Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Jadi ukuran kesuksesan hidup itu sangatlah relatif. Tergantung darimana sudut pandangnya. Seharusnya untuk menilai sesuatu harus secara komprehensif, menyeluruh, totalitas dan kontinue. Tidak terkotak-kotak dan bersifat temporer. Sehingga faktor resiko dapat dieliminir seminimal mungkin, karena tidak mungkin kita hilangkan sama sekali.
Demikian pula yang dialami sebagian umat muslim di Indonesia dalam menilai sesuatu hal. Katakanlah dalam menyikapi sesuatu yang berkenaan dengan nilai-nilai cara beragama. Banyak dari kita yang menyikapinya secara dangkal dan sederhana.
Misalnya, bahwa untuk menilai salah satu kriteria alim tidaknya seseorang dengan memakai tolok ukur atau hanya berdasarkan apakah seseorang tersebut mengenakan baju gamis dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Karena ada sebagian dari masyarakat kita menganggap bahwa seseorang yang berhak memakai baju gamis (minimal baju koko) adalah seorang ustadz, dai atau ulama. Tanpa ciri tersebut berarti bukanlah orang alim dan pandai pengetahuan agamanya. Mereka beranggapan bahwa baju gamis diidentikkan dengan orang arab yang notabene agama islam diturunkan di sana.
Padahal baju gamis (rata-rata berwarna putih) adalah budaya (mode) dari bangsa Timur Tengah, mengingat kondisi alam di sana yang sangat panas sehingga diperlukan jenis dan desain pakaian seperti itu untuk mengurangi panasnya sinar matahari dan dehidrasi tubuh.
Kalau selama ini kita beranggapan dan bersikukuh bahwa baju gamis identik bagi seorang muslim yang taat maka itu sebuah persepsi dan kesimpulan yang keliru. Bukankah musuh Rasulullah SAW seperti Abu Jahl, Abu Lahab, dan kroni-kroninya juga memakai baju gamis? Apakah berarti mereka tergolong muslim? Tidakkan? Kalau anda menganggap bahwa itu semua mutlak (total) sebagai identitas agama islam maka sungguh kesimpulan yang sangat dangkal dan sederhana.
Sebenarnya sederhana saja kalau kita mau menyikapi cara berpakaian yang layak atau tidaknya bagi seorang muslim dan tidak perlu repot-repot harus memakai baju gamis. Ambil-lah contoh saat beribadah. Berdasarkan fiqih, kriteria sah tidaknya pakaian seorang laki-laki dalam beribadah (shalat) cukuplah pakaian yang harus dikenakan minimal menutupi diatas pusar hingga sampai sedikit dibawah lutut.
Selain itu Allah SWT mengingatkan bahwa Dia menilai seorang hamba bukan dari wajah, pakaian atau hal yang bersifat fisik lainnya, namun ketakwaanlah yang dinilai oleh Allah SWT dan ini letaknya di dalam hati.
Jadi kita sendirilah yang kadang membuat aturan main, sehingga sering kerepotan dan tergagap-gagap dalam menyikapi sesuatu. Padahal sudah jelas aturannya. Allah SWT tidak akan pernah membuat hukum yang memberatkan hamba-Nya. Kalau pun saat ini pakaian lebih “sopan” dibandingkan dengan syarat minimal fiqih di atas, semata-mata karena budaya dari sudut pandang estetika manusia saja.
Cara pandang umat islam di Indonesia yang sempit dan terkadang meremehkan sesuatu aturan (hukum Allah) juga terjadi pada ranah dakwah. Seperti berhak tidaknya seseorang menjadi ustadz yang dianggap mampu memberikan dan menyampaikan tausyiah. Seringkali kita hanya terpesona dari tata cara berpakaian seseorang, dan memakai sorban sebagai tutup kepala. Padahal ini semua bersifat fisik atau lahiriyah saja. Justru kriteria yang esensial (batiniyah) sering terabaikan.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Jadi ukuran kesuksesan hidup itu sangatlah relatif. Tergantung darimana sudut pandangnya. Seharusnya untuk menilai sesuatu harus secara komprehensif, menyeluruh, totalitas dan kontinue. Tidak terkotak-kotak dan bersifat temporer. Sehingga faktor resiko dapat dieliminir seminimal mungkin, karena tidak mungkin kita hilangkan sama sekali.
Demikian pula yang dialami sebagian umat muslim di Indonesia dalam menilai sesuatu hal. Katakanlah dalam menyikapi sesuatu yang berkenaan dengan nilai-nilai cara beragama. Banyak dari kita yang menyikapinya secara dangkal dan sederhana.
Misalnya, bahwa untuk menilai salah satu kriteria alim tidaknya seseorang dengan memakai tolok ukur atau hanya berdasarkan apakah seseorang tersebut mengenakan baju gamis dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Karena ada sebagian dari masyarakat kita menganggap bahwa seseorang yang berhak memakai baju gamis (minimal baju koko) adalah seorang ustadz, dai atau ulama. Tanpa ciri tersebut berarti bukanlah orang alim dan pandai pengetahuan agamanya. Mereka beranggapan bahwa baju gamis diidentikkan dengan orang arab yang notabene agama islam diturunkan di sana.
Padahal baju gamis (rata-rata berwarna putih) adalah budaya (mode) dari bangsa Timur Tengah, mengingat kondisi alam di sana yang sangat panas sehingga diperlukan jenis dan desain pakaian seperti itu untuk mengurangi panasnya sinar matahari dan dehidrasi tubuh.
Kalau selama ini kita beranggapan dan bersikukuh bahwa baju gamis identik bagi seorang muslim yang taat maka itu sebuah persepsi dan kesimpulan yang keliru. Bukankah musuh Rasulullah SAW seperti Abu Jahl, Abu Lahab, dan kroni-kroninya juga memakai baju gamis? Apakah berarti mereka tergolong muslim? Tidakkan? Kalau anda menganggap bahwa itu semua mutlak (total) sebagai identitas agama islam maka sungguh kesimpulan yang sangat dangkal dan sederhana.
Sebenarnya sederhana saja kalau kita mau menyikapi cara berpakaian yang layak atau tidaknya bagi seorang muslim dan tidak perlu repot-repot harus memakai baju gamis. Ambil-lah contoh saat beribadah. Berdasarkan fiqih, kriteria sah tidaknya pakaian seorang laki-laki dalam beribadah (shalat) cukuplah pakaian yang harus dikenakan minimal menutupi diatas pusar hingga sampai sedikit dibawah lutut.
Selain itu Allah SWT mengingatkan bahwa Dia menilai seorang hamba bukan dari wajah, pakaian atau hal yang bersifat fisik lainnya, namun ketakwaanlah yang dinilai oleh Allah SWT dan ini letaknya di dalam hati.
Jadi kita sendirilah yang kadang membuat aturan main, sehingga sering kerepotan dan tergagap-gagap dalam menyikapi sesuatu. Padahal sudah jelas aturannya. Allah SWT tidak akan pernah membuat hukum yang memberatkan hamba-Nya. Kalau pun saat ini pakaian lebih “sopan” dibandingkan dengan syarat minimal fiqih di atas, semata-mata karena budaya dari sudut pandang estetika manusia saja.
Cara pandang umat islam di Indonesia yang sempit dan terkadang meremehkan sesuatu aturan (hukum Allah) juga terjadi pada ranah dakwah. Seperti berhak tidaknya seseorang menjadi ustadz yang dianggap mampu memberikan dan menyampaikan tausyiah. Seringkali kita hanya terpesona dari tata cara berpakaian seseorang, dan memakai sorban sebagai tutup kepala. Padahal ini semua bersifat fisik atau lahiriyah saja. Justru kriteria yang esensial (batiniyah) sering terabaikan.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar