Kebahagiaan (1)


KIMIA KEBAHAGIAAN (1)

KIMIA-I SA’ADAT (KIMIA KEBAHAGIAAN)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai serta dimuliakan Allah SWT.

Sebelumnya saya mohon maaf kepada para sahabat dan sidang pembaca, kalau dalam beberapa hari ini (mulai 29 Ramadhan 1430 H sampai dengan beberapa hari ke depan) saya tidak menerbitkan tulisan pribadi maupun hasil diskusi di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang. Hal ini dikarenakan karena sahabat-sahabat di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang disibukkan oleh aktivitas “budaya” mudik untuk menjalin tali silaturahmi kepada saudara-saudara kita dalam arti seluas-luasnya.

Namun demikian untuk tetap menjaga tali silaturahmi dalam forum ini maka saya akan mempostingkan artikel kajian tasawuf yang merupakan salah satu ringkasan karya fenomenal Al-Ghazali, yang berjudul Kimia-i Sa’adat (Kimia Kebahagiaan) dengan pertimbangan buku tersebut sudah jarang ditemui dipasaran dan dapat memperdalam pengetahuan ke-ilmu-an kita. Sekali lagi kami sahabat-sahabat di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga artikel Kimia Kebahagiaan dapat menggantikan sementara tulisan-tulisan kami dan bermanfaat bagi para sahabat dan sidang pembaca semuanya. Amin.

KIMIA KEBAHAGIAAN
KATA PENGANTAR
Oleh : Al-Ghazali

Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung. Meskipun bukan merupakan bagian Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia dan bersifat ketuhanan. Ketika, dalam tempaan hidup zuhud, ia tersucikan dari nafsu jasmaniah, ia mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu angkara, ia memiliki sifat-sifat malaikat. Dengan mencapai tingkat ini, ia temukan surganya di dalam perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan badani. Kimia ruhaniah yang menghasilkan perubahan ini dalam dirinya, seperti kimia yang mengubah logam rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi judul Kimia Kebahagiaan ini.

Khazanah-khazanah Tuhan yang mengandung kimia ini, ada pada hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "... Telah Kami angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam." (QS 50:22)

Allah telah mengutus ke dunia ini seratus duapuluh empat nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini, dan bagaimana cara mensucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah melalui tempaan zuhud. Kimia ini dapat secara ringkas diuraikan sebagai berpaling dari dunia untuk menghadap kepada Allah. Bagiannya ada empat. Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya.

Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.

BAB 1: PENGETAHUAN TENTANG DIRI

Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan Hadits: "Dia yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan," dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur'an: "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka." Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain. Jika anda berkata" "Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
www.akubersujud.blogspot.com



Jumat, 18 September 2009

Selamat Idhul Fitri 1430 H



Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu

Sahabat-sahabat Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Apabila kami selama ini dalam berinteraksi dengan para sahabat dan sidang pembaca dalam forum blog kami ada kesalahan dan kekhilafan, baik yang disengaja maupun tidak, kami mohon maaf yang seikhlas-ikhlasnya.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, berkah, karunia, inayah dan ridho-Nya kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu


Kamis, 17 September 2009

Para Pencari Allah (3)


PARA PENCARI ALLAH SWT (3)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Manusia dalam memperjuangkan harapannya untuk bertemu dan mengenal Allah SWT semata-mata tidak untuk keuntungan orang lain (orang tua, istri/suami, anak, para kerabat, teman, sahabat, dll) tetapi untuk keuntungan diri sendiri.

“Dan barang siapa yang berjuang, maka sesungguhnya itu adalah untuk dirinya sendiri....,” (QS. Al-Ankabut 29 : 69)

Seringkali kita mendengar bahwa tidaklah mungkin manusia dapat bertemu dengan Allah SWT di dunia ini. Dan pernyataan ini sudah dijejalkan ke dalam memori otak kita sejak kecil bahkan hampir berkarat. Ini justru membuat hijab, karena membuat diri kita tidak yakin. Pernyataan ini jelas-jelas menyesatkan! Kalau seandainya tidak mungkin, lalu ketika kita shalat bertemu atau menyembah siapa? Padahal kita menyembah Allah SWT. Makanya Allah SWT mengingatkan kepada kita agar hati-hati dalam menyerap informasi dari seseorang yang pernyataannya tidak ada dalilnya atau bertentangan dengan Al-Qur’an. Apalagi kalau pernyataannya ditambahi...katanya si A atau menurut si B, dll.

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus 10 : 36).

Marilah kita bongkar paradigma yang keliru itu dan merubah mindset kita. Karena informasi yang salah membuat kita tidak yakin dapat “bertemu” dengan Allah SWT di dunia. Padahal Allah SWT memerintahkan manusia untuk yakin dapat “bertemu” dengan-Nya.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berjuang) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya, (QS. Al-Insyiqaq 84 : 6).

Lalu apa modal kita untuk berjuang agar bertemu dengan Allah SWT? Yaitu dengan amal shalih. Amal berarti suatu peribadatan yang melibatkan fisik (syariat) dan Shalih berarti suatu peribadatan yang melibatkan ruhani (hakikat/spiritual). Jadi kalau kita melakukan suatu prosesi ibadah harus melibatkan keduanya. Dan ini perlu riyadah (latihan) dengan dibarengi sabar, ikhlas, tawakal dan istiqomah kepada Allah SWT.

“Barang siapa mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal shalih. Dan janganlah ia mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya dengan sesuatu apapun”. (QS. Al-Kahfi 18 : 110).

Marilah kita meluangkan waktu dan tenaga untuk benar-benar berjuang “menemukan dan mengenal” Allah SWT. Janganlah sisa waktu/umur kita terbuang sia-sia dan digolongkan/termasuk orang-orang yang rugi dan menyesal, karena selama kita hidup di dunia tidak “berjumpa” dengan Allah SWT sementara maut telah datang menjemput kita, seperti yang telah diperingatkan Allah SWT dalam Al-Qur’an,

“Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan akan menemui Allah. Sehingga bila datang kiamat dengan tiba-tiba (kematian) mereka berkata :’Penyesalan kami atas kelengahan di dunia, sehingga mereka memikul dosa...(QS. Al-An’am 6 : 31).

Demikian sedikit uraian dari saya. Semoga bermanfaat. Amin.

Selesai, 27-Ramadhan-1430 H

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-Penulis
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
www.akubersujud.blogspot.com

Rabu, 16 September 2009

Para Pencari Allah (2)


PARA PENCARI ALLAH SWT (2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Demikian pula yang dilakukan Nabi Musa AS berjuang untuk “mencari dan menemukan” Allah SWT, dan puncak keimanannya diperoleh ketika Beliau pingsan karena ingin melihat “wajah” Allah SWT.

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman,’Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata,’Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman,” (QS. Al-A’raf 7 : 143).

Begitu pula yang dilakukan Rasulullah SAW, hampir selama 15 tahun Beliau berjuang mencari dan menemukan Allah SWT. Dimana dalam setiap tahunnya, Beliau menyisihkan beberapa hari untuk berkhalwat (menyendiri) di Gua Hira’. Dan puncaknya pada usia 40 tahun, Beliau diperkenalkan oleh Allah SWT bersamaan dengan turunnya surat Iqra’ ayat 1-5 sekaligus Allah SWT melimpahkan nikmat iman yang dimasukkan (diturunkan) ke dalam dada Beliau.

Begitulah sekilas gambaran perjuangan para Nabi/Rasul dalam “menemukan dan mengenal” Allah SWT. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah “Pernahkah kita berjuang untuk menemukan Allah SWT?

Kelihatannya sekarang ini kebanyakan dari kita penginnya instan untuk masuk surga tanpa berjuang terlebih dahulu untuk bertemu dengan Allah SWT. Padahal Dia-lah sang pemilik surga. Kita analogkan ketika anda berkunjung ke rumah seseorang yang belum anda kenal, tiba-tiba anda nyelonong masuk rumahnya. Apa yang terjadi? Anda bisa diusir atau dituduh maling, perampok, dsb.

Budaya instan dapat kita lihat dari fenomena yang ada. Kita lebih asyik begadang tanpa tujuan atau menonton sepak bola tengah malam daripada shalat tahajud, witir dan taubat. Kita lebih mendahulukan menonton sinetron dari pada shalat maghrib dan isya. Bahkan untuk meredakan stress, penat, dan jenuh dengan urusan kerjaan malah kita tidak pengin shalat tetapi ngabuburit atau datang ke diskotik/karaoke. Padahal shalat adalah tempatnya istirahat fisik, pikiran dan jiwa kita. Kalau caranya begini coba anda tanyakan berapakah kadar perjuangan kita untuk bertemu dengan-Nya?

Pun dalam shalat, setelah takbir, anda membaca , ‘Kuhadapkan wajahku kepada “wajah” Allah SWT dengan selurus-lurusnya (tidak syirik)’ (QS. Al-An’am 6 : 79). Tetapi benarkah kita sudah ‘bertemu dan mengenal’-Nya? Jangan-jangan kita membohongi diri sendiri dan Allah SWT? Silahkan anda instropeksi terhadap diri anda sendiri. Karena yang bisa menjawab diri anda. Jangan sampai anda dimasukkan golongan orang tidak beriman karena hakekatnya anda tidak ingin dan mengenal Allah SWT, tetapi mengaku mengenal (beriman), sebagaimana peringatan Allah SWT dalam Al-Qur’an:

“Kebanyakkan mereka tiada beriman kepada Allah, malahan mereka mempersekutukan-Nya.” (QS. Yusuf 12 : 106).

Padahal maksud Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dan memberikan contoh perjalanan ruhani para utusan-Nya (Nabi dan Rasul) agar umatnya mau meniru mereka dalam berjuang menemukan dan mengenal Allah SWT. Bahkan Allah SWT memperingatkan manusia dalam Al-Qur’an berikut ini :

“Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik, (QS. Al-Ankabut 29 : 69).

Dari ayat tersebut di atas Allah SWT memperingatkan manusia agar mengusahakan dan berjuang untuk “menemukan dan mengenal” Allah SWT. Bahkan Allah SWT akan menghargai perjuangan hamba-Nya yang mau bersungguh-sungguh “menemukan dan mengenal”-Nya dengan menunjukkan jalan-Nya. Karena manusia tidak mempunyai daya dan upaya sedikit pun. Hanya Allah SWT yang mengenal diri-Nya sendiri dan hak Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya serta menuntun kepada hamba-hamba-Nya yang mau bersungguh-sungguh untuk mengenal dan bertemu dengan-Nya.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Para Pencari Allah (1)


PARA PENCARI ALLAH SWT (1)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai serta dimuliakan Allah SWT.

Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia melalui Rasulullah SAW sebagai pedoman, pelajaran dan pelita hati bagi setiap umat manusia. Tidak ada keraguan sedikit bagi orang yang meyakini (QS. Al-Baqarah 2 : 2). Ibarat dalam gelap gulita, maka Al-Qur’an adalah penerang dan penuntun manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.

”Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (Al-Jasiyah 45 : 20).

”Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qamar 54 : 17).

”(Qur’an) ini menjadi pelita hati untuk manusia dan jadi petunjuk dan rahmat untuk kaum yang yakin.” (Al-Jasiyah 45 : 20).

Salah satu isi dari Al-Qur’an adalah menceritakan tentang sejarah para Nabi/Rasul dalam pengembaraannya “menemukan” Tuhan. Memang hidup manusia di dunia ibarat seorang musafir/pengembara yang sedang bepergian dan mempunyai harapan~pada akhirnya~akan kembali lagi dengan selamat ke asal-usulnya.

Namun bagi seorang pengembara untuk kembali selamat tidaklah mudah, banyak rintangan, halangan dan tantangan yang mesti dilalui. Dibutuhkan lebih dari perjuangan dan pengorbanan harta, jiwa, raga, dsb.

Awal pengembaraan manusia sebenarnya dimulai saat di alam azali, dimana Ruh kita pernah berjumpa dan sempat menatap puas wujud hakiki Allah SWT, bahkan Ruh kita telah disumpah dan bersaksi dihadapan-Nya, bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Dialog dan persaksian ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab,’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ’Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (QS. Al-A’raf 7 : 172).

Namun ketika manusia hidup di dunia dijangkiti penyakit amnesia sehingga lupa akan sumpah dan kesaksiannya. Kebanyakkan manusia terlena dengan hiruk pikuk dunia. Terdampar oleh nikmatnya “surga” dunia. Hal ini terjadi karena Ar-Ruh (diri manusia yang sejati) terbungkus oleh An-nafs. Ibarat mutiara yang tenggelam dalam lumpur.

Oleh karena itu Allah mengutus para Nabi/Rasul untuk memperingatkan manusia akan asal usulnya, apa yang harus dilakukan di dunia sehingga kembali dengan selamat di sisi Allah SWT. Sebelum Rasulullah Muhammad SAW wafat, Beliau berpesan kepada umatnya agar berpegang teguh dengan dua perkara yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai pedoman dan peta dalam pengembaraannya di dunia sehingga manusia selamat dunia akhirat.

Tetapi anehnya banyak dari umatnya yang mengaku cinta kepada Beliau tidak mau menjalankan pesannya, bahkan tidak mau belajar cara Beliau dalam berjuang “menemukan” Allah SWT.

Tidak hanya kita saja yang harus berjuang “menemukan” Allah SWT, sebelumnya para Nabi/Rasul pun dituntut Allah SWT untuk memperjuangkannya. Mari kita buka Al-Qur’an yang menceritakan bagaimana perjuangan beberapa Nabi/Rasul untuk mencari Allah SWT. Terlebih dahulu saya nukilkan perjuangan Nabi/Rasul Ibrahim AS dalam “mencari dan menemukan” Allah SWT.

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ’Inilah Tuhanku.’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: ’Aku tidak suka yang tenggelam’. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata :’ Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: ’Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’ Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:’Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata : ’Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan’. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-An’am 6 : 76-79)

Begitulah Khalilullah (Nabi Ibrahim AS) berjuang untuk menemukan Allah SWT dengan cara membaca ayat-ayat kauniyah, sehingga dengan kemurahan rahmat dan hidayah-Nya atas perjuangan Nabi Ibrahim AS tersebut, Allah SWT berkenan menuntun Beliau untuk “mengenal”-Nya.

Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Senin, 14 September 2009

Buah Dari Pemahaman (2)


BUAH DARI PEMAHAMAN (2)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dicintai dan dimuliakan Allah SWT.

Mari kita lanjutkan artikelnya...

Seringkali manusia (terutama umat Islam) mempunyai pandangan salah kaprah, bahwa manusia berhak memilih dan menentukan jalan hidupnya. Sementara Allah SWT seolah-olah tidak boleh atau tidak ikut campur tangan. Allah SWT dikondisikan jauh bersemayam di Arsy tanpa mengurusi makhluknya. Coba anda bayangkan bila manusia berhak memilih maka tidak ada manusia yang ingin hidupnya miskin karena semua ingin kaya dan hidup enak, juga tidak ingin yang wajahnya jelek tetapi ingin cantik atau tampan, tidak ada yang ingin bodoh namun ingin semua pintar, tidak ingin bertindak tidak terpuji tetapi baik semua, dll. Kalau kejadiannya begini apa jadinya? Atau seperti taklit sebuah iklan pajak, “Apa kata dunia?”.

Ini mengapa Allah SWT menuntut manusia yang memiliki banyak rejeki untuk berzakat, bershadaqah, berinfaq kepada saudara-saudaranya yang kurang mampu, juga menuntut orang yang pandai untuk mengamalkan ilmunya, yang baik menasehati yang tersesat, dll.

Mungkin karena umat islam ada yang salah kaprah memahami ayat lain di dalam Al-Qur’an dan memahaminya secara tekstual seperti pada ayat :

“Allah tidak mengubah nikmat yang dianugerahkan pada suatu kaum kecuali jika mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri...(QS. Al-Anfal 8 : 53).

Namun Allah SWT mempertegas pada ayat lain,

”Sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS Ar-Rad 13 : 11).

Maksud dari 2 (dua) ayat tersebut diatas adalah seolah-olah manusia dapat mengubah hidupnya dengan cara berusaha diri sendiri tanpa melibatkan Allah SWT. Mampukah manusia mengubahnya? Kalau mampu berarti bertentangan dong dengan ayat Al-Qasas 28 : 68? Kalau ini yang anda pegang maka anda siap-siap untuk kecewa bila usaha anda gagal total, tidak sesuai dengan apa yang anda harapkan dan ujung-ujungnya menyalahkan Allah SWT, “Kok saya sudah berusaha mati-matian, Allah tidak merubah nasib saya!” . Dan akan lebih parah lagi anda akan menderita stress, depresi dan mungkin sakit jiwa. Na’udzubilahi min dzalik!

Semestinya dalam memahami kedua ayat diatas (tentang merubah nasib) bukan berarti kita berusaha mati-matian untuk kondisi hidup/ketetapan hidup, tetapi Allah SWT menyuruh merubah cara berfikir kita. Jangan mempertanyakan sesuatu yang bertentangan dengan cara fikir kita. Tetapi fikiranlah yang harus menyesuaikan dengan kehendak Allah SWT. Sehingga sesuatu yang selama ini kita anggap masalah menjadi tidak menjadi masalah. Terima apa adanya dengan ikhlas. Karena apa yang kita fikir baik, belum tentu baik menurut Allah SWT.

“...boleh jadi kamu benci sesuatu, sedang ia lebih baik bagimu; boleh jadi kamu kasihi sesuatu, sedang ia mudharat bagimu. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah 2 : 216).

Kalaupun ada manusia dengan berusaha keras dan usahanya berhasil bukan karena semata-mata hasil karyanya sendiri tetapi manusia tersebut digerakkan oleh Allah SWT (Al-Qohar) melalui petunjuk atau ilham, sehingga manusia tersebut digerakkan selaras dengan kehendak Allah SWT. Dia dituntun Allah SWT menjadi “wadah”-nya demi kemashalatan orang banyak. Ibarat alam semesta ini (bumi, bulan, gunung, dll), semua beraktivitas (bergerak) atas kehendak Allah SWT. Diam tapi aktif.

Inilah sebenarnya rangkaian ayat-ayat Allah SWT yang saling menerangkan, namun kadang kita salah dalam memahami. Karena pemahaman bukan diperoleh dari Allah SWT, tetapi pemahaman diperoleh dengan menggunakan atau hasil olahan fikiran kita sendiri. Ya...akhirnya terjadi salah kaprah dalam memahami ayat bahkan gara-gara memakai cara fikir manusia menyebabkan sesama umat islam saling bertengkar karena kelompoknya merasa paling benar dalam memahami suatu ayat atau kadang-kadang kita merasa bahwa ayat-ayat Al-Qur’an kok saling bertentangan. Tidaklah mungkin ayat-ayat Allah SWT saling bertentangan. Lha kitanya sendiri saja yang salah dalam memahami.

Saya hanya dapat menghimbau kepada umat islam supaya minta kepada Allah SWT untuk memahamkan ayat-ayatnya melalui pengajaran-Nya (baca artikel saya yang lain yaitu, “Memahami Al-Qur’an itu Gampang” dan “Allah, Sang Maha Guru”). Sehingga benar-benar kita “duduk” sebagai hamba Allah SWT yang semestinya, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Demikian sedikit yang dapat saya uraikan, semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-Penulis
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
www.akubersujud.blogspot.com