DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Selasa, 15 Juni 2010

Republik Antah Berantah


REPUBLIK ANTAH BERANTAH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Beberapa hari belakangan ini dalam istirahat malam saya sempat terusik. Setiap memejamkan mata, saya disibukkan oleh mimpi yang sebenarnya bukan kapasitas saya untuk memimpikannya. Sebuah mimpi, hidup di bawah bayang-bayang di suatu republik antah berantah. Sebuah republik yang sebenarnya banyak mendapat kenikmatan dan anugerah dari Tuhan, namun sering disia-siakan oleh penghuninya.

Entah apa yang terjadi dengan otak saya sehingga muncul impian ini, mungkin ada bagian tertentu dari otak saya yang hang, konsleting, salah urus atau mungkin saja saya sudah dihinggapi schizoprenia (keterbelahan jiwa) akut tanpa pernah saya sadari. Kenapa? Karena mimpi tersebut adalah sesuatu yang berlebihan, imajinatif dan jauh panggang dari api. Berharap terlalu banyak ada perubahan yang signifikan terhadap republik antah berantah itu, demi sebuah kemakmuran semua penghuninya.

Saya sebenarnya malas untuk menulis impian ini. Ada beberapa alasan, pertama, apa sih gunanya menulis, toh ini hanya sebuah mimpi. Kedua, kalau pun saya menulis impian ini, barangkali posisi saya berada di luar mimpi itu, Ketiga, karena posisi saya di luar maka sudah pasti tulisan ini tidak diperhatikan, jadi sia-sia. Sungguh bodohnya aku ini, buang-buang waktu dan energi saja.

Namun semakin saya tahan dan coba singkirkan mimpi ini ternyata membuat file dalam memori otak saya semakin memberontak dan menyebabkan saya sulit tidur. Selain itu apa wewenang saya sehingga menyalahkan mimpi yang mampir dengan semena-mena dalam tidur saya. Toh tidak ada larangan, peraturan, undang-undang yang menahan mimpi untuk sekedar mampir, lewat atau ngedon di otak seseorang. Ya...ternyata manusia lemah, karena dikalahkan mimpi-mimpi yang kadarnya tak pasti.

Dengan berbekal baik sangka maka cerita dalam mimpi itu mau tidak mau coba saya ceritakan dalam tulisan singkat ini yang mungkin anda anggap tidak berbobot dan bahkan anda saya persilahkan untuk tidak membaca atau men-delete tulisan ini.

Namun dibalik ketikan huruf dari keyboard yang menjadi rangkaian kata dan kalimat ini sebenarnya ada sebuah harapan belas kasihan dari saya kepada para pembaca; yaitu paling tidak anda menolong saya terbebas dari sulit tidur dan anda dapat pahala (he...he...he...).

Syahdan dalam tidur, saya seolah-olah menonton layar lebar tentang tingkah laku dan sepak terjang dari penghuni republik antah berantah, yang kadang tidak mampu dinalar oleh akal logika dan hati nurani manusia normal. Dalam mimpi tersebut ada sebuah republik antah berantah yang kaya akan sumber daya alam dan manusia, namun seringkali salah urus. Dan lebih tragisnya lagi kejadian tersebut seringkali terulang pada kasus yang sama, sifatnya klasik, cuma beda warnanya saja. Sebuah republik yang mengalami kejumudan, kemandekan, jalan ditempat, kalau boleh tidak dibilang mengalami kemunduran tanpa disadari oleh para penghuninya, terutama para punggawanya yang mengurusi republik tersebut.

Harkat dan martabat para punggawanya telah jatuh pada titik nadir sebagai manusia. Rasa kemanusiaannya telah sirna. Bahkan para punggawa merasa sebagai “pemilik” republik antah berantah ini. Jadi mau diapakan terserah pemiliknya, termasuk memutuskan segala perkara yang ada dalam republik tersebut untuk kepentingan pribadi/ego/nafsunya. Sementara peranan kawulo alit (rakyat) sering tidak dilibatkan dalam mengurusi republik. Mereka diperlukan hanya pada saat-saat tertentu saja, misalnya saat pesta demokrasi sebagai upaya untuk mendapatkan keabsahan secara legal-formal. Sesudah pesta berakhir, peran kawulo alit benar-benar di-plot atau dikebiri hanya sebagai penonton. Padahal pemilik sejatinya republik antah berantah ya para kawulo alit ini. Punggawa adalah pembantu, kawulo alit adalah tuan. Inilah posisi sebenarnya.

Tapi semua logika justru dibolak-balik. Posisi tuan dipegang punggawa dan kawulo alit hanya sebagai pembantu yang harus nurut sama majikannya. Karena statusnya sebagai pembantu maka sang tuan merasa berhak melakukan apa saja, termasuk mencap pembantu adalah orang bodoh (atau lebih tepatnya dibodohkan). Wong cilik cukup mengurusi dan hanya boleh disibukkan dengan masalah dirinya sendiri yang bergelut dengan cara bagaimana keluarganya dapat makan hari ini, sementara masa depannya tidak pasti. Tergantung belas kasihan para punggawa. Kasihan banget ya? Bahkan kalau perlu wong cilik didesain agar mereka selalu ribut dengan saudara selevelnya tentang pemenuhan isi perut sehingga lupa mengurusi ketidakberesan para punggawanya.

Lebih tragis lagi nasib kawulo alit. Nama mereka sering dicatut oleh para punggawa untuk membela mereka, padahal dibalik itu motifnya untuk memperebutkan kepentingan pribadi/golongan, adu kekuatan, posisi tawar menawar politik, intrik-intrik culas, membenarkan diri sendiri dan menyalahkan yang lain meskipun sebagian kecil kawulo alit tidak percaya karena drama ini sudah seringkali disuguhkan dan ujung-ujungnya mudah ditebak. Lucunya lagi para kawula alit dipaksa mempercayai adegan yang dipertontonkan para punggawa, seolah-olah yang terjadi di atas panggung republik adalah nyata. Padahal di belakang panggung mungkin hasilnya akan berbeda. Saat para punggawa sedang memainkan adegan, kawulo alit kadang sejenak mudah ditipu dengan mimik wajah yang manis mereka, gerak tubuh yang meyakinkan, dan ucapan-ucapan yang sebenarnya retorika belaka. Namun dikemudian hari baru menyadari dan menyesali kekeliruannya. Mungkin karena terpesonannya melihat adegan "drama" saat itu.

Sungguh malang nasib wong cilik. Mereka yang hakikinya memiliki sifat dasar sabar, mengalah, murah senyum, ramah, sopan santun dan penurut, perlahan-lahan namun pasti mulai dididik dengan perilaku negatif dan suguhan-suguhan tidak mendidik. “Pembelajaran informal” ini ternyata berhasil. Kawulo alit diam-diam belajar dari para punggawa tentang bagaimana cara untuk saling menjatuhkan seteru mereka (dalam skala lokal maupun sub lokal) yang menghalangi tujuannya. Sementara budaya kekeluargaan (rembug/musyawarah) untuk menyelesaikan masalah saat ini sudah dikesampingkan, bahkan telah dibuang jauh-jauh.

Keasyikan para punggawa memainkan peran drama ini juga menjadikan kawulo alit tak terurus, perekonomian tidak stabil (berdangdut ria, goyang sana goyang sini, termehek-mehek), keamanan dalam bingkai lokal juga mulai bergolak mulai tawuran antar calon pemimpin republik antah berantah yang katanya berintelektual, saling adu fisik antar pendukung pemilihan Adipati yang saat ini hampir serentak dilakukan, sengketa dan perebutan lahan tanah, lebih memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, saling curiga sambil memelototkan mata dan masalah-masalah yang yang sebenarnya memiliki kadar sepele namun tiba-tiba saja dapat berubah menjadi bara api besar.

Ya itulah gambaran selintas mengenai sebuah republik yang tak kunjung dewasa. Padahal republik ini sudah setengah abad lebih merdeka namun tidak menunjukkan arah positif cara pengelolaan yang profesional. Lalu apanya yang salah? Apakah para punggawa selalu berdalih dan berlindung dibalik “kegagalannya” bahwa membangun kemakmuran dan kesejahteraan membutuhkan waktu minimal 100 tahun setelah merdeka, seperti yang dialami di republik yang terletak di sebelah barat. Mengapa selalu mengambil standarisasi yang paling buruk kalau ada yang lebih baik?

Mengapa republik antah berantah tidak mau mengaca pada republik tetangga yang mengalami keberhasilan meski miskin SDA? Sebut saja republik “Ginseng” yang minim SDA-nya dan kondisi hankamnas-nya juga sempat porak poranda akibat perang saudara. Nyatanya pasca terpecahnya republik ini menjadi dua bagian yaitu utara dan selatan, mereka dalam kurun waktu +/-30 tahun mampu bangkit dan disegani oleh republik lain karena pertumbuhan ekonominya yang pesat dan kawulo alitnya makmur.

Tetangga lain pun mengalami hal serupa. Republik “Matahari Terbit” ini pernah diluluh-latakkan oleh bom atom. Namun berkat rasa cinta kepada tanah airnya, menjunjung tinggi kejujuran dan janji disertai tekad baja akhirnya mereka mampu bangkit +/- 50 tahun dan bahkan saat ini dihormati dan disegani republik yang pernah mengebomnya. Mereka juga tidak membutuhkan waktu lama untuk meraih posisi terhormat diantara republik-republik lain yang ada di muka bumi ini. Padahal SDA yang dimilikinya juga terbatas.

Lalu mengapa republik antah berantah sulit bangkit? Bukankah SDA-nya melimpah ruah? SDM juga banyak dan berkualitas? Apanya yang salah dalam mengurus republik antah berantah ini? Mengapa dari dulu sampai sekarang republik ini lebih sering berpangku tangan, tidak mau bekerja keras dan cukup puas dengan mendapatkan bagi hasil yang sedikit dari SDA-nya yang diekplotasi dan ekplorasi oleh tenaga kerja dari republik lain?

Salah satu faktornya adalah tidak memberikan kesempatan rakyat yang jujur, pekerja keras, disiplin, pandai, profesional dan menjunjung tinggi nilai kebenaran hidup di republik antah berantah. Mereka justru dianggap “kecoa”, binatang yang menjijikan sehingga harus “diusir” dari tanah kelahirannya sendiri. Lihatlah banyak para calon pembangun republik yang handal justru tidak dihargai dan malah dibuang, sehingga kesempatan ini dipergunakan oleh republik tetangga untuk menampung mereka dan dimanfaatkan kepandaiannya.

Banyak juga tunas-tunas muda republik antah berantah yang sering menjuarai lomba matematika, fisika, dll tingkat internasional “justru layu sebelum berkembang”. Investasi SDM ini juga disia-siakan dan kurang mendapat perhatian serius. Begitu mereka lulus dari high school, banyak dari mereka yang justru melarikan diri ke republik tetangga untuk menuntut ilmu dengan diiming-imingi kuliah gratis dan mengabdikan hidupnya karena lebih menjanjikan bagi masa depannya. Kalau toh mereka pulang ke republik antah berantah kalau sudah tidak produktif. Jadi yang diterima hanya “barang” rongsokan.

Mungkin karena saking suntuknya melihat adegan tidak bermutu dan tidak ada habis-habisnya dalam mimpi tersebut menyebabkan saya jadi terbangun. Sambil mengucek-ngucek mata, saya cukup lama merenung tentang mimpi tersebut. Apakah yang sedang terjadi di republik antah berantah ya? Mengapa begitu sulitnya para punggawa menahan nafsunya dan mempunyai niat untuk benar-benar mau memikirkan kesejahteraan hidup kawulo alitnya? Di mana hilangnya rasa nasionalisme? Ataukah jangan-jangan memang ini sudah kehendak Tuhan agar membuat republik antah berantah cepat dewasa dan terbangun dari mimpi indahnya? Untuk menenangkan kegundahan hati dan pikiran dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul, maka saya mencoba membuka Al-Qur’an. Tak berapa lama mata saya tertuju pada salah satu ayat tentang apa yang mungkin tengah terjadi di republik antah berantah.

QS. Al-An’am 6 : 123,
“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya”.

Waduh Gusti...kasihan benar kawulo alit di republik antah berantah. Nasib mereka benar-benar dipermainkan dan dipertaruhkan oleh para punggawanya yang mengaku jawara mengurus kepentingan kawulo alit namun ternyata mereka bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Rasa malu sudah tidak ada, bahkan mungkin jauh-jauh hari telah dibuang jauh-jauh.

Tidak berapa lama, saya juga mencoba mencari jawaban dalam kitab suci itu. Siapa tahu Tuhan menawarkan sebuah solusi agar republik antah berantah terbebas dari “penjajahan” sesama penghuninya. Sekali lagi syukur Alhamdulillah....ternyata ada jawabannya.

QS. Al-A’raaf 7 : 96,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Kepala saya mulai pusing. Berbagai pertanyaan muncul tanpa bisa saya cegah. Bukankah republik antah berantah mempunyai dasar republik yang seluruh penghuninya diharuskan memeluk agama dan mengakui Tuhan YME? Bahkan point ini diletakkan pada nomor urut satu! Tapi mengapa Tuhan belum juga menurunkan kesejahteraan dan kemakmuran pada republik antah berantah? Atau jangan-jangan dasar republik nomor satu itu hanya dipakai sebagai slogan saja dan tidak secara serius diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Atau bisa pula para begawan kurang canggih dalam meramu dan memberikan pencerahan kepada para penghuninya, sehingga agama hanya dijadikan bukti legal-formal pada kartu identitas, surat nikah, pengajuan hutang, dan segala hal yang berurusan dengan administrasi saja? Kalau demikian halnya yang terjadi maka.......tau ah gelap.....capek dech!

Untung saya segera tersadar. Bodohnya saya...untuk apa pusing-pusing memikirkan itu semua, sehingga banyak menyedot energi...toh kejadian itu hanya berada dalam sebuah mimpi. Mendingan saya melanjutkan tidur lagi aja....aahhhhhhhhh.....tanggung...masih ngantuk nih.....oooaaaahhh......zzzzzzzttttt! (mumpung mimpi buruk ini sudah saya share ke anda semua, sehingga beban ini sedikit banyak sudah hilang). Terima kasih ya telah membantu membuang kesuntukan saya...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih



Tidak ada komentar:

Posting Komentar