Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya sangat bersyukur sekali karena bermukim di komplek perumahan yang menjunjung tinggi nilai toleransi dalam beragama, bahkan lebih dari itu. Perumahan tempat saya bermukim tidak hanya plural agama, tetapi juga suku, ras dan golongan. Semua warga menyadari bahwa kita semua satu bangsa. Adapun masalah keyakinan yang dianut adalah hak individu.
Perbedaan ini tidak menjadikan masing-masing berbangga dengan golongannya. Justru sebaliknya, perbedaan dinilai sebagai rahmat, menjadikan warna keberagaman semakin indah, adanya kesadaran untuk saling menghormati privasi dan hak individu, sehingga semua terjalin dengan mesra. Mungkin warga harus berterima kasih kepada sang “founding father” yang merintis harmonisasi sosial antar warga dimulai sejak penghuni perumahan masih beberapa kepala keluarga hingga saat ini yang telah berkembang hampir 40 kepala keluarga.
Sikap saling menghormati dan toleransi dapat dilihat, misalnya disaat warga muslim menjalani ibadah puasa Ramadhan, warga non muslim berusaha tidak menyinggung perasaan tetangganya dengan cara tidak makan, minum atau merokok di luar rumah. Demikian pula sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan natal, warga muslim juga menghormati kegiatan mereka.
Bahkan oleh pengurus RT, setiap warga diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan acara keagamaan di luar kegiatan keagamaan RT asalkan dengan tujuan baik, tidak mengganggu tetangga dan telah mendapat ijin pengurus RT. Sungguh menyejukan sekali atmosfir keberagaman di perumahan kami.
Kenyamanan juga dirasakan kaum muslim untuk melakukan ritual ibadah. Paling tidak ada tersedia 4 buah masjid yang letaknya sangat berdekatan. Terserah individu, tinggal pilih yang mana untuk menunaikan ibadah shalat.
Banyaknya jumlah masjid paling tidak juga menguntungkan kaum muslim, misalnya, ketika akan menunaikan ibadah shalat jum’at, dan kebetulan terlambat datang di satu masjid, maka dapat mengambil alternatif lain ke masjid lainnya yang belum mendirikan shalat jum’at, karena khatib masih berkhotbah. Enakkan?
Selain ibadah shalat fardhu yang sifatnya rutin, di setiap masjid juga menyelenggarakan pengajian setiap bulan sekali dengan mengundang ustadz dari luar komplek perumahan. Ini bukan saja menambah wawasan beragama warga tetapi juga mempererat tali silaturahmi dengan warga RT lainnya.
Namun seringkali niat baik tidak selamanya menghasilkan output yang positif. Kadang ada kerikil yang membuat langkah jamaah menjadi terganggu. Seperti yang terjadi pada medio tahun 2006 ketika istri saya pulang ke rumah sehabis mengikuti pengajian rutin RW di masjid depan blok kami.
Tidak seperti biasanya, idealnya orang sepulang pengajian raut wajahnya diliputi keceriaan, kesejukan, kedamaian dan ketentraman karena baru saja mendapat pencerahan. Namun kali ini sebaliknya, istri saya terlihat gelisah, bibirnya sedikit manyun, ditambah wajah yang kurang bersahabat.
Saya yang kebetulan sedang menonton televisi hanya memperhatikan gerak-geriknya dan tidak berani bertanya atau berkomentar. “Nanti saja-lah setelah agak tenang. Tidak ada gunanya menanyakan pada orang yang emosinya belum stabil. Jangan-jangan nanti malah ikut kena getahnya,” pikir saya.
Setelah berganti pakaian yang lebih santai kemudian istri saya duduk bersebelahan menonton TV. Cukup lama saya biarkan dia menurunkan emosinya. Baru setelah hampir 30 menit berlalu, saya mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Pulang-pulang dari pengajian kok malah suntuk, seharusnya ceria dong mendapat tambahan ilmu baru. Memang ada apa sih?”
Tanpa menoleh ke arah saya, dia langsung menjawab,”Bagaimana tidak suntuk, niatnya mau mengaji malah dijejali, diprovokatori, dan di brain wash untuk membenci dan mengolok-olok saudara kita sendiri!”
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
(6)
Menanam Benih Fitnah
Menanam Benih Fitnah
Saya sangat bersyukur sekali karena bermukim di komplek perumahan yang menjunjung tinggi nilai toleransi dalam beragama, bahkan lebih dari itu. Perumahan tempat saya bermukim tidak hanya plural agama, tetapi juga suku, ras dan golongan. Semua warga menyadari bahwa kita semua satu bangsa. Adapun masalah keyakinan yang dianut adalah hak individu.
Perbedaan ini tidak menjadikan masing-masing berbangga dengan golongannya. Justru sebaliknya, perbedaan dinilai sebagai rahmat, menjadikan warna keberagaman semakin indah, adanya kesadaran untuk saling menghormati privasi dan hak individu, sehingga semua terjalin dengan mesra. Mungkin warga harus berterima kasih kepada sang “founding father” yang merintis harmonisasi sosial antar warga dimulai sejak penghuni perumahan masih beberapa kepala keluarga hingga saat ini yang telah berkembang hampir 40 kepala keluarga.
Sikap saling menghormati dan toleransi dapat dilihat, misalnya disaat warga muslim menjalani ibadah puasa Ramadhan, warga non muslim berusaha tidak menyinggung perasaan tetangganya dengan cara tidak makan, minum atau merokok di luar rumah. Demikian pula sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan natal, warga muslim juga menghormati kegiatan mereka.
Bahkan oleh pengurus RT, setiap warga diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan acara keagamaan di luar kegiatan keagamaan RT asalkan dengan tujuan baik, tidak mengganggu tetangga dan telah mendapat ijin pengurus RT. Sungguh menyejukan sekali atmosfir keberagaman di perumahan kami.
Kenyamanan juga dirasakan kaum muslim untuk melakukan ritual ibadah. Paling tidak ada tersedia 4 buah masjid yang letaknya sangat berdekatan. Terserah individu, tinggal pilih yang mana untuk menunaikan ibadah shalat.
Banyaknya jumlah masjid paling tidak juga menguntungkan kaum muslim, misalnya, ketika akan menunaikan ibadah shalat jum’at, dan kebetulan terlambat datang di satu masjid, maka dapat mengambil alternatif lain ke masjid lainnya yang belum mendirikan shalat jum’at, karena khatib masih berkhotbah. Enakkan?
Selain ibadah shalat fardhu yang sifatnya rutin, di setiap masjid juga menyelenggarakan pengajian setiap bulan sekali dengan mengundang ustadz dari luar komplek perumahan. Ini bukan saja menambah wawasan beragama warga tetapi juga mempererat tali silaturahmi dengan warga RT lainnya.
Namun seringkali niat baik tidak selamanya menghasilkan output yang positif. Kadang ada kerikil yang membuat langkah jamaah menjadi terganggu. Seperti yang terjadi pada medio tahun 2006 ketika istri saya pulang ke rumah sehabis mengikuti pengajian rutin RW di masjid depan blok kami.
Tidak seperti biasanya, idealnya orang sepulang pengajian raut wajahnya diliputi keceriaan, kesejukan, kedamaian dan ketentraman karena baru saja mendapat pencerahan. Namun kali ini sebaliknya, istri saya terlihat gelisah, bibirnya sedikit manyun, ditambah wajah yang kurang bersahabat.
Saya yang kebetulan sedang menonton televisi hanya memperhatikan gerak-geriknya dan tidak berani bertanya atau berkomentar. “Nanti saja-lah setelah agak tenang. Tidak ada gunanya menanyakan pada orang yang emosinya belum stabil. Jangan-jangan nanti malah ikut kena getahnya,” pikir saya.
Setelah berganti pakaian yang lebih santai kemudian istri saya duduk bersebelahan menonton TV. Cukup lama saya biarkan dia menurunkan emosinya. Baru setelah hampir 30 menit berlalu, saya mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Pulang-pulang dari pengajian kok malah suntuk, seharusnya ceria dong mendapat tambahan ilmu baru. Memang ada apa sih?”
Tanpa menoleh ke arah saya, dia langsung menjawab,”Bagaimana tidak suntuk, niatnya mau mengaji malah dijejali, diprovokatori, dan di brain wash untuk membenci dan mengolok-olok saudara kita sendiri!”
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar