TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (17)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
17. NURUL BASHIRA,TERLIHATNYA TUHAN DI DUNIA
Bisakah manusia melihat Tuhan? Kenapa tidak? Setiap muslim yang bertaqwa sudah menginginkan. Namun, tidak sedikit pendapat yang menyangsikan. Dalihnya, Tuhan bersifat gaib. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Apabila menghendaki seorang hamba dapat melihat-Nya, maka terlihatlah.
Soal melihat Tuhan, ada dua pendapat. Sebuah keyakinan mengatakan bahwa Tuhan hanya bisa dilihat di akhirat saja. Namun pendapat yang satunya menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya bisa dilihat di akhirat saja, tetapi di dunia ini juga dapat dilihat. Yaitu dengan mata batin (Bashirah). Yang sudah dapat melihat Tuhan adalah orang yang sudah terbuka tirainya yang lazim disebut Kasyaf.
Di dalam ilmu Tauhid, konsepsi melihat Tuhan itu disebut Ihsan. Yang merupakan buah dari Islam dan Iman. Sedangkan Ihsan, dijelaskan di dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar R.A, bahwa ihsan adalah “Jika engkau menyembah Allah SWT (shalat), seakan-akan engkau melihat-Nya, namun bila engkau tidak mampu maka bersikaplah seakan-akan engkau dilihat Allah.”
Di dalam Al-Hikam diterangkan, ibadah shalat tidak tergolong suatu ibadah yang Ihsan atau baik, manakala tidak disertai perasaan seperti sungguh-sungguh melihat Tuhan. Bagaimana perasaan melihat Tuhan? Sudah barang tentu tidak bisa dijelaskan dan digambarkan. Hal tersebut merupakan pengalaman ruhani. Intinya menyangkut masalah rasa. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Menuju Ihsan sangatlah berat. Karenanya Allah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 45-46, yang artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu sulit, kecuali orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang meyakini berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka kembali kepada-Nya.”
Di Akhirat
Pendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat di akhirat, memakai landasan surat Al-Qiyamah ayat 22 & 23, yang artinya: “Wajah-wajah penuh ceria memandang kepada Tuhannya.” Itu merupakan buah ketakwaannya saat menjalani kehidupan di dunia. Bagi mereka yang kadar ketakwaannya tipis, tidak akan dapat melihat Tuhan.
Di dalam surat Yunus ayat 26 ditegaskan, “Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat Tuhan).” Bagaimana melihat Tuhan di akhirat? Digambarkan, melihat Tuhan saat di akhirat, laksana melihat matahari dan bulan.
Gambaran tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat? Maka Rasulullah menjawab: “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan purnama? Para sahabat menjawab: “Tidak Ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi: “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu siang hari tanpa awan?” “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu.”
Di Dunia
Sedangkan melihat Tuhan saat masih hidup di dunia, berdasarkan peristiwa Isra’ Mikraj Nabi Muhammad SAW. Bahkan saat Mikraj, Rasulullah benar-benar melihat Tuhan. Karenanya, Sayidina Hasan bin Ali ra berani bersumpah sewaktu menerangkan hal ini.
Kalangan Ahlush Sunah sepakat tentang terjadinya Rasulullah melihat Tuhan di malam Mikraj dengan nyata/mata.
Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah Jalla Jalaluhu dengan mata batinnya, sebagai satu ‘karomah’ untuk mereka, seperti juga Mukjizat untuk para Nabi dan Rasul. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan ulama sufi umumnya mengemukakan, “Apabila ruhaniah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata kepala tidak dapat melihat, kecuali hanya pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin.”
Di kalangan sufi, melihat Tuhan bisa terjadi di dunia ini dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT; yang oleh Syeikh Junaid RA disebutkan Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat Wara’i (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang sufi besar pada zamannya, tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, Abu Bakar Al-Attar, Al-Jurairi, ‘Athowi, dan banyak lagi lainnya.
Diceritakan, saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Quran. Beliau wafat pada hari Jumat tahun 297 H setelah selesai membaca ayat ke 70 surat Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapannya tentang melihat Tuhan, muridnya bertanya, "Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Kami (para Alim) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Tidak juga kami bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenalnya.
(Bersambung)
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
17. NURUL BASHIRA,TERLIHATNYA TUHAN DI DUNIA
Bisakah manusia melihat Tuhan? Kenapa tidak? Setiap muslim yang bertaqwa sudah menginginkan. Namun, tidak sedikit pendapat yang menyangsikan. Dalihnya, Tuhan bersifat gaib. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Apabila menghendaki seorang hamba dapat melihat-Nya, maka terlihatlah.
Soal melihat Tuhan, ada dua pendapat. Sebuah keyakinan mengatakan bahwa Tuhan hanya bisa dilihat di akhirat saja. Namun pendapat yang satunya menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya bisa dilihat di akhirat saja, tetapi di dunia ini juga dapat dilihat. Yaitu dengan mata batin (Bashirah). Yang sudah dapat melihat Tuhan adalah orang yang sudah terbuka tirainya yang lazim disebut Kasyaf.
Di dalam ilmu Tauhid, konsepsi melihat Tuhan itu disebut Ihsan. Yang merupakan buah dari Islam dan Iman. Sedangkan Ihsan, dijelaskan di dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar R.A, bahwa ihsan adalah “Jika engkau menyembah Allah SWT (shalat), seakan-akan engkau melihat-Nya, namun bila engkau tidak mampu maka bersikaplah seakan-akan engkau dilihat Allah.”
Di dalam Al-Hikam diterangkan, ibadah shalat tidak tergolong suatu ibadah yang Ihsan atau baik, manakala tidak disertai perasaan seperti sungguh-sungguh melihat Tuhan. Bagaimana perasaan melihat Tuhan? Sudah barang tentu tidak bisa dijelaskan dan digambarkan. Hal tersebut merupakan pengalaman ruhani. Intinya menyangkut masalah rasa. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Menuju Ihsan sangatlah berat. Karenanya Allah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 45-46, yang artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu sulit, kecuali orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang meyakini berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka kembali kepada-Nya.”
Di Akhirat
Pendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat di akhirat, memakai landasan surat Al-Qiyamah ayat 22 & 23, yang artinya: “Wajah-wajah penuh ceria memandang kepada Tuhannya.” Itu merupakan buah ketakwaannya saat menjalani kehidupan di dunia. Bagi mereka yang kadar ketakwaannya tipis, tidak akan dapat melihat Tuhan.
Di dalam surat Yunus ayat 26 ditegaskan, “Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat Tuhan).” Bagaimana melihat Tuhan di akhirat? Digambarkan, melihat Tuhan saat di akhirat, laksana melihat matahari dan bulan.
Gambaran tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat? Maka Rasulullah menjawab: “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan purnama? Para sahabat menjawab: “Tidak Ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi: “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu siang hari tanpa awan?” “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu.”
Di Dunia
Sedangkan melihat Tuhan saat masih hidup di dunia, berdasarkan peristiwa Isra’ Mikraj Nabi Muhammad SAW. Bahkan saat Mikraj, Rasulullah benar-benar melihat Tuhan. Karenanya, Sayidina Hasan bin Ali ra berani bersumpah sewaktu menerangkan hal ini.
Kalangan Ahlush Sunah sepakat tentang terjadinya Rasulullah melihat Tuhan di malam Mikraj dengan nyata/mata.
Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah Jalla Jalaluhu dengan mata batinnya, sebagai satu ‘karomah’ untuk mereka, seperti juga Mukjizat untuk para Nabi dan Rasul. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan ulama sufi umumnya mengemukakan, “Apabila ruhaniah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata kepala tidak dapat melihat, kecuali hanya pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin.”
Di kalangan sufi, melihat Tuhan bisa terjadi di dunia ini dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT; yang oleh Syeikh Junaid RA disebutkan Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat Wara’i (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang sufi besar pada zamannya, tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, Abu Bakar Al-Attar, Al-Jurairi, ‘Athowi, dan banyak lagi lainnya.
Diceritakan, saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Quran. Beliau wafat pada hari Jumat tahun 297 H setelah selesai membaca ayat ke 70 surat Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapannya tentang melihat Tuhan, muridnya bertanya, "Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Kami (para Alim) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Tidak juga kami bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenalnya.
(Bersambung)
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar