DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Sabtu, 24 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (6)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kembali lagi kepada topik semula yaitu bagaimana pandangan kita dalam menilai cara dakwah yang dilakukan dengan cara “melawak”. Sudah tepatkah cara tersebut? Mengingat kondisi jamaah saat sekarang ini jauh berbeda dengan kondisi dahulu yang rata-rata belum memeluk agama islam. Pertanyaannya adalah dibenarkan atau tidakkah cara berdakwah sambil melucu yang membuat jamaah sampai tertawa pingkal-pingkal? Kalau pun dengan alasan seni dan untuk menarik perhatian, seberapa besarkah batas toleransinya?

Sebagai referensi mari kita coba menengok kejadian pada masa Rasulullah SAW.

Pada suatu hari Muhammad SAW mendatangi para sahabatnya yang saat itu sedang berkumpul dan bercengkerama. Dari kejauhan beliau mendengar tawa yang sangat keras. Kemudian beliau mendatangi mereka dan menegur para sahabatnya agar jangan tertawa terbahak-bahak, karena hal yang demikian dapat membuat lalai dari mengingat Allah SWT.

Rasulullah SAW sendiri dalam kehidupan sehari-hari memberikan contoh dengan tidak pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Namun beliau tidak pernah meninggalkan senyum ketika bertemu dengan seseorang. Senyum dan tertawa sungguh berbeda, karena senyum lebih halus dan santun dibandingkan tertawa.

Selain itu senyum mengandung unsur ibadah karena menyenangkan orang lain. Dengan tersenyum membuat orang yang kita temui merasa dihormati, friendly, dan memudahkan dalam menjalin silaturahmi (percakapan). Bisa anda bayangkan ketika anda bertemu dengan seseorang yang raut wajah “mendung”, pasti tidak enakan memandangnya, apalagi menyapa dan mengajaknya berbicara.

Namun ketika senyum berubah menjadi tertawa yang terbahak-bahak tentulah tidak baik. Dari segi sopan santun dan etika masyarakat pun tidak etis. Bahkan Nabi SAW mengingatkan bahwa tertawa jenis ini akan melalaikan kita dari mengingat Allah SWT, karena sesuatu yang berlebihan dan melewati batas kewajaran tidak-lah baik.

Oleh karena itu, idealnya saat berkumpul dengan sahabat kita, janganlah sampai membahas mengenai dunia secara berlebihan. Berbicaralah seperlunya saja, dan bahaslah selalu topik mengenai tentang firman-firman Allah SWT atau berdzikir bersama, ini lebih bermanfaat. Karena Rasulullah SAW pun melakukan hal yang demikian.

Sebagaimana pesan lagu Tombo Ati yang merupakan gubahan dari sahabat Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra, dimana salah satu pesan dalam tembang tersebut menganjurkan kepada umat islam agar selalu mengumpuli atau berkumpul dengan orang shaleh, karena orang shaleh pasti akan membicarakan tentang Allah SWT, Nabi dan Rasul-Nya, Al-Qur’an, berdzikir dan segala hal yang berhubungan dengan agama. Ini semata-mata agar kita tidak lalai untuk senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allah SWT disetiap waktu dan kesempatan.

QS. Al-A’raaf 7 : 205,
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

QS. Al-Kahfi 18 : 28,
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.

QS. Ar-Rum 30 : 7,
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.

Lalu bagaimana sikap kita kalau menemui ustadz yang berdakwah namun justru porsi hiburannya lebih banyak porsinya daripada materi dakwah (ilmu agama) itu sendiri? Bukankah ini akan melalaikan kita? Bahkan mungkin kriteria ustadz seperti ini justru perilaku mereka menunjukan dan menjadikan agama sebagai sendau gurau? Atau jangan-jangan agar ordernya (duniawi) selalu banyak? Patutkah mereka berbuat demikian? Apakah mereka tidak takut akan peringatan Allah SWT seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an?

QS. Al-An’aam 6 : 70,
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkan(lah) mereka dengan Al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam nereka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari Allah. Dan jika, ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu”.

QS. Al-A’raaf 7 : 51,
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami”.

Renungan :

Dakwah tanpa seni ibarat hidangan tanpa garam. Namun jangan karena semata-mata untuk menarik perhatian jamaah maka harus mengorbankan esensi dari dakwah itu sendiri. Apalagi kalau tujuan mulia berdakwah diembel-embeli supaya banyak order dan menjadi terkenal sehingga segala cara dilakukan, seperti menyenangkan jamaah dengan melawak yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal dan sedikit sekali menyentuh materi dakwah. Cara ini tentulah tidak tepat. Bolehlah sekali-kali membuat joke tetapi masih ada benang merahnya dengan materi yang disampaikan, agar membuat suasana menjadi fresh. Namun janganlah berlebihan dan melampaui batas. Sebab mempermainkan dan bersendau gurau tentang agama akan melalaikan dari mengingat Allah SWT dan dilarang oleh agama.

Mari kita renungkan bersama!

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Fahri-SCHSS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar