TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (14)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
14. MUSYAHADAH, PENYAKSIAN KEAGUNGAN NUR ILLAHI
Bahasan kita kali ini sampai pada Musyahadah, yaitu penyaksian. Kata penyaksian mengandung dua hal, yang menyaksikan dan yang disaksikan. Siapa yang menyaksikan dan apa yang disaksikan. Di dalam ilmu makrifat, yang disaksikan adalah Nur Illahi. Sedangkan yang menyaksikan adalah mata hati. Yang istilah tasawufnya adalah ‘pandangan Syuhud’. Suatu pandangan batin sebagai penyaksian yang tidak diragukan lagi.
Seseorang yang sudah dapat menyaksikan Nur Illahi adalah orang ‘alim yang benar-benar kasyaf. Artinya sudah terbuka tirai/cadar/penutup, yang menutupi lensa mata hatinya.
Mata hati tidak akan dapat menyaksikan keagungan Nur Illahi, apabila masih tertutup oleh tirai gemerlapnya cahaya-cahaya kebendaan. Cahaya kebendaan itu sesungguhnya amat tebal. Ia diserap oleh nafsu melalui pandangan mata kepala, kemudian melekat pada mata hati. Jika kita ingin melihat keagungan Nur Illahi, maka cadar penutupnya harus dihilangkan.
Asalnya Suci
Sebenarnya untuk menyaksikan gemerlapnya nur illahi itu bukan suatu yang baru. Keinginan itu merupakan kerinduan, karena telah lama berpisah. Ingin sekali bernostalgia, bahkan "menyatu". Karena jaraknya teramat jauh, bahkan nyaris hilang, maka keinginan itu menjadi muskil untuk tercapai.
Manusia adalah terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jiwa dan raga. Dulunya, kondisi jiwa adalah bersih dan suci. Mampu berkomunikasi dengan Al-Haq. Namun setelah dibungkus dengan jasad, yang dibuat dari lumpur, dibumbui dengan nafsu, maka jiwa menjadi kotor. Untuk menjaga agar tidak kotor, Allah mempersenjatai dengan akal yaitu hati dan perasaan. Ajang pertempuran antara nafsu dan akal.
Di dalam kitab Tawirul Qulub dijelaskan, jiwa manusia pada asalnya adalah ‘lathifah Rabbaniyah’ (cahaya Ketuhanan) dan dekat sekali hubungannya dengan Allah SWT. Selalu memuja dan memuji serta bertasbih. Yang diketahuinya hanya Allah semata. Akan tetapi, setelah jiwa berhubungan dengan jasad, barulah jiwa mengerti bahwa ada yang lain lagi selain Allah SWT.
Disinilah titik awal, apa yang disebut ‘lupa’. Lupa terhadap keaslian dirinya yang disebut ‘Lathifah Rabbaniyah’. Lupa terhadap tugas yang harus diembannya, karena segala yang lain dari Allah yang baru diketahuinya itu mampu menguasai jiwanya. Munthabi’atan fi mir’atihi (melekat pada lensa mata hatinya).
Pembersihan
Agar supaya dapat kembali menyaksikan Al-Haq seperti dahulu, dapat pula menyaksikan ‘Arasy, Kursiy dan lain-lain yang berada dalam alam Malakut, maka tirai itu harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka selamanya tidak akan mampu melihat kembali sang Haq.
Untuk pembersihan diri itu dalam surat at-Dzariat Allah menyerukan peringatan, “Berilah peringatan olehmu (hai Muhammad) sesungguhnya peringatan itu berharga sekali untuk orang yang beriman.” Jika tidak diperingatkan, maka: “Bagaimana mungkin hati akan cemerlang, sedangkan gambaran dari semua keadaan terlalu lekat pada lensa mata hatinya, atau bagaimana mungkin akan bisa menuju Allah sedang dia sendiri menjadi tunggangan nafsu syahwat.”
“Segala keadaan dan peristiwa alam semesta ini seluruhnya menunjukkan kegelapan. Padahal, yang memberikan cahaya pada semua itu karena amat nyata Al-Haq padanya. Siapa yang melihat semua keadaan tetapi tidak dia saksikan Allah Al-Haq padanya, atau pada saat melihat keadaan (kaun) atau sebelum dan sesudahnya, maka sesungguhnya dia disilaukan oleh cahaya-cahaya itu, dan tertutuplah mata hati makrifatnya akibat tebalnya awan kebendaan.” (Al-Hikam).
Syekh Ahmad Ibnu Athaillah, dengan kata-kata hikmahnya tersebut, menegaskan bahwa segala kaun/ka-inaat (keadaan alam) adalah ‘zhulmatun’ (kegelapan). Gelap tak ada apa-apa yang dapat dilihat.
Alam bisa terlihat karena adanya cahaya. Mata dapat melihat disebabkan adanya cahaya, yaitu cahaya mata. Antara cahaya mata dengan cahaya alam terjadi pantulan, sehingga terlihat. Jika salah satunya tidak berfungsi, maka akan menjadi gelap. Apalagi keduanya tidak bercahaya, tentu akan menjadi amat pekat. Terasa tidak ada apa-apa. Kosong, hampa. Jadi, cahayalah yang meliputi apa yang dipandang oleh mata.
Nur Makrifat
Musyahadah atau penyaksian terhadap Al-Haq, tentu dibutuhkan tembusan sinar kebenaran yang menelusup dalam jiwa, perasaan dan hati. Yaitu sinar yang dinamakan “Nur Makrifat”. Dengan Nur Makrifat itulah seseorang bermusyahadah.
Untuk suatu penyaksian, ada tiga macam alat batin. Yaitu, Bashirah (pandangan batin), “Ainul Bashirah (Mata pandangan batin), dan Syi’a ul Bashirah (nyala pandangan batin).
Banyak faktor yang menutupi pandangan batin, sehingga sulit untuk menyaksikan kebenaran hakiki. Lebih-lebih nafsu dan syahwat sudah menguasai terlalu dalam dalam menguasai diri. Ditunggangi nafsu dan syahwatnya. Tetapi bukan berarti tidak dapat terbuka.!
Imam Al-Ghazali memisalkan keadaan hati laksana kepingan baja hitam. Walaupun bagaimana hitamnya kepingan baja itu, seberapa tebal karat dan keraknya, jika diasah secara tekun terus menerus (kontinyu), istiqamah, pasti akan menjadi putih, licin dan bersih, sehingga mampu menerima bayangan dari arah manapun datangnya.
Begitulah hati. Apabila dijaga terus secara baik dan benar, dibersihkan dari karat-karat yang melekat, maka hati akan sanggup menerima bayangan tulisan yang ada pada Lauh Mahfuzh. Sebab, hati amat luas dibandingkan bumi dan langit. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar ra. “Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku (Allah SWT). Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerimanya.”
Dalam al-Quran surat Al-Ahzaab ditegaskan, “Disodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka enggan menerima/menanggungnya, karena mereka khawatir. Lalu manusialah yang bersedia menerimanya. Sungguh manusia menyakiti dirinya sendiri dan bodoh.”
Sungguh berat tanggungjawab manusia. Dan, berat pula menerima Al-Haq. Tetapi, di sisi lain Allah memberikan kemampuan untuk menerimanya, yaitu suatu pemberian dan anugerah yang amat mulia dan paling bijaksana. Hati diberi nur makrifat sehingga mampu melaksanakan amanah itu.
Lagi pula, dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Karena tebalnya cahaya awan kebendaan, membuat tidak mampu kembali melihat Nur Illahi. Allah tidak memaksa untuk melihat-Nya. Hanya saja diperintahkan beribadah menurut kemampuannya.
(bersambung)
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
14. MUSYAHADAH, PENYAKSIAN KEAGUNGAN NUR ILLAHI
Bahasan kita kali ini sampai pada Musyahadah, yaitu penyaksian. Kata penyaksian mengandung dua hal, yang menyaksikan dan yang disaksikan. Siapa yang menyaksikan dan apa yang disaksikan. Di dalam ilmu makrifat, yang disaksikan adalah Nur Illahi. Sedangkan yang menyaksikan adalah mata hati. Yang istilah tasawufnya adalah ‘pandangan Syuhud’. Suatu pandangan batin sebagai penyaksian yang tidak diragukan lagi.
Seseorang yang sudah dapat menyaksikan Nur Illahi adalah orang ‘alim yang benar-benar kasyaf. Artinya sudah terbuka tirai/cadar/penutup, yang menutupi lensa mata hatinya.
Mata hati tidak akan dapat menyaksikan keagungan Nur Illahi, apabila masih tertutup oleh tirai gemerlapnya cahaya-cahaya kebendaan. Cahaya kebendaan itu sesungguhnya amat tebal. Ia diserap oleh nafsu melalui pandangan mata kepala, kemudian melekat pada mata hati. Jika kita ingin melihat keagungan Nur Illahi, maka cadar penutupnya harus dihilangkan.
Asalnya Suci
Sebenarnya untuk menyaksikan gemerlapnya nur illahi itu bukan suatu yang baru. Keinginan itu merupakan kerinduan, karena telah lama berpisah. Ingin sekali bernostalgia, bahkan "menyatu". Karena jaraknya teramat jauh, bahkan nyaris hilang, maka keinginan itu menjadi muskil untuk tercapai.
Manusia adalah terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jiwa dan raga. Dulunya, kondisi jiwa adalah bersih dan suci. Mampu berkomunikasi dengan Al-Haq. Namun setelah dibungkus dengan jasad, yang dibuat dari lumpur, dibumbui dengan nafsu, maka jiwa menjadi kotor. Untuk menjaga agar tidak kotor, Allah mempersenjatai dengan akal yaitu hati dan perasaan. Ajang pertempuran antara nafsu dan akal.
Di dalam kitab Tawirul Qulub dijelaskan, jiwa manusia pada asalnya adalah ‘lathifah Rabbaniyah’ (cahaya Ketuhanan) dan dekat sekali hubungannya dengan Allah SWT. Selalu memuja dan memuji serta bertasbih. Yang diketahuinya hanya Allah semata. Akan tetapi, setelah jiwa berhubungan dengan jasad, barulah jiwa mengerti bahwa ada yang lain lagi selain Allah SWT.
Disinilah titik awal, apa yang disebut ‘lupa’. Lupa terhadap keaslian dirinya yang disebut ‘Lathifah Rabbaniyah’. Lupa terhadap tugas yang harus diembannya, karena segala yang lain dari Allah yang baru diketahuinya itu mampu menguasai jiwanya. Munthabi’atan fi mir’atihi (melekat pada lensa mata hatinya).
Pembersihan
Agar supaya dapat kembali menyaksikan Al-Haq seperti dahulu, dapat pula menyaksikan ‘Arasy, Kursiy dan lain-lain yang berada dalam alam Malakut, maka tirai itu harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka selamanya tidak akan mampu melihat kembali sang Haq.
Untuk pembersihan diri itu dalam surat at-Dzariat Allah menyerukan peringatan, “Berilah peringatan olehmu (hai Muhammad) sesungguhnya peringatan itu berharga sekali untuk orang yang beriman.” Jika tidak diperingatkan, maka: “Bagaimana mungkin hati akan cemerlang, sedangkan gambaran dari semua keadaan terlalu lekat pada lensa mata hatinya, atau bagaimana mungkin akan bisa menuju Allah sedang dia sendiri menjadi tunggangan nafsu syahwat.”
“Segala keadaan dan peristiwa alam semesta ini seluruhnya menunjukkan kegelapan. Padahal, yang memberikan cahaya pada semua itu karena amat nyata Al-Haq padanya. Siapa yang melihat semua keadaan tetapi tidak dia saksikan Allah Al-Haq padanya, atau pada saat melihat keadaan (kaun) atau sebelum dan sesudahnya, maka sesungguhnya dia disilaukan oleh cahaya-cahaya itu, dan tertutuplah mata hati makrifatnya akibat tebalnya awan kebendaan.” (Al-Hikam).
Syekh Ahmad Ibnu Athaillah, dengan kata-kata hikmahnya tersebut, menegaskan bahwa segala kaun/ka-inaat (keadaan alam) adalah ‘zhulmatun’ (kegelapan). Gelap tak ada apa-apa yang dapat dilihat.
Alam bisa terlihat karena adanya cahaya. Mata dapat melihat disebabkan adanya cahaya, yaitu cahaya mata. Antara cahaya mata dengan cahaya alam terjadi pantulan, sehingga terlihat. Jika salah satunya tidak berfungsi, maka akan menjadi gelap. Apalagi keduanya tidak bercahaya, tentu akan menjadi amat pekat. Terasa tidak ada apa-apa. Kosong, hampa. Jadi, cahayalah yang meliputi apa yang dipandang oleh mata.
Nur Makrifat
Musyahadah atau penyaksian terhadap Al-Haq, tentu dibutuhkan tembusan sinar kebenaran yang menelusup dalam jiwa, perasaan dan hati. Yaitu sinar yang dinamakan “Nur Makrifat”. Dengan Nur Makrifat itulah seseorang bermusyahadah.
Untuk suatu penyaksian, ada tiga macam alat batin. Yaitu, Bashirah (pandangan batin), “Ainul Bashirah (Mata pandangan batin), dan Syi’a ul Bashirah (nyala pandangan batin).
Banyak faktor yang menutupi pandangan batin, sehingga sulit untuk menyaksikan kebenaran hakiki. Lebih-lebih nafsu dan syahwat sudah menguasai terlalu dalam dalam menguasai diri. Ditunggangi nafsu dan syahwatnya. Tetapi bukan berarti tidak dapat terbuka.!
Imam Al-Ghazali memisalkan keadaan hati laksana kepingan baja hitam. Walaupun bagaimana hitamnya kepingan baja itu, seberapa tebal karat dan keraknya, jika diasah secara tekun terus menerus (kontinyu), istiqamah, pasti akan menjadi putih, licin dan bersih, sehingga mampu menerima bayangan dari arah manapun datangnya.
Begitulah hati. Apabila dijaga terus secara baik dan benar, dibersihkan dari karat-karat yang melekat, maka hati akan sanggup menerima bayangan tulisan yang ada pada Lauh Mahfuzh. Sebab, hati amat luas dibandingkan bumi dan langit. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar ra. “Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku (Allah SWT). Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerimanya.”
Dalam al-Quran surat Al-Ahzaab ditegaskan, “Disodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka enggan menerima/menanggungnya, karena mereka khawatir. Lalu manusialah yang bersedia menerimanya. Sungguh manusia menyakiti dirinya sendiri dan bodoh.”
Sungguh berat tanggungjawab manusia. Dan, berat pula menerima Al-Haq. Tetapi, di sisi lain Allah memberikan kemampuan untuk menerimanya, yaitu suatu pemberian dan anugerah yang amat mulia dan paling bijaksana. Hati diberi nur makrifat sehingga mampu melaksanakan amanah itu.
Lagi pula, dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Karena tebalnya cahaya awan kebendaan, membuat tidak mampu kembali melihat Nur Illahi. Allah tidak memaksa untuk melihat-Nya. Hanya saja diperintahkan beribadah menurut kemampuannya.
(bersambung)
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar