Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Begitu terpesonanya sahabat saya, maka berbagai cara ditempuh agar dekat dan dikenal oleh sang ustadz. Hampir di setiap kesempatan tidak pernah absen untuk menghadiri acara dakwah dan bersilaturahmi. Bahkan upaya mendekati keluarga sang ustadz pun dilakukan, dengan harapan tidak ada jarak lagi antara dia dengan sang ustadz.
Waktu terus berlalu. Akhirnya apa yang diinginkan tercapai. Sepertinya sudah tidak ada lagi jarak yang memisahkan antara sahabat saya dengan sang ustadz. Layaknya keluarga. Sehingga kapan pun dapat berkomunikasi baik bertemu langsung maupun melalui alat telekomunikasi. Dengan pengecualian, saat sang ustadz sedang memberikan dakwah dan beristirahat dengan keluarganya.
Saking dekatnya, sahabat saya sudah tidak sungkan-sungkan lagi menanyakan hal yang sifatnya pribadi kepadanya namun pertanyaan tersebut masih dalam bingkai agama.
Maka pada suatu hari, bagai disambar petir di siang bolong, begitu terkejutnya sahabat saya, sehingga perasaan kecewa, gundah gulana, penyesalan dan sedih, bercampur aduk menjadi satu dalam batinnya hingga terbawa terus sampai malam itu. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata hal ini disebabkan dari sebuah pertanyaan darinya yang diajukan kepada sang ustadz, dimana jawaban tersebut diluar-dugaan dan nalarnya.
Saat itu sahabat saya menanyakan suatu masalah yang intinya adalah kekagumannya atas ilmu agama yang dikuasai oleh sang ustadz, lalu bagaimana cara belajarnya dan laku apa saja yang harus ditempuh dalam berspiritual sehingga mampu mencapai maqam yang begitu tinggi.
Memang hampir dalam setiap kesempatan berdakwah, sang ustadz kadang menceritakan pengalaman spiritualnya. Inilah yang membuat sahabat saya penasaran. Tak jarang banyak pujian diberikan kepadanya, mengingat laku spiritual sunggulah berat, karena banyak godaan dan cobaan. Apalagi untuk jaman sekarang ini. Berbagai macam godaannya. Sahabat saya ingin sekali mengetahui tips-nya sehingga mampu menempuh laku spiritual tersebut.
Tetapi jawaban yang diberikan sungguh sangat mengagetkan. Sang Ustadz berkata bahwa saat menyampaikan perihal materi perjalanan spiritual sebenarnya beliau tidak pernah menjalaninya. Ternyata cerita tersebut didapat dari mendengar dan menampung laku spiritual dari beberapa orang yang dikenalnya. Tetapi anehnya saat berceramah, sang ustadz mengaku-aku bahwa dirinya paham ilmu dan pengalaman spiritual yang dialami.
Sahabat saya langsung shock dan kecewa. Tanpa basa-basi lagi di depan sang ustadz, dia langsung memvonis dengan sebutan “jarkoni” yang merupakan singkatan dalam bahasa jawa yaitu “iso ngujar gak biso nglakoni” (Bisa berbicara/bercerita tapi tidak pernah melakukan). Tanpa berusaha membela sedikitpun, sang ustadz mengiyakan vonis tersebut.
Mungkin sang ustadz sudah menganggap sahabat saya seperti keluarga sendiri, sehingga tidak perlu menyembunyikan kenyataan yang ada saat menceritakan kejadian yang sebenarnya dan menduga sahabat saya mau menerima kondisi tersebut. Namun dugaan tersebut keliru, sahabat saya langsung pamit pulang tanpa mengucapkan salam. Mungkin terlanjur kecewa.
Demikian sahabat saya mengakhiri ceritanya. Namun setelah bercerita panjang lebar, terlihat bahwa rona wajah sahabat saya mulai berubah cerah. Mungkin beban yang selama ini dipikulnya sendiri pada akhirnya dapat dibagi. Syukurlah.
Sejenak dia terdiam untuk menenangkan diri dan tidak berapa lama berselang mengajukan pertanyaan kepada saya. ”Bagaimana pandangan anda mengenai peristiwa dan pengalaman yang saya ceritakan tadi?”
Saya tidak langsung menjawab, tetapi memberikan sedikit usulan terlebih dahulu. “Sebelum menjawab pertanyaan bapak, terlebih dahulu saya mohon maaf kalau nanti ada kata-kata saya yang mungkin dapat menyinggung perasaan bapak!”
Beliau menganggukan kepala tanda setuju, kemudian saya katakan,”Sebetulnya usaha bapak untuk menambah ilmu agama itu sudah betul dan saya secara pribadi salut. Namun seringkali dalam menyikapi berguru kepada seseorang mungkin bapak kurang tepat.”
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS Begitu terpesonanya sahabat saya, maka berbagai cara ditempuh agar dekat dan dikenal oleh sang ustadz. Hampir di setiap kesempatan tidak pernah absen untuk menghadiri acara dakwah dan bersilaturahmi. Bahkan upaya mendekati keluarga sang ustadz pun dilakukan, dengan harapan tidak ada jarak lagi antara dia dengan sang ustadz.
Waktu terus berlalu. Akhirnya apa yang diinginkan tercapai. Sepertinya sudah tidak ada lagi jarak yang memisahkan antara sahabat saya dengan sang ustadz. Layaknya keluarga. Sehingga kapan pun dapat berkomunikasi baik bertemu langsung maupun melalui alat telekomunikasi. Dengan pengecualian, saat sang ustadz sedang memberikan dakwah dan beristirahat dengan keluarganya.
Saking dekatnya, sahabat saya sudah tidak sungkan-sungkan lagi menanyakan hal yang sifatnya pribadi kepadanya namun pertanyaan tersebut masih dalam bingkai agama.
Maka pada suatu hari, bagai disambar petir di siang bolong, begitu terkejutnya sahabat saya, sehingga perasaan kecewa, gundah gulana, penyesalan dan sedih, bercampur aduk menjadi satu dalam batinnya hingga terbawa terus sampai malam itu. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata hal ini disebabkan dari sebuah pertanyaan darinya yang diajukan kepada sang ustadz, dimana jawaban tersebut diluar-dugaan dan nalarnya.
Saat itu sahabat saya menanyakan suatu masalah yang intinya adalah kekagumannya atas ilmu agama yang dikuasai oleh sang ustadz, lalu bagaimana cara belajarnya dan laku apa saja yang harus ditempuh dalam berspiritual sehingga mampu mencapai maqam yang begitu tinggi.
Memang hampir dalam setiap kesempatan berdakwah, sang ustadz kadang menceritakan pengalaman spiritualnya. Inilah yang membuat sahabat saya penasaran. Tak jarang banyak pujian diberikan kepadanya, mengingat laku spiritual sunggulah berat, karena banyak godaan dan cobaan. Apalagi untuk jaman sekarang ini. Berbagai macam godaannya. Sahabat saya ingin sekali mengetahui tips-nya sehingga mampu menempuh laku spiritual tersebut.
Tetapi jawaban yang diberikan sungguh sangat mengagetkan. Sang Ustadz berkata bahwa saat menyampaikan perihal materi perjalanan spiritual sebenarnya beliau tidak pernah menjalaninya. Ternyata cerita tersebut didapat dari mendengar dan menampung laku spiritual dari beberapa orang yang dikenalnya. Tetapi anehnya saat berceramah, sang ustadz mengaku-aku bahwa dirinya paham ilmu dan pengalaman spiritual yang dialami.
Sahabat saya langsung shock dan kecewa. Tanpa basa-basi lagi di depan sang ustadz, dia langsung memvonis dengan sebutan “jarkoni” yang merupakan singkatan dalam bahasa jawa yaitu “iso ngujar gak biso nglakoni” (Bisa berbicara/bercerita tapi tidak pernah melakukan). Tanpa berusaha membela sedikitpun, sang ustadz mengiyakan vonis tersebut.
Mungkin sang ustadz sudah menganggap sahabat saya seperti keluarga sendiri, sehingga tidak perlu menyembunyikan kenyataan yang ada saat menceritakan kejadian yang sebenarnya dan menduga sahabat saya mau menerima kondisi tersebut. Namun dugaan tersebut keliru, sahabat saya langsung pamit pulang tanpa mengucapkan salam. Mungkin terlanjur kecewa.
Demikian sahabat saya mengakhiri ceritanya. Namun setelah bercerita panjang lebar, terlihat bahwa rona wajah sahabat saya mulai berubah cerah. Mungkin beban yang selama ini dipikulnya sendiri pada akhirnya dapat dibagi. Syukurlah.
Sejenak dia terdiam untuk menenangkan diri dan tidak berapa lama berselang mengajukan pertanyaan kepada saya. ”Bagaimana pandangan anda mengenai peristiwa dan pengalaman yang saya ceritakan tadi?”
Saya tidak langsung menjawab, tetapi memberikan sedikit usulan terlebih dahulu. “Sebelum menjawab pertanyaan bapak, terlebih dahulu saya mohon maaf kalau nanti ada kata-kata saya yang mungkin dapat menyinggung perasaan bapak!”
Beliau menganggukan kepala tanda setuju, kemudian saya katakan,”Sebetulnya usaha bapak untuk menambah ilmu agama itu sudah betul dan saya secara pribadi salut. Namun seringkali dalam menyikapi berguru kepada seseorang mungkin bapak kurang tepat.”
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Pondok Cinta Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar