Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bapak tersebut kaget dan mengeryitkan dahinya. Namun sebelum sempat berbicara, langsung saya timpali dengan jawaban selanjutnya,”Kenapa saya katakan kurang tepat, karena bapak sudah menganggap ustadz itu hebat, segala-galanya dan sempurna. Padahal seharusnya kita semua tidak boleh taklid buta kepada siapa pun selama dia itu makhluk Allah SWT. Pasti suatu saat anda akan mengalami kekecewaan, karena manusia itu tidak sempurna. Sebagai seorang yang beriman maka bertaklid-lah hanya kepada Allah SWT karena Dia-lah yang Sang Maha Sempurna. Pasti tidak akan kecewa”.
Suasana hening.
“Coba bapak renungkan ketika ustadz tersebut menceritakan pengalaman spititualnya yang dia sendiri tidak melakukan apa-apa. Bukankah ini sebagai salah satu tanda akibat taklid buta! Karena hanya mendengar dari orang lain kemudian menceritakan (mendongeng) kepada para jamaahnya”.
QS. An-Nahl 16 : 24-25,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘apakah yang telah diturunkan Tuhan-mu?”. Mereka menjawab:’Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”,(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.
Tidak berapa lama kemudian saya langsung melanjutkan,“Adapun mengenai pandangan saya terhadap pertanyaan yang Bapak ajukan tadi, sebenarnya sudah ada jawabanya di Al-Qur’an. Biarlah Allah SWT yang menjawab melalui firman-Nya. Karena saya tidak mau memvonis seseorang. Hanya Allah SWT yang berhak. Coba bapak buka dan perhatikan surat Ash-Shaff ayat 2 dan 3, disana jelas sekali jawabannya,” sambung saya.
Beliau mengambil Al-Qur’an, membuka dan membacanya secara perlahan kata demi kata:
QS. Ash-Shaff 61: 2-3
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Sejenak wajahnya terperanjat, namun tersirat kepuasan akan jawaban tersebut. Kemudian saya menimpali, “Mungkin sang ustadz saat itu baru khilaf, dan dipermainkan oleh hawa nafsunya sehingga tidak menyadari kelalaiannya. Kadang manusia karena dihinggapi rasa sombong dan biar dianggap hebat, terutama di depan manusia lain yang mengaguminya, berani mengatakan sesuatu yang tidak pernah diperbuatnya. Padahal konsekuensi yang harus diterima sungguh sangat berat yaitu kebencian di sisi Allah SWT.”
Kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju. Kemudian dia terlihat tertegun dan merenung. Saya juga mengusulkan agar dia membuka surat lain, yaitu tentang peringatan Allah SWT kepada ahli kitab dijaman Nabi Musa AS, yang intinya hampir sama.
QS. Al-Baqarah 2 : 44
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Agar sang bapak lebih yakin, saya mencoba meng-analog-kan dan me-logika-kan peristiwa yang dialaminya.
“Jika seandainya ada seorang yang buta kemudian ditunjuk sebagai pimpinan untuk menunjukkan jalan bagi rombongan orang lain yang kebetulan juga buta, sementara sang pemimpin sendiri hanya mendapatkan informasi jalan yang akan dilaluinya hanya berdasar kumpulan cerita tentang jalan tersebut dan tanpa pernah sekalipun dia melewatinya, kira-kira apa yang akan terjadi? Mampukah sang pemimpin dan rombongannya datang dengan selamat sampai tujuan? Mungkinkah dia mampu membimbing, menuntun dan mencerahkan pengikutnya? Apakah kondisi ini justru tidak malah membahayakan, menjerumuskan, merugikan dan mencelakakan orang lain yang dituntunnya?
Tidak berapa lama sahabat saya tersenyum, tanda puas dan mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Tampak rona wajahnya berseri-seri, tidak seperti tadi sewaktu datang.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar dari masjid sebelah berkumandang adzan subuh. Kemudian kami bersama-sama dengan para sahabat lainnya bergegas mengambil wudhu dan bersiap-siap mendirikan shalat Subuh berjamaah.
Renungan :
Kita semua kalau mau jujur juga sering mengalami peristiwa tersebut. Mungkin hanya beda kasusnya namun sama intinya. Beda sebabnya namun akibatnya sama. Banyak kok yang mengaku sebagai ustadz yang bercerita panjang lebar mengenai agama dan pengalaman spiritual, saat berdakwah, namun dalam kesehariannya, apa yang sering diucapkan sungguh berbeda dengan perilakunya.
Mungkin dengan cerita itu semua semata-mata hanya untuk menutupi kekurangannya atau biar dianggap hebat di depan para jamaah. Tetapi justru inilah yang berbahaya bagi diri sendiri maupun jamaahnya. Bukankankah sudah jelas apa yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur’an seperti ayat As-Shaff 61 : 2-3 diatas?
Bagaimana menurut anda?
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Bapak tersebut kaget dan mengeryitkan dahinya. Namun sebelum sempat berbicara, langsung saya timpali dengan jawaban selanjutnya,”Kenapa saya katakan kurang tepat, karena bapak sudah menganggap ustadz itu hebat, segala-galanya dan sempurna. Padahal seharusnya kita semua tidak boleh taklid buta kepada siapa pun selama dia itu makhluk Allah SWT. Pasti suatu saat anda akan mengalami kekecewaan, karena manusia itu tidak sempurna. Sebagai seorang yang beriman maka bertaklid-lah hanya kepada Allah SWT karena Dia-lah yang Sang Maha Sempurna. Pasti tidak akan kecewa”.
Suasana hening.
“Coba bapak renungkan ketika ustadz tersebut menceritakan pengalaman spititualnya yang dia sendiri tidak melakukan apa-apa. Bukankah ini sebagai salah satu tanda akibat taklid buta! Karena hanya mendengar dari orang lain kemudian menceritakan (mendongeng) kepada para jamaahnya”.
QS. An-Nahl 16 : 24-25,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘apakah yang telah diturunkan Tuhan-mu?”. Mereka menjawab:’Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”,(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.
Tidak berapa lama kemudian saya langsung melanjutkan,“Adapun mengenai pandangan saya terhadap pertanyaan yang Bapak ajukan tadi, sebenarnya sudah ada jawabanya di Al-Qur’an. Biarlah Allah SWT yang menjawab melalui firman-Nya. Karena saya tidak mau memvonis seseorang. Hanya Allah SWT yang berhak. Coba bapak buka dan perhatikan surat Ash-Shaff ayat 2 dan 3, disana jelas sekali jawabannya,” sambung saya.
Beliau mengambil Al-Qur’an, membuka dan membacanya secara perlahan kata demi kata:
QS. Ash-Shaff 61: 2-3
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Sejenak wajahnya terperanjat, namun tersirat kepuasan akan jawaban tersebut. Kemudian saya menimpali, “Mungkin sang ustadz saat itu baru khilaf, dan dipermainkan oleh hawa nafsunya sehingga tidak menyadari kelalaiannya. Kadang manusia karena dihinggapi rasa sombong dan biar dianggap hebat, terutama di depan manusia lain yang mengaguminya, berani mengatakan sesuatu yang tidak pernah diperbuatnya. Padahal konsekuensi yang harus diterima sungguh sangat berat yaitu kebencian di sisi Allah SWT.”
Kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju. Kemudian dia terlihat tertegun dan merenung. Saya juga mengusulkan agar dia membuka surat lain, yaitu tentang peringatan Allah SWT kepada ahli kitab dijaman Nabi Musa AS, yang intinya hampir sama.
QS. Al-Baqarah 2 : 44
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Agar sang bapak lebih yakin, saya mencoba meng-analog-kan dan me-logika-kan peristiwa yang dialaminya.
“Jika seandainya ada seorang yang buta kemudian ditunjuk sebagai pimpinan untuk menunjukkan jalan bagi rombongan orang lain yang kebetulan juga buta, sementara sang pemimpin sendiri hanya mendapatkan informasi jalan yang akan dilaluinya hanya berdasar kumpulan cerita tentang jalan tersebut dan tanpa pernah sekalipun dia melewatinya, kira-kira apa yang akan terjadi? Mampukah sang pemimpin dan rombongannya datang dengan selamat sampai tujuan? Mungkinkah dia mampu membimbing, menuntun dan mencerahkan pengikutnya? Apakah kondisi ini justru tidak malah membahayakan, menjerumuskan, merugikan dan mencelakakan orang lain yang dituntunnya?
Tidak berapa lama sahabat saya tersenyum, tanda puas dan mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Tampak rona wajahnya berseri-seri, tidak seperti tadi sewaktu datang.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar dari masjid sebelah berkumandang adzan subuh. Kemudian kami bersama-sama dengan para sahabat lainnya bergegas mengambil wudhu dan bersiap-siap mendirikan shalat Subuh berjamaah.
Renungan :
Kita semua kalau mau jujur juga sering mengalami peristiwa tersebut. Mungkin hanya beda kasusnya namun sama intinya. Beda sebabnya namun akibatnya sama. Banyak kok yang mengaku sebagai ustadz yang bercerita panjang lebar mengenai agama dan pengalaman spiritual, saat berdakwah, namun dalam kesehariannya, apa yang sering diucapkan sungguh berbeda dengan perilakunya.
Mungkin dengan cerita itu semua semata-mata hanya untuk menutupi kekurangannya atau biar dianggap hebat di depan para jamaah. Tetapi justru inilah yang berbahaya bagi diri sendiri maupun jamaahnya. Bukankankah sudah jelas apa yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur’an seperti ayat As-Shaff 61 : 2-3 diatas?
Bagaimana menurut anda?
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar