DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Sabtu, 04 Juli 2009

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (17)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (17)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

17. NURUL BASHIRA,TERLIHATNYA TUHAN DI DUNIA

Bisakah manusia melihat Tuhan? Kenapa tidak? Setiap muslim yang bertaqwa sudah menginginkan. Namun, tidak sedikit pendapat yang menyangsikan. Dalihnya, Tuhan bersifat gaib. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Apabila menghendaki seorang hamba dapat melihat-Nya, maka terlihatlah.

Soal melihat Tuhan, ada dua pendapat. Sebuah keyakinan mengatakan bahwa Tuhan hanya bisa dilihat di akhirat saja. Namun pendapat yang satunya menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya bisa dilihat di akhirat saja, tetapi di dunia ini juga dapat dilihat. Yaitu dengan mata batin (Bashirah). Yang sudah dapat melihat Tuhan adalah orang yang sudah terbuka tirainya yang lazim disebut Kasyaf.

Di dalam ilmu Tauhid, konsepsi melihat Tuhan itu disebut Ihsan. Yang merupakan buah dari Islam dan Iman. Sedangkan Ihsan, dijelaskan di dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar R.A, bahwa ihsan adalah “Jika engkau menyembah Allah SWT (shalat), seakan-akan engkau melihat-Nya, namun bila engkau tidak mampu maka bersikaplah seakan-akan engkau dilihat Allah.”

Di dalam Al-Hikam diterangkan, ibadah shalat tidak tergolong suatu ibadah yang Ihsan atau baik, manakala tidak disertai perasaan seperti sungguh-sungguh melihat Tuhan. Bagaimana perasaan melihat Tuhan? Sudah barang tentu tidak bisa dijelaskan dan digambarkan. Hal tersebut merupakan pengalaman ruhani. Intinya menyangkut masalah rasa. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Menuju Ihsan sangatlah berat. Karenanya Allah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 45-46, yang artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu sulit, kecuali orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang meyakini berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka kembali kepada-Nya.”

Di Akhirat
Pendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat di akhirat, memakai landasan surat Al-Qiyamah ayat 22 & 23, yang artinya: “Wajah-wajah penuh ceria memandang kepada Tuhannya.” Itu merupakan buah ketakwaannya saat menjalani kehidupan di dunia. Bagi mereka yang kadar ketakwaannya tipis, tidak akan dapat melihat Tuhan.

Di dalam surat Yunus ayat 26 ditegaskan, “Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat Tuhan).” Bagaimana melihat Tuhan di akhirat? Digambarkan, melihat Tuhan saat di akhirat, laksana melihat matahari dan bulan.

Gambaran tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat? Maka Rasulullah menjawab: “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan purnama? Para sahabat menjawab: “Tidak Ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi: “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu siang hari tanpa awan?” “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu.”

Di Dunia
Sedangkan melihat Tuhan saat masih hidup di dunia, berdasarkan peristiwa Isra’ Mikraj Nabi Muhammad SAW. Bahkan saat Mikraj, Rasulullah benar-benar melihat Tuhan. Karenanya, Sayidina Hasan bin Ali ra berani bersumpah sewaktu menerangkan hal ini.

Kalangan Ahlush Sunah sepakat tentang terjadinya Rasulullah melihat Tuhan di malam Mikraj dengan nyata/mata.

Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah Jalla Jalaluhu dengan mata batinnya, sebagai satu ‘karomah’ untuk mereka, seperti juga Mukjizat untuk para Nabi dan Rasul. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan ulama sufi umumnya mengemukakan, “Apabila ruhaniah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata kepala tidak dapat melihat, kecuali hanya pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin.”

Di kalangan sufi, melihat Tuhan bisa terjadi di dunia ini dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT; yang oleh Syeikh Junaid RA disebutkan Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat Wara’i (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang sufi besar pada zamannya, tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, Abu Bakar Al-Attar, Al-Jurairi, ‘Athowi, dan banyak lagi lainnya.

Diceritakan, saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Quran. Beliau wafat pada hari Jumat tahun 297 H setelah selesai membaca ayat ke 70 surat Al-Baqarah.

Sehubungan dengan ucapannya tentang melihat Tuhan, muridnya bertanya, "Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Kami (para Alim) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Tidak juga kami bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenalnya.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (16)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM MENUJU TUHAN (16)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

16. MUKASYAFAH, TERSINGKAPNYA CAHAYA HATI

Seorang muttaqin yang telah terbuka tirai mata hatinya disebut kasyaf. Berasal dari kata mukasyafah, terbuka tirainya. Mukasyafah ada dua macam yaitu, mukasyafah Rububiyah dan Mukasyafah Ghaibiyah. Keduanya tentang kegaiban, tetapi maknanya yang berbeda. Mukasyafah Rububiyah terbukanya tirai Ketuhanan, sedangkan mukasyafah Ghaibiyah terbukanya tirai kegaiban.

Sebelum membahas mukasyafah Ketuhanan, terlebih dulu kita menyinggung mukasyafah Keghaiban. Sebab berdasarkan kenyataan yang sering terjadi pada umumnya ada hubungannya dengan ‘bakat’ seseorang. Biasanya, sebelumnya terlebih dulu melakukan latihan-latihan tertentu yang didukung oleh bakatnya, sehingga ia mampu melihat hal-hal yang ghaib. Lazimnya disebut tembus pandang.

Mereka yang memiliki kemampuan pandangan tembus, mampu melihat benda yang berada pada tempat yang jauh, tertutup atau gelap, atau mampu melihat peristiwa yang akan atau sedang terjadi disuatu tempat yang jauh. Orang yang memiliki kemampuan demikian ini biasa terjadi. Malahan bisa terdapat pada orang yang sama sekali buta terhadap Tuhan, bahkan mungkin anak-anak dibawah umur. Dalam hal ini dikenal dengan istilah ‘khariqul lil adat’ (luar biasa).

Hal tersebut berbeda sekali dengan mukasyafah Ketuhanan. Sebab mukasyafah Ketuhanan merupakan karunia dan rahmat dari Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan Mukasyafah Kegaiban, bisa saja sebagai cobaan, dan bisa lenyap. Sedangkan Mukasyafah Ketuhanan sifatnya kekal.

Yang kita harapkan adalah limpahan rahmat, kemantapan batin dalam iman dan istiqamah, tekun, dalam sifat kehambaan, dapat melaksanakan perintah-Nya, serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Nur Hati
Di dalam Sirajut Tholibin disebutkan, “Ilmu Mukasyafah adalah nur yang menyatu di dalam ketika dilakukan pembersihannya, maka tampaklah di dalam hati itu pengertian-pengertian yang menyeluruh merupakan hasil Makrifatullah Taala, makrifat kepada Asma-Nya, makrifat kepada Sifat-Nya, makrifat kepada Af’al-Nya, dan terbukalah segala tutupan, dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi…”.

Di dalam kitab Ihya’, rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu dzuqy (perasaan) yang terbuka cerah, di dapat dari Musyahadah tanpa dalil dan keterangan.

Maksudnya perintah menyembunyikan apa yang didapat dalam saat terbuka tirai (mukasyafah), apakah itu berupa pengertian-pengertian atau hal-hal gaib lainnya. Sebab, peristiwa yang dialaminya adalah suatu keadaan yang bersifat individu, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah, berfungsi sebagai suatu ‘rahasia tersembunyi’ yang hanya diketahui antara si penemu dengan Allah Aza Wa Jalla.

Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas, besar kemungkinan mendatangkan fitnah, tuduhan negatif, atau bisa menimbulkan perasaan ujub (merasa hebat sendiri) yang akibatnya bisa menghancurkan nilai-nilai penemuan. “Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Mukasyafah itu adalah kepada/dengan Allah ‘Azza Wa Jalla yang menunjukkan suatu pemberian terhadap orang yang Musyahadah dengan ketauhidan yang dimilikinya, berdasar ilmu yakin, iman, dan ilmu makrifat. Ilmu Mukasyafah adalah puncak segala ilmu dan kesana pulalah titik akhir cita-cita orang yang ‘Arif. Tidak ada lagi batas pandang sesudah itu.

Rahasia GAIB
Dari segi lughowi (bahasa) Mukasyafah adalah ‘terbuka tirai’. Maksudnya terbuka segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi, pengertian-pengertian atau hal-hal yang gaib. Ilmu Mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksakta yang pada umumnya memiliki metode-metode yang sistematik tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya “fauqa thuril ‘aqli” (di atas puncak akal).

Peredaran akal paling tingga adalah pada batas titik optimum yang kemudian bisa menurun kembali. Sedang ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Karena hanya bisa didapat dengan nur dari Allah SWT. Syech Muhammad Ikhsan Dahlan, Kediri Jawa Timur mengemukakan bahwa ilmu ini bersumber dari hadits Nabi SAW. Sebab dia adalah yang amat halus/tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘Alim. Bila mereka bicara tentang ilmu itu tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar’ (berhati lalai).

Seorang yang sudah mendapatkan mukasyafah, maka hal-hal yang gaib dapat terlihat. Tak ada yang bisa disembunyikan darinya. Bahkan pikiran dan hati seseorang nampak dengan sendirinya dihadapannya. Kalau ada orang bisa membaca pkiran orang lain, bukan berarti sudah kasyaf. Sebab, ada ilmu tertentu untuk baca membaca seseorang.

(Bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (15)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (15)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

15. NYATA ! ALLAH TAK TERSELIMUTI TABIR

Pandangan Syuhud, suatu pandangan yang tidak ada keraguan. Jika masih ragu-ragu, maka gemerlapnya cahaya yang disaksikan, bukanlah Nur Ilahi. Sebab, Al-Musyahadah adalah kehadiran Al-Haq tanpa adanya prasangka. Jadi suatu kebenaran tanpa keraguan. Itulah penyaksian dengan perasaan murni, yang disebut Musyahadah bidz-Dzauqi. Ulama sufi menyebutnya ‘Naadir’.

Seorang bisa menyaksikan kehadiran Allah, semua tergantung dari ada tidaknya ‘Jidzib’ (tarikan) Allah Yang Maha Rahman. Jadi kehadiran Al-Haq yang bisa disaksikan, adalah kebenaran yang tidak ada keraguan seserpih pun. Karena kehadiran Allah nyata. Tidak ada tabir yang mampu menutupi.

Karenanya, penyaksian terhadap Yang Haq, tidak bisa digambarkan atau dilukiskan. Jika masih bisa dilukiskan atau digambarkan, maka itu bukanlah yang sesungguhnya. Tetapi bias pikiran yang selalu berharap ingin bertemu. Atau setan yang sengaja datang menggoda.

Pertemuan dengan yang Haq, adalah urusan pribadi. Bainahu wa bainallah (antara diri dengan Allah). Ini bisa dicapai jika ada Jidzib (tarikan) dari Allah. Jadi Allah Ta’ala-lah yang menghendaki, Dia hadir pada seorang hamba. Cahaya keagungan Allah membias pada cahaya hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Dan, hamba yang mampu melihat-Nya berarti telah melampaui maqam-maqam takwa.

Keyakinan
Yang dinamakan Musyahadah bidz-Dzauqy adalah menyangkut perasaan. Allah Ta'ala yang memasukkan perasaan dan pikiran. Berupa keyakinan. Keyakinan adalah kecenderungan batin untuk memastikan benar atau tidaknya sesuatu dengan melalui sebab atau tidak melalui sebab. Karena yakin itu merupakan kecenderungan batin, sedangkan batin bukan urusan langsung manusia, tetapi diurus oleh Allah swt, maka sangat perlu berdoa memohon kepada Allah agar batin dikaruniai. Tanpa karunia Allah seseorang tak akan menemukan apa yang dinamakan yakin.

Yakin adalah ilmu yang diletakkan pada hati, bukan pada pikiran. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yakin itu tidak termasuk ilmu yang bisa diusahakan. Ilmu yakin ada tiga macam. Hal ini yang membedakan keyakinan orang yang satu dengan yang lainnya yaitu Ilmu Yakin, Ainul Yakin, dan Haqqul Yakin.
1. Ilmu Yakin adalah keyakinan yang setelah adanya beberapa keterangan dan dalil (dasar). Sehubungan dengan Musyahadah, dirumuskan sebagai berikut:”Ilmul yaqiini alladlii huwa makrifatuhu Ta’ala bil baraahiina (Ilmu yakin ialah makrifat kepada Allah Ta’ala dengan beberapa keterangan).

2. ‘Ainul Yakin adalah keyakinan berdasarkan kenyataan. Tidak ada alasan ataupun yang menolaknya, bila kenyataan itu ada. “Wa musyaahadatuhu Ta’ala qobla kullasyai-i wa huwal musama ‘indahum bilmu’aayananah.” (Musyahadah terhadap Allah Ta’ala sebelum menyaksikan segala sesuatu yang menurut para sufi disebut ‘muayanah (kenyataan/pembuktian). Hal inilah ‘Ainul Yakin.

3. Haqqul Yakin ialah keyakinan yang sebenarnya. Musyahadah terhadap Allah Ta'ala secara nyata dan meyakinkan, tanpa dalil dan pembuktian. “Haqqul Yaqiin huwa musyahadatuhu Ta’ala fi kulla syai-in bilaa huluulin wat tihaadiu wan fishaliu wala ittishaalin.” (Haqqul Yaqin ialah musyahadah terhadap Allah dalam segala sesuatu tanpa hulul (bersatu) tanpa ittihad (terpadu) tanpa ittishol (bersambung), dan tanpa infishol (berhubung-hubungan).

Karenanya, penyaksian dengan perasaan murni itu adalah suatu penyaksian yang tidak perlu diragukan lagi. Harus Haqqul Yakin, sebab keyakinan itu ditanamkan oleh Allah pada perasaan dan pikiran yang menemukannya. Sehingga, tidak sedikit pun ada prasangka bahwa yang disaksikan lain dari Al-Haq.

ALLAH NYATA
Dalam kitab Al-Hikam disebutkan, bahwa Allah itu sangat nyata. Tanpa ada sesuatu pun yang menabiri atau menutupinya. Dia bisa dilihat secara jelas. Namun mengapa kita tidak bisa melihat-Nya? Itu tidak lain ada sesuatu yang menutupi pandangan kita. Ada yang menabiri mata hati kita. Sehingga penglihatan kita tidak mampu menyaksikan Allah Ta’ala.

Jadi, yang tertabiri adalah mata hati kita. Tertutup oleh banyaknya cahaya selain Allah. Yaitu tabir kebendaan, tabir keduniaan dan segala isinya, nafsu, birahi, dan sebangsanya. Bukan Allah SWT yang terselimuti, sehingga tidak dapat dilihat.

Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwal ladzi adh haru kulla syaiin (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dialah yang menzahirkan sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwal ladzi dhohari fi kulla syaiin” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dialah yang tampak pada segala sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwadh dhaahiru qobla wujuudi kulli syaii” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal Dia Maha Nyata sebelum adanya sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun wa huwa adhharu mingkulli syaii” (Bagaimana mungkin sesuatu dapat mendingi Allah, padahal Dia lebih nyata dari sesuatu).

“Kaifa yatashauwaru ayyahjubahu syaiun walaullahu maakaana wajuudu kulli syai” (Bagaiaman mungkin sesuatu dapat menandingi Allah, padahal kalau tidak Dia, tidak segala sesuatu).

“Yaa ‘ajabaa kaifa yadh harulwujuuduhu fil ‘adami” (Alangkah ajaibnya, bagaimana mungkin Yang Maha Ada bisa Zhahir/nyata di dalam yang tidak ada).

Dalam ajaran Musyahadah (penyaksian) terhadap Allah SWT, Allah Maha Nyata dari segala yang nyata. Ada suatu prinsip yang paling mendasar, yaitu keyakinan yang tertanam pada batin bahwa Allah Maha Nyata dibanding dari segala yang nyata. Dan, Allah Maha Dekat dari segala yang dekat.

Hakikat ketuhanan (yang ada pada diri manusia) yang membedakan antara manusia dengan binatang. Maka sesungguhnya bukan mata, tetapi buta hati yang ada di dalam dada.

“Siapapun yang hidup di dunia ini dalam kebutaan, maka di akhirat kelak akan lebih buta dan sesat jalan. (QS. Al-Isra’ : 72)

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (14)


TAFAKUR, KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (14)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

14. MUSYAHADAH, PENYAKSIAN KEAGUNGAN NUR ILLAHI

Bahasan kita kali ini sampai pada Musyahadah, yaitu penyaksian. Kata penyaksian mengandung dua hal, yang menyaksikan dan yang disaksikan. Siapa yang menyaksikan dan apa yang disaksikan. Di dalam ilmu makrifat, yang disaksikan adalah Nur Illahi. Sedangkan yang menyaksikan adalah mata hati. Yang istilah tasawufnya adalah ‘pandangan Syuhud’. Suatu pandangan batin sebagai penyaksian yang tidak diragukan lagi.

Seseorang yang sudah dapat menyaksikan Nur Illahi adalah orang ‘alim yang benar-benar kasyaf. Artinya sudah terbuka tirai/cadar/penutup, yang menutupi lensa mata hatinya.
Mata hati tidak akan dapat menyaksikan keagungan Nur Illahi, apabila masih tertutup oleh tirai gemerlapnya cahaya-cahaya kebendaan. Cahaya kebendaan itu sesungguhnya amat tebal. Ia diserap oleh nafsu melalui pandangan mata kepala, kemudian melekat pada mata hati. Jika kita ingin melihat keagungan Nur Illahi, maka cadar penutupnya harus dihilangkan.

Asalnya Suci
Sebenarnya untuk menyaksikan gemerlapnya nur illahi itu bukan suatu yang baru. Keinginan itu merupakan kerinduan, karena telah lama berpisah. Ingin sekali bernostalgia, bahkan "menyatu". Karena jaraknya teramat jauh, bahkan nyaris hilang, maka keinginan itu menjadi muskil untuk tercapai.

Manusia adalah terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jiwa dan raga. Dulunya, kondisi jiwa adalah bersih dan suci. Mampu berkomunikasi dengan Al-Haq. Namun setelah dibungkus dengan jasad, yang dibuat dari lumpur, dibumbui dengan nafsu, maka jiwa menjadi kotor. Untuk menjaga agar tidak kotor, Allah mempersenjatai dengan akal yaitu hati dan perasaan. Ajang pertempuran antara nafsu dan akal.

Di dalam kitab Tawirul Qulub dijelaskan, jiwa manusia pada asalnya adalah ‘lathifah Rabbaniyah’ (cahaya Ketuhanan) dan dekat sekali hubungannya dengan Allah SWT. Selalu memuja dan memuji serta bertasbih. Yang diketahuinya hanya Allah semata. Akan tetapi, setelah jiwa berhubungan dengan jasad, barulah jiwa mengerti bahwa ada yang lain lagi selain Allah SWT.

Disinilah titik awal, apa yang disebut ‘lupa’. Lupa terhadap keaslian dirinya yang disebut ‘Lathifah Rabbaniyah’. Lupa terhadap tugas yang harus diembannya, karena segala yang lain dari Allah yang baru diketahuinya itu mampu menguasai jiwanya. Munthabi’atan fi mir’atihi (melekat pada lensa mata hatinya).

Pembersihan
Agar supaya dapat kembali menyaksikan Al-Haq seperti dahulu, dapat pula menyaksikan ‘Arasy, Kursiy dan lain-lain yang berada dalam alam Malakut, maka tirai itu harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka selamanya tidak akan mampu melihat kembali sang Haq.

Untuk pembersihan diri itu dalam surat at-Dzariat Allah menyerukan peringatan, “Berilah peringatan olehmu (hai Muhammad) sesungguhnya peringatan itu berharga sekali untuk orang yang beriman.” Jika tidak diperingatkan, maka: “Bagaimana mungkin hati akan cemerlang, sedangkan gambaran dari semua keadaan terlalu lekat pada lensa mata hatinya, atau bagaimana mungkin akan bisa menuju Allah sedang dia sendiri menjadi tunggangan nafsu syahwat.”

“Segala keadaan dan peristiwa alam semesta ini seluruhnya menunjukkan kegelapan. Padahal, yang memberikan cahaya pada semua itu karena amat nyata Al-Haq padanya. Siapa yang melihat semua keadaan tetapi tidak dia saksikan Allah Al-Haq padanya, atau pada saat melihat keadaan (kaun) atau sebelum dan sesudahnya, maka sesungguhnya dia disilaukan oleh cahaya-cahaya itu, dan tertutuplah mata hati makrifatnya akibat tebalnya awan kebendaan.” (Al-Hikam).

Syekh Ahmad Ibnu Athaillah, dengan kata-kata hikmahnya tersebut, menegaskan bahwa segala kaun/ka-inaat (keadaan alam) adalah ‘zhulmatun’ (kegelapan). Gelap tak ada apa-apa yang dapat dilihat.

Alam bisa terlihat karena adanya cahaya. Mata dapat melihat disebabkan adanya cahaya, yaitu cahaya mata. Antara cahaya mata dengan cahaya alam terjadi pantulan, sehingga terlihat. Jika salah satunya tidak berfungsi, maka akan menjadi gelap. Apalagi keduanya tidak bercahaya, tentu akan menjadi amat pekat. Terasa tidak ada apa-apa. Kosong, hampa. Jadi, cahayalah yang meliputi apa yang dipandang oleh mata.

Nur Makrifat
Musyahadah atau penyaksian terhadap Al-Haq, tentu dibutuhkan tembusan sinar kebenaran yang menelusup dalam jiwa, perasaan dan hati. Yaitu sinar yang dinamakan “Nur Makrifat”. Dengan Nur Makrifat itulah seseorang bermusyahadah.

Untuk suatu penyaksian, ada tiga macam alat batin. Yaitu, Bashirah (pandangan batin), “Ainul Bashirah (Mata pandangan batin), dan Syi’a ul Bashirah (nyala pandangan batin).

Banyak faktor yang menutupi pandangan batin, sehingga sulit untuk menyaksikan kebenaran hakiki. Lebih-lebih nafsu dan syahwat sudah menguasai terlalu dalam dalam menguasai diri. Ditunggangi nafsu dan syahwatnya. Tetapi bukan berarti tidak dapat terbuka.!

Imam Al-Ghazali memisalkan keadaan hati laksana kepingan baja hitam. Walaupun bagaimana hitamnya kepingan baja itu, seberapa tebal karat dan keraknya, jika diasah secara tekun terus menerus (kontinyu), istiqamah, pasti akan menjadi putih, licin dan bersih, sehingga mampu menerima bayangan dari arah manapun datangnya.

Begitulah hati. Apabila dijaga terus secara baik dan benar, dibersihkan dari karat-karat yang melekat, maka hati akan sanggup menerima bayangan tulisan yang ada pada Lauh Mahfuzh. Sebab, hati amat luas dibandingkan bumi dan langit. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar ra. “Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku (Allah SWT). Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerimanya.”

Dalam al-Quran surat Al-Ahzaab ditegaskan, “Disodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka enggan menerima/menanggungnya, karena mereka khawatir. Lalu manusialah yang bersedia menerimanya. Sungguh manusia menyakiti dirinya sendiri dan bodoh.”

Sungguh berat tanggungjawab manusia. Dan, berat pula menerima Al-Haq. Tetapi, di sisi lain Allah memberikan kemampuan untuk menerimanya, yaitu suatu pemberian dan anugerah yang amat mulia dan paling bijaksana. Hati diberi nur makrifat sehingga mampu melaksanakan amanah itu.

Lagi pula, dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Karena tebalnya cahaya awan kebendaan, membuat tidak mampu kembali melihat Nur Illahi. Allah tidak memaksa untuk melihat-Nya. Hanya saja diperintahkan beribadah menurut kemampuannya.

(bersambung)

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS

Tafakur, Konsep Islam Jalan Menuju Tuhan (13)


TAFAKUR,KONSEP ISLAM JALAN MENUJU TUHAN (13)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

13. BAIAT, BIMBINGAN MURSYID MENUJU KEAGUNGAN ILLAHI


Bagi tiga ratus orang, empat puluh orang, tujuh, lima, tiga, dan yang seorang, memiliki kelebihan jauh dari manusia biasa. Ia tidak pernah sakit. Mereka mampu berpindah-pindah tidak hanya pada alam spiritual, tetapi alam semesta yang lain bisa dijangkau. Tidak seorangpun yang mampu mengganggu mereka. Siapapun orangnya. Sebab, orang seperti ini kebal terhadap kesulitan dan penderitaan dunia.

Pada umumnya, seseorang tidak akan diterima kedalam golongan syeikh sampai dia mencapai maqam ar-ruh atau yang lebih tinggi darinya. Penerimaan oleh para pengikut jalan kesufian, pemegang tugas-tugas yang dibebankan pada syeikh, diformulasikan dalam suatu upacara inisiasi khusus, yang disebut baiat (pelantikan).

Sejarah Baiat.
Baiat banyak jenisnya. Setiap jamiyah tharekat, khususnya yang keruhaniannya sudah menginjak kejalan kemakrifatan, selalu ada upacara baiat. Dan, pelantikan itu ada tingkatannya. Diantaranya, yang pertama adalah baiat Jahar, kemudian Sirri, ada yang dinamakan Tabib Tujuh, dan seterusnya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah perlu dan harus ada baiat? Hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarahnya. Awal mula baiat adalah berasal dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam keruhanian, beliau pertama kali membaiat sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Namanya baiat Jahar. Ali diberi zikir membaca kalimat tauhid ‘La ilaha illallah’, yang dibaca dengan suara (keras).

Pembaiatan terhadap Ali RA tersebut, diketahui oleh Abu Bakar Assidiq RA. Lalu Abu Bakar RA minta pembaiatan jahar itu dari Syayidina Ali RA, termasuk kalimat zikirnya. Hal tersebut diketahui oleh Nabi SAW, sehingga beliau memanggil Abu Bakar RA. Karena Abu Bakar RA sudah mendapat baiat Jahar, maka Nabi SAW membaiatnya dengan baiat Sirri (samar). Zikirnya dalam hati, menyebut Allah…Allah…Allah. Syayidina Ali RA mengetahui hal tersebut, lalu beliau bertanya pada Abu Bakar RA, dan meminta dibaiat. Itulah awal mula pembaiatan, sehingga menjadi tradisi dikalangan sufi.

Tujuan Baiat
Apa tujuan pembaiatan itu? Pelopor orde Chishti di India, Hazrat Khwaja Mu’inuddin ra, menerima tanggung jawab pembaiatan dari gurunya Syeikh ‘Utsman Haruni ra, mengabarkan pembaiatan pada dirinya yang berlangsung pada tahun 561 H. Ia memperoleh pembaiatan setelah menghabiskan waktunya selama 12 tahun untuk belajar dan melayani syeikhnya. Orang suci tersebut menggambarkan pembaiatan pada dirinya sebagai berikut:

Saya mendapat kehormatan untuk tampil dihadapan syeikh saya, Hazrat ‘Usman, dengan hadirnya beberapa tokoh spiritual lainnya. Saya membungkuk memberi salam pada orang suci itu. Hazrat “Utsman menyuruh saya melakukan salat 2 rakaat. Saya melakukannya. Kemudian beliau menyuruh saya menghadap Ka’bah di Mekkah.

Beliau kemudian menyuruh saya membaca Al-Qur’an surat Al-Baqarah. Saya melakukannya. Beliau menyuruh saya megulang-ulang doa dan salawat untuk Rasulullah SAW dan keluarganya 21 kali dan mengucapkaan Subhanallah 60 kali, saya melakukannya. Setelah itu beliau bangkit, menggenggam tangan saya dan memandang ke arah langit, dan berkata, “Mari kuperlihatkan engkau kepada Allah”.

Setelah itu, beliau memotong rambut saya dengan sebuah gunting dan kemudian meletakkan sebuah penutup kepala khusus (kolah chabar tarki) di kepala saya dan menyuruh saya duduk. Kemudian beliau menyuruh saya membaca surat Al-Ikhlas seribu kali, saya melakukannya. Kemudian beliau berkata, “Diantara para pengikutku hanya ada satu hari satu malam masa percobaan (mujahadah), karena itu pergilah dan lakukanlah hal itu hari ini. “Sesuai petunjuk beliau saya menghabiskan waktu satu hari satu malam untuk melakukan shalat terus menerus dan muncul kembali setelah itu.

Beliau menyuruh saya duduk dan membaca surat al-Ikhlas 1000 kali lagi, saya lakukan. Kemudian beliau menyuruh saya, “Pandanglah ke langit.” Sewaktu saya pandangkan mata ke arah langit, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke al’arsyal-muala (puncak singgasana suci). Kemudian beliau berkata, “Lihatlah ke bawah”. Saya lakukan itu. Beliau bertanya,”Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Kebawah tahtats-tsara (ke dasar neraka).

Beliau lantas menyuruh saya duduk dan membaca al-Ikhlas 1000 kali, saya melakukannya. Beliau berkata kepada saya, “Pandanglah ke arah langit”. Sewaktu saya memandang, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke Azmat (Kilauan Keagungan Allah). Beliau kemudian berkata, “Tutuplah matamu.” Saya lakukan itu, dan setelah itu beliau berkata, “Bukalah matamu.” Saya lakukan itu. Beliau kemudian memegang dua dua jari pertama di tangan kanannya dan bertanya, “Apa yang kau lihat melalui jari-jari itu?”

Saya berkata, “Saya melihat 800 ribu dunia.” Sewaktu beliau mendengar itu, beliau berkata, “Sekarang pekerjaanmu selesai”. Beliau kemudian memandang ke arah batu bata yang terletak di dekatnya dan menyuruh saya memungutnya. Sewaktu saya melakukan hal tersebut, saya temukan beberapa koin emas dibawahnya. Beliau menyuruh saya pergi dan membagikan koin-koin itu kepada orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya, yang kemudian saya lakukan. Beliau kemudian menyuruh saya untuk tetap bersama beliau beberapa saat lamanya.

Syeikh Mursyid
Seorang syeikh mursyid yang bisa membimbing hingga mampu melihat kilauan Keagungan Allah, adalah ia yang seperti digambarkan oleh Syeikh Sughrawardi, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu laksana Kibrit Ahmar (yakut merah), permata yang tergolong langka di saat itu, yang sulit dijumpai. Tetapi masih lebih sulit menemui mursyid Kamil (guru pembimbing) yang berkelayakan.

Mursyid tersebut memiliki ketajaman mata batin (bashier) yang memiliki silsilah keguruan sampai kepada Rasulullah. Berilmu (‘Aalim), menghindar dari cinta harta dan pangkat, sedikit makan, tidur dan ucapannya. Banyak shalat sunah, puasa sunah, luhur budi pekertinya, dan banyak lagi.

Apabila seseorang taat kepada Allah serta rahmat-Nya, maka jiwa berkembang dari keadaan egotisme yang tak berdaya, sampai pada penyatuan suci, tentunya jika Allah menghendaki. Cara melakukan perjalanan dari perhentian terbawah ke perhentian lebih tinggi adalah dengan melawan dan mengendalikan dorongan nafs. Dalam usaha ini para sufi menerima latihan khusus yang ditentukan oleh Allah sendiri untuk mencapai hasil yang pasti. Paling cepat dan menyeluruh.

(bersambung)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
SC-HSS