ORANG BERHIDMAT, REZEKI DATANG SENDIRI
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimulikan dan dicintai Allah SWT.
Memburu rezeki, sudah barang tentu menjadikan seseorang sibuk. Karena kesibukannya mencari rezeki, membuatnya mengabaikan (lupa) pada sumber rezeki, yaitu Allah swt. Rezeki setiap hamba sudah ditentukan dan diatur sedemikian rupa pemberiannya. Sudah tercatat di Lauhul Mahfudh bersama umur dan jodoh. Rezeki tidak bisa berkurang dan bertambah. Karenannya, tidak bisa diburu. Ia tidak akan lari. Apabila sudah waktunya, rezeki akan datang sendiri.
Manusia dan jin diciptakan oleh Tuhan untuk berhidmat. Melayani Tuhan. Bukan untuk mencari rezeki. Orang yang beribadah dengan berserah diri sepenuhnya, maka rezeki menjadi tanggungan Allah.
Menurut para ulama ada dua hal yang tertulis di Lauhul Mahfudh, yaitu satu bagian tertulis secara mutlak, tanpa syarat dan tanpa menggantungkannya dengan pekerjaan hamba, yakni rezeki dan ajal. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran yang artinya: “Semua hewan yang melata di bumi itu, rezekinya menjadi tanggungan Allah.” Dan apabila ajal telah datang, maka mereka tidak bisa mengundurkan sesuatu pun dan tidak dapat memajukan.”
Sedangkan satu bagian lain yang tertulis dengan syarat, digantungkan dan disyaratkan dengan pekerjaan hamba, yaitu pahala dan siksa. Pahala dan siksa disebut oleh Allah dalam Alquran dalam keadaan digantungkan dengan syarat pekerjaan hamba.
Inilah perbedaan antara rezeki dan ajal dengan pahala dan siksa, memang sudah tertulis di Lauhil Mahfudh. Tetapi, perbedaannya sudah jelas. Pahala atau siksa akan diperoleh berdasarkan pekerjaan manusia di dunia. Amal ibadah imbalannya pahala kenikmatan, dan siksa akan diperoleh sebagai imbalan kemungkaran dan kejahatan atau perilaku buruk lainnya.
Sejak zaman kuno klasik, sudah timbul pertanyaan, “Kita melihat orang-orang yang mencari rezeki pada menemukan banyak rezeki dan harta, sedangkan orang–orang yang tidak mau mencari tidak mempunyai apa-apa dan fakir.”
Menemui pertanyaan seperti ini, Al Ghazali menjawab: “Seakan-akan anda tidak pernah melihat orang yang rajin bekerja tapi fakir. Seolah-olah anda tidak pernah melihat orang yang tidak bekerja dan nganggur, tetapi mendapatkan rezeki dan kaya. Ini semua fakta, bahkan hal semacam inilah yang terjadi, supaya dimengerti bahwa yang demikian itu merupakan ketentuan Allah Yang Maha Menang lagi Maha Mengetahui, serta pengaturan Allah yang Merajai lagi Bijaksana.
Abu Bakr Muhammad bin Sabiq Ash-Shiqieliy mendendangkan syair yang artinya: “Banyak sekali orang kuat yang rajin mondar-mandir (mencari rezeki), lagi pula jernih pendapatanya, tetapi rezeki Allah berpaling darinya. Sebaliknya banyak pula orang lemah enggan mondar-mandir, namun seolah-olah ia tinggal menciduk saja rezeki dari tepi laut. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai rahasia yang samar dikalangan makhluknya, yang tidak bisa terbuka.”
Mengenai rezeki akan datang sendiri, Rasulullah SAW. Pernah didatangi seorang pengemis. Beliau pun bersabda: “Ambilah kurma ini! Seandainya engkau tidak datang, kurma ini pasti datang kepadamu.”
Hal ini juga tidak asing bagi kita. Tidak sedikit orang alim dan ahli hikmah, nyaris tidak pernah samasekali bekerja. Namun Allah mencukupi kebutuhan hidupnya. Entah melalui orang-orang yang mendatanginya, lalu menyerahkan sesuatu baik barang maupun uang dengan maksud minta didoakan. Tidak sedikit orang alim mampu melaksanakan ibadah haji beberapa kali, padahal dia tidak bekerja. Semata-mata berharap rezeki dari Allah.
Mengenai pahala dan siksa, dulu juga banyak yang menanyakan, apakah pahala dapat bertambah karena mencari, atau berkurang sebab meninggalkannya? Yang perlu diketahui adalah mencari pahala itu wajib, karena Allah memerintahkannya dan mengancam kalau meninggalkannya. Lagi pula Allah tidak menanggung pahala orang yang tidak taat. Sedangkan tambahan pahala dan siksa itu disebabkan pekerjaan hamba.
Yang menjadi persoalan dalam mengarungi samudra spiritual berjalan menuju surga, apakah perlu membawa bekal atau tidak berbekal, dalam arti bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Dalam hal ini, para alim berpendapat bahwa membawa bekal dalam beribadah itu boleh-boleh saja. Sebab, boleh jadi bekal itu merupakan rezekinya sebagai penegak dirinya. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah hatinya. Hati tidak boleh terpancang pada bekal yang dibawanya. Tetapi harus terpancang hanya kepada Allah.
Membawa bekal itu tidak haram, boleh. Yang haram adalah terpancangnya hati kepada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah. Terpancangnya rezeki di hati itulah kenyataan hambatan dalam ‘Aqobatul Awaridh (tanjakan) tajam ini yang dimaksudkan Al Ghazali.
Tampaknya sangat remeh. Tetapi sungguh sangat berat. Betapa tidak! Pada tanjakan ini yang diuji adalah hati. Timbulnya gerak hati disebabkan rasa khawatir. Khawatir mati kelaparan dan kehausan jika tidak memiliki bekal. Khawatir jatuh sakit, khawatir ini dan itu, dan sebagainya. Di jalan ini rasa was-was hati harus dihilangkan. Caranya adalah isi hati dengan asma Allah dan pasrahkan sepenuhnya kepada Allah segala sesuatunya (tawakal).
Jika sudah memiliki rasa pasrah, maka pada gilirannya akan merasakan hubungan antara diri pribadi dengan Allah. Merasa jiwa mengambang, lepas terpisah dengan dimensi dunia. Kita akan sadar dalam perenungan, bahwa hubungan manusia dengan dunia (mencari harta) adalah urusan pribadi, sama sekali tidak berhubungan dengan dimensi Ketuhanan. Alangkah indahnya, alangkah nikmatnya apabila terus menerus bisa demikian. Nantinya kita akan merasakan tidak butuh berhubungan dengan sesama manusia yang sibuk dengan dunia. Pada gilirannya juga merasa berat untuk berkata-kata yang tidak berarti. Karena banyak kata akan membuat keseleo, dan sangat tidak bermanfaat.
Demikian sumbangsih kami, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimulikan dan dicintai Allah SWT.
Memburu rezeki, sudah barang tentu menjadikan seseorang sibuk. Karena kesibukannya mencari rezeki, membuatnya mengabaikan (lupa) pada sumber rezeki, yaitu Allah swt. Rezeki setiap hamba sudah ditentukan dan diatur sedemikian rupa pemberiannya. Sudah tercatat di Lauhul Mahfudh bersama umur dan jodoh. Rezeki tidak bisa berkurang dan bertambah. Karenannya, tidak bisa diburu. Ia tidak akan lari. Apabila sudah waktunya, rezeki akan datang sendiri.
Manusia dan jin diciptakan oleh Tuhan untuk berhidmat. Melayani Tuhan. Bukan untuk mencari rezeki. Orang yang beribadah dengan berserah diri sepenuhnya, maka rezeki menjadi tanggungan Allah.
Menurut para ulama ada dua hal yang tertulis di Lauhul Mahfudh, yaitu satu bagian tertulis secara mutlak, tanpa syarat dan tanpa menggantungkannya dengan pekerjaan hamba, yakni rezeki dan ajal. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran yang artinya: “Semua hewan yang melata di bumi itu, rezekinya menjadi tanggungan Allah.” Dan apabila ajal telah datang, maka mereka tidak bisa mengundurkan sesuatu pun dan tidak dapat memajukan.”
Sedangkan satu bagian lain yang tertulis dengan syarat, digantungkan dan disyaratkan dengan pekerjaan hamba, yaitu pahala dan siksa. Pahala dan siksa disebut oleh Allah dalam Alquran dalam keadaan digantungkan dengan syarat pekerjaan hamba.
Inilah perbedaan antara rezeki dan ajal dengan pahala dan siksa, memang sudah tertulis di Lauhil Mahfudh. Tetapi, perbedaannya sudah jelas. Pahala atau siksa akan diperoleh berdasarkan pekerjaan manusia di dunia. Amal ibadah imbalannya pahala kenikmatan, dan siksa akan diperoleh sebagai imbalan kemungkaran dan kejahatan atau perilaku buruk lainnya.
Sejak zaman kuno klasik, sudah timbul pertanyaan, “Kita melihat orang-orang yang mencari rezeki pada menemukan banyak rezeki dan harta, sedangkan orang–orang yang tidak mau mencari tidak mempunyai apa-apa dan fakir.”
Menemui pertanyaan seperti ini, Al Ghazali menjawab: “Seakan-akan anda tidak pernah melihat orang yang rajin bekerja tapi fakir. Seolah-olah anda tidak pernah melihat orang yang tidak bekerja dan nganggur, tetapi mendapatkan rezeki dan kaya. Ini semua fakta, bahkan hal semacam inilah yang terjadi, supaya dimengerti bahwa yang demikian itu merupakan ketentuan Allah Yang Maha Menang lagi Maha Mengetahui, serta pengaturan Allah yang Merajai lagi Bijaksana.
Abu Bakr Muhammad bin Sabiq Ash-Shiqieliy mendendangkan syair yang artinya: “Banyak sekali orang kuat yang rajin mondar-mandir (mencari rezeki), lagi pula jernih pendapatanya, tetapi rezeki Allah berpaling darinya. Sebaliknya banyak pula orang lemah enggan mondar-mandir, namun seolah-olah ia tinggal menciduk saja rezeki dari tepi laut. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai rahasia yang samar dikalangan makhluknya, yang tidak bisa terbuka.”
Mengenai rezeki akan datang sendiri, Rasulullah SAW. Pernah didatangi seorang pengemis. Beliau pun bersabda: “Ambilah kurma ini! Seandainya engkau tidak datang, kurma ini pasti datang kepadamu.”
Hal ini juga tidak asing bagi kita. Tidak sedikit orang alim dan ahli hikmah, nyaris tidak pernah samasekali bekerja. Namun Allah mencukupi kebutuhan hidupnya. Entah melalui orang-orang yang mendatanginya, lalu menyerahkan sesuatu baik barang maupun uang dengan maksud minta didoakan. Tidak sedikit orang alim mampu melaksanakan ibadah haji beberapa kali, padahal dia tidak bekerja. Semata-mata berharap rezeki dari Allah.
Mengenai pahala dan siksa, dulu juga banyak yang menanyakan, apakah pahala dapat bertambah karena mencari, atau berkurang sebab meninggalkannya? Yang perlu diketahui adalah mencari pahala itu wajib, karena Allah memerintahkannya dan mengancam kalau meninggalkannya. Lagi pula Allah tidak menanggung pahala orang yang tidak taat. Sedangkan tambahan pahala dan siksa itu disebabkan pekerjaan hamba.
Yang menjadi persoalan dalam mengarungi samudra spiritual berjalan menuju surga, apakah perlu membawa bekal atau tidak berbekal, dalam arti bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Dalam hal ini, para alim berpendapat bahwa membawa bekal dalam beribadah itu boleh-boleh saja. Sebab, boleh jadi bekal itu merupakan rezekinya sebagai penegak dirinya. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah hatinya. Hati tidak boleh terpancang pada bekal yang dibawanya. Tetapi harus terpancang hanya kepada Allah.
Membawa bekal itu tidak haram, boleh. Yang haram adalah terpancangnya hati kepada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah. Terpancangnya rezeki di hati itulah kenyataan hambatan dalam ‘Aqobatul Awaridh (tanjakan) tajam ini yang dimaksudkan Al Ghazali.
Tampaknya sangat remeh. Tetapi sungguh sangat berat. Betapa tidak! Pada tanjakan ini yang diuji adalah hati. Timbulnya gerak hati disebabkan rasa khawatir. Khawatir mati kelaparan dan kehausan jika tidak memiliki bekal. Khawatir jatuh sakit, khawatir ini dan itu, dan sebagainya. Di jalan ini rasa was-was hati harus dihilangkan. Caranya adalah isi hati dengan asma Allah dan pasrahkan sepenuhnya kepada Allah segala sesuatunya (tawakal).
Jika sudah memiliki rasa pasrah, maka pada gilirannya akan merasakan hubungan antara diri pribadi dengan Allah. Merasa jiwa mengambang, lepas terpisah dengan dimensi dunia. Kita akan sadar dalam perenungan, bahwa hubungan manusia dengan dunia (mencari harta) adalah urusan pribadi, sama sekali tidak berhubungan dengan dimensi Ketuhanan. Alangkah indahnya, alangkah nikmatnya apabila terus menerus bisa demikian. Nantinya kita akan merasakan tidak butuh berhubungan dengan sesama manusia yang sibuk dengan dunia. Pada gilirannya juga merasa berat untuk berkata-kata yang tidak berarti. Karena banyak kata akan membuat keseleo, dan sangat tidak bermanfaat.
Demikian sumbangsih kami, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar