Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Banyak juga dari masyarakat kita yang tidak menyadari kalau sebetulnya mereka telah akrab dengan isu, gosip atau berita yang menjurus ke arah fitnah dan dusta. Mungkin saking terbiasanya sehingga tayangan tersebut memberikan efek imun, tidak terasa otak telah disusupi berita-berita yang semestinya tidak perlu dan layak dikonsumsi.
Maka tidak mengherankan ketika minggu terakhir bulan Desember 2009, Majelis Ulama Islam (MUI) bereaksi atas etika beberapa oknum jurnalis televisi yang dianggap kadang sudah tidak memperhatikan lagi etika jurnalistik hanya demi mengejar berita dan menaikan rating program. Mereka kadang sudah mengemas berita dengan melibatkan unsur ghibah.
Selain itu kadang perilaku beberapa oknum jurnalis sudah tidak lagi memberikan ruang privasi bagi selebritis, sehingga tidak merasa sebenarnya mereka telah melanggar hak asasi manusia. Bagaimana pun juga selebritis adalah manusia, yang menuntut hak-haknya untuk dihargai.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya secara umum banyak pemirsa di Indonesia yang belum cukup dewasa untuk mampu berfikir jernih atas berita yang disampaikan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Minimnya tambahan akses informasi dari media lain (misal internet), menjadika mereka hanya menelan mentah-mentah berita infotainment yang disampaikan, tanpa ada pembanding untuk mengkaji ulang berita yang diterima.
Jika sudah begini, apa mau dikata? Baik diakui atau tidak ternyata diam-diam secara kolektif kita semua secara berjamaah menanamkan isu, fitnah, prasangka buruk dan kebencian dalam memori otak kita. Dan ironisnya lagi ternyata perilaku negatif ini tidak hanya masuk dalam ranah hiburan, tetapi juga sudah merambah ranah agama (dakwah) seperti yang dialami istri saya.
Hanya kesadaran bersamalah yang dapat dan mampu membangunkan kita semua dari mimpi buruk kesalahan-kesalahan kolektif ini. Tanpa adanya kesadaran bersama dan mengusahakannya secara bersungguh-sungguh tentulah semua itu bagai mimpi tak bertepi.
QS. An-Nuur 24 : 15,
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.
Renungan :
Sampai dengan jatah umur kita sekarang ini, pernahkah kita coba menghitung sudah berapa kali kita telah menyakiti hati dan perasaan orang tua, saudara, teman, sahabat, tetangga, rekan kerja dan orang-orang yang pernah kita kenal dengan olok-olok, fitnah dan dusta yang keluar dari mulut kita?
Pernahkah olok-olok, dusta dan fitnah menimpa diri anda? Betapa perihnya perasaan dan hati yang kita rasakan. Kalau merasakan perih dan sakitnya, mengapa kita teramat sering dan tega berbuat demikian kepada orang lain? Benarkah kalau perbuatan semacam ini juga dilakukan oleh seorang ustadz yang notabene sebagai pembimbing umat? Na’udzubilllahi min dzalik!
Coba anda renungkan!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Banyak juga dari masyarakat kita yang tidak menyadari kalau sebetulnya mereka telah akrab dengan isu, gosip atau berita yang menjurus ke arah fitnah dan dusta. Mungkin saking terbiasanya sehingga tayangan tersebut memberikan efek imun, tidak terasa otak telah disusupi berita-berita yang semestinya tidak perlu dan layak dikonsumsi.
Maka tidak mengherankan ketika minggu terakhir bulan Desember 2009, Majelis Ulama Islam (MUI) bereaksi atas etika beberapa oknum jurnalis televisi yang dianggap kadang sudah tidak memperhatikan lagi etika jurnalistik hanya demi mengejar berita dan menaikan rating program. Mereka kadang sudah mengemas berita dengan melibatkan unsur ghibah.
Selain itu kadang perilaku beberapa oknum jurnalis sudah tidak lagi memberikan ruang privasi bagi selebritis, sehingga tidak merasa sebenarnya mereka telah melanggar hak asasi manusia. Bagaimana pun juga selebritis adalah manusia, yang menuntut hak-haknya untuk dihargai.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya secara umum banyak pemirsa di Indonesia yang belum cukup dewasa untuk mampu berfikir jernih atas berita yang disampaikan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Minimnya tambahan akses informasi dari media lain (misal internet), menjadika mereka hanya menelan mentah-mentah berita infotainment yang disampaikan, tanpa ada pembanding untuk mengkaji ulang berita yang diterima.
Jika sudah begini, apa mau dikata? Baik diakui atau tidak ternyata diam-diam secara kolektif kita semua secara berjamaah menanamkan isu, fitnah, prasangka buruk dan kebencian dalam memori otak kita. Dan ironisnya lagi ternyata perilaku negatif ini tidak hanya masuk dalam ranah hiburan, tetapi juga sudah merambah ranah agama (dakwah) seperti yang dialami istri saya.
Hanya kesadaran bersamalah yang dapat dan mampu membangunkan kita semua dari mimpi buruk kesalahan-kesalahan kolektif ini. Tanpa adanya kesadaran bersama dan mengusahakannya secara bersungguh-sungguh tentulah semua itu bagai mimpi tak bertepi.
QS. An-Nuur 24 : 15,
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.
Renungan :
Sampai dengan jatah umur kita sekarang ini, pernahkah kita coba menghitung sudah berapa kali kita telah menyakiti hati dan perasaan orang tua, saudara, teman, sahabat, tetangga, rekan kerja dan orang-orang yang pernah kita kenal dengan olok-olok, fitnah dan dusta yang keluar dari mulut kita?
Pernahkah olok-olok, dusta dan fitnah menimpa diri anda? Betapa perihnya perasaan dan hati yang kita rasakan. Kalau merasakan perih dan sakitnya, mengapa kita teramat sering dan tega berbuat demikian kepada orang lain? Benarkah kalau perbuatan semacam ini juga dilakukan oleh seorang ustadz yang notabene sebagai pembimbing umat? Na’udzubilllahi min dzalik!
Coba anda renungkan!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Kadang-kadang kita juga lupa sih. Kita sering menerapkan cinta bersyarat. Kita mau orang lain seperti yang kita inginkan, padahal orang lain memiliki jalan lain yang terbaik baginya. Kadang-kadang memang kita merasa benar-benar yang paling benar.
BalasHapusBetul Mas Wastu...setiap manusia telah memiliki jalannya sendiri-sendiri. Kita tidak mampu mengubahnya. Tinggal kita mau menerima apa tidak yang diberikan Allah SWT. Kalau kita menerima Insya Allah selamat dan kembali kepada-Nya, demikian pula sebaliknya. Perhatikan surat QS. Ar-Rad 11 : 13.
BalasHapus