TAFAKUR,KONSEP ISLAM MENUJU TUHAN (16)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
16. MUKASYAFAH, TERSINGKAPNYA CAHAYA HATI
Seorang muttaqin yang telah terbuka tirai mata hatinya disebut kasyaf. Berasal dari kata mukasyafah, terbuka tirainya. Mukasyafah ada dua macam yaitu, mukasyafah Rububiyah dan Mukasyafah Ghaibiyah. Keduanya tentang kegaiban, tetapi maknanya yang berbeda. Mukasyafah Rububiyah terbukanya tirai Ketuhanan, sedangkan mukasyafah Ghaibiyah terbukanya tirai kegaiban.
Sebelum membahas mukasyafah Ketuhanan, terlebih dulu kita menyinggung mukasyafah Keghaiban. Sebab berdasarkan kenyataan yang sering terjadi pada umumnya ada hubungannya dengan ‘bakat’ seseorang. Biasanya, sebelumnya terlebih dulu melakukan latihan-latihan tertentu yang didukung oleh bakatnya, sehingga ia mampu melihat hal-hal yang ghaib. Lazimnya disebut tembus pandang.
Mereka yang memiliki kemampuan pandangan tembus, mampu melihat benda yang berada pada tempat yang jauh, tertutup atau gelap, atau mampu melihat peristiwa yang akan atau sedang terjadi disuatu tempat yang jauh. Orang yang memiliki kemampuan demikian ini biasa terjadi. Malahan bisa terdapat pada orang yang sama sekali buta terhadap Tuhan, bahkan mungkin anak-anak dibawah umur. Dalam hal ini dikenal dengan istilah ‘khariqul lil adat’ (luar biasa).
Hal tersebut berbeda sekali dengan mukasyafah Ketuhanan. Sebab mukasyafah Ketuhanan merupakan karunia dan rahmat dari Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan Mukasyafah Kegaiban, bisa saja sebagai cobaan, dan bisa lenyap. Sedangkan Mukasyafah Ketuhanan sifatnya kekal.
Yang kita harapkan adalah limpahan rahmat, kemantapan batin dalam iman dan istiqamah, tekun, dalam sifat kehambaan, dapat melaksanakan perintah-Nya, serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Nur Hati
Di dalam Sirajut Tholibin disebutkan, “Ilmu Mukasyafah adalah nur yang menyatu di dalam ketika dilakukan pembersihannya, maka tampaklah di dalam hati itu pengertian-pengertian yang menyeluruh merupakan hasil Makrifatullah Taala, makrifat kepada Asma-Nya, makrifat kepada Sifat-Nya, makrifat kepada Af’al-Nya, dan terbukalah segala tutupan, dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi…”.
Di dalam kitab Ihya’, rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu dzuqy (perasaan) yang terbuka cerah, di dapat dari Musyahadah tanpa dalil dan keterangan.
Maksudnya perintah menyembunyikan apa yang didapat dalam saat terbuka tirai (mukasyafah), apakah itu berupa pengertian-pengertian atau hal-hal gaib lainnya. Sebab, peristiwa yang dialaminya adalah suatu keadaan yang bersifat individu, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah, berfungsi sebagai suatu ‘rahasia tersembunyi’ yang hanya diketahui antara si penemu dengan Allah Aza Wa Jalla.
Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas, besar kemungkinan mendatangkan fitnah, tuduhan negatif, atau bisa menimbulkan perasaan ujub (merasa hebat sendiri) yang akibatnya bisa menghancurkan nilai-nilai penemuan. “Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Mukasyafah itu adalah kepada/dengan Allah ‘Azza Wa Jalla yang menunjukkan suatu pemberian terhadap orang yang Musyahadah dengan ketauhidan yang dimilikinya, berdasar ilmu yakin, iman, dan ilmu makrifat. Ilmu Mukasyafah adalah puncak segala ilmu dan kesana pulalah titik akhir cita-cita orang yang ‘Arif. Tidak ada lagi batas pandang sesudah itu.
Rahasia GAIB
Dari segi lughowi (bahasa) Mukasyafah adalah ‘terbuka tirai’. Maksudnya terbuka segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi, pengertian-pengertian atau hal-hal yang gaib. Ilmu Mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksakta yang pada umumnya memiliki metode-metode yang sistematik tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya “fauqa thuril ‘aqli” (di atas puncak akal).
Peredaran akal paling tingga adalah pada batas titik optimum yang kemudian bisa menurun kembali. Sedang ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Karena hanya bisa didapat dengan nur dari Allah SWT. Syech Muhammad Ikhsan Dahlan, Kediri Jawa Timur mengemukakan bahwa ilmu ini bersumber dari hadits Nabi SAW. Sebab dia adalah yang amat halus/tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘Alim. Bila mereka bicara tentang ilmu itu tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar’ (berhati lalai).
Seorang yang sudah mendapatkan mukasyafah, maka hal-hal yang gaib dapat terlihat. Tak ada yang bisa disembunyikan darinya. Bahkan pikiran dan hati seseorang nampak dengan sendirinya dihadapannya. Kalau ada orang bisa membaca pkiran orang lain, bukan berarti sudah kasyaf. Sebab, ada ilmu tertentu untuk baca membaca seseorang.
(Bersambung)
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
16. MUKASYAFAH, TERSINGKAPNYA CAHAYA HATI
Seorang muttaqin yang telah terbuka tirai mata hatinya disebut kasyaf. Berasal dari kata mukasyafah, terbuka tirainya. Mukasyafah ada dua macam yaitu, mukasyafah Rububiyah dan Mukasyafah Ghaibiyah. Keduanya tentang kegaiban, tetapi maknanya yang berbeda. Mukasyafah Rububiyah terbukanya tirai Ketuhanan, sedangkan mukasyafah Ghaibiyah terbukanya tirai kegaiban.
Sebelum membahas mukasyafah Ketuhanan, terlebih dulu kita menyinggung mukasyafah Keghaiban. Sebab berdasarkan kenyataan yang sering terjadi pada umumnya ada hubungannya dengan ‘bakat’ seseorang. Biasanya, sebelumnya terlebih dulu melakukan latihan-latihan tertentu yang didukung oleh bakatnya, sehingga ia mampu melihat hal-hal yang ghaib. Lazimnya disebut tembus pandang.
Mereka yang memiliki kemampuan pandangan tembus, mampu melihat benda yang berada pada tempat yang jauh, tertutup atau gelap, atau mampu melihat peristiwa yang akan atau sedang terjadi disuatu tempat yang jauh. Orang yang memiliki kemampuan demikian ini biasa terjadi. Malahan bisa terdapat pada orang yang sama sekali buta terhadap Tuhan, bahkan mungkin anak-anak dibawah umur. Dalam hal ini dikenal dengan istilah ‘khariqul lil adat’ (luar biasa).
Hal tersebut berbeda sekali dengan mukasyafah Ketuhanan. Sebab mukasyafah Ketuhanan merupakan karunia dan rahmat dari Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan Mukasyafah Kegaiban, bisa saja sebagai cobaan, dan bisa lenyap. Sedangkan Mukasyafah Ketuhanan sifatnya kekal.
Yang kita harapkan adalah limpahan rahmat, kemantapan batin dalam iman dan istiqamah, tekun, dalam sifat kehambaan, dapat melaksanakan perintah-Nya, serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Nur Hati
Di dalam Sirajut Tholibin disebutkan, “Ilmu Mukasyafah adalah nur yang menyatu di dalam ketika dilakukan pembersihannya, maka tampaklah di dalam hati itu pengertian-pengertian yang menyeluruh merupakan hasil Makrifatullah Taala, makrifat kepada Asma-Nya, makrifat kepada Sifat-Nya, makrifat kepada Af’al-Nya, dan terbukalah segala tutupan, dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi…”.
Di dalam kitab Ihya’, rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu dzuqy (perasaan) yang terbuka cerah, di dapat dari Musyahadah tanpa dalil dan keterangan.
Maksudnya perintah menyembunyikan apa yang didapat dalam saat terbuka tirai (mukasyafah), apakah itu berupa pengertian-pengertian atau hal-hal gaib lainnya. Sebab, peristiwa yang dialaminya adalah suatu keadaan yang bersifat individu, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah, berfungsi sebagai suatu ‘rahasia tersembunyi’ yang hanya diketahui antara si penemu dengan Allah Aza Wa Jalla.
Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas, besar kemungkinan mendatangkan fitnah, tuduhan negatif, atau bisa menimbulkan perasaan ujub (merasa hebat sendiri) yang akibatnya bisa menghancurkan nilai-nilai penemuan. “Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Mukasyafah itu adalah kepada/dengan Allah ‘Azza Wa Jalla yang menunjukkan suatu pemberian terhadap orang yang Musyahadah dengan ketauhidan yang dimilikinya, berdasar ilmu yakin, iman, dan ilmu makrifat. Ilmu Mukasyafah adalah puncak segala ilmu dan kesana pulalah titik akhir cita-cita orang yang ‘Arif. Tidak ada lagi batas pandang sesudah itu.
Rahasia GAIB
Dari segi lughowi (bahasa) Mukasyafah adalah ‘terbuka tirai’. Maksudnya terbuka segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi, pengertian-pengertian atau hal-hal yang gaib. Ilmu Mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksakta yang pada umumnya memiliki metode-metode yang sistematik tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya “fauqa thuril ‘aqli” (di atas puncak akal).
Peredaran akal paling tingga adalah pada batas titik optimum yang kemudian bisa menurun kembali. Sedang ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Karena hanya bisa didapat dengan nur dari Allah SWT. Syech Muhammad Ikhsan Dahlan, Kediri Jawa Timur mengemukakan bahwa ilmu ini bersumber dari hadits Nabi SAW. Sebab dia adalah yang amat halus/tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘Alim. Bila mereka bicara tentang ilmu itu tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar’ (berhati lalai).
Seorang yang sudah mendapatkan mukasyafah, maka hal-hal yang gaib dapat terlihat. Tak ada yang bisa disembunyikan darinya. Bahkan pikiran dan hati seseorang nampak dengan sendirinya dihadapannya. Kalau ada orang bisa membaca pkiran orang lain, bukan berarti sudah kasyaf. Sebab, ada ilmu tertentu untuk baca membaca seseorang.
(Bersambung)
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar