DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 03 Juni 2010

Dakwah Salah Kaprah (31)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(9)
DAKWAH SEBAGAI “KUDA TUNGGANGAN”

Suatu sore, kira-kira 10 tahun (1998) yang lalu, saya bersama teman-teman berkumpul di beranda rumah. Dari pertemuan yang tidak terencana tersebut, kami semula hanya membicarakan hal-hal ringan, kemudian berbelok arah memperbincangkan peristiwa yang lebih serius tentang kejadian yang baru saja dialami bangsa ini pada saat itu, yaitu euforia demokrasi di Indonesia yang baru saja lahir.

Diskusi kecil-kecilan ini masih tertanam dalam ingatan saya karena disebabkan oleh 3 hal:

Pertama, runtuhnya kekuasaan orde baru pasca peristiwa Mei 1998, setelah berkuasa hampir 32 tahun lamanya.

Kedua, Terbukanya kran demokrasi. Pada masa orde baru demokrasi masih berjalan di tempat. Salah satunya hal ini dapat dilihat dari beberapa media cetak yang dicabut ijin penerbitannya, karena terlalu lantang mengkritisi pemerintahan saat itu. Jadi hak berbicara dan berpendapat dibungkam. Layak tidaknya berita ditentukan oleh pemerintah. Sementara pasca peristiwa Mei 1998, diharapkan demokrasi dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, yang berarti pula pemberangusan hak berbicara dan bebas berpendapat mendapat angin segar. Meskipun semua ini tetap dibatasi dalam koridor hukum dan etika.

Ketiga, Gegap gempitanya para reformer untuk mendirikan partai baru. Bahkan kalau tidak salah saat itu (tahun 1999) partai yang berhak ikut pemilu hampir mencapai 30-an.

Peristiwa lahirnya demokrasi yang terjadi dalam skala nasional, mau tidak mau juga berimbas ke daerah, khususnya mengenai pendirian cabang parpol baru. Ada peristiwa yang menarik berkenaan ramainya pendirian partai baru dan maraknya pencalonan anggota legislatif di daerah saya.

Tersebutlah seorang ustadz pada saat itu yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Adalah hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih sebagai anggota dewan tanpa melihat latar belakang profesi. Asalkan memenuhi syarat.

Peristiwa ini saya angkat karena ada hikmah dan pelajaran berharga dari pencalonan sang ustadz tersebut.

Sebut saja namanya ustadz X. Beliau adalah salah satu pendakwah karismatik di daerah saya, dicintai umat, dan saat memberikan ceramah selalu dipadati oleh jamaah. Tutur bahasanya lembut, mudah dipahami, pandai mempermainkan emosi jamaah dan penguasaan materi yang mumpuni adalah sebagai modal beliau ketika bersyiar.

Dengan track record inilah menjadikan daya tarik bagi parpol-parpol saat itu untuk merekrutnya sebagai anggota partai, mengingat sang ustadz memiliki massa (jamaah) yang cukup banyak.

Tidak berapa lama kemudian, rayuan parpol pun dilancarkan kepada sang ustadz, dan ternyata gayung bersambut. Dengan iming-iming kedudukan strategis di partai dan memasang nomer urut jadi pada pencalonan legislatif, maka sang ustadz menyetujui masuk menjadi anggota parpol tersebut dan bersedia menjadi juru kampanye.

Berita ini kemudian cepat tersebar di masyarakat. Ada yang pro dan kontra. Namun pelajaran yang berharga diperoleh saat pemilihan calon legislatif dan hasil dari perhitungan suara yang diluar dugaan. Ternyata sang ustadz tersebut tidak terpilih menjadi anggota dewan dan parpolnya pun tidak masuk 10 besar. Apa gerangan yang terjadi?

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar