DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (19)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

19. ITTIHAD

Tajalli-nya Tuhan pada diri seorang hamba merupakan puncak makrifat. Bahasan makrifat, tidak lepas dari dunia sufisme. Tokoh sufi yang sudah sampai pada stasiun makrifat adalah Rabiah al-Adawiyah. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Namun, banyak tokoh yang tidak puas hanya sampai pada makrifat. Mereka ingin meningkatkan lagi menuju Ittihad (peleburan/ penyatuan diri dengan Allah). Menurut konsepsi sufisme Jawa dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawula ing Gusti”

Bagaimana perjalanan menuju Ittihad?
Dzunnun al-Misri, salah satu tokoh sufi abad ke 8 mengemukakan bahwa makrifat adalah anugerah Allah kepada sufi yang telah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cintanya yang suci dan ikhlas itulah akhirnya Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir tersebut akhirnya ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan yang abadi.

Ketika Dzunnun al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh makrifat, ia menjawab, “Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan karunia-Nya. Sekiranya bukan karena Tuhan, aku tidak akan pernah melihat dan tidak tahu Tuhan.”
K
ata-kata seorang tokoh sufi tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba tidaklah bisa apa-apa. Walaupun tingkat ketakwaannya membuat para Malaikat kagum, seperti kisah Barshisah pada zaman Nabi Musa AS, tak berarti apa-apa jika Allah Ta’ala belum memancarkan karunia-Nya kepada hati seseorang. Apa lagi tidak bertakwa, setidaknya hanya sekedar memenuhi syariat saja.

Ittihad
Seorang sufi yang dapat menangkap cahaya makrifat dengan mata hatinya, maka kalbunya akan dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Maka tidak mengherankan, jika seorang sufi merasa tak puas hanya sampai maqam makrifat saja. Ia ingin mengadakan "penyatuan" dengan Tuhan, yang dengan istilah sufi dikenal dengan sebutan "ittihad, hulul".

Dua orang tokoh sufi termasyur pada abad ke 8 hingga kini yang berpengalaman "ittihad" adalah Abu Jazid al-Bustami dan Al-Hallaj. Keduanya dianggap kontroversi dan gila, bahkan di cap kafir karena mengaku Tuhan. Di Jawa yang terkenal adalah Syech Siti Jenar.

Proses sebelum sampai maqam ittihad, ia akan mengalami Fana’ dan Baqa. Yang disebut Fana’ adalah hilangnya kesadaran. Mengenai fana’ Al-Qusyairi mengatakan, “Fana’ seorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi ketika hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain.”

Maksudnya, diri seorang yang sudah sampai maqam ittihad tetap ada. Demikian pula makhluk lain. Tetapi ia tidak sadar lagi tentang dirinya dan makhluk lain. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk-makhluk lain, akhirnya lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan, sampai akhirnya terjadilah pengalaman ittihad.

Ada sebuah istilah Jawa, wujud manusia hidup pada umumnya merupakan “curiga manjing warangka.” Jika sudah manunggal dengan Tuhan, konsepsinya berbalik, “Warangka manjing curiga.” Artinya, jasad terbungkus oleh jiwa (ruh). Karenanya tidak terlihat apa-apa. Dirinya yang berwujud badan wadag, termasuk makhluk-makhluk lain tidak terlihat. Yang terlihat dirinya sendiri sedang bersama Dzat Tuhan.

Teopatis
Tatkala sampai ambang pintu ittihad, dari bibir seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil, dalam istilah tasawuf peristiwa ini disebut syatahat (ungkapan teopatis). Diantara ungkapan-ungkapan teopatis yang pernah dituturkan Abu Yazid al-Bisthami, “Sesungguhnya akulah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”

Di kalangan kaum sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan oleh lidah Abu Yazid al-Bisthami. Tetapi itu tidak berarti Abu Yazid mengaku sebagai Tuhan. Mengakui dirinya sebagai Tuhan adalah dosa besar. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk dapat mendekati Tuhan, seorang sufi harus bersih dari dosa dan terhindar dari hal-hal yang berbau subhat (meragukan).

Jika saja Abu Jazid berdosa besar, maka Abu Jazid pasti akan jauh dari Tuhan, dan tidak mungkin orang yang berdosa besar dapat melihat Tuhan. Apalagi dapat "menyatu (ittihad)". Maka, hakikat ucapan tersebut sesungguhnya Allah-lah yang mengatakan bahwa dirinya Tuhan yang wajib disembah, melalui lidah Abu Jazid al-Bisthami, sebagai tanda limpahan cinta Tuhan kepada Hamba-Nya.

Seorang tokoh sufi lain yang mengalami ittihad adalah Husain ibn Manshur al-Hallaj. Namun pengalaman al-Hallaj tidak disebut ittihad, tetapi dinamakan al-Hulul. Menurut Al-Hallaj, manusia memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat Nasut (kemanusiaan) dan sifat Luhut (Ketuhanan). Dengan membersihkan diri melalui ibadah, maka Nasut manusia akan lenyap dan muncullah sifat Luhutnya. Kemudian berikutnya, terjadilah pengalaman Hulul. Ketika terjadi Hulul, keluarlah ucapan-ucapan teopatis.

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar