Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sebelumnya saya mohon maaf kepada para sahabat dan sidang pembaca karena begitu lama blog saya tidak aktif. Hal ini semata-mata karena saya sedang diperjalankan Allah SWT kepada sesuatu yang lebih "dalam" lagi untuk digembleng lahir batin dan sempat "dimarahi" karena kebodohan saya. Insya Allah, mulai saat ini saya berusaha menulis hasil perenungan dan menyisihkan waktu untuk sharing kepada para sahabat. Adapun artikel ini saya mulai tentang beberapa kasus syiar (dakwah) salah kaprah yang sering terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat. Amin.
Sebelumnya saya mohon maaf kepada para sahabat dan sidang pembaca karena begitu lama blog saya tidak aktif. Hal ini semata-mata karena saya sedang diperjalankan Allah SWT kepada sesuatu yang lebih "dalam" lagi untuk digembleng lahir batin dan sempat "dimarahi" karena kebodohan saya. Insya Allah, mulai saat ini saya berusaha menulis hasil perenungan dan menyisihkan waktu untuk sharing kepada para sahabat. Adapun artikel ini saya mulai tentang beberapa kasus syiar (dakwah) salah kaprah yang sering terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat. Amin.
(1)
DAKWAH TANPA PEMAHAMAN ILMU
DAKWAH TANPA PEMAHAMAN ILMU
Meskipun saya sudah berkeluarga dan hidup mandiri terpisah dari orang tua namun jalinan silaturahmi tetap kami jaga. Ini sebuah komitmen bersama antara saya dengan istri. Oleh karena itu setiap bulan sekali, sebagai bentuk dharma bakti, kami “wajib” menjadwalkan kunjungan, baik kepada orang tua maupun mertua secara bergantian. Mumpung Allah SWT masih memberi mereka kesehatan.
Sore hari pada bulan November 2009, saat bersilaturahmi ke rumah orang tua, saya menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan ayah. Mulai dari yang ringan seperti menanyakan kondisi rumah, saudara, dan tetangga, kami juga sering mendiskusikan masalah agama. Sebuah kebiasaan untuk saling bertukar pikiran.
Kebetulan ayah dipercaya oleh warga untuk mengisi pengajian setiap sabtu pagi di kampung. Selain untuk menambah wawasan agama juga sebagai forum silaturahmi.Pengisi pengajian tidak hanya dimonopoli ayah, namun bergiliran dengan salah satu warga lainnya. Tetangga saya masih tergolong muda, namun sudah dipercaya untuk mengisi pengajian. Adapun alasan warga adalah :
Pertama, Dia adalah anak seorang kyai (alm), asli penduduk setempat, lulusan pondok pesantren, dan pengetahuan agamanya cukup luas.
Kedua, Kegigihan, kerja keras dan prestasi yang bagus selama di pondok pesantren membuahkan hasil manis pada akhirnya. Dia mendapat bea siswa untuk belajar di salah satu universitas di Arab Saudi.
Dengan pertimbangan faktor inilah maka warga mempercayakan kepada dia sebagai salah satu ustadz untuk mengisi acara pengajian rutin setiap Sabtu pagi. Sementara itu, jamaah pengajian rata-rata adalah warga setempat yang sudah cukup berumur namun (maaf) basic agama mereka belum mendalam. Hanya beberapa orang yang pemahaman agamanya cukup baik. Melihat kondisi jamaah, disinilah peran ustadz begitu vital. Apalagi jamaah lebih banyak pasif dan hanya menerima materi yang disampaikan. Jadi penyampaian materi yang salah dapat berdampak buruk bagi pemahaman jamaah.
Pada sore itulah, saat berbincang-bincang, ayah menceritakan dan membahas perihal materi yang pernah disampaikan oleh ustadz muda tersebut. Ada suatu materi saat disampaikan kepada jamaah yang dirasa kurang tepat dan dapat berakibat fatal bagi jamaah. Kebetulan saat penyampaian materi tersebut, ayah saya duduk sebagai jamaah dan beliau hanya diam saja. Hal ini dilakukan dengan maksud agar yang hadir tidak memiliki pandangan negatif dan tidak mempermalukan sang ustadz di depan jamaah. Namun dalam hati, ayah berjanji bila ada waktu yang tepat maka beliau akan mendiskusikan masalah tersebut secara face to face.
Didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan, saya mencoba menanyakan perihal masalah tersebut,”Menurut pandangan ayah, penyampaian materi apa yang dirasa kurang tepat?”
“Ketika membahas tentang Allah SWT. Sang ustadz mempunyai pemahaman yang harus diluruskan. Pada saat menyampaikan materi kepada jamaah, dia menerangkan bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy, dengan penjabaran bahwa Allah SWT bagaikan seorang raja yang duduk di singgasana-Nya di langit ke tujuh dan jauh sekali dari manusia. Hal ini dilatar-belakangi saat dia mencoba menafsirkan surat Al-Baqarah dan Ar-Rad”.
QS. Al-Baqarah 2 : 255,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?. Allah mengetahui apa-apa yang ada dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
QS. Ar-Rad 13 : 2,
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.
Saya sejenak tertegun dan mencoba me-recall ulang pemahaman tentang makna Allah bersemayam di atas Arasy. Tidak berapa lama kemudian ayah melanjutkan diskusinya,”Cobalah kita renungkan dan gunakanlah akal sehat. Kalau Allah diidentikkan sebagai seorang raja yang bersemayam duduk di “kursi”-Nya di langit ke tujuh (Arasy), betapa kecilnya Allah SWT dibandingkan dengan langit dan alam semesta ini. Padahal Dia-lah pencipta alam raya ini beserta isinya. Allah memiliki Asma Akbar, Yang Maha Luas, tak terbatas, terbebas dari ruang dan waktu”.
Setelah kami berdua terdiam dan mengambil nafas sejenak. Namun jauh di dalam hati saya membenarkan apa yang baru saja dijelaskan dan diuraikan ayah.
“Betapa sembrononya ustadz tersebut dalam menafsirkan ayat hanya berdasarkan apa yang tersurat. Padahal beberapa ayat Al-Qur’an juga mempunyai makna tersirat, seperti ayat-ayat Mutasyabihat, salah satunya surat Ar-Rad tersebut! Kalau kemudian penafsiran ini diterima begitu saja oleh jamaah, alangkah berbahayanya”.
Namun diskusi sejenak kami hentikan, karena terdengar panggilan azan untuk mendirikan shalat maghrib. Kami berjanji akan membahas lebih lanjut permasalahan yang belum selesai tersebut setelah makan malam.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Sore hari pada bulan November 2009, saat bersilaturahmi ke rumah orang tua, saya menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan ayah. Mulai dari yang ringan seperti menanyakan kondisi rumah, saudara, dan tetangga, kami juga sering mendiskusikan masalah agama. Sebuah kebiasaan untuk saling bertukar pikiran.
Kebetulan ayah dipercaya oleh warga untuk mengisi pengajian setiap sabtu pagi di kampung. Selain untuk menambah wawasan agama juga sebagai forum silaturahmi.Pengisi pengajian tidak hanya dimonopoli ayah, namun bergiliran dengan salah satu warga lainnya. Tetangga saya masih tergolong muda, namun sudah dipercaya untuk mengisi pengajian. Adapun alasan warga adalah :
Pertama, Dia adalah anak seorang kyai (alm), asli penduduk setempat, lulusan pondok pesantren, dan pengetahuan agamanya cukup luas.
Kedua, Kegigihan, kerja keras dan prestasi yang bagus selama di pondok pesantren membuahkan hasil manis pada akhirnya. Dia mendapat bea siswa untuk belajar di salah satu universitas di Arab Saudi.
Dengan pertimbangan faktor inilah maka warga mempercayakan kepada dia sebagai salah satu ustadz untuk mengisi acara pengajian rutin setiap Sabtu pagi. Sementara itu, jamaah pengajian rata-rata adalah warga setempat yang sudah cukup berumur namun (maaf) basic agama mereka belum mendalam. Hanya beberapa orang yang pemahaman agamanya cukup baik. Melihat kondisi jamaah, disinilah peran ustadz begitu vital. Apalagi jamaah lebih banyak pasif dan hanya menerima materi yang disampaikan. Jadi penyampaian materi yang salah dapat berdampak buruk bagi pemahaman jamaah.
Pada sore itulah, saat berbincang-bincang, ayah menceritakan dan membahas perihal materi yang pernah disampaikan oleh ustadz muda tersebut. Ada suatu materi saat disampaikan kepada jamaah yang dirasa kurang tepat dan dapat berakibat fatal bagi jamaah. Kebetulan saat penyampaian materi tersebut, ayah saya duduk sebagai jamaah dan beliau hanya diam saja. Hal ini dilakukan dengan maksud agar yang hadir tidak memiliki pandangan negatif dan tidak mempermalukan sang ustadz di depan jamaah. Namun dalam hati, ayah berjanji bila ada waktu yang tepat maka beliau akan mendiskusikan masalah tersebut secara face to face.
Didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan, saya mencoba menanyakan perihal masalah tersebut,”Menurut pandangan ayah, penyampaian materi apa yang dirasa kurang tepat?”
“Ketika membahas tentang Allah SWT. Sang ustadz mempunyai pemahaman yang harus diluruskan. Pada saat menyampaikan materi kepada jamaah, dia menerangkan bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy, dengan penjabaran bahwa Allah SWT bagaikan seorang raja yang duduk di singgasana-Nya di langit ke tujuh dan jauh sekali dari manusia. Hal ini dilatar-belakangi saat dia mencoba menafsirkan surat Al-Baqarah dan Ar-Rad”.
QS. Al-Baqarah 2 : 255,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?. Allah mengetahui apa-apa yang ada dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
QS. Ar-Rad 13 : 2,
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.
Saya sejenak tertegun dan mencoba me-recall ulang pemahaman tentang makna Allah bersemayam di atas Arasy. Tidak berapa lama kemudian ayah melanjutkan diskusinya,”Cobalah kita renungkan dan gunakanlah akal sehat. Kalau Allah diidentikkan sebagai seorang raja yang bersemayam duduk di “kursi”-Nya di langit ke tujuh (Arasy), betapa kecilnya Allah SWT dibandingkan dengan langit dan alam semesta ini. Padahal Dia-lah pencipta alam raya ini beserta isinya. Allah memiliki Asma Akbar, Yang Maha Luas, tak terbatas, terbebas dari ruang dan waktu”.
Setelah kami berdua terdiam dan mengambil nafas sejenak. Namun jauh di dalam hati saya membenarkan apa yang baru saja dijelaskan dan diuraikan ayah.
“Betapa sembrononya ustadz tersebut dalam menafsirkan ayat hanya berdasarkan apa yang tersurat. Padahal beberapa ayat Al-Qur’an juga mempunyai makna tersirat, seperti ayat-ayat Mutasyabihat, salah satunya surat Ar-Rad tersebut! Kalau kemudian penafsiran ini diterima begitu saja oleh jamaah, alangkah berbahayanya”.
Namun diskusi sejenak kami hentikan, karena terdengar panggilan azan untuk mendirikan shalat maghrib. Kami berjanji akan membahas lebih lanjut permasalahan yang belum selesai tersebut setelah makan malam.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar