Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kemudian secara panjang lebar diceritakanlah semua kekesalannya kepada ustadz yang baru saja memberi dan mengisi tausyiah di masjid.
“Coba renungkan, masak seorang ustadz mencurigai, dan menvonis dengan nada sinis suatu acara pelatihan keagamaan yang diadakan oleh seorang ustadz (trainner), yang katanya : “Masak pelatihan kok materinya yang sudah diajarkan sebelum masa akhil baliq, jangan–jangan dikomersialisasikanlah pelatihannya, pokoknya macam-macam deh tuduhan negatif diberikan”.
Saya cuma terdiam, karena nada bicaranya masih terdengar emosi.
“Apa begini ya perilaku seorang ustadz dengan berkomentar dan menuduh macam-macam di depan jamaah. Seharusnya ya tidak usah begitu, belum tentu apa yang dikatakannya benar. Kalau benar sih tidak apa-apa, lha kalau salah kan bisa menimbulkan fitnah! Lalu apa yang mendasari dia bisa berkomentar macam-macam sementara dia sendiri belum pernah mengikuti pelatihan dan tahu isi dalamnya. Ibarat orang hendak berenang ke laut, tetapi takut terkena air, bagaimana dia bisa bercerita tentang berenang di laut apalagi isi lautnya? Kan tidak mungkin. Justru ini bisa jadi fitnah, pembunuhan karakter, prasangka buruk, su’udzon!”
Istri saya menarik nafas panjang untuk mengurangi beban yang menghimpit dadanya dan kemudian terdiam seribu bahasa. Tak berapa lama dia beranjak dari kursi dan langsung tidur. Saya hanya was-was terhadapnya. Takut akibat terburuk selanjutnya. Dan apa yang sudah saya prediksi ini terjadi pada acara pengajian berikutnya. Dia tidak mau lagi menghadiri pengajian di masjid tersebut, ketika sang ustadz troublemaker tersebut mendapat giliran mengisi tausyiah. Istri saya trauma dan takut terulang kembali “insiden” yang pernah dialaminya.
Pada saat malam kejadian itu, saya hanya tertawa geli dalam hati melihat kegusaran dan tingkah laku istri saya. Tapi setelah merenung, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Kemudian saya teringat, membuka dan membaca ayat Al-Qur’an yang melarang orang-orang beriman mengolok-olok, berprasangka buruk dan mencela kepada orang lain.
QS. Hujuraat 49 : 11-12,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah mereka orang-orang yang zalim”.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
QS. Al-Humazah 104 : 1,
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela,”
Dari ayat di atas jelas sekali bahwa Allah SWT melarang kita untuk mengolok-olok, berprasangka buruk, mengumpat, mencela tanpa dasar dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mempertegas larangannya, Allah SWT menggunakan kata “janganlah”. Bahkan memanggil seseorang dengan tidak menyebut nama aslinya saja dilarang meskipun dengan alasan biar akrab, cair dan gaul.
Ibarat anda sedang mengendarai mobil atau kendaraan di jalan raya. Demi keselamatan bersama pengguna jalan tentu ada rambu-rambu lalu lintas untuk mengurangi insiden kecelakaan, misal : dilarang parkir, maka seharusnya anda jangan parkir di tempat itu. Mungkin larangan tersebut berkenaan dengan kondisi sempitnya jalan dan ini bisa menjadi penyebab kemacetan atau bahkan kecelakaan. Kalau anda melanggar tentu anda harus siap menerima konsekuensinya yaitu di tilang.
Demikian pula peringatan dan larangan Allah SWT, kalau anda langgar tentulah anda harus siap dengan segala konsekuensinya. Tetapi sering ditemukan dalam keseharian, banyak umat islam (apalagi kalau hal ini dilakukan oleh seorang ustadz), sudah tahu jelas rambu-rambu dan larangan tersebut tetapi tetap dilanggar juga. Lalu ditaruh dimana pengakuan bahwa anda beriman kepada Al-Qur’an?
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Kemudian secara panjang lebar diceritakanlah semua kekesalannya kepada ustadz yang baru saja memberi dan mengisi tausyiah di masjid.
“Coba renungkan, masak seorang ustadz mencurigai, dan menvonis dengan nada sinis suatu acara pelatihan keagamaan yang diadakan oleh seorang ustadz (trainner), yang katanya : “Masak pelatihan kok materinya yang sudah diajarkan sebelum masa akhil baliq, jangan–jangan dikomersialisasikanlah pelatihannya, pokoknya macam-macam deh tuduhan negatif diberikan”.
Saya cuma terdiam, karena nada bicaranya masih terdengar emosi.
“Apa begini ya perilaku seorang ustadz dengan berkomentar dan menuduh macam-macam di depan jamaah. Seharusnya ya tidak usah begitu, belum tentu apa yang dikatakannya benar. Kalau benar sih tidak apa-apa, lha kalau salah kan bisa menimbulkan fitnah! Lalu apa yang mendasari dia bisa berkomentar macam-macam sementara dia sendiri belum pernah mengikuti pelatihan dan tahu isi dalamnya. Ibarat orang hendak berenang ke laut, tetapi takut terkena air, bagaimana dia bisa bercerita tentang berenang di laut apalagi isi lautnya? Kan tidak mungkin. Justru ini bisa jadi fitnah, pembunuhan karakter, prasangka buruk, su’udzon!”
Istri saya menarik nafas panjang untuk mengurangi beban yang menghimpit dadanya dan kemudian terdiam seribu bahasa. Tak berapa lama dia beranjak dari kursi dan langsung tidur. Saya hanya was-was terhadapnya. Takut akibat terburuk selanjutnya. Dan apa yang sudah saya prediksi ini terjadi pada acara pengajian berikutnya. Dia tidak mau lagi menghadiri pengajian di masjid tersebut, ketika sang ustadz troublemaker tersebut mendapat giliran mengisi tausyiah. Istri saya trauma dan takut terulang kembali “insiden” yang pernah dialaminya.
Pada saat malam kejadian itu, saya hanya tertawa geli dalam hati melihat kegusaran dan tingkah laku istri saya. Tapi setelah merenung, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Kemudian saya teringat, membuka dan membaca ayat Al-Qur’an yang melarang orang-orang beriman mengolok-olok, berprasangka buruk dan mencela kepada orang lain.
QS. Hujuraat 49 : 11-12,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah mereka orang-orang yang zalim”.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
QS. Al-Humazah 104 : 1,
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela,”
Dari ayat di atas jelas sekali bahwa Allah SWT melarang kita untuk mengolok-olok, berprasangka buruk, mengumpat, mencela tanpa dasar dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mempertegas larangannya, Allah SWT menggunakan kata “janganlah”. Bahkan memanggil seseorang dengan tidak menyebut nama aslinya saja dilarang meskipun dengan alasan biar akrab, cair dan gaul.
Ibarat anda sedang mengendarai mobil atau kendaraan di jalan raya. Demi keselamatan bersama pengguna jalan tentu ada rambu-rambu lalu lintas untuk mengurangi insiden kecelakaan, misal : dilarang parkir, maka seharusnya anda jangan parkir di tempat itu. Mungkin larangan tersebut berkenaan dengan kondisi sempitnya jalan dan ini bisa menjadi penyebab kemacetan atau bahkan kecelakaan. Kalau anda melanggar tentu anda harus siap menerima konsekuensinya yaitu di tilang.
Demikian pula peringatan dan larangan Allah SWT, kalau anda langgar tentulah anda harus siap dengan segala konsekuensinya. Tetapi sering ditemukan dalam keseharian, banyak umat islam (apalagi kalau hal ini dilakukan oleh seorang ustadz), sudah tahu jelas rambu-rambu dan larangan tersebut tetapi tetap dilanggar juga. Lalu ditaruh dimana pengakuan bahwa anda beriman kepada Al-Qur’an?
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar