Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Banyak orang islam yang memiliki pandangan dalam mempelajari Al-Qur’an targetnya adalah dapat menghafalkannya. Biasanya kalau sudah hafal, tamat atau khatam, orang tersebut akan mendapat gelar hafidz, atau lebih akrab lagi diberi gelar kyai.
Benarkah belajar Al-Qur’an memiliki batas demikian? Tentu tidak. Kalau standarisasi yang diambil seperti ini maka kitab Al-Qur’an akan menjadi stagnan dan usang. Padahal Al-Qur’an diturunkan sebagai penuntun umat sampai akhir zaman (kiamat). Di setiap zaman Al-Qur’an selalu mampu “berbicara”. Takwil dari ayat-ayat-Nya tidak pernah ketinggalan zaman. Inilah salah satu mukjizat dari kitabullah.
Pemahaman dan takwil bukanlah hasil pikir manusia, karena otak manusia tidak akan mampu men-takwil-kannya. Tetapi Allah-lah yang akan menjelaskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki dan dipilih, yang diturunkan ke dalam hati manusia. Inilah yang disebut dengan hidayah (ilmu dari Allah SWT). Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, tentunya yang menjelaskan Sang Pemilik wahyu, bukan otak manusia.
QS. Al-Baqarah 2 : 269,
“Allah menganugerahkan hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Namun banyak umat islam yang tidak percaya, bahkan mencoba men-takwil-kan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat mutasyabihat. Apa yang kemudian terjadi? Karena hasil pikir takwil didorong oleh nafsu maka hasil yang diperoleh pun menjadi keliru. Allah SWT melarang hamba-Nya untuk men-takwil-kan ayat mutasyabihat dan menganggapnya sebagai orang yang tidak berakal. Sekali lagi, adalah hak prerogatif Allah SWT menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada hamba yang dipilih dan dikehendaki.
QS. Ali Imran 3 : 7,
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Benarkah belajar Al-Qur’an memiliki batas demikian? Tentu tidak. Kalau standarisasi yang diambil seperti ini maka kitab Al-Qur’an akan menjadi stagnan dan usang. Padahal Al-Qur’an diturunkan sebagai penuntun umat sampai akhir zaman (kiamat). Di setiap zaman Al-Qur’an selalu mampu “berbicara”. Takwil dari ayat-ayat-Nya tidak pernah ketinggalan zaman. Inilah salah satu mukjizat dari kitabullah.
Pemahaman dan takwil bukanlah hasil pikir manusia, karena otak manusia tidak akan mampu men-takwil-kannya. Tetapi Allah-lah yang akan menjelaskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki dan dipilih, yang diturunkan ke dalam hati manusia. Inilah yang disebut dengan hidayah (ilmu dari Allah SWT). Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, tentunya yang menjelaskan Sang Pemilik wahyu, bukan otak manusia.
QS. Al-Baqarah 2 : 269,
“Allah menganugerahkan hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Namun banyak umat islam yang tidak percaya, bahkan mencoba men-takwil-kan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat mutasyabihat. Apa yang kemudian terjadi? Karena hasil pikir takwil didorong oleh nafsu maka hasil yang diperoleh pun menjadi keliru. Allah SWT melarang hamba-Nya untuk men-takwil-kan ayat mutasyabihat dan menganggapnya sebagai orang yang tidak berakal. Sekali lagi, adalah hak prerogatif Allah SWT menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada hamba yang dipilih dan dikehendaki.
QS. Ali Imran 3 : 7,
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
***
Membahas mengenai permasalahan ilmu dan agama ini membuat saya teringat atas kata-kata yang ditulis oleh seorang sahabat yang ditempelkan di dinding tempat pengajian biasa diselenggarakan, agar mudah dibaca para jamaah pengajian.
Agama berhubungan dengan Tuhan
Ilmu berhubungan dengan alam
Agama membersihkan hati
Ilmu mencerdaskan otak
Agama diterima dengan iman
Ilmu diterima dengan logika
Ilmu berhubungan dengan alam
Agama membersihkan hati
Ilmu mencerdaskan otak
Agama diterima dengan iman
Ilmu diterima dengan logika
Renungan :
1.Umat islam diwajibkan untuk membaca, mempelajari, memahami, mengaplikasikan dan syukur Alhamdulillah dapat menghafal ayat Al-Qur’an. Ini sebagai konsekuensi bahwa kita meyakini rukun iman yang ke empat yaitu beriman kepada kitabullah.
2.Pengertian hakiki dari pendakwah adalah manusia pilihan Allah SWT. Merekalah yang berhak menyampaikan dakwah, karena ilmu dan takwilnya telah dijelaskan sendiri oleh Allah SWT, bukan dinilai dari tingginya ilmu pengetahuan yang berasal dari proses belajar kepada manusia lain.
3.Bagi hamba yang dikehendaki dan dipilih Allah SWT selalu akan menyampaikan (berdakwah) atas ayat-ayat yang telah dipahamkan oleh Allah SWT. Tidak melebar ke ayat-ayat lain yang belum dijelaskan. Sebagaimana Rasulullah SAW mendapatkan wahyu secara bertahap (baik ilmu (ayat tersurat) maupun takwilnya (makna tersirat pada ayat tersebut).
Bagaimana menurut anda?
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Fahri-SCHSS
Bagaiamana kita tahu sesorang sudah dipilih Allah dan tidak. Saya misalnya, baru akan belajar Islam, mana tahu ukuran itu :)
BalasHapusSabar ya mas, nanti ada kok artikel tentang itu. Sementara ini saya mengangkat kasus-kasus dakwah salah kaprah yang terjadi disekitar kita. Sebagai sedikit pengantar bahwa manusia dalam beragama tidak hanya sebatas memperoleh petunjuk tetapi juga rahmat. Petunjuk identik dengan tanda, dan rahmat identik dengan bukti. Dan manusia pilihan Allah SWT akan mendapat petunjuk (tanda) dan rahmat(bukti) di dunia ini. Ibarat anda memiliki rumah (petunjuk) maka Sertifikat adalah sebagai Rahmat (bukti) bahwa rumah itu milik anda dengan tercantumnya nama anda disertifikat. Kalau anda tidak mampu menunjukkan sertifikat yang bernama anda itu berarti rumah tersebut memiliki status sewa/kontrak. Demikian juga orang yang dipilih Allah SWT. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapus