DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label ulil amri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ulil amri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (3-SELESAI)


Adapun yang jadi masalah (salah kaprah) sekarang ini adalah banyak orang mengaku, bangga dan merasa berhak menyandang gelar (derajat) tersebut. Padahal apa yang diakuinya bukanlah pemberian (karunia) dari Allah SWT tapi gelar tersebut diperoleh (melekat) menurut penilaian manusia berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sesuai kesepakatan bersama. Lha kalau demikian yang terjadi, maka telah terjadi bias mengenai kriteria seseorang yang berhak menjadi pemegang otoritas agama (waliyullah dan ulama) antara versi Allah SWT dengan versi manusia. Gimana coba? Apa nggak jadi runyam urusannya? Yang kasihan umatnya. Lha nggak dilantik dan mendapat SK dari Allah SWT kok mengaku-aku. Apa jadinya?

             Ibarat bolam lampu, yang bersinar tentu yang dapat menerangi ruangan. Sedangkan bolan yang mati, ya mana mungkin membuat ruangan menjadi terang. Kalau pemegang otoritas agama (penerus nabi) telah dianugerahi nur islam dan nur iman dari Allah SWT sebagai tanda dan bukti sebagai utusan-Nya pastilah dakwahnya dapat memberikan pencerahan umat. Sebaliknya, pemegang otoritas agama yang berdasarkan kesepakatan manusia (tanpa nur islam dan nur iman dari Allah SWT) tentulah beda hasilnya, baik saat maupun setelah memberikan dakwah kepada umatnya. Tidak akan pernah ada pencerahan atau apa yang disampaikan tidak membekas dihati umat yang mendengarkannya, akibatnya nilai-nilai agama jauh dari kehidupan dan perilakunya sehari-hari.
               
             Kalau demikian realitanya. anda sendirilah yang sekarang harus berhati-hati serta jeli untuk menilai dan membedakan mana orang yang sebenarnya utusan Allah SWT sehingga atas ijin-Nya dakwahnya dapat memberikan pencerahan atau seseorang yang hanya mengaku-aku sebagai utusan (orang pilihan)-Nya (karena tidak ada tanda dan bukti mendapat nur islam dan nur iman). Jangan sampai anda menyesal di kemudian hari, karena baik anda maupun mereka yang mengaku-aku utusan-Nya tidak diampuni dosanya dan tempatnya di neraka. Bahkan SWT Allah mengibaratkan tidak mungkin diampuni dosa keduanya sebagaimana masuknya unta dalam lubang jarum (hal yang mustahil terjadi). Coba perhatikan ayat berikut ini,

“Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka." Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui. Dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan. Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan”. (QS. Al-A’raaf 7:38-40).

            Itu mengapa Rasulullah SAW prihatin dan berpesan kepada umatnya agar hati-hati pada mereka yang mengaku-aku alim ulama tetapi sebenarnya belum mendapat pengajaran dari Allah SWT dan diangkat menjadi utusan-Nya bagi umat manusia karena tidak mendapat nur islam dan nur iman, sebagaimana sabda beliau, Yang aku takuti terhadap umatku ialah pemimpin-pemimpin (ulama) yang menyesatkan. (HR. Abu Dawud) dan Celaka atas umatku dari ulama yang buruk. (HR. Al Hakim).
(Selesai)


Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
        
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Selasa, 25 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (2)

Lalu siapa sebenarnya pengganti (penerus) tugas nabi pasca Rasulullah SAW wafat dan yang berhak menduduki “jabatan” dibawah Muhammad SAW untuk syiar islam? Yaitu hamba-hamba yang dipilih dan dikehendaki Allah SWT, atau mereka biasa disebut dengan para ulil amri. Kata ulil amri bukanlah sebagaimana yang sering kita pahami selama ini yaitu pemimpin suatu negara, tetapi mereka adalah manusia pilihan pewaris kitab atau penerus nabi. Para penerus nabi ini dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pertama, Waliyullah sebagai poros, jumlahnya satu orang, dan otoritasnya mencakup antar bangsa. Selama dunia ini berputar, maka ketika seorang waliyullah wafat akan digantikan (Allah SWT akan mengangkat) waliyullah lain sebagai penggantinya. kedua, alim ulama yang otorisasinya skala “lokal” (daerah/kampung) jumlahnya ada beberapa orang. Ketika seorang alim ulama wafat maka Allah SWT juga akan mengangkat alim ulama lain sebagai penggantinya. Keberadaan mereka inilah yang menyebabkan dunia hingga kini masih berputar. Kalau bumi hingga masih ini berotasi dan berevolusi maka ini ada peran mereka. Kalau dapat dianalogkan dengan roda, dimana  waliyullah sebagai as-nya, sedangkan alim ulama ulama adalah gotri (bola-bola besi kecil di dalam laker) yang mengelilingi as. Kedua golongan inilah yang diangkat dan dilantik Allah SWT yang ditandai dan diberi bukti berupa nur iman dan nur islam.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(QS. An-Nisaa’ 4:59).

“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan”. (QS. Al-A’raaf 7:181).
                
           Lalu siapa yang menjadi jeruji dan bannya agar roda berputar? Mereka adalah golongan orang munafik, kafir, dzalim, fasik, musyrik, majusi, dan sabi’in. Itu mengapa dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan bahwa kebanyakan manusia bukan golongan beriman sebagai bentuk sunnatullah dan takdir (baca artikel saya Sudahkah Kita Beriman?)

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf 12:103).

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”. (QS. Yusuf 12:106).

               Dalam realita, para penerus nabi ini (waliyullah dan ulama) justru tidak pernah “mengumumkan diri” walaupun sudah dilantik dan mendapat SK (Surat Keputusan) dari Allah SWT sebagai utusan-Nya, karena mereka takut terjerumus  ke dalam sifat sombong. Mereka juga tidak pernah mengobral derajatnya dihadapan umat manusia lainnya. Justru mereka rendah hati bahkan mohon agar Allah SWT berkenan “menyembunyikan” derajat mereka dari pandangan manusia pada umumnya. Biasanya hanya orang-orang tertentu (pilihan) yang tahu siapa sebenarnya mereka. Al-Qur’an pun menjelaskan, bahwa yang tahu waliyullah adalah waliyullah lainnya, demikian pula para alim ulama Allah SWT.

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong”. (QS. Al-Hajj 22:78).

                 Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa : “Wali-wali Allah, Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Jadi jelas, wali bukanlah dari kalangan tertentu dengan penampilan tertentu. Apalagi kalau sampai ada orang yang mengaku-aku sebagai wali, itu bukanlah ciri kewalian. Seorang wali Allah akan selalu menyembunyikan kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan. Andaipun ia mendapatkan karamah (keluar biasaan semacam mukzizat) maka ia tidak akan menceritakan dan mengumumkannya kepada orang ramai”.
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa”
Rasulullah SAW : “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. An-Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
    Hadits di atas merupakan penjabaran dari ayat Al-Qur’an berikut ini Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus 10:62).
(Bersambung....)

Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
       

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang



Sabtu, 22 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (1)

NGGAK “DILANTIK” KOK MENGAKU-AKU (1)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Secara legal formal (muamalah-sosial kultural), seseorang menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan di suatu negara pastilah diakui oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Melalui proses penyelenggaraan pemilu yang sah dan memperoleh suara terbanyak, berarti seseorang berhak menduduki suatu jabatan. Entah itu mulai dari level Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati. Bahkan dalam level terendah pun, jabatan seorang RT terpilih oleh suara terbanyak dari warganya.

Namun demikian, ada pula seseorang berhak menduduki suatu jabatan karena diangkat/dilantik oleh pejabat yang lebih tinggi kedudukannya, misal menteri diangkat presiden, sekda oleh gubernur, camat dan kepala desa oleh bupati atau walikota, dsb. Demikian pula dalam suatu perusahaan, jabatan direktur dan komisaris dipilih oleh pemegang saham (pemilik modal), sedangkan level struktural seperti General Manager, Manager, dll dipilih oleh pejabat berwenang (direktur).

Apa yang saya contohkan di atas adalah jabatan dalam tataran suatu pemerintahan di sebuah negara yang demokratis atau suatu institusi. Lalu bagaimana dengan “jabatan” ditinjau dari sisi agama? Tentu saja lain persoalannya karena ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Di sinilah Allah SWT pemegang hak tunggal/prerogatif (otoritas) untuk menentukan seseorang menyandang suatu gelar sebagai utusannya. Misalnya seseorang dikatakan seorang nabi/rasul, maka telah memiliki tiga syarat yang diberikan Allah SWT sebagai tanda dan bukti bahwa seseorang sebagai utusan-Nya:

1.   Nabi/Rasul mendapat nur nubuwah (nur kenabian dari Allah SWT). Nur kenabian inilah yang tidak bisa diperoleh seseorang tanpa melibatkan Allah SWT sebagai pemegang hak prerogative. Nur kenabian ini pula pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat sudah tidak ada lagi alias sudah berakhir. Informasi ini dijelaskan pada ayat berikut ini.

    Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Ahzab 33:40).

     Oleh sebab itu, barangsiapa yang mengaku nabi pasca Rasulullah SAW wafat, maka dikatakan sebagai nabi palsu karena nur kenabian sudah berakhir.

2.  Masing-masing nabi/rasul membawa risalah islam (syariat/tata cara/hukum/hikmah) beribadah yang berbeda-beda disetiap periodenya dalam menyembah Allah SWT. Misal Nabi Adam AS, hanya cukup memberikan persembahan sebagaimana yang dicontohkan dan diinformasikan dalam Al-Qur’an ketika kedua anaknya Qabil dan Habil diperintahkan Allah SWT secara simbolis mempersembahkan hasil panennya. Pada akhirnya ibadah Habil yang diterima karena dilandasi keikhlasan dengan memberikan hasil panen yang baik dan jumlahnya banyak. Setiap periodesasi nabi/rasul mengalami evolusi syariat dalam menyembah (shalat) Allah SWT hingga nabi Muhammad SAW, shalatnya seperti yang dilakukan umat islam sekarang ini.

3.   Setiap  nabi  atau   rasul  mendapatkan  wahyu, atau  tepatnya  ayat  (setelah  dihimpun maka  kumpulan   ayat  disebut  dengan   kitabullah)   atau   shuhuf   (catatan)   sebagai pedoman dan  petunjuk untuk beribadah kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an pun, ketiga syarat bahwa seseorang mendapat derajat nabi/rasul telah dijelaskan dengan gamblang sebagaimana ayat berikut ini,Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab (ayat), hikmat(risalah islam/hukum/syariat) dan kenabian (nur nubuwah). Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya” (QS. Al-An’aam 6:89)


           Lalu siapa sebenarnya pengganti (penerus) tugas nabi pasca Rasulullah SAW wafat dan yang berhak menduduki “jabatan” dibawah Muhammad SAW untuk syiar islam?

(Bersambung)....


Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)


Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang