DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Rabu, 21 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (3)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Banyak orang islam yang memiliki pandangan dalam mempelajari Al-Qur’an targetnya adalah dapat menghafalkannya. Biasanya kalau sudah hafal, tamat atau khatam, orang tersebut akan mendapat gelar hafidz, atau lebih akrab lagi diberi gelar kyai.

Benarkah belajar Al-Qur’an memiliki batas demikian? Tentu tidak. Kalau standarisasi yang diambil seperti ini maka kitab Al-Qur’an akan menjadi stagnan dan usang. Padahal Al-Qur’an diturunkan sebagai penuntun umat sampai akhir zaman (kiamat). Di setiap zaman Al-Qur’an selalu mampu “berbicara”. Takwil dari ayat-ayat-Nya tidak pernah ketinggalan zaman. Inilah salah satu mukjizat dari kitabullah.

Pemahaman dan takwil bukanlah hasil pikir manusia, karena otak manusia tidak akan mampu men-takwil-kannya. Tetapi Allah-lah yang akan menjelaskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki dan dipilih, yang diturunkan ke dalam hati manusia. Inilah yang disebut dengan hidayah (ilmu dari Allah SWT). Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, tentunya yang menjelaskan Sang Pemilik wahyu, bukan otak manusia.

QS. Al-Baqarah 2 : 269,

“Allah menganugerahkan hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Namun banyak umat islam yang tidak percaya, bahkan mencoba men-takwil-kan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat mutasyabihat. Apa yang kemudian terjadi? Karena hasil pikir takwil didorong oleh nafsu maka hasil yang diperoleh pun menjadi keliru. Allah SWT melarang hamba-Nya untuk men-takwil-kan ayat mutasyabihat dan menganggapnya sebagai orang yang tidak berakal. Sekali lagi, adalah hak prerogatif Allah SWT menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada hamba yang dipilih dan dikehendaki.

QS. Ali Imran 3 : 7,

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

***

Membahas mengenai permasalahan ilmu dan agama ini membuat saya teringat atas kata-kata yang ditulis oleh seorang sahabat yang ditempelkan di dinding tempat pengajian biasa diselenggarakan, agar mudah dibaca para jamaah pengajian.

Agama berhubungan dengan Tuhan
Ilmu berhubungan dengan alam

Agama membersihkan hati
Ilmu mencerdaskan otak


Agama diterima dengan iman

Ilmu diterima dengan logika


Renungan :

1.Umat islam diwajibkan untuk membaca, mempelajari, memahami, mengaplikasikan dan syukur Alhamdulillah dapat menghafal ayat Al-Qur’an. Ini sebagai konsekuensi bahwa kita meyakini rukun iman yang ke empat yaitu beriman kepada kitabullah.

2.Pengertian hakiki dari pendakwah adalah manusia pilihan Allah SWT. Merekalah yang berhak menyampaikan dakwah, karena ilmu dan takwilnya telah dijelaskan sendiri oleh Allah SWT, bukan dinilai dari tingginya ilmu pengetahuan yang berasal dari proses belajar kepada manusia lain.

3.Bagi hamba yang dikehendaki dan dipilih Allah SWT selalu akan menyampaikan (berdakwah) atas ayat-ayat yang telah dipahamkan oleh Allah SWT. Tidak melebar ke ayat-ayat lain yang belum dijelaskan. Sebagaimana Rasulullah SAW mendapatkan wahyu secara bertahap (baik ilmu (ayat tersurat) maupun takwilnya (makna tersirat pada ayat tersebut).

Bagaimana menurut anda?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Fahri-SCHSS

Selasa, 20 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (2)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Waktu menunjukkan pukul 19.45 WIB. Setelah selesai mendirikan shalat Isya’ dan makan malam, kami berdua duduk santai di ruang keluarga untuk meneruskan diskusi tadi sore yang sempat terputus.

Saya yang mulai membuka diskusi tersebut,“Apa yang ayah jelaskan tadi sore memang benar. Kalau materi tersebut tidak diluruskan akan berakibat fatal”.

Ayah hanya menganggukan kepala, kemudian gantian angkat bicara,”Di ayat lain misalnya, Allah SWT juga menyatakan singgasana-Nya di atas air. Apakah ini berarti Dia juga bersemayam di sana. Tidakkan? Betapa sempitnya cara berpikir manusia kalau ayat tersebut dipahami tanpa akal sehat!”

QS. Hud 11 : 7,
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu), di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah) :’Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati’, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata:’Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.

Kemudian ayah melanjutkan pembahasan mengenai Allah, dengan ayat-ayat yang lain, seperti :

QS. An-Nisaa’ 4 : 126,”...Allah meliputi segala sesuatu...”.

QS. Al-Baqarah 2 : 115 :”Kepunyaan Allah Timur dan Barat, kemana kamu menghadap maka disana wajah Allah.

QS. Al-Hadiid 57 : 4 :”Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

QS. Qaaf 50 : 16 :”...dan Kami (Allah) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya (manusia)”

QS. Al-An’aam 6 : 103 :”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”

QS. Asy-Syuraa 42 : 11 :”...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”.

"Kalau ustadz tadi membaca ayat-ayat tersebut, kira-kira bagaimana pendapat dia ya? Ayat-ayat ini paling tidak mewakili tentang Allah SWT”.

Saya hanya terdiam, dan coba melengkapi tentang banyaknya salah kaprah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, seperti makna Baitullah. Banyak mengartikan rumah Allah. Dalam segi tata bahasa memang benar. Namun kalau demikian pengertiannya sungguh tidak masuk akal. Coba betapa kecilnya Allah SWT yang mempunyai rumah sebesar Baitullah dan Dia bersemayam di dalamnya. Tidak masuk akalkan? Padahal makna yang sebenarnya dari Baitullah adalah tempat yang dirahmati.

Contoh lain adalah Allah SWT mengatur alam semesta dengan kedua tangan-Nya. Bukan berarti Allah SWT memiliki tangan seperti manusia. Makna hakikinya adalah Qudrat dan Iradat.

Masih banyak contoh lain dari ayat-ayat Allah SWT yang menggunakan perumpaan dan bahasa manusia. Ini semata-mata untuk mempermudah pemahaman umat dan keterbatasan kosa kata manusia. Tapi jangan-lah secara sembarangan mengartikan apa adanya tanpa pengetahuan.

Bersambung....

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Fahri-SCHSS

Senin, 19 April 2010

Dakwah Salah Kaprah (1)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sebelumnya saya mohon maaf kepada para sahabat dan sidang pembaca karena begitu lama blog saya tidak aktif. Hal ini semata-mata karena saya sedang diperjalankan Allah SWT kepada sesuatu yang lebih "dalam" lagi untuk digembleng lahir batin dan sempat "dimarahi" karena kebodohan saya. Insya Allah, mulai saat ini saya berusaha menulis hasil perenungan dan menyisihkan waktu untuk sharing kepada para sahabat. Adapun artikel ini saya mulai tentang beberapa kasus syiar (dakwah) salah kaprah yang sering terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat. Amin.

(1)
DAKWAH TANPA PEMAHAMAN ILMU

Meskipun saya sudah berkeluarga dan hidup mandiri terpisah dari orang tua namun jalinan silaturahmi tetap kami jaga. Ini sebuah komitmen bersama antara saya dengan istri. Oleh karena itu setiap bulan sekali, sebagai bentuk dharma bakti, kami “wajib” menjadwalkan kunjungan, baik kepada orang tua maupun mertua secara bergantian. Mumpung Allah SWT masih memberi mereka kesehatan.

Sore hari pada bulan November 2009, saat bersilaturahmi ke rumah orang tua, saya menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan ayah. Mulai dari yang ringan seperti menanyakan kondisi rumah, saudara, dan tetangga, kami juga sering mendiskusikan masalah agama. Sebuah kebiasaan untuk saling bertukar pikiran.

Kebetulan ayah dipercaya oleh warga untuk mengisi pengajian setiap sabtu pagi di kampung. Selain untuk menambah wawasan agama juga sebagai forum silaturahmi.Pengisi pengajian tidak hanya dimonopoli ayah, namun bergiliran dengan salah satu warga lainnya. Tetangga saya masih tergolong muda, namun sudah dipercaya untuk mengisi pengajian. Adapun alasan warga adalah :

Pertama, Dia adalah anak seorang kyai (alm), asli penduduk setempat, lulusan pondok pesantren, dan pengetahuan agamanya cukup luas.

Kedua, Kegigihan, kerja keras dan prestasi yang bagus selama di pondok pesantren membuahkan hasil manis pada akhirnya. Dia mendapat bea siswa untuk belajar di salah satu universitas di Arab Saudi.

Dengan pertimbangan faktor inilah maka warga mempercayakan kepada dia sebagai salah satu ustadz untuk mengisi acara pengajian rutin setiap Sabtu pagi. Sementara itu, jamaah pengajian rata-rata adalah warga setempat yang sudah cukup berumur namun (maaf) basic agama mereka belum mendalam. Hanya beberapa orang yang pemahaman agamanya cukup baik. Melihat kondisi jamaah, disinilah peran ustadz begitu vital. Apalagi jamaah lebih banyak pasif dan hanya menerima materi yang disampaikan. Jadi penyampaian materi yang salah dapat berdampak buruk bagi pemahaman jamaah.

Pada sore itulah, saat berbincang-bincang, ayah menceritakan dan membahas perihal materi yang pernah disampaikan oleh ustadz muda tersebut. Ada suatu materi saat disampaikan kepada jamaah yang dirasa kurang tepat dan dapat berakibat fatal bagi jamaah. Kebetulan saat penyampaian materi tersebut, ayah saya duduk sebagai jamaah dan beliau hanya diam saja. Hal ini dilakukan dengan maksud agar yang hadir tidak memiliki pandangan negatif dan tidak mempermalukan sang ustadz di depan jamaah. Namun dalam hati, ayah berjanji bila ada waktu yang tepat maka beliau akan mendiskusikan masalah tersebut secara face to face.

Didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan, saya mencoba menanyakan perihal masalah tersebut,”Menurut pandangan ayah, penyampaian materi apa yang dirasa kurang tepat?”

“Ketika membahas tentang Allah SWT. Sang ustadz mempunyai pemahaman yang harus diluruskan. Pada saat menyampaikan materi kepada jamaah, dia menerangkan bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy, dengan penjabaran bahwa Allah SWT bagaikan seorang raja yang duduk di singgasana-Nya di langit ke tujuh dan jauh sekali dari manusia. Hal ini dilatar-belakangi saat dia mencoba menafsirkan surat Al-Baqarah dan Ar-Rad”.

QS. Al-Baqarah 2 : 255,

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?. Allah mengetahui apa-apa yang ada dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

QS. Ar-Rad 13 : 2,

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.

Saya sejenak tertegun dan mencoba me-recall ulang pemahaman tentang makna Allah bersemayam di atas Arasy. Tidak berapa lama kemudian ayah melanjutkan diskusinya,”Cobalah kita renungkan dan gunakanlah akal sehat. Kalau Allah diidentikkan sebagai seorang raja yang bersemayam duduk di “kursi”-Nya di langit ke tujuh (Arasy), betapa kecilnya Allah SWT dibandingkan dengan langit dan alam semesta ini. Padahal Dia-lah pencipta alam raya ini beserta isinya. Allah memiliki Asma Akbar, Yang Maha Luas, tak terbatas, terbebas dari ruang dan waktu”.

Setelah kami berdua terdiam dan mengambil nafas sejenak. Namun jauh di dalam hati saya membenarkan apa yang baru saja dijelaskan dan diuraikan ayah.

“Betapa sembrononya ustadz tersebut dalam menafsirkan ayat hanya berdasarkan apa yang tersurat. Padahal beberapa ayat Al-Qur’an juga mempunyai makna tersirat, seperti ayat-ayat Mutasyabihat, salah satunya surat Ar-Rad tersebut! Kalau kemudian penafsiran ini diterima begitu saja oleh jamaah, alangkah berbahayanya”.

Namun diskusi sejenak kami hentikan, karena terdengar panggilan azan untuk mendirikan shalat maghrib. Kami berjanji akan membahas lebih lanjut permasalahan yang belum selesai tersebut setelah makan malam.

Bersambung...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Fahri-SCHSS

Rabu, 03 Maret 2010

Syair An-Nafri

SYAIR IMAM AN-NAFRI

Al Mawaqif wal Mukhatabat
Syaikh Muhammad ibnu Abdul Jabbar bin al Hasan an-Nafry (Imam An-Nafri)

Allah berseru pada hamba-Nya:

“Hendaklah engkau bekerja tanpa melihat pekerjaan itu!

Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!

Engkau melihat amal perbuatanmu, walau baik sekalipun,tak layak bagi-Ku untuk memandangnya. Maka janganlah engkau masuk kepada-Ku besertanya!

Sesungguhnya, jika engkau mendatangi-Ku berbekal amal perbuatanmu, maka akan Aku sambut dengan penagihan dan perhitungan. Jika engkau mendatangi-Ku berbekal ilmu, maka akan Aku sambut dengan tuntutan! Dan jika engkau mendatangi-Ku dengan ma’rifat, maka sambutan-Ku adalah hujjah, padahal hujjah-Ku pastilah tak terkalahkan.

Hendaklah engkau singkirkan ikhtiar (ikut mengatur dan menentukan kehendak-Nya untuk dirimu—red), pasti akan aku singkirkan darimu tuntutan. Hendaklah engkau tanggalkan ilmumu, amalmu, ma’rifat-mu, sifatmu dan asmamu dan segala yang ada (ketika mendatangi-Ku), supaya engkau bertemu dengan Aku seorang diri.


Bila engkau menemui-Ku, dan masih ada diantara Aku dan engkau salah satu dari hal-hal itu, —padahal Aku-lah yang menciptakan semua itu, dan telah Aku singkirkan semua itu darimu karena cinta-Ku untuk mendekat kepadamu, maka janganlah membawa semua itu ketika menemui-Ku—, jika masih saja engkau demikian, maka tiada lagi kebaikanmu yang tersisa darimu.

Kalau saja engkau mengetahui, ketika engkau memasuki-Ku, pastilah engkau bahkan akan memisahkan diri dari para malaikat, sekalipun mereka semua saling bahu-membahu untuk membantumu, karena keraguanmu itu (bahwa ada penolongmu dihadapan-Nya selain Dia—red.), maka hendaklah jangan ada lagi penolong selain Aku.

Jangan pernah engkau melangkah ke luar rumah tanpa mengharap keridhaan-Ku, sebab Aku-lah yang bakal menunggumu (di luar rumah—red.) untuk menjadi penuntunmu.

Temuilah Aku dalam kesendirianmu, sekali atau dua kali setelah engkau menyelesaikah shalatmu, niscaya akan Aku jaga engkau di siang dan malam harimu, akan Aku jaga pula hatimu, akan Aku jaga pula urusanmu, dan juga kemauan kerasmu.

Tahukah engkau bagaimana caranya engkau datang menemui-Ku seorang diri? Hendaknya engkau menyaksikan bahwa sampainya hidayah-Ku kepadamu adalah karena Kemurahan-Ku. Bukan amalmu yang menyebabkan engkau menerima ampunan-Ku, bukan pula ilmumu.

Kembalikan pada-Ku buku-buku ilmu pengetahuanmu, serahkan pada-Ku catatan-catatan amalmu, niscaya akan aku buka dengan kedua tangan-Ku, Kuterima dan Kubuat ia berbuah dengan keberkatan-Ku, dan akan kulebihkan semuanya itu dengan kemurahan-Ku.”

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Selasa, 02 Maret 2010

Tujuh Sunnah Rasulullah SAW yang Hilang


Tujuh Sunnah Rasulullah SAW yang Hilang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pada tanggal 26 Februari 2010 lalu umat islam memperingati hari lahirnya Rasulullah SAW. Pertama-tama, selaku pribadi, ijinkanlah saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada umat islam di Indonesia atas cintanya kepada Rasulullah Muhammad SAW. Seorang Nabi agung dan mulia yang dengan kasih sayang, kesabaran dan keikhlasannya menemani umat untuk memperkenalkan islam, baik dalam keadaan suka maupun duka. Yang bersedia menderita lebih dulu sebelum umatnya menderita dan yang bersedia menerima kebahagiaan paling akhir ketika umatnya mendapat kebahagiaan. Sungguh beliau adalah suri tauladan sebagai pemimpin umat dan kepala negara yang begitu berusaha mengedepankan kepentingan rakyat dibanding memuaskan nafsu pribadinya.

Begitu cintanya umat islam sehingga setiap tahun bertepatan dengan tanggal kelahiran beliau (maulid Nabi), mereka menyambut dengan gegap gempita melalui bacaan Shalawat Nabi dan mengenang sejarah perjuangan beliau. Peringatan maulid Nabi tidak hanya diselenggarakan di masjid-masjid agung, tetapi juga di mushola, sekolah-sekolah bahkan di sudut-sudut kampung pedesaan. Sungguh pemandangan yang begitu menyejukkan.

Namun demikian, secara pribadi, ijinkan pula saya mengungkapkan rasa sedih yang sedalam-dalamnya melihat umat islam dewasa ini yang begitu banyak meninggalkan sunnah Rasulullah SAW dalam kehidupannya sehari-hari. Padahal mereka mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Tetapi lain di bibir lain pula dalam realita. Banyak yang tidak konsisten (munafik) antara perkataan dengan perbuatan. Bahkan ada dari sebagian kecil umat islam yang mengatas-namakan melaksanakan sunnah nabi masih dengan cara pilah dan pilih semata-mata untuk memuaskan egonya. Yang enak dilaksanakan, tetapi yang tidak enak pikir-pikir dulu. Padahal kalau kita mengaku umat dan cinta kepada Rasulullah SAW, tentunya apa yang pernah beliau contohkan, umat tentunya harus melaksanakan secara totalitas, holistik dan komprehensif. Tidak ada tebang pilih.

Banyak dari sunnah Rasulullah SAW yang ditinggalkan. Maka tidak heran bila jumlah umat muslim yang begitu dominan di Indonesia ibarat buih di lautan. Banyak tetapi hakikatnya kosong. Besar tetapi mudah diombang-ambingkan. Ibarat anak ayam kehilangan induknya. Perilakunya banyak yang jauh dari akhlak islami. Ini semua disebabkan umat islam tidak mengetahui dan paham dengan sebenarnya apa itu islam, iman, takwa karena akibat kelalaian mereka yaitu meninggalkan sunnah Nabi SAW.

Lalu apa saja pesan Nabi SAW yang dilalaikan atau diabaikan oleh umat islam sehingga kehidupan beragama umat islam menjadi gersang? Banyak sekali, namun menurut pengamatan saya ada 7 hal yang paling mendasar. Apa itu?

Pertama, Berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnahnya,(QS. Al-A’raaf 7 : 170).
Kedua, Shalat sebagai mi’raj-nya orang mukmin, (QS. Al-Baqarah 2 : 45-46).
Ketiga, Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu, (QS. Al-Baqarah 2 : 200).
Keempat, Tidak ada seorang pun yang selamat dengan amalnya sendiri (QS. Al-Baqarah 2 : 64).
Kelima, Belajar dari ayunan sampai liang kubur (QS. An-Nisaa’ 4 : 58).
Keenam, Innama a’malu bil niyat (QS. Al-Kahfi 18 : 110).
Ketujuh, Jihadun Akbar (Jihad melawan hawa Nafsu) (QS. Al-Hajj 22 : 78).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fahri-SC-HSS