DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Oktober 2013

ADAKAH DOSA TURUNAN?


           
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Anak adalah amanat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Namun demikian terkadang kita salah menafsirkan kata amanat tersebut. Selama ini yang berkembang dan dipahami umat islam adalah apa yang dilakukan anak adalah tanggung jawab penuh dari orang tua. Apabila sang anak berbuat baik maka orangtuanya juga akan mendapat pahala, sebaliknya, bila anak durhaka maka orangtuanya juga akan menanggung sebagian dosanya. Pemahaman ini diyakini karena ada sebuah hadits yang menyatakan demikian. Benarkah hadits itu shahih adanya? Atau pernahkah kita mencoba menelusuri riwayat (para perawinya) hadits itu memang sudah selaras dengan ayat Al-Qur’an? Apa jadinya bila hadits bertentangan dengan Al-Qur’an?

            Ibarat sebuah hukum di suatu Negara, ambillah contoh yang lebih mudah, Indonesia. Hukum tertinggi di negeri ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi bila ada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau aturan-aturan lain yang berada di bawahnya bertentangan, maka secara hukum akan batal. Demikian pula dengan hadits. Rasulullah Muhammad SAW sendiri sebelum beliau wafat bersabda,

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah SAW”. (HR. Muslim)

            Dari sabda beliau di atas jelaslah sudah bahwa umat islam, pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat harus berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah beliau,  sehingga tidak akan tersesat dalam menjalani hidup ini. Selama ini umat islam sendiri memahami bahwa sunnah dan hadits adalah sama. Benarkah demikian? Sunnah adalah perilaku Rasulullah Muhammad SAW selama beliau hidup dan diteladani oleh para sahabatnya. Sunnah ini sendiri adalah produk dari kepahaman Rasulullah Muhammad SAW atas ayat tersurat maupun tersirat dari Al-Qur’an yang dwahyukan oleh Allah SWT dan diejawantahkan dalam perilaku beliau sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan istri beliau, Aisyah ra, Ketika Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia menjawab, "Akhlaknya adalah Al Qur'an." (HR. Abu Dawud dan Muslim).

            Bagaimana dengan hadits? Hadits adalah tulisan para sahabat atas apa-apa yang pernah diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tulisan ini pun muncul hampir 100 tahun lebih setelah Rasulullah SAW wafat. Para sahabat ini menulis hadits berdasarkan kredibilitas para perawinya yang diriwayatkan secara turun temurun.

            Jadi ada beda tipis antara sunnah dan hadits, terutama dari segi waktu. Maka tidaklah heran bila kita tidak hati-hati terhadap siapa periwayat (perawi) hadits, akan mudah terjebak pada hadits yang palsu atau meragukan. Dalam perkembangannya, banyak hadits palsu muncul, terutama saat terjadi konflik antara khalifah Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah. Hadits-hadits ini muncul sebagai bentuk provokasi dan intimidasi kepada sang khalifah untuk membela kepentingan kelompok mereka. Sebagian hadits-hadits palsu juga muncul dari orang-orang munafik yang ingin mengadu domba antar keduanya.

            Jadi sebenarnya mudah saja menilai sebuah hadits itu palsu atau tidak, yaitu apakah selaras dengan Al-Qur’an atau bertentangan. Kalau sesuai dengan Al-Qur’an maka hadits itu pastilah shahih, dan bila bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits itu palsu (otomatis gugur), karena hadits ditulis secara redaksional oleh manusia (ada kemungkinan salah menerima bunyi hadits itu atau sengaja dibuat salah oleh orang-orang munafik), sementara Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang menjaga dan memeliharanya. Jadi secara redaksional, Al-Qur’an pastilah benar.

            Oleh sebab itu, janganlah kita latah atau membalik-balik sesuatu hukum dalam beragama, artinya kita lebih mengutamakan hadits dalam berdakwah namun melupakan Al-Qur’an (sudah benar tidak isi hadits itu dengan Al-Qur’an). Idealnya, kita mengutip lebih dulu ayat Al-Qur’an, baru diterangkan atau diperkuat uraiannya dengan hadits, sehingga hadits tersebut selaras dengan bunyi Al-Qur’an.

            Kembali kepada topik permasalahan, benarkah ada dosa turunan atau orang tua menanggung dosa anaknya karena orang tua dianggap tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT? Tentu tidak. Hadits ini jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sebagaimana bunyi ayat berikut ini,

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Israa’ 17:15).

            Kalau kita melihat sejarah para nabi pun banyak pelajaran yang kita ambil. Ada anak nabi yang durhaka kepada ayahnya, ada istri nabi yang berkhianat, dan lain sebagainya (lihat artikel saya, Tugas Para Nabi). Itu mengapa dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang kedurhakaan Kan’an (anak nabi Nuh AS) kepada ayahnya. Nabi Nuh AS yang saat itu sedih karena anaknya tidak mau masuk islam dan tidak mau mendengar nasehatnya agar ikut ke kapal yang ditumpangi Nabi Nuh AS saat banjir air bah datang.

“Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)-nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Huud 11:46).

            Kata “dia (Kan’an) bukanlah termasuk keluargamu” bukanlah dimaknai secara biologis. Karena kalau dimaksud secara biologis tentu Kan’an adalah putra dari Nabi Nuh AS. Kata “keluarga” secara tersirat lebih mencerminkan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT terhadap Kan’an. Setiap manusia hakikinya telah ditetapkan takdirnya masing-masing oleh Allah SWT dan kita manusia tidak mampu merubah ketetapan Allah SWT itu. Mendapat peringatan itu, nabi Nuh AS pun tersadar. Dan nabi Nuh AS pun tidak menanggung dosa atas apa yang diperbuat anaknya yang bernama Kan’an.

            Jadi jelaslah sudah, bahwa dalam islam tidak ada dosa warisan atau seseorang menanggung dosa orang lain meskipun itu anaknya. Jadi kalau ada hadits yang mengatakan bahwa orang tua menanggung dosa anaknya karena tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT maka hadits itu perlu dipertanyakan ke-shahih-annya. Adapun makna dari anak adalah amanat dari Allah SWT adalah sebagai orang tua wajib mengarahkan anak, (misal menyekolahkan anak, mendidik sesuai dengan ajaran islam, menjaga hingga dewasa, dll). Itulah batas yang dimaksud dengan amanah, kita sebatas menemani dan mengarahkan, sebagaimana tugas para nabi yaitu sebatas menyampaikan wahyu Illahi, sedangkan datangnya petunjuk adalah hak prerogative Allah SWT.

Oleh sebab itu, ketika perilaku sang anak tidak sesuai yang kita harapkan (sholeh/sholehah), maka kondisi ini sudah masuk dalam wilayah takdir, dimana kehendak dan kuasa manusia tidak akan mampu mengubah kehendak dan kuasa Allah SWT yang telah ditetapkan pada diri setiap manusia. Realita menunjukkan, bahwa ada anak yang semasa kecil hingga dewasa/remaja durhaka, namun dimasa tua/dewasa justru mendapat hidayah Allah SWT. Demikian pula, ada yang semasa kecil/remaja akrab dengan ajaran agama, namun dimasa dewasa/tua justru banyak perilakunya yang menabrak hukum-hukum agama. Adapula anak yang sejak kecil, remaja, dewasa hingga tua tetap memegang teguh ajaran agama, tetapi adapula yang sejak kecil hingga tua tidak mengenal ajaran agama. Inilah “bunga-bunga” kehidupan sebagai bentuk realita takdir sehingga bumi masih berputar hingga saat ini.

            Semoga artikel ini bermanfaat, dan insya Allah mengenai masalah takdir (iman kepada takdir), akan saya uraikan panjang lebar dalam E-Book saya berikutnya.

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html      (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Jumat, 20 September 2013

ANTARA ALLAH DAN TUHAN (2)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Allah SWT Maha Adil, melalui Rasulullah Muhammad SAW, Allah SWT memberikan pengajaran bagaimana seharusnya umat islam berproses untuk mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya.

Setiap manusia diberikan potensi (perangkat) yang sama untuk mengenal siapa sejatinya Allah SWT itu. Adapun potensi yang diberikan ada lima, yaitu otak, jiwa, akal, hati dan ar-ruh. Ketika manusia dapat menyambungkan ke lima potensi ini menjadi satu kesatuan utuh (sistem Tuhan) maka ar-ruh akan berkuasa (menjadi nahkoda) atas perilaku manusia. Inilah satu-satunya potensi manusia yang pernah berjumpa dengan Allah SWT sebelum ar-ruh dihembuskan ke dalam tubuh bayi saat berumur 4 bulan dalam rahim ibu (QS. Al-‘A-raaf 7:172). Namun sayang, seiring dengan bertambahnya usia, ar-ruh tenggelam dalam pusaran nafsu dan hingar binger kehidupan yang bersifat duniawi, sehingga terbelenggu di dalamnya.

Kembali lagi mengenai 5 (lima) potensi manusia. Secara tersirat, Allah SWT pun telah memerintahkan agar manusia memanfaatkan lima potensi itu dalam beribadah, dzikrullah dan lain sebagainya agar kesadaran kita senantiasa focus (khusyu’) kepada Allah SWT.

“dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. Ar-Rad 13:21).

Ayat di atas selama ini hanya dipahami umat islam secara tekstual (tersurat) sebagai perintah (hanya sebatas) menjalin silaturahim antar manusia. Padahal maknanya tidak sesempit itu. Secara kontekstual (tersirat/takwil) maknanya lebih mendalam yaitu perintah untuk menyambungkan ke lima potensi manusia agar islam sebagai agama fitrah manusia berfungsi kembali sebagaimana kita sewaktu masih bayi yang terlahir dalam keadaan fitrah.

Tanpa mengfungsikan kelima potensi itu maka tidak mungkin manusia dapat berma’rifatullah (mengenal dan berjumpa Allah SWT). Ibarat sepeda motor baru dapat berfungsi dan bermanfaat ketika masing-masing bagian (spare part) digunakan secara bersamaan (dirangkai menjadi satu kesatuan utuh). Sepeda motor dapat berjalan ketika mesin, roda, accu, karburator, kerangka body, dan perangkat lainnya terangkai menjadi satu kesatuan utuh menjadi satu sistem yang saling mendukung. Tidak mungkin sepeda motor dapat berjalan kalau masing-masing perangkatnya terpisah. Demikian pula manusia tidak akan mampu meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam mengenal Allah SWT, paham Al-Qur’an dan lain sebagainya, kalau umatnya tidak mau meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dulu sewaktu di gua Hira’ dengan memanfaatkan kelima potensi ini.

Saat ini kebanyakan umat islam hanya melihat perilaku (sunnah) Rasulullah SAW berdasarkan out-putnya (hasilnya/Setelah diangkat menjadi Nabi) saja tentang apa yang dilakukan beliau, tetapi melupakan apa yang menjadi penyebab (input/proses/saat beliau ummi) sehingga Rasulullah SAW dapat berperilaku begitu mulia (akhlaqul kharimah). Padahal secara jelas dan terang, Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk melihat, mempelajari, memahami dan mengamalkan tentang apa yang ada dalam diri Rasulullah SAW sebagai manusia biasa sehingga menghasilkan budi pekerti luhur dan pada akhirnya beliau diberi derajat Nabi.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab 33:21).
           
Dari ayat di atas sangatlah jelas, kata “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah…” menunjukkan apa yang ada pada diri manusia untuk mengenal dan berjumpa Allah SWT dalam beribadah, sehingga umat islam diperintahkan untuk melihat potensi (otak, akal, jiwa, hati dan ar-ruh) apa yang diberikan Allah SWT pada diri Rasulullah SAW sebagai manusia biasa. Umat islam pun diberikan potensi yang sama dengan yang dimiliki beliau. Artinya, selaku manusia biasa, Rasulullah Muhammad SAW dan nabi lainnya juga telah diberikan lima perangkat untuk beribadah seperti otak (IQ), hati (EQ), an-nafs (jiwa), akal dan ar-Ruh (SQ). Beliau mampu memanfaatkan kelima potensi ini menjadi satu kesatuan sehingga out put yang dihasilkan adalah akhlaqul kharimah karena ar-ruh berkuasa atas diri beliau. Suri teladan (uswatun hasanah) ini yang seharusnya diamalkan dan diteladani umat islam untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Adapun yang membedakan antara umat dan Rasulullah Muhammad SAW adalah nur kenabian (nur nubuwah)/derajatnya.

“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ibrahim 14:11).

Berfungsinya ar-ruh ini tidak saja sebagai media untuk berjumpa dengan Allah SWT saat beribadah (Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’miniin~Sholat adalah mi’raj-nya orang mukmin), tetapi juga menyebabkan manusia memiliki akhlak yang mulia sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW sehingga  mendapat predikat uswatun hasanah.

Kondisi inilah yang sering tidak diperhatikan dan disadari oleh umat beliau, karena kebanyakan mereka lebih memperhatikan output (hasil/sunnah)-nya saja, tanpa menghiraukan input (proses-nya) untuk meraih akhlaqul karimah dan derajat tertinggi yaitu mukhlasin. Ibarat kita ingin membuat masakan yang enak, dan lezat, namun tidak pernah mengerti dan paham apa saja bahan bakunya, cara meracik bumbu, tahapan yang harus dilakukan untuk mengolahnya, kepada siapa harus belajar memasaknya, maka mustahil dapat menghasilkan makanan yang kita inginkan.

Allah SWT itu mempunyai sifat Adh-Dhahir (Nyata) dan Al-Bathin (Ghaib), kedua sifat ini tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan utuh. Kalaulah umat islam sendiri menggunakan perangkat yang tidak tepat (tidak meneladani Rasulullah Muhammad SAW) dalam beribadah dan riyadloh, tentulah tidak akan mungkin berjumpa dengan Allah SWT dan hanya berjumpa dengan Tuhan-Tuhan hasil rekayasanya, baik berupa persepsi huruf/tulisan Allah SWT maupun media-media tertentu. Padahal secara jelas dalam Al-Qur’an, (melalui pelaksanaan rukun islam yang tepat untuk dapat membuktikan rukun iman), puncaknya seorang hamba akan di-syahadat-kan (bukan hanya sebatas ucapan dibibir saja) dan diperkenalkan oleh Allah SWT sendiri, tentang siapa sejatinya Allah-nya manusia dan alam semesta.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. (QS. Al-Insyiqaaq 84:6).

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaha 20:14).
                       
                        Dari uraian ringkas dapat disimpulkan, bahwa bila wujud Allah SWT hanya dipersepsikan atau diimajinasikan, maka itu bukan sejatinya Dzatullah, tapi Tuhan-Tuhan buatan manusia sendiri melalui “rekayasa” file dalam otaknya karena tidak pernah meneladani cara berproses Rasulullah SAW, mulai dari ummi menjadi Nabi.

Adapun sejatinya Allah SWT adalah ketika manusia mampu memfungsikan ar-ruh (atas ijin Allah SWT) sehingga dapat berjumpa dengan Dzatullah yang didahului dengan proses dikenalkan melalui Asma, Sifat dan Af’al-Nya. Dan ini dapat dilakukan dengan meneladani apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW (cara ber-spiritual Rasulullah SAW dalam ber-ma’rifatullah). Inilah yang membedakan antara Allah SWT dan Tuhan.

            Lalu bagaimana memanfaatkan kelima potensi tersebut? Riyadloh apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW mulai dari ummi (sebelum diangkat menjadi nabi) sampai beliau diangkat menjadi nabi? Pengalaman dan tahapan spiritual apa saja yang diraih Rasulullah SAW sehingga mencapai maqam muhlasin? Pembahasan lebih jauh silahkan membeli E-Book saya dengan cara mendownload di bawah ini. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html     (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Selasa, 17 September 2013

ANTARA ALLAH DAN TUHAN (1)



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Trend cara beragama yang instan dewasa ini membuat hampir sebagian umat islam tergagap-gagap dalam meneladani bagaimana cara Rasulullah Muhammad SAW dapat khusyu’ dalam beribadah kepada Allah SWT dan mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya (haqqul yaqin). Ketidaktahuan dan ketidakpahaman cara mengenal Allah SWT membuat kita dalam beragama hanya menjalankan ibadah sebatas ritual, bahkan ada sebagian kecil yang menjurus seremonial. Padahal dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan sedetail-detailnya dan Rasulullah Muhammad SAW sudah memberikan contoh. Kita hanya perlu membuka kitabullah dan menjalankan apa-apa yang dicontohkan imam kita, yaitu Rasulullah SAW.

            Jadi janganlah heran kalau dewasa ini agama kehilangan ruh-nya, dan Allah SWT sebagai Tuhannya manusia dan alam semesta hanya dikenali secara setengah-setengah (tidak holistic). Bahkan saat ini hal-hal yang membahas tentang siapa sebenarnya Allah SWT itu dianggap tabu. Akibatnya, ketika menunaikan ibadah pun (karena tidak mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya) kita sering memfasilitasinya dengan menggunakan persepsi atau imajinasi dalam menilai “wujud” Allah SWT. Padahal persepsi atau imajinasi itu berada dalam wilayah otak, tragisnya lagi, otak kita tidak pernah menyimpan file tentang wujud Allah SWT. Pada akhirnya, dalam beribadah kita lebih sering “membayangkan” tulisan (asma), atau mencoba “berwasilah” melalui media atau gambar tertentu. Cara beribadah seperti ini tentulah belum tepat. Mengapa? Karena persepsi atau imajinasi tidak selalu sesuai dengan reality (kenyataan).

“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.  Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar 39:2-3).

Kondisi ini diperparah dengan doktrin bahwa  kita hanya dapat berjumpa dengan Allah SWT di akhirat kelak. Hanya para nabi/rasul yang dapat berjumpa Allah SWT saat hidup di dunia ini, sehingga mereka dapat berdialog, berkomunikasi, dan lain sebagainya. Kalau kesimpulannya demikian maka saya ingin bertanya,”Lalu saat anda shalat berjumpa dan menyembah siapa kalau tidak bertemu dengan yang disembah? Atau jangan-jangan dalam shalat anda justru yang muncul masalah-masalah ke-duniawi-an anda seperti pekerjaanku yang menumpuk, hutangku yang belum terbayar, anak-anak yang belum dijemput dari sekolah, dll. Kalau anda mengalami demikian bukankah saat anda shalat justru menyembah masalah, bukan menyembah Allah SWT? Apa ini tidak dinamakan syirik? Padahal perbuatan syirik (menyekutukan) Allah SWT adalah dosa yang tidak diampuni. Nah lho”. Coba perhatikan ayat berikut ini.

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”.(QS. An-Nisaa’ 4:116).

            Sholat adalah perjumpaan antara hamba dengan Allah SWT tanpa perantara siapa dan dalam bentuk apapun. Cara beribadah yang melalui persepsi atau imajinasi, dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai caraibadah berada di tepi. Mengapa? Karena cara ini tidak masuk dalam wilayah haqqul yaqin, sehingga mudah terombang-ambing dan sangat berbahaya. Maka tak heran, bila realita yang ada tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan (inginkan) maka kita gampang protes kepada Allah SWT, malah terkadang malas dalam beribadah. Demikian pula sebaliknya. Inilah cara beragama yang sejatinya tidak mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Sungguh ironis bukan?
             
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (QS. Al-Hajj 22:11).

Bersambung….

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU" http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang

Senin, 02 September 2013

ANTARA AYAT DAN KITAB


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selama ini dikalangan umat islam terjadi salah kaprah dalam memahami apa itu ayat dan kitabullah. Keduanya dianggap hal yang sama, padahal hakikinya berbeda maknanya. Kitabullah adalah himpunan dari ayat-ayat (tekstual) yang diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yang kemudian dihimpun menjadi bentuk “buku” (bahasa arab-nya kitab) seperti sekarang ini. Dalam literature islam, penghimpunan ayat-ayat ini menjadi kitab (buku) bukanlah dijaman Rasulullah SAW semasa hidup, tetapi atas inisiatif sahabat beliau yaitu Umar bin Khattab ra di masa pemerintahan Abu Bakar ra dan ayat-ayat tersebut selesai dibukukan pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan ra. Kitabullah adalah “terjemahan” wahyu menjadi bahasa manusia sehingga akan mudah dipahami umat beliau. Mengingat Rasulullah SAW adalah dari Mekah (Timur Tengah), maka isi Al-Qur’an dalam bentuk tekstual berupa bahasa arab.
           
Lalu bagaimana makna dari ayat? Ayat adalah bentuk pengajaran (atau lebih tepatnya pendidikan) Allah SWT berupa wahyu melalui bahasa qalam yang diterangkan Allah SWT melalui takwil-Nya. Orang-orang pilihan yang dididik Allah SWT akan langsung tahu, hafal dan paham (baik tersurat dan tersirat) ayat-ayat  tersebut dan caranya pun sama dengan Rasulullah SAW, yaitu dipahamkan secara bertahap selama masih hidup. Inilah yang dinamakan ayat (secara tekstual maupun kontekstual/tafsir). Setelah paham barulah sang penerima wahyu akan menguraikannya dalam bahasa manusia.

Demikianlah, Kami membacakannya kepada kamu sebagian ayat-ayat dan peringatan yang penuh hikmah".(QS. Ali-Imran 3:58)

Kalau kita cermati ayat di atas maka ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, bahwa mustahil Allah SWT berbincang-bincang (menurunkan wahyu) kepada utusan-Nya (manusia) dalam bentuk bahasa manusia. Sungguh teramat naif kalau kita memahami dan berpandangan demikian seperti ini.

Kedua, Kata “membaca” bukanlah dalam arti wahyu berupa bahasa arab. Hakikinya, Allah SWT mengajarkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW melalui wahyu dengan bahasa qalam dan diterangkan dengan takwil beserta ilmu pengetahuan-Nya. Setelah Rasulullah SAW paham dan hafal ayat tersebut atas bimbingan Jibril ra (tansil) barulah beliau menjabarkannya dalam bentuk kalimat berbahasa Arab, karena beliau berasal dari Mekah.

Wahyu adalah bahasa universal dan seluruh makhluk Allah SWT mendapat pengajaran melalui wahyu, tak terkecuali binatang sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an bahwa lebah-pun mendapat wahyu (pengajaran) untuk membuat rumahnya. Begitu sempurnanya cara pengajaran Allah SWT sehingga lebah dapat membangun rumahnya dalam bentuk heksagonal, memiliki ventilasi udara dengan presisi tinggi sehingga suhu didalamnya mendukung berkembang biak, memproduksi madu, dll. Rumah yang sederhana ini pun tahan terhadap terpaan angin, hujan dan terik matahari. Maha Sempurna Allah SWT sebagai guru (Al-Alim) bagi makhluk-makhluk-Nya.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (QS. An-Nahl 16:68).

            Artikel di atas adalah cuplikan dari E-Book kedua saya yang berjudul “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH”….

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html(silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
             
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang