DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Kamis, 09 Mei 2013

Antara Muhammad yang Ummi dan Muhammad yang Nabi

Antara Muhammad yang Ummi dan Muhammad yang Nabi


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Al-Qur’an adalah pedoman, dan petunjuk bagi umat manusia untuk mengenal Tuhannya. Al-Qur’an adalah himpunan kitab-kitab sebelumnya sekaligus kitab yang sempurna karena Allah SWT memberikan dan menambahkan ayat-ayat terang kepada Rasulullah Muhammad SAW. Jadi isi Al-Qur’an tidak hanya berisi tentang cara beribadah, namun juga ada ilmu pengetahuan dan sejarah para nabi/rasul.

            Ada hal yang menarik kita bahas kali ini yang berhubungan dengan sejarah para rasul dalam ber-makrifatullah. Kita ambil contoh saja apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim AS, Musa AS dan Muhammad SAW.

a. Nabi Ibrahim AS
Seperti sering kita dengar dalam tausyiah atau saat membaca Al-Qur’an bahwa perjalanan spiritual nabiyullah Ibrahim AS untuk “mencari” Allah SWT mendapat tentangan dari berbagai pihak, baik itu dari raja Namrud, masyarakat, maupun dari bapaknya.  Sikap Ibrahim AS yang tegas menentang penyembahan berhala mendapat reaksi keras sehingga beliau di usir dari tanah kelahirannya.

Pengusiran inilah yang menjadi titik awal Ibrahim AS dalam berma’rifatullah. Dalam perjalanannya yang tanpa tujuan tersebut, justru kesadaran beliau tumbuh untuk mencari Tuhannya manusia. Ketika beliau melihat matahari, bintang, atau bulan yang dikiranya Tuhan, namun seiring dengan tumbuhnya kesadaran beliau maka yang terjadi kemudian adalah menafikkan semua itu karena benda-benda langit timbul dan tenggelam sesuai dengan peredaran waktu. Jadi sifatnya tidak kekal (QS. Al-An’aam 6:75-77)

Dalam kelelahan dan keterputus-asaan dalam mencari Allah SWT, kemudian beliau memutuskan beristirahat (bertahanut dan berdzikir) di atas bukit. Inilah cara jihad nabi Ibrahim AS untuk melawan hawa nafsu (jihaddul akbar). Tidak berapa lama kemudian turunlah perintah dari Allah SWT kepada beliau agar menghadapkan “dirinya” dengan lurus (hanif) kepada “wajah” Allah SWT  sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an.

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(QS. Al-An’aam 6:79)

Ketika beliau berdiam diri menghadapkan dirinya kepada Allah SWT secara hanif (lurus dan tidak syirik) dan atas bimbingan-Nya, maka beliau baru dapat berma’rifatullah. Beliau dapat berjumpa dengan Allah SWT, kemudian terjadilah “serah terima” antara nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT. Beliau berserah diri atas segala hal yang meliputi shalat, ibadah, hidup dan mati beliau kepada Allah SWT sebagai bukti bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas rahmat dan karunia-Nya. Setelah proses serah terima ini terjadi maka Allah SWT memberikan derajat kepada Ibrahim AS sebagai orang yang pertama (awal) muslim dan mendapat Shuhuf (catatan) sebagai pedoman beribadah kepada-Nya.

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah/muslim)." (QS. Al-An’aam 6:162-163)

            Atas peristiwa yang fenomenal tersebut, selain diabadikan dalam Al-Qur’an, ketiga ayat tersebut di atas juga dibaca oleh setiap umat islam setelah bertakbir ketika mendirikan shalat lima waktu maupun shalat sunnah lainnya hingga saat ini.

b. Nabi Musa AS
Hal yang dilakukan nabi Musa AS, tidak berbeda jauh dengan apa yang dikerjakan nabi Ibrahim AS. Ketika Musa AS berkeinginan bertemu dengan Tuhannya untuk membuktikan bahwa  Allah SWT itu Maha Ada, maka beliau bertahanut dan berpuasa selama 30 hari di bukit Tursina atas perintah Allah SWT. Di hari yang ke-30, Allah SWT memerintah Musa AS melihat “wujud” Tuhan di bukit tersebut. Tetapi apa yang terjadi? Bukit itu luluh lantak tidak mampu menampung Dzatullah dan Musa AS pingsan. Dalam kondisi pingsan ini (ar-ruh) kembali ke Allah SWT, Musa AS menyaksikan “berjumpa” dengan Allah SWT. Tidak heran ketika beliau siuman dari pingsannya, maka pertama-tama yang terucap dari bibir dan hatinya adalah pengakuan iman. Atas kondisi ini Allah SWT mengangkat derajat Musa AS menjadi orang pertama yang mukmin.  

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman (mukmin)."( QS. Al-A’raaf 7:143)

Kemudian Allah SWT memerintahkan beliau untuk menambah puasa dan bertahanut selama 10 hari sehingga genap 40 hari. Pada 10 hari berpuasa inilah, setiap harinya Nabi Musa AS mendapat pengajaran dari Allah SWT. Itu mengapa kitab Taurat disebut juga dengan Ten Commandement (10 Perintah Tuhan) sebagai pedoman beribadah kepada Allah SWT.

c. Rasulullah Muhammad SAW
Demikian pula yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW untuk berjumpa dengan Allah SWT dengan menyempatkan diri beberapa waktu untuk bertahanut/bertafakur di gua hira’ di setiap tahunnya. Setelah beberapa tahun menjalaninya, barulah beliau ditakwakan Allah SWT dengan Asma-Nya sebagaimana telah saya uraikan pada sub bab sebelumnya dan mendapat wahyu pertama yaitu Surat Al-Alaq 96:1-5 di gua Hira. Rasulullah Muhammad SAW mendapat derajat dari Allah SWT sebagai orang yang pertama muttaqin dan diangkat menjadi seorang nabi.

Beliaulah dikaruniai derajat tertinggi di antara para nabi/rasul karena dapat berjumpa Allah SWT dalam kesadarannya dengan memanfaatkan lima potensi dalam diri beliau sehingga agama fitrah berfungsi.

Dari ketiga peristiwa di atas yang dilakukan dan dialami oleh para nabiyullah dapat disimpulkan : Pertama, Untuk berjumpa dengan Allah SWT diperlukan olah spiritual (batiniyah) dengan bertahanut. Makna kata bertahanut pada intinya juga tidak berbeda dengan khalwat, tafakur, wukuf dan i’tikaf yang disertai dzikrullah. Hanya istilah bahasa dan waktunya saja yang membedakan, namun hakikatnya sama yaitu ingin berjumpa dengan Allah SWT.

Kedua, Bahwa setiap nabi diberikan derajat yang berbeda saat pertama kali berma’rifatullah. Nabi Ibrahim AS yang pertama diberi derajat muslim, Nabi Musa AS yang pertama diberi derajat mukmin karena telah melalui tahap apa yang dilakukan Ibrahim AS, sementara  Rasulullah SAW yang pertama mendapat derajat muttaqin karena telah melalui tahapan apa yang dilakukan oleh Ibrahim AS dan Musa AS.  Tentu saja para nabi/rasul ini tetap menjalankan (istiqomah) laku tahanut (dzikrullah) sehingga masing-masing menggapai maqam tertinggi sesuai yang dikaruniakan Allah SWT kepada masing-masing utusan-Nya.

Ketiga, Sebelum para nabi mendapat kitab atau shuhuf sebagai pedoman untuk beribadah kepada Allah SWT maka hati mereka harus bersih dan suci, karena tidak mungkin hati seorang manusia mampu memahami takwil dan mendapat pengajaran Allah SWT atas wahyu bila hatinya masih kotor. Ketiga nabi ini terlebih dahulu belajar iman kepada Allah SWT, selaku pemberi iman kepada manusia.

Apa yang diinformasikan Allah SWT dalam Al-Qur’an tentang apa yang dilakukan oleh para utusannya sekaligus memberikan hikmah kepada umat islam bahwa setiap derajat harus diperjuangkan. Di setiap derajat ada tanda dan buktinya, bukan sebatas pengakuan diri dari lisannya bahwa dirinya telah berislam, beriman, dan bertakwa. Jadi derajat muslim, mukmin, muttaqin dan muhlasin harus diperjuangkan dengan perilaku, bukan merupakan satu paket yang secara otomatis melekat ketika hanya bersyahadat secara lisan.

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al-An’aam 6:132).

            Keempat, Setiap nabi melakukan jihaddun an-nafs (jihaddun akbar) yaitu jihad memerangi hawa nafsu sebagai proses pembersihan diri dari penyakit hati, sehingga ar-ruh dapat berkuasa atas diri ini dan dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah fil al-Ardi (duta di bumi). Itu mengapa sebagai titik awal untuk menggapai derajat muslim, kemudian naik menjadi mukmin, muttaqin dan muhlasin, baik nabi Musa AS, Rasulullah Muhammad SAW dan umat islam harus melakukan hal sama (mencontoh) seperti apa yang dikerjakan Ibrahim AS, yaitu bertahanut. Allah SWT dalam Al-Qur’an pun secara jelas telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana diabadikan dalam beberapa ayat berikut ini.

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.( QS. An-Nahl 16:123)

“Dan berjihadlah (Memerangi An-Nafs) kamu pada jalan Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia  sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi  saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS. Al-Hajj 22:78)

Apa yang dilakukan para nabi di atas juga dilakukan oleh Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali. Demikian pula dengan para waliyullah seperti Sunan Kalijaga berkhalwat dan berpuasa di pinggir sungai atas bimbingan Sunan Bonang, Sunan Muria bertahanut di puncak gunung Muria, Sunan Gunungjati bertafakur di gua Datul Kahfi di Cirebon, dan lain-lain.

      Pertanyaannya sekarang, pernahkah kita meneladani perilaku para rasul, dan waliyullah belajar iman kepada Allah SWT? Pernahkah kita pernah belajar, meneladani dan memposisikan diri menjadi Muhammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis/ Maa ana bil qorii/sebelum diangkat menjadi Nabi oleh Allah SWT) dan melakukan jihaddun an-nafs sehingga Allah SWT berkenan mengangkat derajat Muhammad yang ummi menjadi seorang nabi (dengan kecerdasan spiritual yang luar biasa) dan diberikan Al-Qur’an sebagaimana yang dialami Ibrahim AS (mendapat Shuhuf) dan Musa AS (mendapat Taurat)? sehingga ke-tauhid-an mereka dalam beribadah kepada Allah SWT tidak diragukan lagi. Pernahkah anda paham pada posisi manakah derajat anda pada saat ini?  Muslim, mukmin, muttaqin atau muhlasin? Pernahkan anda dalam beragama benar-benar Haqqul Yaqin (paham) bahwa Allah SWT itu ada dan amal ibadah anda telah dibenarkan (diterima) oleh Allah SWT karena anda telah mengalami proses sebelumnya yaitu yaqin (belajar), Ilmu Yaqin (menjalani) dan ‘ainul yaqin (mengalami)?
           
      Pertanyaan ini tidak mungkin saya jabarkan dalam artikel ini yang memiliki keterbatasan tempat. Bila pembaca ingin mendapat jawaban silahkan download E-Book (Electronic Book) saya  yang berjudul  MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH dan  MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. Semoga bermanfaat. Amin ya Rabbal’alamiin.


Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!! 
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan FC
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim

Rabu, 01 Mei 2013

E-BOOK PERTAMA: "MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH"

E-BOOK PERTAMA: "MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH"


SINOPSIS DAN CARA MEN-DOWNLOAD E-BOOK (Electronic Book)

Assalamu’alaikum warahmmatullahi wabarakaatuh

Ada kerancuan yang terjadi pada umat islam dewasa ini dalam memahami makna islam, iman dan takwa. Selama ini umat hanya memahami bahwa ketika mereka bersyahadat (iqrar bil lisan) dan "menggugurkan" kewajiban beribadah otomatis telah berislam, beriman dan bertakwa. Ketiganya maqam ini dianggap satu paket. Padahal Allah SWT dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan demikian. Masing-masing ada tanda dan bukti yang merupakan pemberian dari Allah SWT. Ketiga “maqam” tersebut harus diperjuangkan hingga umat islam akan meraih derajat muslim, mukmin, muttaqin dan muhlasin.
            
         Hal yang senada juga terjadi ketika manusia berbicara dan memahami makna hakiki dari agama. Selama ini tak jarang agama hanya dinilai secara sempit yaitu sebatas kumpulan manusia yang menyembah Tuhan dalam suatu komunitas tertentu, bahkan tak jarang berorientasi hanya pada simbol-simbol tertentu untuk menunjukkan identitasnya. Kondisi ini terjadi tidak lebih karena minimnya pengetahuan, pemahaman dan memotret agama dalam bingkai yang sempit. 

Inilah tanda dan bukti bahwa kebanyakan pemahaman umat islam dalam beragama masih dalam tataran teoritis, instan dan mengabaikan makna tersirat Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan-Nya, sehingga tidak paham apa itu hakikinya islam, iman, takwa dan agama. Lebih ironis lagi, ketidaktahuan dan ketidakpahaman ini pada akhirnya berdampak pada keyakinan sebagian besar umat islam bahwa manusia tidak dapat berjumpa dengan Tuhannya ketika hidup di dunia ini dan hanya di akhirat kelak mereka baru dapat berjumpa dengan Tuhan. Jadi kebanyakan dari kita saat ini, beragama namun tidak ber-Tuhan.

Kalau ini yang terjadi, maka sungguh rugilah manusia tersebut. Bagaimana mungkin kita menyembah Allah SWT kalau yang disembah tidak dijumpainya? Lalu bagaimana mungkin kita dapat berdialog, berkomunikasi, dan berkeluh kesah ketika ada masalah yang tengah kita hadapi bila tidak bertemu dengan yang dimintai pertolongan? Atau jangan-jangan perangkat beribadah yang digunakan selama ini untuk menyembah (berjumpa) Allah SWT tidak tepat? Padahal Allah SWT telah menerangkan dengan jelas dalam Al-Qur’an, sekaligus memberikan contoh tentang bagaimana umat islam seharusnya meneladani dan berspiritual sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi/rasul, para sahabat, dan para waliyullah agar mereka dapat “berjumpa” dengan Tuhannya saat beribadah. "Ash-Sholatu Mi’rajul Mu’miniin"!!! (Sholat adalah mi’raj-nya orang-orang mukmin), demikian sabda Rasulullah SAW.

       E-Book yang ada di tangan pembaca ini akan menguraikan bagaimana seharusnya umat islam meneladani berspiritual para nabi/rasul  (khususnya Rasulullah SAW), para sahabat dan para waliyullah dengan memahami ilmu pengetahuan Al-Qur’an dengan memanfaatkan 5 (lima) potensi yang diberikan kepada setiap manusia yaitu berupa otak (IQ), akal, jiwa, hati (EQ) dan ar-ruh (SQ) untuk berjumpa dengan Tuhannya (Ma’rifatullah).

Tentu saja E-Book “Meneladani Spiritual Rasulullah SAW dalam Berma’rifatullah” ini yang jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun demikian, saya berharap semoga E-Book ini dapat menambah dan membuka cakrawala pembaca dalam ber-ma’rifatullah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan nurhidayah, karunia, rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal’alamin.

Adapun isi E-Book ini meliputi (255 Halaman):
Sekapur Sirih
Ucapan Terima Kasih
Sekilas Tentang Penulis
Daftar Isi
Ilmu Pengetahuan Al-Qur’an (Mukadimah)
Bab I     : Hakikat Islam, Iman, dan Takwa
Bab II    : Hijab Terhadap Lima Potensi Manusia Untuk Mengenal Allah
Bab III  : Menyibak Tabir  Eksistensi Allah
Bab IV  : Penutup (Kesimpulan)
Bab V   : Lampiran (Skema Proses Perjalanan Spiritual)

            Lalu bagaimana cara men-download E-Book ini?
1.  Pastikan bahwa PC/Laptop/Notebook/Ipad, (milik pribadi atau di Warnet) anda ada program ADOBE READER dan WINRAR (biasanya program ini telah tersedia, namun tidak ada salahnya anda mengecek terlebih dahulu untuk memastikannya atau anda dapat download gratis di internet. Jika anda tetap men-download E-Book ini namun tidak ada kedua program tersebut sehingga anda tidak dapat membuka dan membacanya, maka kondisi ini di luar tanggung jawab saya). Melalui program ini anda dapat membuka dan membaca E-Book tersebut. Selain itu anda juga dapat mencopy dan mencetak.

2. E-Book “Meneladani Spiritual Rasulullah SAW dalam Berma’rifatullah” ini ada PASSWORD-nya sehingga anda tidak dapat membuka tanpa ada pemberitahuan PASSWORD dari saya. Anda hanya bisa men-download saja namun tidak dapat membuka dan membacanya sehingga akan sia-sia.

3. Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada anda. Untuk mendapatkan PASSWORD tersebut silahkan anda menstransfer uang donasi.  Uang donasi ini sebagian saya sisihkan dan digunakan untuk kepentingan umat yaitu memberi bantuan saudara-saudara kita yang tengah tertimpa musibah, menyantuni anak yatim piatu dan fakir miskin, pembangunan TPQ-PAUD, serta kegiatan sosial keagamaan lainnya.

4.  Anda dapat men-transfer via internet banking atau jika anda menyetor ke bank melalui slip setoran, maka jangan lupa cantumkan nama anda, jumlah donasi dan isi keterangan untuk pembelian E-Book ini, hal ini untuk mempermudah pengecekan saya di rekening mengenai sudah masuk atau belumnya uang donasi  tersebut. Adapun besarnya uang donasi sebesar Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah) dan saya pun sangat berterima kasih bila anda berkenan memberikan donasi lebih, karena sebagian donasi untuk kegiatan sosial keagamaan.

Uang donasi dapat ditransfer ke :

- Bank BCA, KCP Kedungmundu, Semarang
- No. Rekening    : 8915006104
- Atas Nama         : Iwan Fahri Cahyadi
     
ATAU

- Bank BNI, KC UNDIP, Semarang
- No. Rekening     0096371734
- Atas Nama          : Iwan Fahri Cahyadi

5. Setelah anda men-transfer uang donasi tersebut, silahkan anda SMS ke nomer HP: 0858-7651-6899 disertai nama anda,  besarnya uang donasi, nama bank tempat anda mentransfer dan Judul E-Book yang dibeli. Setelah saya cek dan dipastikan donasi sudah masuk, maka saya segera akan mengirim PASSWORD ke Handphone anda. Saya juga mohon dengan rendah hati agar PASSWORD tersebut jangan disebar-luaskan kepada mereka yang tidak berhak, mengingat dana donasi ini sebagian saya sisihkan untuk kegiatan sosial keagamaan.

6.    Dilarang memperbanyak, memperjual-belikan dan mengutip isi buku ini tanpa seijin saya, karena ini melanggar HAK CIPTA dan melanggar UNDANG-UNDANG.

Demikian saya sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmmatullahi wabarakaatuh

Iwan Fahri Cahyadi

Minggu, 28 April 2013

Misteri Kematian, Tanda dan Ilmunya

Misteri Kematian, Tanda dan Ilmunya

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Misteri Kematian

        Pada hari Jum’at, tanggal 26-April-2013 kemarin, umat muslim di Indonesia dikejutkan oleh berita mengenai wafatnya Ustadz Jefrey Al-Buchori (atau biasa dipanggil Ustadz UJE). Beliau wafat disebabkan oleh kecelakaan tunggal, yaitu sepeda motor yang beliau kendarai menabrak pohon palem. Kemudian beliau di bawa ke Rumah Sakit, namun Allah SWT berkehendak lain, beliau dipanggil pulang ke Rahmatullah. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan diterima amal ibadahnya. Amin. Dan keluarga yang ditinggal semoga diberikan kekuatan, kesabaran, ketabahan dan keikhlasan. Amin.

Seperti yang diberitakan di media cetak maupun elektronik bahwa sebelum kecelakaan terjadi, 2 (dua) hari sebelumnya  beliau berpesan kepada Ustadz Solmed agar meneruskan misi dakwahnya dan beliau memberikan peci kepada Ustadz Solmed. Ternyata beliau telah mendapat firasat akan datangnya kematian. Di hari beliau kecelakaan, sebenarnya kondisi fisik beliau kurang fit, sehingga sang istri sempat melarang beliau keluar mengendarai sepeda motornya, namun beliau tetap keluar untuk menemui para sahabatnya untuk sekedar bersilaturahim dan minum kopi bersama di kawasan Kemang, Jakarta.

Waktu, tempat dan bagaimana cara kematian seseorang memang sudah menjadi takdir (ketentuan) dari Allah SWT. Manusia tidak dapat menolaknya, meskipun manusia berusaha untuk menahannya. Demikian pula yang terjadi dengan Ustadz UJE, meskipun telah mendapat firasat sebelumnya dan istrinya melarang untuk keluar rumah karena badannya kurang fit, namun toh beliau tidak dapat menolak kehendak Allah SWT tentang waktu, tempat dan bagaimana kematian datang menjemput. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan demikian.

Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?." Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati (QS. Ali Imran 3: 154).

        Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa pada hakikatnya manusia meninggal melalui 2 (dua) cara yaitu mati dan dibunuh. Mati disini maknanya adalah seseorang meninggal dengan cara wajar tanpa sebab sesuatu karena memang takdir kematiannya telah datang. Adapun makna dibunuh bahwa kematian seseorang disebabkan oleh sesuatu (melalui sesuatu), entah itu dibunuh dalam arti sebenarnya (perang, tindak kriminal, dll), dibunuh oleh penyakit, dibunuh oleh kecelakaan, dibunuh oleh keracunan, dan lain sebagainya.

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS. Ali Imran 3 : 144).

       Dalam kurun hampir dua bulan ini, saya sendiri pun mengalami peristiwa yang datang di luar logika nalar saya. Ada tetangga, teman, dan keluarga yang dipanggil kembali ke Rahmattullah. Semoga mereka semua diampuni dosa-dosanya dan diterima amal ibadanya. Amin. Dan keluarga yang ditinggalkannya diberikan kekuatan, ketabahan, kesabaran dan keikhlasan oleh Allah SWT. Amin.

      Manusia hakikatnya tidak berkehendak (minta) untuk dilahirkan dan manusia juga tidak kuasa menolak datangnya kematian. Hidup dan mati adalah proses yang harus dijalani oleh manusia, dan semua ini atas kehendak Allah SWT. Seperti kita ketahui bersama bahwa ada 4 (empat) alam yang harus dilalui manusia sebelum kembali kepada Allah SWT, yaitu Alam Kandungan, Alam Dunia (yang saat ini sedang kita jalani), Alam Barzah (di dahului dengan kematian) dan Alam Akhirat. Jadi mau tidak mau, ikhlas maupun terpaksa, manusia harus melalui ke–empat alam ini. Datangnya kematian juga tidak memandang usia, ada yang masih bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Semua sudah diskenariokan oleh Allah SWT, dan manusia tidak dapat menolaknya (hanya bisa menerima).

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (QS. Al-Ankabuut 29: 57).

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan” (QS. Waqiah 56:60).

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan   (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan” (QS. Munaafiquun 63: 11).

Mengaku Ahli Ibadah Mengapa Takut Mati?

    Kematian bagi sebagian orang memang dianggap sesuatu yang “menyeramkan”, padahal ini proses alami yang harus dijalani. Bahkan yang lebih ironis lagi, kematian tidak hanya ditakuti oleh mereka yang banyak dosanya (kondisi ini wajar), tetapi juga mereka yang terkadang mengaku ahli ibadah. Saya hanya ingin sedikit bertanya kepada para pembaca, “Sudahkah anda siap menjemput datangnya kematian? Kalau seandainya besok atau nanti malam anda mati sudah siapkah?”. Kalau anda tidak siap, pasti ada alasannya. Apakah alasan itu diantaranya anda masih banyak dosa dan pahala yang anda kumpulkan belum cukup untuk menebus akhirat? Apakah alasan anda bahwa anak-anak anda masih kecil dan butuh anda untuk membiayainya? Atau apakah siapa yang nanti mengelola usaha saya yang sudah maju sedemikian pesatnya? Dan mungkin banyak alasan-alasan lain yang irrasional. Padahal secara jelas Allah SWT berfirman, datangnya kematian sudah ditentukan dan tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Siap tidak siap, ikhlas atau terpaksa kematian akan datang menjemput.
           
        Kalau anda mengaku merasa ahli ibadah karena telah menjalankan ibadah shalat fardlu 5 (lima) waktu tanpa terlewatkan dan shalat sunnah (dhuha, tahajud, hajat, dll), setiap tahunnya berpuasa ramadhan, mengeluarkan zakat fitrah, sudah naik haji (bagi mereka yang telah menjalankannya), sudah menyantuni anak yatim piatu, fakir miskin, dan lain sebagainya, lalu mengapa anda takut mati? Kalau anda yakin ibadah anda diterima Allah SWT dan Allah SWT mengampuni dosa-dosa anda mengapa anda takut mati? Kalau anda yakin bahwa anda menjalankan ke-islam-an dengan benar, telah beriman dan bertakwa mengapa anda tidak minta disegerakan datangnya kematian? Bukankah kematian sebagai proses untuk kembali kepada Allah SWT? Atau jangan-jangan anda tidak yakin dengan ibadah anda apakah diterima atau tidak oleh Allah SWT? Jadi bagaimana ini? Katanya anda telah mendapat petunjuk dan hidayah, lha kok takut mati!!! Jangan–jangan selama ini apa yang anda kerjakan hanya sebatas merasa (berprasangka), padahal merasa (prasangka) jauh dari kebenaran.

“Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya”. (QS. Al-Baqarah 2:94-95)
            
          Ayat di atas sebenarnya menginformasikan, bahwa Allah SWT menanyakan sekaligus menguji kita tentang ke-islam-an, ke-iman-an dan ke-takwa-an kita. Apakah memang benar bahwa islam, iman, dan takwa yang kita jalani sudah benar? Apakah kita benar-benar telah mendapat hidayah, petunjuk, rahmat dan ridha-Nya? Atau jangan-jangan semua itu (amal ibadahnya) hanya sebatas merasa. Saat kita ber-syahadat, mendirikan shalat, menjalankan puasa ramadhan, memberikan zakat fitrah, dan menunaikan haji (bagi yang mampu) adalah sebagai tanda telah menjalankan perintah Allah SWT. Namun demikian itu belum cukup karena belum ada bukti (kebenaran) dari Allah SWT. Apa bukti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji anda dibenarkan Allah SWT? Apa bukti bahwa anda mendapat hidayat, petunjuk, rahmat dan ridha-Nya? Kalau boleh saya analogkan, ibarat anda menempati sebuah rumah dan anda mengaku bahwa ini rumah anda (baru sebatas tanda), namun kemudian anda ditanya mengenai buktinya (sertifikat atas nama anda) bahwa memang itu rumah anda, kalau anda tidak bisa menunjukkan sertifikat atas nama (atau nama istri/suami/anak) berarti rumah itu bukan milik anda, jadi posisi sebenarnya mungkin anda hanya menyewa, mengontrak, disuruh menempati, dll.

            Berbeda dengan kondisi orang yang memang telah diberikan tanda dan bukti bahwa dia telah di-islam-kan, di-iman-kan, di-takwa-kan, diberi hidayah, petunjuh, rahmat dan ridho dari Allah SWT semua ada buktinya dan ini dialaminya sehingga ibadahnya sudah dibenarkan (haqqul yaqin) oleh Allah SWT.  Makanya tidak heran, manusia seperti ini tidak akan takut akan datangnya kematian, justru hamba ini memohon kepada Allah SWT agar segera memanggilnya karena rasa cinta dan rindunya untuk segera bertemu dengan kekasihnya yaitu Allah SWT.

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya. Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (kematian), (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila Kiamat sudah datang?” (QS. Muhammad 47:17-18)

Nb : Kematian adalah kiamat kecil (sughra/personal) dan hari kiamat adalah kematian besar (kubra/massal)

Tanda dan Ilmu Kematian

          Sebelum saya menutup artikel ini, saya ingin berbagi ilmu dan tanda-tanda seseorang akan dipanggil Allah SWT.

Pertama, Secara ilmu pengetahuan (medis), tanda fisik seseorang yang akan meninggal dunia adalah kuping (bagian) bawah akan menutup. Jadi ketika anda melihat saudara, teman, keluarga maupun orang lain yang sedang terbarisng sakit, namun telingga bagian bawah sudah mulai menutup maka itu sebagai tanda bahwa orang tersebut usianya tidak lama lagi. Dengan demikian anda yang masih hidup mempunyai kesempatan menuntun agar mereka banyak berdzikir, bersyahadat, dll.

Kedua, manusia yang telah dikarunia Allah SWT kembali fitrah (ar-ruh berkuasa atas tubuh ini), maka anda dapat berdialog dengan ar-ruh mereka yang sedang sakit. Misalnya handai taulan anda sakit dalam kondisi tidak sadar diri, maka komunikasi secara verbal tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, medianya adalah ar-ruh. Anda dapat menyalami ar-ruh si sakit dan berdialog apakah dia akan sembuh atau tidak, karena ar-ruh (amr Tuhan) tahu posisi dan kondisi dirinya. Bila ar-ruh si sakit memberi tanda akan meninggal maka tuntunlah (ingatkanlah) dia bahwa tujuannya adalah kembali ke Allah SWT, sehingga di kampung akhirat-insya Allah-ditempatkan ditempat yang mulia/terpuji. Itu mengapa Rasulullah SAW, dan para Waliyullah tahu tentang kedatangan kematian seseorang atas ijin Allah SWT.

Ketiga, Anda maupun mereka yang masih hidup, dan tanda akan datangnya kematian maka akan didatangi malaikat Izroil. Biasanya malaikat ini “mengintai” gerak-gerik kita dan posisinya hanya diam (tidak dapat diajak bicara). Inilah tanda bahwa Allah SWT Maha Rahman dan Rahim, dengan memberikan anda “sedikit” waktu untuk bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya serta mempersiapkan diri untuk ikhlas menerima datangnya kematian. Sedangkan manusia yang tidak tahu bahwa itu malaikat Izroil, maka dirinya akan merasa gelisah, bingung, ketakutan, dll (terkena azab) karena dirinya merasa diintai oleh seseorang yang tidak dikenalnya, sementara orang lain tidak melihatnya.

“Kami tidak menurunkan malaikat (izroil) melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh (kematian)” (QS. Al-Hijr 15: 8)

Semoga artikel ini berguna dan bermanfaat.

Untuk menambah wawasan beragama anda silahkan download E-Book (Electronic Book) pertama saya yang berjudul :     MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH dan E-Book kedua yang berjudul: MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH


Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!! 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan FC
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim

Jumat, 26 April 2013

Belajar "Ke-Tauhid-an" Kepada Pohon Pisang

BELAJAR “KE-TAUHID-AN” KEPADA POHON PISANG


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran 3: 191).

          Begitu besar kenikmatan hidup yang telah Allah SWT berikan kepada kita kalau kita mau merenungi (tafakur). Nikmat yang tertinggi adalah kita diberikan nafas (kesadaran) yang mempunyai nilai tak terhingga. Belum lagi nikmat dibalik nafas tersebut, dimana untuk menjalani hidup ini kita tidak direpotkan untuk mengatur hembusan dan tarikan nafas. Semua berjalan dengan kehendak Allah SWT melalui Qohar-Nya (Yang Maha Menggerakkan).

          Kesadaran-lah (berakal) yang membuat manusia dilebihkan dari makhluk-makhluk lainnya. Namun kebanyakan dari kita senantiasa berada dalam posisi sadar, hidup kita kebanyakan lebih banyak terjaga. Apa beda sadar dan terjaga? Sadar adalah posisi kita senantiasa ingat akan kenikmatan Allah SWT (dzikrullah) yang diberikan kepada kita, sehingga dalam menjalani hidup ini senantiasa bersyukur, positive thinking, berperilaku akhlaqul karimah, tidak mau merugikan (menzalimi) orang lain di segala tempat dan waktu (aktivitas), dan lain sebagainya. Inilah produk manusia yang senantiasa selalu ”tersambung” kesadarannya kepada Tuhan.

          Sedangkan manusia yang terjaga adalah ibarat zombie. Kesadarannya jauh dari jalan Tuhan. Perilakunya senantiasa merugikan orang lain, tidak pernah bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan, ada sifat sombong, iri, dengki dan sifat negatif lainnya. Jadi hidupnya dilingkupi oleh nafsu fujur, jauh dari nilai-nilai ke-Tuhan-an.

          Orang yang berakal adalah mereka yang cerdas spiritualnya, karena mampu ”membaca” apa-apa yang diciptakan Allah SWT dan mengambil hikmah (pelajaran). Manusia ini juga tidak malu dan merasa diri ini bodoh sehingga mau belajar banyak, baik kepada manusia lain maupun lingkungannya.

          Ambilllah contoh bagaimana belajar ”Ke-Tauhid-an” kepada pohon pisang. Apa sih hikmah (pelajaran) dari pohon pisang? Sepertinya ya biasa-biasa saja! Apa istimewanya?

          Coba perhatikan secara seksama adakah pohon pisang yang bercabang? Tentu tidak ada bukan? Tegaknya pohon pisang yang menjulang ke atas sebenarnya memberikan pelajaran kepada kita bahwa orang yang mengaku beragama, beriman, dan bertakwa dalam bertauhid (beribadah) kepada Allah SWT harus lurus/hanif/tidak kemana-kemana. Semua fokus kepada Allah SWT. Hidupnya tidak tergoyahkan oleh hal-hal yang sepele seperti cibiran, fitnah, tuduhan-tuduhan negatif, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang tercermin dari Rasulullah SAW ketika beliau syiar islam. Meskipun beliau disakiti secara fisik oleh musyrikin quraisy, dianggap sesat, difitnah, dituduh penyihir, dan lain sebagainya, namun beliau tetap kokoh menyampaikan risalah islam.

          Pohon pisang-pun tidak akan mati sebelum berbuah, sehingga dapat dinikmati makhluk lainnya. Ini artinya sebagai manusia janganlah mati dalam keadaan tidak berguna bagi lingkungannya. Apalagi membuat susah orang lain. Ibarat pepatah mengatakan Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia beragama seharusnya dapat bermanfaat bagi orang lain, minimal di lingkungan dimana kita hidup, sebelum ajal menjemput kita.

          Selain itu, pohon pisang-pun tidak akan mati sebelum tumbuh penggantinya (anak pohon pisang). Harus ada regenerasi sebelum dirinya punah. Demikian pula kita sebagai manusia harus mampu memberikan tongkat estafet kepada keturunan maupun umat untuk meneruskan perjuangan hidup yang lebih baik.

          Dari anatomi pohon pisang pun, hampir semua bergunan. Batang pisang bisa digunakan untuk pegelaran wayang kulit, membuat sampan, dan lain sebagainya. Daun pisang bisa untuk membungkus masakan, melindungi dari terik matahari atau terpaan air saat hujan. Jantung buah pisang bisa untuk sayur mayur, sementara buahnya di makan.

          Jadi jangan anggap remeh pohon pisang, ada pelajaran berharga baik ”tersurat” (fisik) maupun ”tersirat” (tafsir keimanan) yang begitu memukau kita kalau benar-benar kita tafakuri. Semoga para sahabat juga dapat menafakuri makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Selamat bertafakur dan jadilah orang yang berakal !!!

Untuk menambah wawasan beragama anda, silahkan download E-Book pertama saya yang berjudul : MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW DALAM BERMA'RIFATULLAH dan E-Book kedua saya yang berjudul : MENGAJI AL-QUR'AN KEPADA ALLAH. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin.

Marilah kita tetap ISTIQOMAH untuk meraih ridha Allah SWT!!!    
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Iwan FC
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim