(4)
Mendadak Jadi Ustadz
Mendadak Jadi Ustadz
Cara pandang manusia dalam menilai sesuatu permasalahan kadang-kadang dibatasi dalam frame yang sempit dan sangat sederhana. Akibatnya seringkali persepsi yang tertanam dalam otak dan kesimpulan yang diambil menjadi salah dan tidak terbukti dikemudian hari. Misalnya, banyak dari kita yang menilai seseorang berdasarkan penampilan fisiknya atau sesuatu yang dikenakan. Entah itu merek pakaian, jenis mobil yang dikendarai, perhiasan yang dikenakan maupun aksesoris-aksesoris lainnya yang berfungsi hanya sebagai pemanis saja. Padahal cara pandang seperti ini belum tentu mencerminkan siapa sebenarnya diri manusia itu.
Rata-rata dari masyarakat Indonesia sering terpesona dengan penampilan yang serba materialistik. Hal ini tidak terlepas dari budaya konsumerisme dan hedonisme yang telah dipuja-puja selama ini dan secara tidak sadar membelenggu kehidupan kita semua. Seperti apa yang disinyalir oleh pemikir sosial Erving Goffman, “bahwa hidup sekarang ini sebuah plastisitas yang bisa direkayasa. Hidup jaman sekarang adalah era berkuasanya penampilan, manajemen impresi dan konsep jati diri yang mengambang”. Sementara menurut Peter Bailey,”bahwa kehidupan sekarang ini identik dengan kode visual yaitu keglamouran”. Sebuah keindahan yang semu sebenarnya.
Sesuatu yang melekat dan kelihatan indah dipandang mata seringkali dianggap mencerminkan kondisi seseorang. Pakaian bagus, mobil mahal, rumah mewah, atau handphone keluaran baru yang dimiliki, dinilai sebagai bentuk kesuksesan seseorang. Sekali lagi, belum tentu semua itu mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari seseorang. Bisa juga semua itu hanya menyewa. Toh jaman sekarang banyak bisnis sewa menyewa, mulai dari mobil, peralatan elektronik bahkan baju. Materi dan aksesori kadang menipu.
Apalagi bila kriteria tersebut kita pakai secara membabi buta untuk menilai seseorang yang baru dikenal. Sungguh sangat riskan dan fatal akibatnya. Kesalahan dalam menilai, seringkali baru disadari setelah kita cukup lama bergaul dan mengetahui latar belakang kehidupan seseorang tersebut, terutama bila kita pernah dan bersentuhan langsung terpedaya oleh tipu muslihatnya. Ujung-ujungnya rasa marah, kecewa, menyesal dan mungkin sampai keluar kata-kata yang tidak layak untuk disebutkan. Semua terjadi akibat kesadaran yang terlambat. Penyesalan datangnya belakangan. Sepatutnya tidak perlu disesali karena semua itu karena kebodohan dan kesalahan kita sendiri mengapa betapa mudahnya percaya kepada seseorang berdasar penampilan fisiknya.
Hal yang sah-sah saja sebenarnya bila kita menilai kesuksesan hidup seseorang memakai tolok ukur materi. Namun janganlah berhenti sampai disini. Ini hanya salah satu tolok ukur. Masih banyak yang lainnya.
Perhatikan juga apakah dibalik kesuksesan materi itu, orang tersebut juga mengalami kesuksesan dari segi perilaku batiniyahnya (habluminallah dan habluminannas)? Seperti keharmonisan rumah tangga, track record dari segi hukum, kedekatannya dengan tetangga sekitarnya atau perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan masalah keagamaan.
Kriteria tersebut sebenarnya juga belum cukup dan dapat dijadikan jaminan, mengingat manusia mudah berubah dan tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari pada dirinya. Terutama saat manusia tersebut tertekan dan panik. Maka semuanya akan mudah berubah. Manusia hanya boleh berencana tentang hari esok karena hari esok adalah ghaib. Hanya rencana Allah SWT-lah yang pasti terjadi.
QS. Lukman 31 : 34,
” Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar