DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Jumat, 30 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (10)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bapak tersebut kaget dan mengeryitkan dahinya. Namun sebelum sempat berbicara, langsung saya timpali dengan jawaban selanjutnya,”Kenapa saya katakan kurang tepat, karena bapak sudah menganggap ustadz itu hebat, segala-galanya dan sempurna. Padahal seharusnya kita semua tidak boleh taklid buta kepada siapa pun selama dia itu makhluk Allah SWT. Pasti suatu saat anda akan mengalami kekecewaan, karena manusia itu tidak sempurna. Sebagai seorang yang beriman maka bertaklid-lah hanya kepada Allah SWT karena Dia-lah yang Sang Maha Sempurna. Pasti tidak akan kecewa”.

Suasana hening.

“Coba bapak renungkan ketika ustadz tersebut menceritakan pengalaman spititualnya yang dia sendiri tidak melakukan apa-apa. Bukankah ini sebagai salah satu tanda akibat taklid buta! Karena hanya mendengar dari orang lain kemudian menceritakan (mendongeng) kepada para jamaahnya”.

QS. An-Nahl 16 : 24-25,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘apakah yang telah diturunkan Tuhan-mu?”. Mereka menjawab:’Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”,(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.

Tidak berapa lama kemudian saya langsung melanjutkan,“Adapun mengenai pandangan saya terhadap pertanyaan yang Bapak ajukan tadi, sebenarnya sudah ada jawabanya di Al-Qur’an. Biarlah Allah SWT yang menjawab melalui firman-Nya. Karena saya tidak mau memvonis seseorang. Hanya Allah SWT yang berhak. Coba bapak buka dan perhatikan surat Ash-Shaff ayat 2 dan 3, disana jelas sekali jawabannya,” sambung saya.

Beliau mengambil Al-Qur’an, membuka dan membacanya secara perlahan kata demi kata:

QS. Ash-Shaff 61: 2-3
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”

Sejenak wajahnya terperanjat, namun tersirat kepuasan akan jawaban tersebut. Kemudian saya menimpali, “Mungkin sang ustadz saat itu baru khilaf, dan dipermainkan oleh hawa nafsunya sehingga tidak menyadari kelalaiannya. Kadang manusia karena dihinggapi rasa sombong dan biar dianggap hebat, terutama di depan manusia lain yang mengaguminya, berani mengatakan sesuatu yang tidak pernah diperbuatnya. Padahal konsekuensi yang harus diterima sungguh sangat berat yaitu kebencian di sisi Allah SWT.”

Kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju. Kemudian dia terlihat tertegun dan merenung. Saya juga mengusulkan agar dia membuka surat lain, yaitu tentang peringatan Allah SWT kepada ahli kitab dijaman Nabi Musa AS, yang intinya hampir sama.

QS. Al-Baqarah 2 : 44
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”

Agar sang bapak lebih yakin, saya mencoba meng-analog-kan dan me-logika-kan peristiwa yang dialaminya.

“Jika seandainya ada seorang yang buta kemudian ditunjuk sebagai pimpinan untuk menunjukkan jalan bagi rombongan orang lain yang kebetulan juga buta, sementara sang pemimpin sendiri hanya mendapatkan informasi jalan yang akan dilaluinya hanya berdasar kumpulan cerita tentang jalan tersebut dan tanpa pernah sekalipun dia melewatinya, kira-kira apa yang akan terjadi? Mampukah sang pemimpin dan rombongannya datang dengan selamat sampai tujuan? Mungkinkah dia mampu membimbing, menuntun dan mencerahkan pengikutnya? Apakah kondisi ini justru tidak malah membahayakan, menjerumuskan, merugikan dan mencelakakan orang lain yang dituntunnya?

Tidak berapa lama sahabat saya tersenyum, tanda puas dan mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Tampak rona wajahnya berseri-seri, tidak seperti tadi sewaktu datang.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar dari masjid sebelah berkumandang adzan subuh. Kemudian kami bersama-sama dengan para sahabat lainnya bergegas mengambil wudhu dan bersiap-siap mendirikan shalat Subuh berjamaah.

Renungan :
Kita semua kalau mau jujur juga sering mengalami peristiwa tersebut. Mungkin hanya beda kasusnya namun sama intinya. Beda sebabnya namun akibatnya sama. Banyak kok yang mengaku sebagai ustadz yang bercerita panjang lebar mengenai agama dan pengalaman spiritual, saat berdakwah, namun dalam kesehariannya, apa yang sering diucapkan sungguh berbeda dengan perilakunya.

Mungkin dengan cerita itu semua semata-mata hanya untuk menutupi kekurangannya atau biar dianggap hebat di depan para jamaah. Tetapi justru inilah yang berbahaya bagi diri sendiri maupun jamaahnya. Bukankankah sudah jelas apa yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur’an seperti ayat As-Shaff 61 : 2-3 diatas?

Bagaimana menurut anda?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS

Pondok Cinta Kasih

Kamis, 29 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (9)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Begitu terpesonanya sahabat saya, maka berbagai cara ditempuh agar dekat dan dikenal oleh sang ustadz. Hampir di setiap kesempatan tidak pernah absen untuk menghadiri acara dakwah dan bersilaturahmi. Bahkan upaya mendekati keluarga sang ustadz pun dilakukan, dengan harapan tidak ada jarak lagi antara dia dengan sang ustadz.

Waktu terus berlalu. Akhirnya apa yang diinginkan tercapai. Sepertinya sudah tidak ada lagi jarak yang memisahkan antara sahabat saya dengan sang ustadz. Layaknya keluarga. Sehingga kapan pun dapat berkomunikasi baik bertemu langsung maupun melalui alat telekomunikasi. Dengan pengecualian, saat sang ustadz sedang memberikan dakwah dan beristirahat dengan keluarganya.

Saking dekatnya, sahabat saya sudah tidak sungkan-sungkan lagi menanyakan hal yang sifatnya pribadi kepadanya namun pertanyaan tersebut masih dalam bingkai agama.

Maka pada suatu hari, bagai disambar petir di siang bolong, begitu terkejutnya sahabat saya, sehingga perasaan kecewa, gundah gulana, penyesalan dan sedih, bercampur aduk menjadi satu dalam batinnya hingga terbawa terus sampai malam itu. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata hal ini disebabkan dari sebuah pertanyaan darinya yang diajukan kepada sang ustadz, dimana jawaban tersebut diluar-dugaan dan nalarnya.

Saat itu sahabat saya menanyakan suatu masalah yang intinya adalah kekagumannya atas ilmu agama yang dikuasai oleh sang ustadz, lalu bagaimana cara belajarnya dan laku apa saja yang harus ditempuh dalam berspiritual sehingga mampu mencapai maqam yang begitu tinggi.

Memang hampir dalam setiap kesempatan berdakwah, sang ustadz kadang menceritakan pengalaman spiritualnya. Inilah yang membuat sahabat saya penasaran. Tak jarang banyak pujian diberikan kepadanya, mengingat laku spiritual sunggulah berat, karena banyak godaan dan cobaan. Apalagi untuk jaman sekarang ini. Berbagai macam godaannya. Sahabat saya ingin sekali mengetahui tips-nya sehingga mampu menempuh laku spiritual tersebut.

Tetapi jawaban yang diberikan sungguh sangat mengagetkan. Sang Ustadz berkata bahwa saat menyampaikan perihal materi perjalanan spiritual sebenarnya beliau tidak pernah menjalaninya. Ternyata cerita tersebut didapat dari mendengar dan menampung laku spiritual dari beberapa orang yang dikenalnya. Tetapi anehnya saat berceramah, sang ustadz mengaku-aku bahwa dirinya paham ilmu dan pengalaman spiritual yang dialami.

Sahabat saya langsung shock dan kecewa. Tanpa basa-basi lagi di depan sang ustadz, dia langsung memvonis dengan sebutan “jarkoni” yang merupakan singkatan dalam bahasa jawa yaitu “iso ngujar gak biso nglakoni” (Bisa berbicara/bercerita tapi tidak pernah melakukan). Tanpa berusaha membela sedikitpun, sang ustadz mengiyakan vonis tersebut.

Mungkin sang ustadz sudah menganggap sahabat saya seperti keluarga sendiri, sehingga tidak perlu menyembunyikan kenyataan yang ada saat menceritakan kejadian yang sebenarnya dan menduga sahabat saya mau menerima kondisi tersebut. Namun dugaan tersebut keliru, sahabat saya langsung pamit pulang tanpa mengucapkan salam. Mungkin terlanjur kecewa.

Demikian sahabat saya mengakhiri ceritanya. Namun setelah bercerita panjang lebar, terlihat bahwa rona wajah sahabat saya mulai berubah cerah. Mungkin beban yang selama ini dipikulnya sendiri pada akhirnya dapat dibagi. Syukurlah.

Sejenak dia terdiam untuk menenangkan diri dan tidak berapa lama berselang mengajukan pertanyaan kepada saya. ”Bagaimana pandangan anda mengenai peristiwa dan pengalaman yang saya ceritakan tadi?”

Saya tidak langsung menjawab, tetapi memberikan sedikit usulan terlebih dahulu. “Sebelum menjawab pertanyaan bapak, terlebih dahulu saya mohon maaf kalau nanti ada kata-kata saya yang mungkin dapat menyinggung perasaan bapak!”

Beliau menganggukan kepala tanda setuju, kemudian saya katakan,”Sebetulnya usaha bapak untuk menambah ilmu agama itu sudah betul dan saya secara pribadi salut. Namun seringkali dalam menyikapi berguru kepada seseorang mungkin bapak kurang tepat.”

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Selasa, 27 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (8)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kami kemudian bersiap-siap untuk berdzikir bersama. Kurang lebih hampir 45 menit kami khusyu dalam alunan dzikir dan tidak terasa waktu menunjukkan pukul 03.45 WIB yang berarti akan segera memasuki shalat Subuh.

Di sela-sela waktu yang tersedia dan sambil beristirahat menunggu datangnya subuh, kami menikmati hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Saya memanfaatkan jeda tersebut untuk menuntaskan rasa penasaran saya dan mencoba memberanikan diri menanyakan apa yang sedang terjadi pada sahabat saya yang membuatnya sedih.

“Maaf pak!, saya perhatikan sejak kedatangan tadi, sepertinya kok kelihatan murung? Kalau benar, boleh tahu ada masalah apa?”

Beliau kaget mendengar pertanyaan itu. Sejenak dia terdiam dan menghela nafas cukup panjang. Seperti ada beban psikologis yang cukup berat sedang menghimpit dadanya. Sejenak terdiam. Saya berusaha menunggu dengan sabar, dan berharap dia mau menceritakan apa yang menjadi ganjalan hatinya. Siapa tahu dengan bercerita, beban yang dideritanya menjadi berkurang. Tidak berapa lama kemudian, syukur Alhamdulillah, dia mulai bercerita untuk mengeluarkan rasa kegalauan dan kegelisahannya.

“Sebenarnya sejak datang tadi saya ingin bercerita kepada Anda, namun saya bimbang dan ragu!”

“Lho kenapa? Tidak usaha bimbang dan ragu. Kita semua disini sudah seperti keluarga sendiri. Forum silaturahmi ini juga tidak hanya membahas mengenai kajian agama saja tetapi juga untuk sharing masalah keluarga, pekerjaan, dan lain sebagainya. Siapa tahu para sahabat disini dapat memberikan solusi bagi masalah yang tengah bapak hadapi”.

“Bukan masalah keluarga dan pekerjaan yang sedang saya hadapi kok Mas. Saya pengin cerita namun takut cerita ini dikira membuka aib seseorang”.

“Bapak tidak usah merasa bersalah begitu. Malah nanti membebani diri sendiri. Menurut saya selama cerita tersebut membuat hidup bapak nyaman, saya kira tidak masalah. Mungkin juga apa yang ingin bapak sampaikan dapat bermanfaat dan menambah pelajaran baru bagi kami semua yang hadir disini.” Dengan sedikit berat hati sang bapak akhirnya bercerita. Kami semua terdiam mendengarkannya.

Diawali ketika selama beberapa bulan terakhir ini beliau tidak hadir dalam forum pengajian Sabtu malam Minggu. Ternyata semua itu ada sebabnya. Beliau ingin menambah wawasan dalam beragama dengan berguru pada seorang ustadz yang cukup dikenal dan disegani.

Dalam forum pengajian kami memang demokratis dan mempersilakan para sahabat untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya kepada siapa saja, sebagai bekal memperdalam kajian agama. Karena ini akan memperkaya ilmu dan pengetahuan. Memang tidak ada salahnya, semakin banyak guru maka semakin banyak pula ilmu dan wawasan agama yang dapat diperoleh. Dengan demikian, kami semua diharapkan lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi hidup yang semakin komplek dengan segala permasalahan.

Berawal dari rasa penasaran sahabat saya dengan ilmu agama yang dikuasai oleh seorang ustadz. Ini juga terlihat dari begitu banyaknya jamaah yang hadir dalam setiap pengajian yang beliau pimpin. Bapak yang duduk di sebelah saya dengan tekad membara ingin menimba ilmu agama sebanyak-banyaknya dari ustadz tersebut. Memang ustadz ini tergolong kharismatik. Bahkan tidak jarang banyak diantara jamaah yang rela menunggu kedatangan beliau ketika akan hadir sebagai pemberi tausyiah.

Tidak jarang pula sang ustadz berhari-hari tidak pulang ke rumah karena kesibukannya memenuhi panggilan dakwah ke beberapa daerah. Maka tidak heran, saat sang ustadz sedang berada di rumah, banyak tamu yang memanfaatkan untuk bersilaturahmi barang sejenak dua jenak meskipun diembel-embeli dengan membawa kepentingan dan masalah pribadi masing-masing. Ya, minta dido’akanlah supaya dagangannya lancar, cepat naik jabatan, sembuh dari sakit, dll. Sebenarnya sih sah-sah saja. Namun kebanyakan dari mereka datang bukan murni bersilaturahmi layaknya seorang muslim dengan muslim lainnya. Tetapi keinginan silaturahmi pada awalnya berasal dari kepentingan pribadi.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Senin, 26 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (7)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(3)
Ustadz “Jarkoni”

Sabtu malam Minggu adalah hari spesial bagi saya dan para sahabat. Spesial karena inilah waktu dimana kami dapat berkumpul bersama dan saling bersilaturahmi dengan para sahabat, setelah hampir seminggu tidak bertemu. Semua ini terjadi karena rahmat dan ridha Allah SWT, sehingga kami dipertemukan dalam forum pengajian. Forum ini khusus memperdalam kajian agama islam, terutama pemahaman mengenai kitabullah (Al-Qur’an Al-Karim). Selain itu juga ada dzikir bersama dan shalat subuh berjamaah. Sementara untuk hari-hari lainnya (diluar malam Minggu), kami biasanya belajar Al-Qur’an secara mandiri di rumah masing-masing. Apabila dalam belajar dan menalaah isi Al-Qur’an ada suatu ayat yang kurang jelas pemahamannya maka kami akan diskusikan pada pertemuan pengajian berikutnya.

Pengajian biasanya dimulai sehabis shalat Isya’ dan berakhir pada pagi hari setelah mendirikan shalat Subuh secara berjamaah. Syukur Alhamdulillah, meski kami harus tidak tidur semalaman, Allah SWT memberikan kekuatan dan kesehatan sehingga kami tidak mengantuk dan tetap fokus menimba ilmu dari-Nya. Memang terasa aneh, bila kita mau bersungguh-sungguh dan meluruskan niat belajar memahami Al-Qur’an dan mengkaji berbagai hal mengenai berbagai persoalan agama, tiba-tiba ada daya yang mendorong kami untuk tidak ingin tidur. Waktu juga seolah-olah cepat berlalu tanpa terasa.

Suatu saat, dalam forum pengajian pada awal bulan Desember 2009, saya kebetulan bertemu dengan salah seorang sahabat yang sudah lama tidak hadir. Sambil bersalaman dan menanyakan kabarnya, kami duduk bersebelahan. Tidak lama kemudian, secara tidak sengaja saya sejenak memperhatikan raut wajahnya. Jelas terlihat seperti ada sesuatu yang menganjal dihatinya. Karena apa yang terpancar dari raut wajah seseorang tidak bisa ditipu karena itu cerminan dari suasana hati yang sebenarnya.

Namun saya sempat ragu dan berusaha menepis anggapan itu, “Ah...jangan-jangan saya yang salah menilainya,” guman saya dalam hati. Meski demikian rasa penasaran tetap menggelayuti. Ingin rasanya segera bertanya kepadanya tetapi urung saya lakukan karena pengajian akan segera di mulai.

Dalam setiap pertemuan, kami sebisa mungkin membahas topik yang sedang hangat dan menjadi pembicaraan khalayak ramai. Hal ini sebagai antispasi, agar kami semua tidak tergagap-gagap dalam menyikapi peristiwa, terutama bila dihubungkan dengan agama. Malam itu kebetulan topik bahasan mengenai kontroversi pemutaran film 2012, karena sebagian umat islam ada yang pro dan kontra dengan berbagai argumen masing-masing.

Tetapi yang kami bahas bukan masalah boleh tidaknya menonton film, tetapi lebih fokus atas esensi film tersebut yaitu peristiwa hari kiamat ditinjau dari Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Sungguh terasa hidup diskusi malam itu, hingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB. Syukurlah, pada saat itu pula kajian tentang topik hari kiamat pada akhirnya selesai, karena semua sahabat mendapat titik temu dan kesimpulan yang sama.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS
Pondok Cinta Kasih

Sabtu, 24 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (6)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kembali lagi kepada topik semula yaitu bagaimana pandangan kita dalam menilai cara dakwah yang dilakukan dengan cara “melawak”. Sudah tepatkah cara tersebut? Mengingat kondisi jamaah saat sekarang ini jauh berbeda dengan kondisi dahulu yang rata-rata belum memeluk agama islam. Pertanyaannya adalah dibenarkan atau tidakkah cara berdakwah sambil melucu yang membuat jamaah sampai tertawa pingkal-pingkal? Kalau pun dengan alasan seni dan untuk menarik perhatian, seberapa besarkah batas toleransinya?

Sebagai referensi mari kita coba menengok kejadian pada masa Rasulullah SAW.

Pada suatu hari Muhammad SAW mendatangi para sahabatnya yang saat itu sedang berkumpul dan bercengkerama. Dari kejauhan beliau mendengar tawa yang sangat keras. Kemudian beliau mendatangi mereka dan menegur para sahabatnya agar jangan tertawa terbahak-bahak, karena hal yang demikian dapat membuat lalai dari mengingat Allah SWT.

Rasulullah SAW sendiri dalam kehidupan sehari-hari memberikan contoh dengan tidak pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Namun beliau tidak pernah meninggalkan senyum ketika bertemu dengan seseorang. Senyum dan tertawa sungguh berbeda, karena senyum lebih halus dan santun dibandingkan tertawa.

Selain itu senyum mengandung unsur ibadah karena menyenangkan orang lain. Dengan tersenyum membuat orang yang kita temui merasa dihormati, friendly, dan memudahkan dalam menjalin silaturahmi (percakapan). Bisa anda bayangkan ketika anda bertemu dengan seseorang yang raut wajah “mendung”, pasti tidak enakan memandangnya, apalagi menyapa dan mengajaknya berbicara.

Namun ketika senyum berubah menjadi tertawa yang terbahak-bahak tentulah tidak baik. Dari segi sopan santun dan etika masyarakat pun tidak etis. Bahkan Nabi SAW mengingatkan bahwa tertawa jenis ini akan melalaikan kita dari mengingat Allah SWT, karena sesuatu yang berlebihan dan melewati batas kewajaran tidak-lah baik.

Oleh karena itu, idealnya saat berkumpul dengan sahabat kita, janganlah sampai membahas mengenai dunia secara berlebihan. Berbicaralah seperlunya saja, dan bahaslah selalu topik mengenai tentang firman-firman Allah SWT atau berdzikir bersama, ini lebih bermanfaat. Karena Rasulullah SAW pun melakukan hal yang demikian.

Sebagaimana pesan lagu Tombo Ati yang merupakan gubahan dari sahabat Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra, dimana salah satu pesan dalam tembang tersebut menganjurkan kepada umat islam agar selalu mengumpuli atau berkumpul dengan orang shaleh, karena orang shaleh pasti akan membicarakan tentang Allah SWT, Nabi dan Rasul-Nya, Al-Qur’an, berdzikir dan segala hal yang berhubungan dengan agama. Ini semata-mata agar kita tidak lalai untuk senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allah SWT disetiap waktu dan kesempatan.

QS. Al-A’raaf 7 : 205,
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

QS. Al-Kahfi 18 : 28,
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.

QS. Ar-Rum 30 : 7,
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.

Lalu bagaimana sikap kita kalau menemui ustadz yang berdakwah namun justru porsi hiburannya lebih banyak porsinya daripada materi dakwah (ilmu agama) itu sendiri? Bukankah ini akan melalaikan kita? Bahkan mungkin kriteria ustadz seperti ini justru perilaku mereka menunjukan dan menjadikan agama sebagai sendau gurau? Atau jangan-jangan agar ordernya (duniawi) selalu banyak? Patutkah mereka berbuat demikian? Apakah mereka tidak takut akan peringatan Allah SWT seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an?

QS. Al-An’aam 6 : 70,
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkan(lah) mereka dengan Al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam nereka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari Allah. Dan jika, ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu”.

QS. Al-A’raaf 7 : 51,
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami”.

Renungan :

Dakwah tanpa seni ibarat hidangan tanpa garam. Namun jangan karena semata-mata untuk menarik perhatian jamaah maka harus mengorbankan esensi dari dakwah itu sendiri. Apalagi kalau tujuan mulia berdakwah diembel-embeli supaya banyak order dan menjadi terkenal sehingga segala cara dilakukan, seperti menyenangkan jamaah dengan melawak yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal dan sedikit sekali menyentuh materi dakwah. Cara ini tentulah tidak tepat. Bolehlah sekali-kali membuat joke tetapi masih ada benang merahnya dengan materi yang disampaikan, agar membuat suasana menjadi fresh. Namun janganlah berlebihan dan melampaui batas. Sebab mempermainkan dan bersendau gurau tentang agama akan melalaikan dari mengingat Allah SWT dan dilarang oleh agama.

Mari kita renungkan bersama!

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Fahri-SCHSS

Jumat, 23 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (5)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa berdakwah melibatkan atau tidak terlepas dari unsur seni dan budaya. Seni bagaimana menarik jamaah agar selalu betah mendengarkan uraian materi dan paham; bagaimana mengatur intonasi suara, pemilihan tata bahasa, mimik wajah maupun body language sang ustadz. Selain itu agar penyampaian dakwah efektif maka perlu juga mengetahui latar belakang dan budaya para jamaah setempat yang hadir. Dengan demikian tujuan dan misi dakwah menjadi tepat sasaran.

Sebagai gambaran, marilah kita menengok cara dakwah yang dilakukan Walisongo pada masa dahulu. Pada jaman walisongo menyampaikan dakwah juga tidak terlepas dari cara (seni) menarik masyarakat pada waktu itu yang kebetulan banyak menganut agama hindu. Pemilihan media (budaya) yang tepat juga menjadi pertimbangan agar mereka bersedia mendengarkan dakwah, sekaligus menarik masyarakat untuk bersedia memeluk agama islam.

Salah satu strategi yang ditempuh oleh salah satu sunan, yaitu Sunan Kalijaga terbukti efektif. Melalui media wayang kulit (seni dan budaya) mampu menarik animo masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kejelian membaca kondisi masyarakat yang haus akan hiburan dan latar belakang agama yang dianut. Oleh karena itu Sunan Kalijaga memakai atau mengambil media pewayangan untuk menyampaikan dakwah.

Pendekatan seni dan budaya ternyata terbukti tepat sasaran dan membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam. Tidak hanya masyarakat kalangan bawah yang tertarik, tetapi juga dari kalangan kerajaan. Maka tidak mengherankan jika kemudian islam berkembang pesat, bahkan sampai ke pelosok nusantara. Islam bukan lagi agama rakyat jelata dan kaum santri, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerajaan pada waktu itu. Islam yang tidak membeda-beda strata (golongan) mampu menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah taktik dan strategi yang jitu jika Sunan Kalijaga menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya dan pementasan wayang kulit. Disamping itu, mengingat obyek dakwahnya adalah orang-orang Jawa, maka beliau juga tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun beliau menguasai, tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan (ceramah), bahwa dakwah Sunan Kalijaga menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana ustadz, dai atau ulama jaman sekarang yang sering mengutip Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara fasih dalam menyampaikan dakwah.

Sunan Kalijaga lebih suka memakai bahasa setempat, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab. Beliau merasa pas dengan menggunakan bahasa lokal. Bahkan pesan-pesan yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa. Sementara dalam realitas kehidupannya sehari-hari, Sunan Kalijaga juga mampu memberikan teladan yang baik kepada masyarakat sekitarnya.

Selain menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, Sunan Kalijaga memperkenalkan agama Islam secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat atau kesenian daerah (adat setempat yang diberi sentuhan warna Islami). Banyak sekali maha karya beliau dalam bidang budaya.

Cara berdakwah juga dikembang melalui penciptaan lagu (tembang) yang mengandung ajaran dakwah dan mengandung nilai filosofi ajaran agama islam yang tinggi, seperti lagu Dandang Gulo atau lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab ditelinga sebagian besar masyarakat Jawa. Langkah lain yang ditempuh adalah dengan membuat bedug di masjid guna memanggil umat islam untuk mendirikan sholat berjama’ah.

Karya monumental lain yang masih terjaga dan diperingati oleh masyarakat Demak hingga saat ini adalah acara ritual Gerebeg Maulud (Gerebeg Besar) yang biasanya diselenggarakan setiap hari raya Idul Adha. Moment ini berasal dari kegiatan tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.

Tidak hanya Sunan Kalijaga, tetapi sunan yang lain seperti Sunan Drajat juga menggunakan bahasa setempat dalam menyampaikan dakwah.

Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS

Kamis, 22 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (4)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

(2)
NGELAWAK ATAU BERDAKWAH?

Pada suatu hari sahabat saya mendapat tugas dari pamannya untuk mencari ustadz dan mengusulkan nama pendakwah yang telah dikenalnya sebagai referensi. Kebetulan sang paman saat itu menjadi panitia perayaan hari besar agama islam, sebagai seksi acara.

Sejenak sahabat saya berpikir untuk mengingat kembali nama-nama ustadz yang pernah dikenalnya.

“Bagaimana kalau ustadz A?” usul sahabat saya. Pamannya menggelengkan kepala, tanda tidak setuju, dan tanpa memberi alasan.

Tidak berapa lama kemudian disusul dengan nama yang lain, “Oh ya, bagaimana kalau ustadz B paman? Bagus lho, cakrawala pengetahuan agamanya luas dan cara penyampaiannya mudah dipahami!”. Namun sekali lagi sang paman menggelengkan kepala, kemudian berkata,”Jangan yang itu sudah terlalu sering mengisi tausyiah disini dan banyak warga yang kurang pas dengan caranya memberikan dakwah!”

Sahabat saya memutar lagi ingatannya. Barangkali ada referensi lain. “Ada lagi paman, cuma kayaknya ini yang terakhir saya kenal, yaitu ustadz C!” seperti sebelumnya sang paman juga menggelengkan kepalanya.

Bingung karena setiap usulan yang disampaikan ditolak, maka sahabat saya menanyakan kepada sang paman,”Kalau begitu kriteria apa yang diinginkan warga? Siapa tahu saya dapat menanyakan kepada teman-teman, karena referensi saya sudah habis!”.

“Begini lho, warga disini menginginkan ustadz yang tidak saja menyampaikan tausyiah, tetapi yang bisa juga menghibur, ya...semacam melucu atau melawak!”

“Kok begitu kriterianya, mengapa harus ustadz yang bisa menghibur?”

“Pertanyaan yang bagus. Kenapa? Supaya warga yang hadir tidak mengantuk dan betah duduk berlama-lama sampai acara selesai. Karena dari pengalaman sebelumnya, banyak warga yang meninggalkan kursi dan berpamitan pulang sebelum acara selesai. Apalagi kalau ustadz-nya terlalu serius dalam menyampaikan materi dakwah!”

Sahabat saya hanya terdiam dan merenung. Dalam hatinya dia bertanya,”Kok aneh ya? Beginikah cara pandang warga dalam menyikapi seorang ustadz yang menyampaikan dakwah. Kalau begitu apa tidak sekalian mengundang pelawak saja biar suasana ramai, ketawa terbahak-bahak dan ger-geran!”

Kegelisahan ini-lah yang pernah diceritakan kepada saya. Hanya sedikit komentar yang keluar dari bibir saya pada waktu itu dan sambil tersenyum geli,”Mungkin lagi nge-trend kali!”

***

Apa yang menjadi kegusaran sahabat saya, juga pernah beberapa tahun yang lalu di kampung dimana kedua orang tua saya tinggal. Kejadian yang tidak pernah terlupakan.

Ketika itu kebetulan warga kampung mengadakan acara halal bihalal. Atas inisiatif salah seorang warga, dia mengusulkan mengundang salah seorang ustadz yang dikenalnya sekaligus teman akrabnya. Atas usulan tersebut warga setuju dan mempercayakan kepadanya.

Maka datang-lah moment acara halal bihalal yang ditunggu-tunggu. Setelah acara dibuka dan sedikit pidato dari ketua RT dan panitia, kemudian dilanjutkan dengan giliran sang ustadz mengisi sesi tausyiah. Sambil mencicipi jajanan (snack) yang disediakan panitia, kami semua mendengarkan materi tausyiah.

Sungguh di luar dugaan saya, ternyata warga sangat antusias mendengarkan dan memberikan applaus kepada sang ustadz. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata ustadz tersebut pandai melucu dalam menyampaikan dakwahnya sehingga membuat warga tertawa terpingkal-pingkal. Hampir 2/3 sesi tausyiah diisi oleh banyolan-banyolan yang kadang-kadang tidak ada benang merahnya dengan materi dakwah. Sungguh ironis, tapi saya hanya terdiam, karena warga menyukainya.

Setelah acara tausyiah selesai, kami warga antri untuk mengambil makan malam yang kebetulan disajikan secara prasmanan. Ketika antri itu-lah, saya dengan tidak sengaja mendengarkan pembicaraan beberapa warga.

“Wah ustadz-nya hebat ya. Bisa menghibur. Belum pernah saya duduk mendengarkan tausyiah sampai acara selesai seperti ini. Biasanya ustadz yang berceramah terlalu serius, makanya sering saya tinggal untuk merokok!”

“Iya..ya, saya juga suka!” sahut bapak yang lain.

Namun ada juga warga lain yang kurang sreg, dengan cara dakwah tadi. Karena inti dari acara halal bihalal tidak dibahas, kalau pun ada sebatas kulit permukaannya saja, sehingga tambahan ilmu agama yang ingin diperoleh tidak didapatnya.

Bahkan ada warga lain yang menganggap bahwa dakwah tadi ibarat pementasan kelompok lawak. Jadi sulit dibedakan apakah tadi ngelawak atau berdakwah!.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS

Rabu, 21 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (3)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Banyak orang islam yang memiliki pandangan dalam mempelajari Al-Qur’an targetnya adalah dapat menghafalkannya. Biasanya kalau sudah hafal, tamat atau khatam, orang tersebut akan mendapat gelar hafidz, atau lebih akrab lagi diberi gelar kyai.

Benarkah belajar Al-Qur’an memiliki batas demikian? Tentu tidak. Kalau standarisasi yang diambil seperti ini maka kitab Al-Qur’an akan menjadi stagnan dan usang. Padahal Al-Qur’an diturunkan sebagai penuntun umat sampai akhir zaman (kiamat). Di setiap zaman Al-Qur’an selalu mampu “berbicara”. Takwil dari ayat-ayat-Nya tidak pernah ketinggalan zaman. Inilah salah satu mukjizat dari kitabullah.

Pemahaman dan takwil bukanlah hasil pikir manusia, karena otak manusia tidak akan mampu men-takwil-kannya. Tetapi Allah-lah yang akan menjelaskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki dan dipilih, yang diturunkan ke dalam hati manusia. Inilah yang disebut dengan hidayah (ilmu dari Allah SWT). Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, tentunya yang menjelaskan Sang Pemilik wahyu, bukan otak manusia.

QS. Al-Baqarah 2 : 269,

“Allah menganugerahkan hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Namun banyak umat islam yang tidak percaya, bahkan mencoba men-takwil-kan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat mutasyabihat. Apa yang kemudian terjadi? Karena hasil pikir takwil didorong oleh nafsu maka hasil yang diperoleh pun menjadi keliru. Allah SWT melarang hamba-Nya untuk men-takwil-kan ayat mutasyabihat dan menganggapnya sebagai orang yang tidak berakal. Sekali lagi, adalah hak prerogatif Allah SWT menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada hamba yang dipilih dan dikehendaki.

QS. Ali Imran 3 : 7,

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

***

Membahas mengenai permasalahan ilmu dan agama ini membuat saya teringat atas kata-kata yang ditulis oleh seorang sahabat yang ditempelkan di dinding tempat pengajian biasa diselenggarakan, agar mudah dibaca para jamaah pengajian.

Agama berhubungan dengan Tuhan
Ilmu berhubungan dengan alam

Agama membersihkan hati
Ilmu mencerdaskan otak


Agama diterima dengan iman

Ilmu diterima dengan logika


Renungan :

1.Umat islam diwajibkan untuk membaca, mempelajari, memahami, mengaplikasikan dan syukur Alhamdulillah dapat menghafal ayat Al-Qur’an. Ini sebagai konsekuensi bahwa kita meyakini rukun iman yang ke empat yaitu beriman kepada kitabullah.

2.Pengertian hakiki dari pendakwah adalah manusia pilihan Allah SWT. Merekalah yang berhak menyampaikan dakwah, karena ilmu dan takwilnya telah dijelaskan sendiri oleh Allah SWT, bukan dinilai dari tingginya ilmu pengetahuan yang berasal dari proses belajar kepada manusia lain.

3.Bagi hamba yang dikehendaki dan dipilih Allah SWT selalu akan menyampaikan (berdakwah) atas ayat-ayat yang telah dipahamkan oleh Allah SWT. Tidak melebar ke ayat-ayat lain yang belum dijelaskan. Sebagaimana Rasulullah SAW mendapatkan wahyu secara bertahap (baik ilmu (ayat tersurat) maupun takwilnya (makna tersirat pada ayat tersebut).

Bagaimana menurut anda?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Fahri-SCHSS

Selasa, 20 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Waktu menunjukkan pukul 19.45 WIB. Setelah selesai mendirikan shalat Isya’ dan makan malam, kami berdua duduk santai di ruang keluarga untuk meneruskan diskusi tadi sore yang sempat terputus.

Saya yang mulai membuka diskusi tersebut,“Apa yang ayah jelaskan tadi sore memang benar. Kalau materi tersebut tidak diluruskan akan berakibat fatal”.

Ayah hanya menganggukan kepala, kemudian gantian angkat bicara,”Di ayat lain misalnya, Allah SWT juga menyatakan singgasana-Nya di atas air. Apakah ini berarti Dia juga bersemayam di sana. Tidakkan? Betapa sempitnya cara berpikir manusia kalau ayat tersebut dipahami tanpa akal sehat!”

QS. Hud 11 : 7,
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu), di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah) :’Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati’, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata:’Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.

Kemudian ayah melanjutkan pembahasan mengenai Allah, dengan ayat-ayat yang lain, seperti :

QS. An-Nisaa’ 4 : 126,”...Allah meliputi segala sesuatu...”.

QS. Al-Baqarah 2 : 115 :”Kepunyaan Allah Timur dan Barat, kemana kamu menghadap maka disana wajah Allah.

QS. Al-Hadiid 57 : 4 :”Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

QS. Qaaf 50 : 16 :”...dan Kami (Allah) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya (manusia)”

QS. Al-An’aam 6 : 103 :”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”

QS. Asy-Syuraa 42 : 11 :”...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”.

"Kalau ustadz tadi membaca ayat-ayat tersebut, kira-kira bagaimana pendapat dia ya? Ayat-ayat ini paling tidak mewakili tentang Allah SWT”.

Saya hanya terdiam, dan coba melengkapi tentang banyaknya salah kaprah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, seperti makna Baitullah. Banyak mengartikan rumah Allah. Dalam segi tata bahasa memang benar. Namun kalau demikian pengertiannya sungguh tidak masuk akal. Coba betapa kecilnya Allah SWT yang mempunyai rumah sebesar Baitullah dan Dia bersemayam di dalamnya. Tidak masuk akalkan? Padahal makna yang sebenarnya dari Baitullah adalah tempat yang dirahmati.

Contoh lain adalah Allah SWT mengatur alam semesta dengan kedua tangan-Nya. Bukan berarti Allah SWT memiliki tangan seperti manusia. Makna hakikinya adalah Qudrat dan Iradat.

Masih banyak contoh lain dari ayat-ayat Allah SWT yang menggunakan perumpaan dan bahasa manusia. Ini semata-mata untuk mempermudah pemahaman umat dan keterbatasan kosa kata manusia. Tapi jangan-lah secara sembarangan mengartikan apa adanya tanpa pengetahuan.

Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Fahri-SCHSS

Senin, 19 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (1)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sebelumnya saya mohon maaf kepada para sahabat dan sidang pembaca karena begitu lama blog saya tidak aktif. Hal ini semata-mata karena saya sedang diperjalankan Allah SWT kepada sesuatu yang lebih "dalam" lagi untuk digembleng lahir batin dan sempat "dimarahi" karena kebodohan saya. Insya Allah, mulai saat ini saya berusaha menulis hasil perenungan dan menyisihkan waktu untuk sharing kepada para sahabat. Adapun artikel ini saya mulai tentang beberapa kasus syiar (dakwah) salah kaprah yang sering terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat. Amin.

(1)
DAKWAH TANPA PEMAHAMAN ILMU

Meskipun saya sudah berkeluarga dan hidup mandiri terpisah dari orang tua namun jalinan silaturahmi tetap kami jaga. Ini sebuah komitmen bersama antara saya dengan istri. Oleh karena itu setiap bulan sekali, sebagai bentuk dharma bakti, kami “wajib” menjadwalkan kunjungan, baik kepada orang tua maupun mertua secara bergantian. Mumpung Allah SWT masih memberi mereka kesehatan.

Sore hari pada bulan November 2009, saat bersilaturahmi ke rumah orang tua, saya menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan ayah. Mulai dari yang ringan seperti menanyakan kondisi rumah, saudara, dan tetangga, kami juga sering mendiskusikan masalah agama. Sebuah kebiasaan untuk saling bertukar pikiran.

Kebetulan ayah dipercaya oleh warga untuk mengisi pengajian setiap sabtu pagi di kampung. Selain untuk menambah wawasan agama juga sebagai forum silaturahmi.Pengisi pengajian tidak hanya dimonopoli ayah, namun bergiliran dengan salah satu warga lainnya. Tetangga saya masih tergolong muda, namun sudah dipercaya untuk mengisi pengajian. Adapun alasan warga adalah :

Pertama, Dia adalah anak seorang kyai (alm), asli penduduk setempat, lulusan pondok pesantren, dan pengetahuan agamanya cukup luas.

Kedua, Kegigihan, kerja keras dan prestasi yang bagus selama di pondok pesantren membuahkan hasil manis pada akhirnya. Dia mendapat bea siswa untuk belajar di salah satu universitas di Arab Saudi.

Dengan pertimbangan faktor inilah maka warga mempercayakan kepada dia sebagai salah satu ustadz untuk mengisi acara pengajian rutin setiap Sabtu pagi. Sementara itu, jamaah pengajian rata-rata adalah warga setempat yang sudah cukup berumur namun (maaf) basic agama mereka belum mendalam. Hanya beberapa orang yang pemahaman agamanya cukup baik. Melihat kondisi jamaah, disinilah peran ustadz begitu vital. Apalagi jamaah lebih banyak pasif dan hanya menerima materi yang disampaikan. Jadi penyampaian materi yang salah dapat berdampak buruk bagi pemahaman jamaah.

Pada sore itulah, saat berbincang-bincang, ayah menceritakan dan membahas perihal materi yang pernah disampaikan oleh ustadz muda tersebut. Ada suatu materi saat disampaikan kepada jamaah yang dirasa kurang tepat dan dapat berakibat fatal bagi jamaah. Kebetulan saat penyampaian materi tersebut, ayah saya duduk sebagai jamaah dan beliau hanya diam saja. Hal ini dilakukan dengan maksud agar yang hadir tidak memiliki pandangan negatif dan tidak mempermalukan sang ustadz di depan jamaah. Namun dalam hati, ayah berjanji bila ada waktu yang tepat maka beliau akan mendiskusikan masalah tersebut secara face to face.

Didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan, saya mencoba menanyakan perihal masalah tersebut,”Menurut pandangan ayah, penyampaian materi apa yang dirasa kurang tepat?”

“Ketika membahas tentang Allah SWT. Sang ustadz mempunyai pemahaman yang harus diluruskan. Pada saat menyampaikan materi kepada jamaah, dia menerangkan bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy, dengan penjabaran bahwa Allah SWT bagaikan seorang raja yang duduk di singgasana-Nya di langit ke tujuh dan jauh sekali dari manusia. Hal ini dilatar-belakangi saat dia mencoba menafsirkan surat Al-Baqarah dan Ar-Rad”.

QS. Al-Baqarah 2 : 255,

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?. Allah mengetahui apa-apa yang ada dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

QS. Ar-Rad 13 : 2,

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.

Saya sejenak tertegun dan mencoba me-recall ulang pemahaman tentang makna Allah bersemayam di atas Arasy. Tidak berapa lama kemudian ayah melanjutkan diskusinya,”Cobalah kita renungkan dan gunakanlah akal sehat. Kalau Allah diidentikkan sebagai seorang raja yang bersemayam duduk di “kursi”-Nya di langit ke tujuh (Arasy), betapa kecilnya Allah SWT dibandingkan dengan langit dan alam semesta ini. Padahal Dia-lah pencipta alam raya ini beserta isinya. Allah memiliki Asma Akbar, Yang Maha Luas, tak terbatas, terbebas dari ruang dan waktu”.

Setelah kami berdua terdiam dan mengambil nafas sejenak. Namun jauh di dalam hati saya membenarkan apa yang baru saja dijelaskan dan diuraikan ayah.

“Betapa sembrononya ustadz tersebut dalam menafsirkan ayat hanya berdasarkan apa yang tersurat. Padahal beberapa ayat Al-Qur’an juga mempunyai makna tersirat, seperti ayat-ayat Mutasyabihat, salah satunya surat Ar-Rad tersebut! Kalau kemudian penafsiran ini diterima begitu saja oleh jamaah, alangkah berbahayanya”.

Namun diskusi sejenak kami hentikan, karena terdengar panggilan azan untuk mendirikan shalat maghrib. Kami berjanji akan membahas lebih lanjut permasalahan yang belum selesai tersebut setelah makan malam.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS