Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Untuk menjalin silaturahmi antar warga, setiap satu bulan sekali di komplek perumahan dimana saya bermukim diadakan rapat RT. Acara ini biasanya dijadwalkan di Minggu kedua setelah shalat Isya’. Forum yang bukan saja untuk membahas permasalahan yang terjadi di lingkungan RT, namun lebih dari itu, yaitu sebagai forum untuk mengakrabkan satu warga dengan warga lainnya.
Sering juga forum rapat ini digunakan untuk membicarakan persiapan moment-moment tertentu yang akan diperingati pada bulan-bulan berikutnya, seperti acara 17 Agustus, pergantian tahun, piknik keluarga maupun acara-acara keagamaan.
Ada hal yang menarik ketika berlangsung acara rapat RT pada bulan September 2009 lalu, yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan 1430 Hijriyah. Pada waktu itu dalam sesi lain-lain, kami membahas mengenai persiapan acara halal bihalal yang akan diselenggarakan warga pada bulan Oktober 2009 pasca mudik lebaran.
Salah satu pokok bahasannya adalah mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan ustadz sebagai penceramah. Hal ini tidak terlepas dari jumlah anggaran penyelenggaraan halal bihalal yang sangat pas-pasan mengingat adanya biaya lain yang tidak bisa dikesampingkan seperti menyewa panggung, tratak, kursi, sound sistem, jajanan, minum dan makan malam.
Setelah seksi bendahara dan panitia menghitung-hitung jumlah biaya yang harus dikeluarkan (minus uang untuk mengundang ustadz) ada sisa anggaran sekitar Rp. 250.000,-. Seksi bendahara kemudian berpesan agar mengundang ustadz yang tarifnya tidak melebihi sisa anggaran tersebut sehingga tidak defisit.
Atas peristiwa tersebut, dalam hati saya hanya bisa bertanya,”Apakah begini cara berdakwah yang terjadi di Indonesia, dimana seorang penceramah dinilai atau diukur berdasarkan tarif? Atau jangan-jangan hal ini semata-mata karena rasa sungkan dari pihak penyelenggara acara sehingga mematok harga sesuai dengan seberapa terkenalnya ustadz yang akan dipanggil tersebut?”.
Terus terang, saya sendiri sempat malu, entah bapak-bapak yang lain. Mengapa? Karena rapat tersebut tidak hanya dihadiri oleh mereka yang beragama muslim, tetapi juga yang non-muslim. Entah apa dan bagaimana penilaian mereka terhadap penerapan cara beragama kita (islam), saya sendiri hanya bisa menduga-duga penilaian itu.
Bersambung....
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
(5)
Ustadz “Selebritis”
Ustadz “Selebritis”
Kasus I :
Untuk menjalin silaturahmi antar warga, setiap satu bulan sekali di komplek perumahan dimana saya bermukim diadakan rapat RT. Acara ini biasanya dijadwalkan di Minggu kedua setelah shalat Isya’. Forum yang bukan saja untuk membahas permasalahan yang terjadi di lingkungan RT, namun lebih dari itu, yaitu sebagai forum untuk mengakrabkan satu warga dengan warga lainnya.
Sering juga forum rapat ini digunakan untuk membicarakan persiapan moment-moment tertentu yang akan diperingati pada bulan-bulan berikutnya, seperti acara 17 Agustus, pergantian tahun, piknik keluarga maupun acara-acara keagamaan.
Ada hal yang menarik ketika berlangsung acara rapat RT pada bulan September 2009 lalu, yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan 1430 Hijriyah. Pada waktu itu dalam sesi lain-lain, kami membahas mengenai persiapan acara halal bihalal yang akan diselenggarakan warga pada bulan Oktober 2009 pasca mudik lebaran.
Salah satu pokok bahasannya adalah mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan ustadz sebagai penceramah. Hal ini tidak terlepas dari jumlah anggaran penyelenggaraan halal bihalal yang sangat pas-pasan mengingat adanya biaya lain yang tidak bisa dikesampingkan seperti menyewa panggung, tratak, kursi, sound sistem, jajanan, minum dan makan malam.
Setelah seksi bendahara dan panitia menghitung-hitung jumlah biaya yang harus dikeluarkan (minus uang untuk mengundang ustadz) ada sisa anggaran sekitar Rp. 250.000,-. Seksi bendahara kemudian berpesan agar mengundang ustadz yang tarifnya tidak melebihi sisa anggaran tersebut sehingga tidak defisit.
Atas peristiwa tersebut, dalam hati saya hanya bisa bertanya,”Apakah begini cara berdakwah yang terjadi di Indonesia, dimana seorang penceramah dinilai atau diukur berdasarkan tarif? Atau jangan-jangan hal ini semata-mata karena rasa sungkan dari pihak penyelenggara acara sehingga mematok harga sesuai dengan seberapa terkenalnya ustadz yang akan dipanggil tersebut?”.
Terus terang, saya sendiri sempat malu, entah bapak-bapak yang lain. Mengapa? Karena rapat tersebut tidak hanya dihadiri oleh mereka yang beragama muslim, tetapi juga yang non-muslim. Entah apa dan bagaimana penilaian mereka terhadap penerapan cara beragama kita (islam), saya sendiri hanya bisa menduga-duga penilaian itu.
Bersambung....
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar