Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kasus II:
Lain lagi yang dialami seorang sahabat saya. Masalah yang ditemui intinya hampir sama dengan kasus pertama di atas. Ketika sahabat saya bercerita, terlihat sekali dari raut wajah dan nada bicaranya menunjukkan rasa kekesalan dan kekecewaaan. Kondisi ini ternyata juga dialami hampir semua warga komplek di mana sahabat saya tinggal. Apa gerangan yang terjadi?
Dia menceritakan bahwa di kompleknya ada seorang yang menguasai ilmu agama dan lulusan dari sebuah pondok pesantren. Selepas lulus dia tidak bekerja, sementara sudah berumah tangga. Maka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia “menjual agama” dengan memasang tarif untuk kegiatan agama di komplek tersebut. Untuk menjadi imam shalat fardhu, dia memasang tarif per bulannya sebesar Rp. X, menjadi khotib shalat jum’at sebesar Rp. Y dan untuk mengisi pengajian pada acara keagamaan juga memasang tarif sebesar Rp. Z (besarnya tarif sengaja tidak saya sebutkan, demi etika).
Perilaku sang ustadz ini di-latarbelakang-i karena tidak ada warga yang mumpuni di komplek tersebut dalam ilmu agama, sehingga dia secara “arogan” membisniskan ilmu agama yang dimilikinya. “Beginikah perilaku seorang ustadz dan pembimbing umat, yaitu menjual agamanya?” tanya sahabat saya.
Kasus III :
Kasus lain tentang tarif juga terjadi di daerah saya. Tersebutlah seorang ustadz. Gelar ini sendiri dipakai oleh sang empunya entah berasal dari mana, dan sebagian masyarakat mengetahui bahwa latar belakang dari pendidikannya tidak ada hubungannya atau bukan dari lembaga pendidikan agama baik formal maupun non formal.
Dengan menempelkan gelar ustadz ditambah dengan pakaian gamis dan sorban yang sering dia kenakan, maka dipakailah aksesoris ini untuk meyakinkan orang lain agar percaya bahwa dia adalah seorang hamba Allah SWT yang shaleh dan seorang ustadz. Ironisnya lagi sebagian masyarakat ada yang percaya. Masya Allah.
Selain memberi tausyiah, sang ustadz ini juga mengklaim bahwa mampu mengobati segala penyakit. Bagi masyarakat yang sakit dipersilakan datang untuk berobat. Cara pengobatannya pun disertai oleh bacaan ayat-ayat Al-Qur’an supaya pasien lebih mantap. Namun ujung-ujungnya atas jasa pengobatan tersebut, dipatoklah tarif. Besar kecilnya tarif tergantung dari berat tidaknya penyakit yang diderita pasien.
Seharusnya, kalau sosok ini mengaku memang seorang ustadz dan diberi kelebihan mengobati orang lain yang sedang susah, sebenarnya tidaklah perlu memasang tarif. Justru kelebihan ini digunakan untuk bershadaqah dan amal jariyah, bukan malah dikomersialisasikan. Kalau pun ada pasien yang memberi diterima saja tanpa menentukan tarif. Karena sudah kewajiban bagi seorang muslim (apalagi yang mengaku sebagai ustadz), diwajibkan tolong menolong, apalagi dengan sesama muslim yang baru ditimpa musibah. Bukan malah menambah dan membebani derita pasien yang baru sakit. Ironis bukan?
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SC-HSS
Pondok Cinta Kasih
Kasus II:
Lain lagi yang dialami seorang sahabat saya. Masalah yang ditemui intinya hampir sama dengan kasus pertama di atas. Ketika sahabat saya bercerita, terlihat sekali dari raut wajah dan nada bicaranya menunjukkan rasa kekesalan dan kekecewaaan. Kondisi ini ternyata juga dialami hampir semua warga komplek di mana sahabat saya tinggal. Apa gerangan yang terjadi?
Dia menceritakan bahwa di kompleknya ada seorang yang menguasai ilmu agama dan lulusan dari sebuah pondok pesantren. Selepas lulus dia tidak bekerja, sementara sudah berumah tangga. Maka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia “menjual agama” dengan memasang tarif untuk kegiatan agama di komplek tersebut. Untuk menjadi imam shalat fardhu, dia memasang tarif per bulannya sebesar Rp. X, menjadi khotib shalat jum’at sebesar Rp. Y dan untuk mengisi pengajian pada acara keagamaan juga memasang tarif sebesar Rp. Z (besarnya tarif sengaja tidak saya sebutkan, demi etika).
Perilaku sang ustadz ini di-latarbelakang-i karena tidak ada warga yang mumpuni di komplek tersebut dalam ilmu agama, sehingga dia secara “arogan” membisniskan ilmu agama yang dimilikinya. “Beginikah perilaku seorang ustadz dan pembimbing umat, yaitu menjual agamanya?” tanya sahabat saya.
Kasus III :
Kasus lain tentang tarif juga terjadi di daerah saya. Tersebutlah seorang ustadz. Gelar ini sendiri dipakai oleh sang empunya entah berasal dari mana, dan sebagian masyarakat mengetahui bahwa latar belakang dari pendidikannya tidak ada hubungannya atau bukan dari lembaga pendidikan agama baik formal maupun non formal.
Dengan menempelkan gelar ustadz ditambah dengan pakaian gamis dan sorban yang sering dia kenakan, maka dipakailah aksesoris ini untuk meyakinkan orang lain agar percaya bahwa dia adalah seorang hamba Allah SWT yang shaleh dan seorang ustadz. Ironisnya lagi sebagian masyarakat ada yang percaya. Masya Allah.
Selain memberi tausyiah, sang ustadz ini juga mengklaim bahwa mampu mengobati segala penyakit. Bagi masyarakat yang sakit dipersilakan datang untuk berobat. Cara pengobatannya pun disertai oleh bacaan ayat-ayat Al-Qur’an supaya pasien lebih mantap. Namun ujung-ujungnya atas jasa pengobatan tersebut, dipatoklah tarif. Besar kecilnya tarif tergantung dari berat tidaknya penyakit yang diderita pasien.
Seharusnya, kalau sosok ini mengaku memang seorang ustadz dan diberi kelebihan mengobati orang lain yang sedang susah, sebenarnya tidaklah perlu memasang tarif. Justru kelebihan ini digunakan untuk bershadaqah dan amal jariyah, bukan malah dikomersialisasikan. Kalau pun ada pasien yang memberi diterima saja tanpa menentukan tarif. Karena sudah kewajiban bagi seorang muslim (apalagi yang mengaku sebagai ustadz), diwajibkan tolong menolong, apalagi dengan sesama muslim yang baru ditimpa musibah. Bukan malah menambah dan membebani derita pasien yang baru sakit. Ironis bukan?
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SC-HSS
Pondok Cinta Kasih
bigimana nylametke konco seng keno aliran sesat ?
BalasHapusPada hakikatnya manusia tidak mampu memberi petunjuk kepada manusia lain, rahmat dan hidayah adalah wilayah Allah. Kita sebagai seorang teman hanya mampu mendo'akan dan menyampaikan firman Allah SWT, semoga teman kita dibukakan kesadarannya. Coba sahabat baca surat Al-Qashash 28 : 56. Bahkan kita tidak mampu memberi petunjuk kepada orang yang kita kasihi.
BalasHapus