Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Hati atau qolbu (bukan dalam artian fisik) adalah ruang atau wilayah privacy antara seorang hamba dengan Khaliq-nya. Hanya manusia dan Tuhan yang tahu, ini berarti seorang harus mengalami dalam berspiritual, tidak sebatas kata-kata atau teori. Allah SWT mengetahui yang nyata dan ghaib, termasuk isi hati setiap manusia.
QS. Al-An’aam 6 : 73,
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya diwaktu Dia mengatakan: Jadilah, maka terjadilah, dan ditangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala di tiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui”.
Apa yang dialami ustadz X adalah sebuah pelajaran berharga bagi dirinya. Hal ini tidak terlepas dari kekhilafannya. Keahlian dan ketrampilannya mengumpulkan jamaah disetiap pengajian ternyata disalahgunakan untuk memuaskan kepentingan nafsunya (yang terdapat di dalam hati manusia). Dakwahnya dijadikan “kuda tunggangan” untuk meraih posisi anggota dewan.
QS. Al-Anfaal 8 : 24,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi manusia dan hatinya (yaitu nafsu) dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.
Saya secara pribadi lebih berpikir positif tentang peristiwa itu. Mungkin misi dan tujuan sang ustadz baik, yaitu memilih jalur formal untuk membangun daerah dan menyejahterakan rakyat. Namun tidak demikian dari sudut pandang masyarakat. Mungkin sudah banyak yang dikecewakan selama ini atas kinerja lembaga legislatif.
Walaupun anggota dewan idealnya mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, namun ternyata dalam realisasinya, seringkali banyak yang membawa aspirasi dan kepentingan parpol dimana dia bernaung. Massa hanya dijadikan sapi perahan untuk legitimasi kepentingan pribadi dan parpol.
Sebenarnya saat itu masyarakat tidak menyangka kalau ustadz X mau menerima pinangan parpol dan berharap tetap bersikukuh berdiri diatas kepentingan umat. Namun harapan tersebut pupus, sehingga kekecewaan umat ditunjukan dalam bilik pemungutan suara.
Kalau pun benar bahwa sang ustadz menjadikan dakwah sebagai kuda tunggangan, maka apa yang menjadi tujuan berdakwah ustadz X selama ini, dengan apa yang diinginkan jamaahnya sangat berbeda jauh. Seperti peribahasa yang saya sebutkan diatas tadi, “Dalamnya lautan masih bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu”.
Mungkin Allah SWT sedang menegur sang ustadz melalui peristiwa tersebut, karena Allah SWT sebenarnya masih sayang kepadanya. Dengan kejadian ini dapat diambil hikmahnya. Hati sang ustadz yang dulu sempat khilaf karena diisi oleh ambisi dan kepentingan duniawi, dipaksa Allah SWT agar dipenuhi dengan keikhlasan untuk syiar agama islam.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Hati atau qolbu (bukan dalam artian fisik) adalah ruang atau wilayah privacy antara seorang hamba dengan Khaliq-nya. Hanya manusia dan Tuhan yang tahu, ini berarti seorang harus mengalami dalam berspiritual, tidak sebatas kata-kata atau teori. Allah SWT mengetahui yang nyata dan ghaib, termasuk isi hati setiap manusia.
QS. Al-An’aam 6 : 73,
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya diwaktu Dia mengatakan: Jadilah, maka terjadilah, dan ditangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala di tiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui”.
Apa yang dialami ustadz X adalah sebuah pelajaran berharga bagi dirinya. Hal ini tidak terlepas dari kekhilafannya. Keahlian dan ketrampilannya mengumpulkan jamaah disetiap pengajian ternyata disalahgunakan untuk memuaskan kepentingan nafsunya (yang terdapat di dalam hati manusia). Dakwahnya dijadikan “kuda tunggangan” untuk meraih posisi anggota dewan.
QS. Al-Anfaal 8 : 24,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi manusia dan hatinya (yaitu nafsu) dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.
Saya secara pribadi lebih berpikir positif tentang peristiwa itu. Mungkin misi dan tujuan sang ustadz baik, yaitu memilih jalur formal untuk membangun daerah dan menyejahterakan rakyat. Namun tidak demikian dari sudut pandang masyarakat. Mungkin sudah banyak yang dikecewakan selama ini atas kinerja lembaga legislatif.
Walaupun anggota dewan idealnya mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, namun ternyata dalam realisasinya, seringkali banyak yang membawa aspirasi dan kepentingan parpol dimana dia bernaung. Massa hanya dijadikan sapi perahan untuk legitimasi kepentingan pribadi dan parpol.
Sebenarnya saat itu masyarakat tidak menyangka kalau ustadz X mau menerima pinangan parpol dan berharap tetap bersikukuh berdiri diatas kepentingan umat. Namun harapan tersebut pupus, sehingga kekecewaan umat ditunjukan dalam bilik pemungutan suara.
Kalau pun benar bahwa sang ustadz menjadikan dakwah sebagai kuda tunggangan, maka apa yang menjadi tujuan berdakwah ustadz X selama ini, dengan apa yang diinginkan jamaahnya sangat berbeda jauh. Seperti peribahasa yang saya sebutkan diatas tadi, “Dalamnya lautan masih bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu”.
Mungkin Allah SWT sedang menegur sang ustadz melalui peristiwa tersebut, karena Allah SWT sebenarnya masih sayang kepadanya. Dengan kejadian ini dapat diambil hikmahnya. Hati sang ustadz yang dulu sempat khilaf karena diisi oleh ambisi dan kepentingan duniawi, dipaksa Allah SWT agar dipenuhi dengan keikhlasan untuk syiar agama islam.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar