DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label kyai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kyai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Juni 2013

NGGAK DILANTIK KOK MENGAKU-AKU (1)

NGGAK “DILANTIK” KOK MENGAKU-AKU (1)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Secara legal formal (muamalah-sosial kultural), seseorang menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan di suatu negara pastilah diakui oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Melalui proses penyelenggaraan pemilu yang sah dan memperoleh suara terbanyak, berarti seseorang berhak menduduki suatu jabatan. Entah itu mulai dari level Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati. Bahkan dalam level terendah pun, jabatan seorang RT terpilih oleh suara terbanyak dari warganya.

Namun demikian, ada pula seseorang berhak menduduki suatu jabatan karena diangkat/dilantik oleh pejabat yang lebih tinggi kedudukannya, misal menteri diangkat presiden, sekda oleh gubernur, camat dan kepala desa oleh bupati atau walikota, dsb. Demikian pula dalam suatu perusahaan, jabatan direktur dan komisaris dipilih oleh pemegang saham (pemilik modal), sedangkan level struktural seperti General Manager, Manager, dll dipilih oleh pejabat berwenang (direktur).

Apa yang saya contohkan di atas adalah jabatan dalam tataran suatu pemerintahan di sebuah negara yang demokratis atau suatu institusi. Lalu bagaimana dengan “jabatan” ditinjau dari sisi agama? Tentu saja lain persoalannya karena ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Di sinilah Allah SWT pemegang hak tunggal/prerogatif (otoritas) untuk menentukan seseorang menyandang suatu gelar sebagai utusannya. Misalnya seseorang dikatakan seorang nabi/rasul, maka telah memiliki tiga syarat yang diberikan Allah SWT sebagai tanda dan bukti bahwa seseorang sebagai utusan-Nya:

1.   Nabi/Rasul mendapat nur nubuwah (nur kenabian dari Allah SWT). Nur kenabian inilah yang tidak bisa diperoleh seseorang tanpa melibatkan Allah SWT sebagai pemegang hak prerogative. Nur kenabian ini pula pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat sudah tidak ada lagi alias sudah berakhir. Informasi ini dijelaskan pada ayat berikut ini.

    Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Ahzab 33:40).

     Oleh sebab itu, barangsiapa yang mengaku nabi pasca Rasulullah SAW wafat, maka dikatakan sebagai nabi palsu karena nur kenabian sudah berakhir.

2.  Masing-masing nabi/rasul membawa risalah islam (syariat/tata cara/hukum/hikmah) beribadah yang berbeda-beda disetiap periodenya dalam menyembah Allah SWT. Misal Nabi Adam AS, hanya cukup memberikan persembahan sebagaimana yang dicontohkan dan diinformasikan dalam Al-Qur’an ketika kedua anaknya Qabil dan Habil diperintahkan Allah SWT secara simbolis mempersembahkan hasil panennya. Pada akhirnya ibadah Habil yang diterima karena dilandasi keikhlasan dengan memberikan hasil panen yang baik dan jumlahnya banyak. Setiap periodesasi nabi/rasul mengalami evolusi syariat dalam menyembah (shalat) Allah SWT hingga nabi Muhammad SAW, shalatnya seperti yang dilakukan umat islam sekarang ini.

3.   Setiap  nabi  atau   rasul  mendapatkan  wahyu, atau  tepatnya  ayat  (setelah  dihimpun maka  kumpulan   ayat  disebut  dengan   kitabullah)   atau   shuhuf   (catatan)   sebagai pedoman dan  petunjuk untuk beribadah kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an pun, ketiga syarat bahwa seseorang mendapat derajat nabi/rasul telah dijelaskan dengan gamblang sebagaimana ayat berikut ini,Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab (ayat), hikmat(risalah islam/hukum/syariat) dan kenabian (nur nubuwah). Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya” (QS. Al-An’aam 6:89)


           Lalu siapa sebenarnya pengganti (penerus) tugas nabi pasca Rasulullah SAW wafat dan yang berhak menduduki “jabatan” dibawah Muhammad SAW untuk syiar islam?

(Bersambung)....


Apa yang saya bahas di atas adalah sedikit cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. (silahkan klik tulisan warna merah di samping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download). Bagi sidang pembaca yang ingin menambah wawasan beragama, saya juga telah me-launching E-Book pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH. (silahkan klik tulisan warna merah disamping untuk mengetahui tata cara dan ketentuan men-download)


Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Senin, 14 Maret 2011

Dakwah Yang Mencerahkan



MENGAPA TAK MENCERAHKAN?
(Prolog)

Harga Buku : Rp. 30.000,-
Penulis : Iwan Fahri Cahyadi
Halaman : 162 lembar
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Tersedia di toko-toko buku besar (Gramedia, Gunung Agung, Dll)

Hampir sebagian besar kita meyakini bahwa dakwah adalah upaya membuka dan memperdalam cakrawala ilmu pengetahuan tentang agama. Dakwah juga dapat diartikan sebagai langkah untuk mencerahkan umat. Jadi fungsi dari dakwah ialah sebagai ujung tombak dalam upaya syiar agama.

Berhasil tidaknya pembinaan dan pencerahan terhadap umat tergantung dari bagaimana kemampuan, cara penyampaian, pemahaman dan penguasaan materi dakwah yang disampaikan. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa betapa vitalnya peran dari juru dakwah untuk mengawal umat agar tetap berjalan di atas rel ke-tauhid-an. Karena bagaimanapun juga posisi pendakwah berada di garda depan atau ujung tombak bagi syiar agama. Targetnya? minimal mampu mempertahankan umat sehingga tidak luntur keimanannya. Syukur-syukur mampu menarik perhatian umat lain untuk memeluk agama yang disyiarkan.

Kehadiran para juru dakwah ditengah umat tidak hanya sebagai panutan, namun lebih jauh daripada itu yaitu mampu memberikan pencerahan (enlighment) atas berbagai persoalan dalam beragama yang dihadapi dan dialami oleh umatnya. Wajib hukumnya bagi mereka dalam menguasai ilmu agama secara holistik tentang berbagai hal persoalan agama, terutama pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Dua buah “pusaka” yang dipesankan dan diwariskan oleh Nabi SAW (sebelum Beliau wafat) kepada umatnya agar selalu berpegang kepada dua perkara tersebut sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai masalah umat dalam beragama. Hal ini tidak terlepas dari berbagai macam variabel masalah yang muncul karena semakin kompleknya masalah disebabkan faktor perkembangan dan dinamika jaman.

***
Melihat besarnya animo dan antusiasme umat islam di Indonesia untuk mempelajari dan memperdalam kajian agama islam pada akhir-akhir ini sungguh sangat menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dengan tersedianya ruang untuk berdakwah yang ditayangkan di beberapa media elektronik (televisi) setiap harinya (biasanya pagi hari setelah subuh). Bagi pendakwah, ini adalah peluang, karena kesempatan tidak datang dua kali. Seorang juru dakwah harus jeli melihat kondisi ini. Adanya minat, semangat dan keinginan umat memperdalam kajian agama, akan mempermudah untuk mengembangkan syiar. Seperti hukum fisika, adanya aksi reaksi.

Bahkan antusiasme umat dan media dakwah mencapai rating tinggi pada saat bulan ramadhan datang. Hampir seluruh stasiun televisi menyuguhkan dan memberi porsi tinggi untuk acara keagamaan, baik pada pagi maupun sore hari, terutama saat menjelang sahur dan berbuka puasa. Kemasannya pun bermacam-macam, mulai dalam bentuk tausyiah, tanya jawab, dzikir bersama, tafsir Al-Qur’an, sinetron religi maupun pengobatan yang dibungkus dengan bandrol agama. Bahkan iklan-iklan yang ditayangkan pun dikemas dan dibuat secara khusus agar bersentuhan dengan dimensi nilai-nilai keagamaan. Meskipun sifatnya temporer. Ini semua sah-sah saja.

Upaya melakukan syiar islam juga ditempuh melalui berbagai cara, misalnya, kajian-kajian dan temuan-temuan yang sifatnya mempermudah, seperti cara penguasaan membaca Al-Qur’an dengan cepat dan lancar, penulisan buku-buku, majalah maupun menerjemahkan tulisan hasil karya para ulama jaman dahulu yang di-translate dalam bentuk bahasa Indonesia, sehingga mudah dipahami.

Ruang dakwah tidak hanya tersedia pada media cetak dan elektronik. Bahkan untuk menampung dan mewadahi antusiasme masyarakat maka beberapa trainner mencoba menawarkan media dakwah dengan memberikan pencerahan dan pendalaman agama melalui metode pelatihan-pelatihan khusus dengan materi yang khusus pula. Ibarat seorang master, para trainner umumnya menguasai secara mendalam materi yang akan disajikan secara khusus tersebut. Pelatihan ini semata-mata untuk memperdalam kajian suatu materi sekaligus melakukan praktek, mengingat media elektronik dan cetak dirasa kurang cukup mengurai dan mampu menampung pembahasan secara lebih mendalam dan mendetail tentang materi yang akan disampaikan mengingat terbatasnya waktu dan ruang.

Di samping berbagai cara di atas, banyak juga dakwah yang belum sempat terekspos. Umumnya dakwah ini bergerak dalam skala lokal dan lebih sempit yang sifatnya rutin maupun sesaat, seperti memberikan tausyiah di masjid/mushola yang biasanya diwadahi kelompok-kelompok pengajian, pada saat acara keagamaan, atau pesantren kilat yang diadakan pada saat bulan ramadhan yang sifatnya temporer.

Yang justru menjadi pokok persoalan sekarang dan sekaligus menjadi bahan pertanyaan adalah mengapa berbagai upaya, cara dan metode dakwah diatas seolah-olah tidak terjadi relevansi dan signifikansi antara frekuensi dakwah yang disampaikan dengan perubahan perilaku masyarakat/umat di Indonesia. Kalaupun ada sifatnya sementara, tidak istiqomah (konsisnten dan kontinyu). Hal ini menjadi pertanyaan besar. Karena dalam realitanya banyak masyarakat kita yang masih asyik dan akrab melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji atau suka berbuat keji dan mungkar.

Sebagai contoh, berdasarkan hasil riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Riset tersebut dilakukan pada Maret 2009 terhadap 1.700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat. Sungguh sangat ironis, Indonesia yang penduduknya mengaku beragama namun pada kenyataannya memiliki reputasi yang kurang baik di mata dunia.
Belum lagi kasus-kasus lain seperti meningkat kriminalitas dengan modus operandi yang konvensional maupun canggih, problem lingkungan (pencemaran, penebangan liar hutan, penjarahan binatang langka, dll), kenakalan remaja, dan banyaknya masyarakat yang sudah kehilangan akal sehat (stres, depresi, dan kehilangan kepercayaan diri) karena menghadapi masalah yang sebetulnya tidak rumit dan pasti ada solusinya bila mau sedikit bersabar. Ini terlihat dari maraknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Gejala apa ini semua? Padahal tujuan dan fungsi agama adalah sebagai solusi dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Apakah kondisi ini disebabkan karena antusiasme umat untuk memperdalam kajian agama hanya bersifat euforia (ikut meramaikan), temporer, hanya sebagai trend yang sifatnya sementara atau agama hanya dipandang hanya sebatas ilmu pengetahuan (teoritis) saja dan ilmu agama hanya berhak disimpan rapi di dalam otak manusia tanpa mau mengaplikasikannya? Ataukah umat mengalami degradasi keyakinan, sehingga sudah tidak percaya lagi dengan Tuhan? Kalau hal ini semua yang terjadi, tentunya sangat disayangkan dan sungguh memprihatinkan. Karena inti dari agama adalah aplikasi ilmu pengetahuan yang diejawantahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Bisa jadi asumsi yang saya kemukakan diatas salah, karena hanya dipandang dari salah satu sisi umat saja yang di-kambinghitam-kan, tentu hal ini tidak fair. Boleh jadi justru kesalahan terjadi pada cara syiar yang disampaikan oleh para juru dakwah yang selama ini mungkin kurang tepat dalam meramu perangkat cara syiar sehingga ujung-ujungnya justru tidak membawa pencerahan umat seperti yang diharapkan selama ini.

Seandainya kedua asumsi diatas~katakanlah~salah, lalu mengapa fungsi dakwah seolah-olah mandul? Mengapa Nurullah (cahaya dari Allah) tidak menyinari umat islam? Ataukah karena metode dakwah selama ini banyak yang tidak mengikuti petunjuk Allah, nabi/rasul-Nya dan isi Al-Qur’an sehingga tidak membawa rahmat, berkah dan hidayah bagi umat?

Lalu benarkah posisi pendakwah dipandang sebagai subyek sementara umat hanya sebagai obyek? Betulkah pendakwah adalah pihak yang berhak mencerahkan dan umat adalah pihak yang dicerahkan?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.