HAKIKAT ISRA' MI'RAJ BAGI UMAT ISLAM (Bagian 2)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
2. Shalat, Wahyu Tanpa Jibril
Ketika mendekati Sidratul Muntaha, malaikat Jibril menghentikan langkahnya dan menyuruh Rasulullah SAW meneruskan perjalanannya sendiri. Jibril berkata kalau Dia memaksakan diri mendampingi dan mendekati Sidratul Muntaha maka Dia akan hancur. Inilah satu-satunya wahyu atau perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa perantara malaikat Jibril, yaitu wahyu mengenai shalat fardhu.
Makanya shalat merupakan ibadah spesial bagi umat Islam. Bahkan shalat inilah yang menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya amal ibadah kita yang lain, sebagaimana dalam hadits Nabi SAW berikut ini:
“Amal yang pertama-tama ditanyakan Allah SWT kepada hamba-Nya di hari kiamat nanti ialah amalan shalat. Bila shalatnya dapat diterima, maka akan diterima seluruh amalnya. Dan bila shalatnya ditolak maka akan tertolak pula seluruh amalnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At Thabrani).
Maka tidaklah mengherankan bila Allah SWT serius menilai kualitas shalat setiap hamba-Nya seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar) sampai kamu mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. An-Nissa 4 : 43)
“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat ,yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. (QS. Al-Ma’un 107 : 4-5)
Dalam shalat inilah kadar ketauhidan umat Islam diuji, apakah benar-benar Allah SWT yang dituju atau masih memikirkan hal lain selain Allah SWT ketika shalat. Karena hakikat shalat adalah penyerahan diri secara total kepada Allah SWT atas ketidakberdayaan manusia. Makanya shalat juga sebagai media seorang hamba untuk berdialog, berkomunikasi dan mengadukan permasalahan seorang hamba kepada Rabb-nya.
“ Apabila salah satu diantara kalian mempunyai urusan (persoalan) maka shalatlah 2 rakaat diluar shalat fardhu (shalat sunnah)..” (HR. Bukhari dan lainnya dalam kitab Muhtaruh Sahih wal Hassan hlm. 124).
Mengapa Nabi SAW diberi “oleh-oleh” Allah SWT untuk mengerjakan shalat? Makna apa dibalik perintah itu? Karena shalatlah kado spesial tidak hanya untuk Nabi SAW tetapi juga umat Islam. Kenapa? Disaat umat Islam melakukan aktivitas shalat maka kita akan “bertemu” dengan Allah SWT sebagaimana yang dialami Nabi SAW ketika Mi’raj. Bahkan untuk meyakinkan umatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’minin (Shalat itu Mi’raj-nya orang mukmin)”.
Jadi umat Islam-pun sebenarnya dapat Mi’raj! Lalu bagaimana caranya supaya kita dapat Mi’raj dan misteri apakah antara shalat dengan peristiwa Isra’ Mi’raj? Mari kita bahas secara singkat, dan sederhana semoga kita dapat mengambil pelajaran.
3. Hakikat Isra’ Mi’raj
Dalam salah satu kajian dan pertemuan di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang seorang sahabat kami melontarkan pertanyaan yang cerdas, yaitu mengapa Nabi SAW ketika melakukan Isra’ Mi’raj harus dari Al-Masjidil Haram menuju Al-Masjidil Aqsha baru kemudian ke Shidratul Muntaha? Bukankah bisa dari Al-Masjidil Haram langsung ke Shidratul Muntaha? Ada misteri apakah dibalik peristiwa itu? Dan apa makna serta hakikatnya?
Makna Pertama
Sebelum membahas lebih lanjut, saya petikan standarisasi shalat yang diterima Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ “. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya. (QS. Al-Mu’minun 23:1-2)
Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya pastilah dia mengalami suasana Mi’raj dan selalu ingin berlama-lama dalam aktivitas shalatnya, karena dia “bertemu” dengan Allah SWT.
Rasa khusyu’ ini didapat ketika antara otak kanan (spiritual) dan kiri (logika) kita mengalami keseimbangan (zero mind). Ketika ini tercapai maka ketenangan akan mengalir atau turun ke hati. Apabila hati telah tenang maka anda akan merasakan Ar-Ruh akan melesat terbang menuju Ar-Rabb. Karena Ar-ruh adalah suci, inilah media kita untuk ber-Mi’raj kepada Allah SWT . Inilah gambaran mengapa Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Al-Masjidil Haram harus ke Al-Masjidil Aqsha terlebih dahulu, baru kemudian ke Mustawa (langit ke sepuluh).
Janganlah anda mempunyai persepsi bahwa yang bisa khusyu’ hanya para Rasul, Nabi, para Sahabat dan Waliyullah. Kalau khusyu’ hanya diperuntukan untuk mereka mengapa Allah SWT memerintahkan umat Islam shalat? Mungkin hanya derajat ke-khusyu’-kan saja yang membedakan.
“Hai manusia, sesungguhnya (jika) kamu telah bersungguh-sungguh (yakin) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu menemui-Nya..... (QS. Al-Insyiqaq 84 : 6)
Makna Kedua
Mengacu pada QS. Al-Israa 17 : 1, maka bagi para pecinta Allah SWT umumnya mencari pengajaran, petunjuk (rahmat) dan ridha-Nya di malam hari. Mengapa? sebagai mana Rosululloh SAW ketika Isra' Mi'raj yang mana perjalanan yang ditempuh malam, selain itu malam hari yang sunyi, sepi dan hening identik dengan "uzlah" di dalam keramaian disaat kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya. Hamba Allah yang hidup di tengah masyarakat, memanfaatkan malam hari yang sunyi, sepi dan hening untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT baik melalui shalat sunnah (tahajud, witir, tobat, dll) dan berdzikir.
Wallahualam bi shawab
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
2. Shalat, Wahyu Tanpa Jibril
Ketika mendekati Sidratul Muntaha, malaikat Jibril menghentikan langkahnya dan menyuruh Rasulullah SAW meneruskan perjalanannya sendiri. Jibril berkata kalau Dia memaksakan diri mendampingi dan mendekati Sidratul Muntaha maka Dia akan hancur. Inilah satu-satunya wahyu atau perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa perantara malaikat Jibril, yaitu wahyu mengenai shalat fardhu.
Makanya shalat merupakan ibadah spesial bagi umat Islam. Bahkan shalat inilah yang menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya amal ibadah kita yang lain, sebagaimana dalam hadits Nabi SAW berikut ini:
“Amal yang pertama-tama ditanyakan Allah SWT kepada hamba-Nya di hari kiamat nanti ialah amalan shalat. Bila shalatnya dapat diterima, maka akan diterima seluruh amalnya. Dan bila shalatnya ditolak maka akan tertolak pula seluruh amalnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At Thabrani).
Maka tidaklah mengherankan bila Allah SWT serius menilai kualitas shalat setiap hamba-Nya seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar) sampai kamu mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. An-Nissa 4 : 43)
“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat ,yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. (QS. Al-Ma’un 107 : 4-5)
Dalam shalat inilah kadar ketauhidan umat Islam diuji, apakah benar-benar Allah SWT yang dituju atau masih memikirkan hal lain selain Allah SWT ketika shalat. Karena hakikat shalat adalah penyerahan diri secara total kepada Allah SWT atas ketidakberdayaan manusia. Makanya shalat juga sebagai media seorang hamba untuk berdialog, berkomunikasi dan mengadukan permasalahan seorang hamba kepada Rabb-nya.
“ Apabila salah satu diantara kalian mempunyai urusan (persoalan) maka shalatlah 2 rakaat diluar shalat fardhu (shalat sunnah)..” (HR. Bukhari dan lainnya dalam kitab Muhtaruh Sahih wal Hassan hlm. 124).
Mengapa Nabi SAW diberi “oleh-oleh” Allah SWT untuk mengerjakan shalat? Makna apa dibalik perintah itu? Karena shalatlah kado spesial tidak hanya untuk Nabi SAW tetapi juga umat Islam. Kenapa? Disaat umat Islam melakukan aktivitas shalat maka kita akan “bertemu” dengan Allah SWT sebagaimana yang dialami Nabi SAW ketika Mi’raj. Bahkan untuk meyakinkan umatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’minin (Shalat itu Mi’raj-nya orang mukmin)”.
Jadi umat Islam-pun sebenarnya dapat Mi’raj! Lalu bagaimana caranya supaya kita dapat Mi’raj dan misteri apakah antara shalat dengan peristiwa Isra’ Mi’raj? Mari kita bahas secara singkat, dan sederhana semoga kita dapat mengambil pelajaran.
3. Hakikat Isra’ Mi’raj
Dalam salah satu kajian dan pertemuan di Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang seorang sahabat kami melontarkan pertanyaan yang cerdas, yaitu mengapa Nabi SAW ketika melakukan Isra’ Mi’raj harus dari Al-Masjidil Haram menuju Al-Masjidil Aqsha baru kemudian ke Shidratul Muntaha? Bukankah bisa dari Al-Masjidil Haram langsung ke Shidratul Muntaha? Ada misteri apakah dibalik peristiwa itu? Dan apa makna serta hakikatnya?
Makna Pertama
Sebelum membahas lebih lanjut, saya petikan standarisasi shalat yang diterima Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ “. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya. (QS. Al-Mu’minun 23:1-2)
Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya pastilah dia mengalami suasana Mi’raj dan selalu ingin berlama-lama dalam aktivitas shalatnya, karena dia “bertemu” dengan Allah SWT.
Rasa khusyu’ ini didapat ketika antara otak kanan (spiritual) dan kiri (logika) kita mengalami keseimbangan (zero mind). Ketika ini tercapai maka ketenangan akan mengalir atau turun ke hati. Apabila hati telah tenang maka anda akan merasakan Ar-Ruh akan melesat terbang menuju Ar-Rabb. Karena Ar-ruh adalah suci, inilah media kita untuk ber-Mi’raj kepada Allah SWT . Inilah gambaran mengapa Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Al-Masjidil Haram harus ke Al-Masjidil Aqsha terlebih dahulu, baru kemudian ke Mustawa (langit ke sepuluh).
Janganlah anda mempunyai persepsi bahwa yang bisa khusyu’ hanya para Rasul, Nabi, para Sahabat dan Waliyullah. Kalau khusyu’ hanya diperuntukan untuk mereka mengapa Allah SWT memerintahkan umat Islam shalat? Mungkin hanya derajat ke-khusyu’-kan saja yang membedakan.
“Hai manusia, sesungguhnya (jika) kamu telah bersungguh-sungguh (yakin) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu menemui-Nya..... (QS. Al-Insyiqaq 84 : 6)
Makna Kedua
Mengacu pada QS. Al-Israa 17 : 1, maka bagi para pecinta Allah SWT umumnya mencari pengajaran, petunjuk (rahmat) dan ridha-Nya di malam hari. Mengapa? sebagai mana Rosululloh SAW ketika Isra' Mi'raj yang mana perjalanan yang ditempuh malam, selain itu malam hari yang sunyi, sepi dan hening identik dengan "uzlah" di dalam keramaian disaat kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya. Hamba Allah yang hidup di tengah masyarakat, memanfaatkan malam hari yang sunyi, sepi dan hening untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT baik melalui shalat sunnah (tahajud, witir, tobat, dll) dan berdzikir.
Wallahualam bi shawab
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar