Assalamu'alaikum Wr. Wb.
(2)
NGELAWAK ATAU BERDAKWAH?
NGELAWAK ATAU BERDAKWAH?
Pada suatu hari sahabat saya mendapat tugas dari pamannya untuk mencari ustadz dan mengusulkan nama pendakwah yang telah dikenalnya sebagai referensi. Kebetulan sang paman saat itu menjadi panitia perayaan hari besar agama islam, sebagai seksi acara.
Sejenak sahabat saya berpikir untuk mengingat kembali nama-nama ustadz yang pernah dikenalnya.
“Bagaimana kalau ustadz A?” usul sahabat saya. Pamannya menggelengkan kepala, tanda tidak setuju, dan tanpa memberi alasan.
Tidak berapa lama kemudian disusul dengan nama yang lain, “Oh ya, bagaimana kalau ustadz B paman? Bagus lho, cakrawala pengetahuan agamanya luas dan cara penyampaiannya mudah dipahami!”. Namun sekali lagi sang paman menggelengkan kepala, kemudian berkata,”Jangan yang itu sudah terlalu sering mengisi tausyiah disini dan banyak warga yang kurang pas dengan caranya memberikan dakwah!”
Sahabat saya memutar lagi ingatannya. Barangkali ada referensi lain. “Ada lagi paman, cuma kayaknya ini yang terakhir saya kenal, yaitu ustadz C!” seperti sebelumnya sang paman juga menggelengkan kepalanya.
Bingung karena setiap usulan yang disampaikan ditolak, maka sahabat saya menanyakan kepada sang paman,”Kalau begitu kriteria apa yang diinginkan warga? Siapa tahu saya dapat menanyakan kepada teman-teman, karena referensi saya sudah habis!”.
“Begini lho, warga disini menginginkan ustadz yang tidak saja menyampaikan tausyiah, tetapi yang bisa juga menghibur, ya...semacam melucu atau melawak!”
“Kok begitu kriterianya, mengapa harus ustadz yang bisa menghibur?”
“Pertanyaan yang bagus. Kenapa? Supaya warga yang hadir tidak mengantuk dan betah duduk berlama-lama sampai acara selesai. Karena dari pengalaman sebelumnya, banyak warga yang meninggalkan kursi dan berpamitan pulang sebelum acara selesai. Apalagi kalau ustadz-nya terlalu serius dalam menyampaikan materi dakwah!”
Sahabat saya hanya terdiam dan merenung. Dalam hatinya dia bertanya,”Kok aneh ya? Beginikah cara pandang warga dalam menyikapi seorang ustadz yang menyampaikan dakwah. Kalau begitu apa tidak sekalian mengundang pelawak saja biar suasana ramai, ketawa terbahak-bahak dan ger-geran!”
Kegelisahan ini-lah yang pernah diceritakan kepada saya. Hanya sedikit komentar yang keluar dari bibir saya pada waktu itu dan sambil tersenyum geli,”Mungkin lagi nge-trend kali!”
Apa yang menjadi kegusaran sahabat saya, juga pernah beberapa tahun yang lalu di kampung dimana kedua orang tua saya tinggal. Kejadian yang tidak pernah terlupakan.
Ketika itu kebetulan warga kampung mengadakan acara halal bihalal. Atas inisiatif salah seorang warga, dia mengusulkan mengundang salah seorang ustadz yang dikenalnya sekaligus teman akrabnya. Atas usulan tersebut warga setuju dan mempercayakan kepadanya.
Maka datang-lah moment acara halal bihalal yang ditunggu-tunggu. Setelah acara dibuka dan sedikit pidato dari ketua RT dan panitia, kemudian dilanjutkan dengan giliran sang ustadz mengisi sesi tausyiah. Sambil mencicipi jajanan (snack) yang disediakan panitia, kami semua mendengarkan materi tausyiah.
Sungguh di luar dugaan saya, ternyata warga sangat antusias mendengarkan dan memberikan applaus kepada sang ustadz. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata ustadz tersebut pandai melucu dalam menyampaikan dakwahnya sehingga membuat warga tertawa terpingkal-pingkal. Hampir 2/3 sesi tausyiah diisi oleh banyolan-banyolan yang kadang-kadang tidak ada benang merahnya dengan materi dakwah. Sungguh ironis, tapi saya hanya terdiam, karena warga menyukainya.
Setelah acara tausyiah selesai, kami warga antri untuk mengambil makan malam yang kebetulan disajikan secara prasmanan. Ketika antri itu-lah, saya dengan tidak sengaja mendengarkan pembicaraan beberapa warga.
“Wah ustadz-nya hebat ya. Bisa menghibur. Belum pernah saya duduk mendengarkan tausyiah sampai acara selesai seperti ini. Biasanya ustadz yang berceramah terlalu serius, makanya sering saya tinggal untuk merokok!”
“Iya..ya, saya juga suka!” sahut bapak yang lain.
Namun ada juga warga lain yang kurang sreg, dengan cara dakwah tadi. Karena inti dari acara halal bihalal tidak dibahas, kalau pun ada sebatas kulit permukaannya saja, sehingga tambahan ilmu agama yang ingin diperoleh tidak didapatnya.
Bahkan ada warga lain yang menganggap bahwa dakwah tadi ibarat pementasan kelompok lawak. Jadi sulit dibedakan apakah tadi ngelawak atau berdakwah!.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Sejenak sahabat saya berpikir untuk mengingat kembali nama-nama ustadz yang pernah dikenalnya.
“Bagaimana kalau ustadz A?” usul sahabat saya. Pamannya menggelengkan kepala, tanda tidak setuju, dan tanpa memberi alasan.
Tidak berapa lama kemudian disusul dengan nama yang lain, “Oh ya, bagaimana kalau ustadz B paman? Bagus lho, cakrawala pengetahuan agamanya luas dan cara penyampaiannya mudah dipahami!”. Namun sekali lagi sang paman menggelengkan kepala, kemudian berkata,”Jangan yang itu sudah terlalu sering mengisi tausyiah disini dan banyak warga yang kurang pas dengan caranya memberikan dakwah!”
Sahabat saya memutar lagi ingatannya. Barangkali ada referensi lain. “Ada lagi paman, cuma kayaknya ini yang terakhir saya kenal, yaitu ustadz C!” seperti sebelumnya sang paman juga menggelengkan kepalanya.
Bingung karena setiap usulan yang disampaikan ditolak, maka sahabat saya menanyakan kepada sang paman,”Kalau begitu kriteria apa yang diinginkan warga? Siapa tahu saya dapat menanyakan kepada teman-teman, karena referensi saya sudah habis!”.
“Begini lho, warga disini menginginkan ustadz yang tidak saja menyampaikan tausyiah, tetapi yang bisa juga menghibur, ya...semacam melucu atau melawak!”
“Kok begitu kriterianya, mengapa harus ustadz yang bisa menghibur?”
“Pertanyaan yang bagus. Kenapa? Supaya warga yang hadir tidak mengantuk dan betah duduk berlama-lama sampai acara selesai. Karena dari pengalaman sebelumnya, banyak warga yang meninggalkan kursi dan berpamitan pulang sebelum acara selesai. Apalagi kalau ustadz-nya terlalu serius dalam menyampaikan materi dakwah!”
Sahabat saya hanya terdiam dan merenung. Dalam hatinya dia bertanya,”Kok aneh ya? Beginikah cara pandang warga dalam menyikapi seorang ustadz yang menyampaikan dakwah. Kalau begitu apa tidak sekalian mengundang pelawak saja biar suasana ramai, ketawa terbahak-bahak dan ger-geran!”
Kegelisahan ini-lah yang pernah diceritakan kepada saya. Hanya sedikit komentar yang keluar dari bibir saya pada waktu itu dan sambil tersenyum geli,”Mungkin lagi nge-trend kali!”
***
Apa yang menjadi kegusaran sahabat saya, juga pernah beberapa tahun yang lalu di kampung dimana kedua orang tua saya tinggal. Kejadian yang tidak pernah terlupakan.
Ketika itu kebetulan warga kampung mengadakan acara halal bihalal. Atas inisiatif salah seorang warga, dia mengusulkan mengundang salah seorang ustadz yang dikenalnya sekaligus teman akrabnya. Atas usulan tersebut warga setuju dan mempercayakan kepadanya.
Maka datang-lah moment acara halal bihalal yang ditunggu-tunggu. Setelah acara dibuka dan sedikit pidato dari ketua RT dan panitia, kemudian dilanjutkan dengan giliran sang ustadz mengisi sesi tausyiah. Sambil mencicipi jajanan (snack) yang disediakan panitia, kami semua mendengarkan materi tausyiah.
Sungguh di luar dugaan saya, ternyata warga sangat antusias mendengarkan dan memberikan applaus kepada sang ustadz. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata ustadz tersebut pandai melucu dalam menyampaikan dakwahnya sehingga membuat warga tertawa terpingkal-pingkal. Hampir 2/3 sesi tausyiah diisi oleh banyolan-banyolan yang kadang-kadang tidak ada benang merahnya dengan materi dakwah. Sungguh ironis, tapi saya hanya terdiam, karena warga menyukainya.
Setelah acara tausyiah selesai, kami warga antri untuk mengambil makan malam yang kebetulan disajikan secara prasmanan. Ketika antri itu-lah, saya dengan tidak sengaja mendengarkan pembicaraan beberapa warga.
“Wah ustadz-nya hebat ya. Bisa menghibur. Belum pernah saya duduk mendengarkan tausyiah sampai acara selesai seperti ini. Biasanya ustadz yang berceramah terlalu serius, makanya sering saya tinggal untuk merokok!”
“Iya..ya, saya juga suka!” sahut bapak yang lain.
Namun ada juga warga lain yang kurang sreg, dengan cara dakwah tadi. Karena inti dari acara halal bihalal tidak dibahas, kalau pun ada sebatas kulit permukaannya saja, sehingga tambahan ilmu agama yang ingin diperoleh tidak didapatnya.
Bahkan ada warga lain yang menganggap bahwa dakwah tadi ibarat pementasan kelompok lawak. Jadi sulit dibedakan apakah tadi ngelawak atau berdakwah!.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fahri-SCHSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar