Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Beberapa hari belakangan ini saya mendapat undangan untuk menghadiri walimatussyafar
(syukuran haji), baik dari kerabat, sahabat dan handai taulan yang akan berangkat menunaikan ibadah
haji di tahun 1434 H ini. Dilatar belakangi peristiwa ini, maka artikel kali ini akan membahas
tentang haji, khususnya dari sisi (makna) spiritualnya. Selamat membaca dan semoga
bermanfaat. Amin.
Prosesi ibadah haji adalah sebagai bentuk penghargaan atas ketaatan dan
ketunduk-patuhan keluarga nabi Ibrahim AS kepada perintah Allah SWT. Seperti
kita ketahui, Thawaf sebagai ritual
atas pembangunan ka’bah oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Sai adalah bentuk ritual atas Ibunda
Hajar dan Ismail AS ketika ditinggal di padang tandus oleh Ibrahim AS atas
perintah Allah SWT, Wukuf adalah
ritualnya nabi Ibrahim AS saat mencari siapa Tuhannya dengan berjalan kaki
bersama kaumnya, kemudian mendapat wahyu untuk menghadapkan wajahnya kepada
wajah pencipta langit dan bumi, ‘Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al-An’aam 6 :79), melempar Jumrah
adalah bentuk ritual atas peristiwa Ibrahim AS ketika akan menyembelih Ismail
AS atas perintah Allah SWT dan saat itu mendapat godaan iblis hingga keraguan
menyelimuti hatinya agar jangan melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.
Haji adalah ibadah puncak rukun islam yang kelima bagi
orang beriman yang diwajibkan atas mereka yang mampu secara materi (fisik),
psikis (mental) dan spiritual. Kesempatan
berhaji adalah peluang untuk mempraktekan rukun islam sebagai satu kesatuan
(rangkaian) sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Shalat sebagai sarana pengangkut niat
hamba yang ingin berjumpa Allah SWT (Mulaqu
Rabbihim) dan ingin kembali kepada-Nya (Illaihi
Roji’uun) dalam ibadahnya. Syahadat sebagai
‘roket’ pendorong shalat dengan keinginan (niat) hamba dapat menyaksikan Dzat
Allah di dalam otaknya, seperti yang dilakukan oleh nabi Musa AS di bukit
Tursina. Puasa sebagai ‘roket’
pendorong shalat dengan menyambungkan hati dengan otak hanya ingin berjumpa
Allah SWT di dalam hati. Zakat sebagai
‘roket’ pendorong shalat dengan ikhlas tidak takut kepada neraka dan tidak
berharap surga, hanya ingin berjumpa Allah SWT semata. Mengapa ? Karena
surga dan neraka adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT.
Demikian pula dengan ibadah haji terutama saat wukuf di
Padang Arafah. Spiritual wukuf (berdiam
diri/Thuma’ninah/Sabar) juga sebagai ‘roket’
pendorong shalat agar semua perangkat agama (jiwa dengan akal tersambung), tiga
kecerdasan islam (IQ, EQ, SQ) pasti akan tersambung secara sempurna. Lima
perangkat tersebut merupakan roket yang paling besar tenaganya dibanding dengan
lainnya. Dengan tersambungnya lima perangkat islam sebagai agama fitrah
(ruh berkuasa atas diri ini) maka dapat
dijadikan sarana membuktikan man arafa nafsahu waqad arafa rabbahu.
Sehingga secara fisik ia hadir di padang arafah (syariat), namun secara hakikat
ia dihadirkan Allah SWT di padang arafah-Nya yang luas tak berbatas. Peristiwa
seperti itu diterangkan Allah SWT sebagai haji Mabrur. Orang-orang yang
mendapat gelar haji mabrur adalah mereka dalam shalatnya tidak ada bedanya
ketika dihadapan Ka’bah saat berhaji atau ketika telah pulang ke
negaranya dan shalat di rumahnya sendiri/masjid/musholla. Mereka sudah menikmati suasana kemana kamu menghadap
disitulah wajah Allah SWT.
“Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” .(QS. Al-Baqarah
2 :115).
Dengan demikian ibadah haji adalah sebuah moment
pencerahan diri. Sebuah laku ibadah puncak untuk menyingkap tirai dinding
kalbu, menembus kegelapan untuk menggapai cahaya al-haq yang terpancar
dari nur Illahi. Nur Ilahi memancar dan merambat pada empat tatanan;
Intelektual (subyektifitas berfikir) IQ/Intelectual Quotient,
Spritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, keikhlasan & al-ihsan serta
kepekaan rohani terhadap atmosfir Rububiyyah dan Uluhiyyah) SQ/Spiritual Quotient, Mental (kesabaran,
keseimbangan, elastisitas dan rileksitas) dan Moral (integritas pribadi,
intensitas sosial, dedikasi jama‘ah dan kesantunan kemanusiaan) EQ/Emotional
Quotient.
(Bersambung…)
Artikel di atas adalah petikan
dari e-book saya yang ketiga yang berjudul “Menyibak Takwil Rakaat Shalat
Fardhu”. Apabila pembaca berminat, silahkan membeli (donasi untuk kepentingan
social keagamaan) dengan cara mendownload. Adapun E-Book yang telah saya terbitkan
adalah :
- E-Book PERTAMA saya yang berjudul : “MENELADANI SPIRITUAL RASULULLAH SAW
DALAM BERMA’RIFATULAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/05/e-book-meneladani-spiritual-rasulullah.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna
merah disamping ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
- E-Book KEDUA saya yang berjudul : “MENGAJI AL-QUR’AN KEPADA ALLAH” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/06/e-book-kedua-mengaji-al-quran-kepada_5596.html (silahkan klik kalimat/tulisan berwarna yang berwarna merah disamping ini
untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
- E-Book KETIGA saya yang berjudul : “MENYIBAK TAKWIL RAKAAT SHALAT
FARDHU” http://www.akubersujud.blogspot.com/2013/07/e-book-ketiga-menyibak-takwil-rakaat.html (silahkan klik kalimat/tulisan yang berwarna merah disamping
ini untuk mengetahui syarat dan ketentuannya).
Semoga bermanfaat!!!
Senantiasa ISTIQOMAH untuk
meraih ridha Allah SWT!!!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Iwan Fahri Cahyadi
Pondok Ar-Rahman Ar-Rahim
Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar