DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label Surga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surga. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Oktober 2013

ADAKAH DOSA TURUNAN?


           
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Anak adalah amanat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Namun demikian terkadang kita salah menafsirkan kata amanat tersebut. Selama ini yang berkembang dan dipahami umat islam adalah apa yang dilakukan anak adalah tanggung jawab penuh dari orang tua. Apabila sang anak berbuat baik maka orangtuanya juga akan mendapat pahala, sebaliknya, bila anak durhaka maka orangtuanya juga akan menanggung sebagian dosanya. Pemahaman ini diyakini karena ada sebuah hadits yang menyatakan demikian. Benarkah hadits itu shahih adanya? Atau pernahkah kita mencoba menelusuri riwayat (para perawinya) hadits itu memang sudah selaras dengan ayat Al-Qur’an? Apa jadinya bila hadits bertentangan dengan Al-Qur’an?

            Ibarat sebuah hukum di suatu Negara, ambillah contoh yang lebih mudah, Indonesia. Hukum tertinggi di negeri ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi bila ada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau aturan-aturan lain yang berada di bawahnya bertentangan, maka secara hukum akan batal. Demikian pula dengan hadits. Rasulullah Muhammad SAW sendiri sebelum beliau wafat bersabda,

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah SAW”. (HR. Muslim)

            Dari sabda beliau di atas jelaslah sudah bahwa umat islam, pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat harus berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah beliau,  sehingga tidak akan tersesat dalam menjalani hidup ini. Selama ini umat islam sendiri memahami bahwa sunnah dan hadits adalah sama. Benarkah demikian? Sunnah adalah perilaku Rasulullah Muhammad SAW selama beliau hidup dan diteladani oleh para sahabatnya. Sunnah ini sendiri adalah produk dari kepahaman Rasulullah Muhammad SAW atas ayat tersurat maupun tersirat dari Al-Qur’an yang dwahyukan oleh Allah SWT dan diejawantahkan dalam perilaku beliau sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan istri beliau, Aisyah ra, Ketika Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia menjawab, "Akhlaknya adalah Al Qur'an." (HR. Abu Dawud dan Muslim).

            Bagaimana dengan hadits? Hadits adalah tulisan para sahabat atas apa-apa yang pernah diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tulisan ini pun muncul hampir 100 tahun lebih setelah Rasulullah SAW wafat. Para sahabat ini menulis hadits berdasarkan kredibilitas para perawinya yang diriwayatkan secara turun temurun.

            Jadi ada beda tipis antara sunnah dan hadits, terutama dari segi waktu. Maka tidaklah heran bila kita tidak hati-hati terhadap siapa periwayat (perawi) hadits, akan mudah terjebak pada hadits yang palsu atau meragukan. Dalam perkembangannya, banyak hadits palsu muncul, terutama saat terjadi konflik antara khalifah Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah. Hadits-hadits ini muncul sebagai bentuk provokasi dan intimidasi kepada sang khalifah untuk membela kepentingan kelompok mereka. Sebagian hadits-hadits palsu juga muncul dari orang-orang munafik yang ingin mengadu domba antar keduanya.

            Jadi sebenarnya mudah saja menilai sebuah hadits itu palsu atau tidak, yaitu apakah selaras dengan Al-Qur’an atau bertentangan. Kalau sesuai dengan Al-Qur’an maka hadits itu pastilah shahih, dan bila bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits itu palsu (otomatis gugur), karena hadits ditulis secara redaksional oleh manusia (ada kemungkinan salah menerima bunyi hadits itu atau sengaja dibuat salah oleh orang-orang munafik), sementara Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang menjaga dan memeliharanya. Jadi secara redaksional, Al-Qur’an pastilah benar.

            Oleh sebab itu, janganlah kita latah atau membalik-balik sesuatu hukum dalam beragama, artinya kita lebih mengutamakan hadits dalam berdakwah namun melupakan Al-Qur’an (sudah benar tidak isi hadits itu dengan Al-Qur’an). Idealnya, kita mengutip lebih dulu ayat Al-Qur’an, baru diterangkan atau diperkuat uraiannya dengan hadits, sehingga hadits tersebut selaras dengan bunyi Al-Qur’an.

            Kembali kepada topik permasalahan, benarkah ada dosa turunan atau orang tua menanggung dosa anaknya karena orang tua dianggap tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT? Tentu tidak. Hadits ini jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sebagaimana bunyi ayat berikut ini,

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Israa’ 17:15).

            Kalau kita melihat sejarah para nabi pun banyak pelajaran yang kita ambil. Ada anak nabi yang durhaka kepada ayahnya, ada istri nabi yang berkhianat, dan lain sebagainya (lihat artikel saya, Tugas Para Nabi). Itu mengapa dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang kedurhakaan Kan’an (anak nabi Nuh AS) kepada ayahnya. Nabi Nuh AS yang saat itu sedih karena anaknya tidak mau masuk islam dan tidak mau mendengar nasehatnya agar ikut ke kapal yang ditumpangi Nabi Nuh AS saat banjir air bah datang.

“Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)-nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Huud 11:46).

            Kata “dia (Kan’an) bukanlah termasuk keluargamu” bukanlah dimaknai secara biologis. Karena kalau dimaksud secara biologis tentu Kan’an adalah putra dari Nabi Nuh AS. Kata “keluarga” secara tersirat lebih mencerminkan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT terhadap Kan’an. Setiap manusia hakikinya telah ditetapkan takdirnya masing-masing oleh Allah SWT dan kita manusia tidak mampu merubah ketetapan Allah SWT itu. Mendapat peringatan itu, nabi Nuh AS pun tersadar. Dan nabi Nuh AS pun tidak menanggung dosa atas apa yang diperbuat anaknya yang bernama Kan’an.

            Jadi jelaslah sudah, bahwa dalam islam tidak ada dosa warisan atau seseorang menanggung dosa orang lain meskipun itu anaknya. Jadi kalau ada hadits yang mengatakan bahwa orang tua menanggung dosa anaknya karena tidak mampu menjalankan amanat Allah SWT maka hadits itu perlu dipertanyakan ke-shahih-annya. Adapun makna dari anak adalah amanat dari Allah SWT adalah sebagai orang tua wajib mengarahkan anak, (misal menyekolahkan anak, mendidik sesuai dengan ajaran islam, menjaga hingga dewasa, dll). Itulah batas yang dimaksud dengan amanah, kita sebatas menemani dan mengarahkan, sebagaimana tugas para nabi yaitu sebatas menyampaikan wahyu Illahi, sedangkan datangnya petunjuk adalah hak prerogative Allah SWT.

Oleh sebab itu, ketika perilaku sang anak tidak sesuai yang kita harapkan (sholeh/sholehah), maka kondisi ini sudah masuk dalam wilayah takdir, dimana kehendak dan kuasa manusia tidak akan mampu mengubah kehendak dan kuasa Allah SWT yang telah ditetapkan pada diri setiap manusia. Realita menunjukkan, bahwa ada anak yang semasa kecil hingga dewasa/remaja durhaka, namun dimasa tua/dewasa justru mendapat hidayah Allah SWT. Demikian pula, ada yang semasa kecil/remaja akrab dengan ajaran agama, namun dimasa dewasa/tua justru banyak perilakunya yang menabrak hukum-hukum agama. Adapula anak yang sejak kecil, remaja, dewasa hingga tua tetap memegang teguh ajaran agama, tetapi adapula yang sejak kecil hingga tua tidak mengenal ajaran agama. Inilah “bunga-bunga” kehidupan sebagai bentuk realita takdir sehingga bumi masih berputar hingga saat ini.

            Semoga artikel ini bermanfaat, dan insya Allah mengenai masalah takdir (iman kepada takdir), akan saya uraikan panjang lebar dalam E-Book saya berikutnya.

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan baca dan membeli E-Book saya dengan cara men-download. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan adalah :
  1. E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  2. E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html      (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
  3. E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).

Senantiasa ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!
            
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang


Selasa, 02 Juli 2013

APA SIH PAHALA ITU?


          
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

                      Ketika kita beribadah maka salah satu tujuannya adalah meraih pahala. Kata pahala sepertinya sudah menjadi sebuah rahasia umum dan seringkali kita dengar mulai sejak kecil hingga tua, saat hadir di majelis taklim maupun di pelajaran agama sekolah. Kebanyakan dari kita juga memahami bahwa pahala menjadi salah satu tolok ukur diri kita apakah masuk atau tidaknya di surga kelak.

                      Namun anehnya kalau kita ditanya apakah pahala itu? Rata-rata dari kita mengalami kebingungan. Pertanyaannya adalah apakah pahala itu mempunyai satuan (berat, liter, dll) layaknya sebuah barang/benda sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding dengan dosa sewaktu di akhirat nanti saat dihisab sekaligus menjadi dasar bahwa berat mana antara pahala dan dosa? Sepertinya pemakaian satuan tertentu kok rancu. Masak sih maksud dari yaumil hisab (hari perhitungan) antara dosa dan pahala ditimbang di neraca seperti yang kita pahami layaknya timbangan saat hidup di dunia ini? Mungkin pemikiran ini terjadi (bahkan sudah menjurus ke doktrin) karena rata-rata dari kita tidak paham Al-Qur’an atau jangan-jangan kita memang malas membuka Al-Qur’an dan men-tafakuri-nya. Katanya beriman kepada kitab, lha kok gak pernah membuka kitab. Apa jadinya kita hidup di dunia ini tanpa mempelajari dan memahami isi kandungan Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup, pastilah pemahaman ber-agama kita banyak yang salah kaprah. Kalau ini yang terjadi, maka jalan salahkan Allah SWT dong kalau dalam menjalani hidup ini seringkali kita tergagap-gagap (sedih, berduka cita, galau, gelisah, dll) setiap kali menghadapi masalah, musibah dan cobaan hidup.

                      Pertanyaan lainnya adalah kalau memang ibadah kita diterima Allah SWT dan mendapat pahala, apa sih tanda dan buktinya? Disini pula kita mengalami kebingungan untuk menjawabnya. Maka tidaklah mengherankan ketika kita ditanya mengenai hal ini, kita sering mengeles dengan mengatakan, “masalah pahala saya serahkan kepada Allah SWT”. Memang sih, surga, neraka, pahala, dosa, petunjuk, sesat, adalah hak prerogatif  Allah SWT, namun kok ya kebangetan kita ini. Mengapa? Lha kita menjalankan ibadah tapi anehnya kita tidak tahu apakah ibadah kita diterima atau tidak. Kita tidak tahu tanda dan buktinya. Ujung-ujungnya kita menjalan ibadah sebatas menggugurkan kewajiban sehingga tidak berdosa dan tidak masuk neraka.

                      Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda bahwa dunia adalah ladang akhirat. Artinya, apa yang kita kerjakan di dunia sudah mencerminkan kondisi kita nanti di akhirat kelak. Ibarat seorang petani ketika menaman padi, maka apa yang dikerjakan sudah diketahui hasilnya. Pengolahan tanah yang benar, bibit yang unggul, irigasi yang bagus, pemupukan dan pengobatan yang sesuai aturan, pastilah akan menjadikan tanaman padi tumbuh subur dan hasilnya baik. Hingga nanti sampai waktu yang telah ditentukan, maka si petani akan menikmati hasil panennya.

                      Demikian pula dalam kita beribadah di dunia ini, maka tidak atau diterimanya ibadah kita (ada pahala) seharusnya kita yang menjalankan sudah tahu tanda dan buktinya. Lalu apa tanda dan buktinya bahwa ibadah kita mendapat pahala? Mari kita buka Al-Qur’an supaya tidak salah jalan dan membabi buta (salah kaprah) dalam beragama.

                Tanda dan bukti bahwa ibadah kita mendapat pahala adalah berupa nikmat iman dan nikmat islam (nur iman dan nur islam). Inilah tanda dan bukti seseorang diterima ibadahnya dan mendapatkan nur (cahaya) sehingga dalam hidupnya senantiasa mendapat bimbingan, tuntunan dan petunjuk dari Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat berikut ini.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az-Zumar 39:22).

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (QS. An-Nur 24:40)

                  Manusia yang telah mendapat nur iman dan islam maka hidupnya tidak akan pernah sedih, berduka cita, galau dan gelisah ketika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan keinginannya (nafsunya). Manusia jenis ini juga tidak pernah berlebih–lebihan ketika mendapat nikmat. Semua disyukuri dan kesadarannya senantiasa hanya tertuju kepada Allah SWT karena apa-apa yang diterimanya semua berasal dari Allah SWT. Inilah tanda dan bukti bahwa dalam beragama dan menjalankan ibadah kita mendapat pahala berupa nur iman dan nur islam.

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah 2:112).

             Nur iman dan nur islam yang kita terima di dunia ini adalah sebagai tolok ukur kehidupan kita di akhirat kelak yaitu apakah kita masuk surga atau neraka. Nur (cahaya) inilah sebagai “neraca” di hari perhitungan (yaumil hisab). Keberadaan nur ini akan nampak begitu kita dihidupkan lagi oleh Allah SWT setelah kiamat kubra terjadi.

“pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya”. (QS. Ali Imran 3:106-107).

                    Lalu bagaimana cara kita meraih nur iman dan nur islam? Jawabannya dapat anda temukan  dengan cara men-download di E-BOOK pertama saya yang berjudul MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH (silahkan klik judul di samping yang berwarna merah dan silahkan baca syarat dan ketentuan untuk mendapatkan E-BOOK tersebut). Anda juga dapat mendownload E-BOOK kedua saya yang berjudul MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH(silahkan klik judul di samping yang berwarna merah dan silahkan baca syarat dan ketentuan untuk mendapatkan E-BOOK tersebut). Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal’alamiin.

Tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang