DAPAT UANG MELALUI INTERNET

Tampilkan postingan dengan label Rezeki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rezeki. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Juli 2009

Orang Berhidmat, Rezeki Datang Sendiri


ORANG BERHIDMAT, REZEKI DATANG SENDIRI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para sahabat dan sidang pembaca yang dirahmati, dimulikan dan dicintai Allah SWT.

Memburu rezeki, sudah barang tentu menjadikan seseorang sibuk. Karena kesibukannya mencari rezeki, membuatnya mengabaikan (lupa) pada sumber rezeki, yaitu Allah swt. Rezeki setiap hamba sudah ditentukan dan diatur sedemikian rupa pemberiannya. Sudah tercatat di Lauhul Mahfudh bersama umur dan jodoh. Rezeki tidak bisa berkurang dan bertambah. Karenannya, tidak bisa diburu. Ia tidak akan lari. Apabila sudah waktunya, rezeki akan datang sendiri.

Manusia dan jin diciptakan oleh Tuhan untuk berhidmat. Melayani Tuhan. Bukan untuk mencari rezeki. Orang yang beribadah dengan berserah diri sepenuhnya, maka rezeki menjadi tanggungan Allah.

Menurut para ulama ada dua hal yang tertulis di Lauhul Mahfudh, yaitu satu bagian tertulis secara mutlak, tanpa syarat dan tanpa menggantungkannya dengan pekerjaan hamba, yakni rezeki dan ajal. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran yang artinya: “Semua hewan yang melata di bumi itu, rezekinya menjadi tanggungan Allah.” Dan apabila ajal telah datang, maka mereka tidak bisa mengundurkan sesuatu pun dan tidak dapat memajukan.”

Sedangkan satu bagian lain yang tertulis dengan syarat, digantungkan dan disyaratkan dengan pekerjaan hamba, yaitu pahala dan siksa. Pahala dan siksa disebut oleh Allah dalam Alquran dalam keadaan digantungkan dengan syarat pekerjaan hamba.

Inilah perbedaan antara rezeki dan ajal dengan pahala dan siksa, memang sudah tertulis di Lauhil Mahfudh. Tetapi, perbedaannya sudah jelas. Pahala atau siksa akan diperoleh berdasarkan pekerjaan manusia di dunia. Amal ibadah imbalannya pahala kenikmatan, dan siksa akan diperoleh sebagai imbalan kemungkaran dan kejahatan atau perilaku buruk lainnya.

Sejak zaman kuno klasik, sudah timbul pertanyaan, “Kita melihat orang-orang yang mencari rezeki pada menemukan banyak rezeki dan harta, sedangkan orang–orang yang tidak mau mencari tidak mempunyai apa-apa dan fakir.”

Menemui pertanyaan seperti ini, Al Ghazali menjawab: “Seakan-akan anda tidak pernah melihat orang yang rajin bekerja tapi fakir. Seolah-olah anda tidak pernah melihat orang yang tidak bekerja dan nganggur, tetapi mendapatkan rezeki dan kaya. Ini semua fakta, bahkan hal semacam inilah yang terjadi, supaya dimengerti bahwa yang demikian itu merupakan ketentuan Allah Yang Maha Menang lagi Maha Mengetahui, serta pengaturan Allah yang Merajai lagi Bijaksana.

Abu Bakr Muhammad bin Sabiq Ash-Shiqieliy mendendangkan syair yang artinya: “Banyak sekali orang kuat yang rajin mondar-mandir (mencari rezeki), lagi pula jernih pendapatanya, tetapi rezeki Allah berpaling darinya. Sebaliknya banyak pula orang lemah enggan mondar-mandir, namun seolah-olah ia tinggal menciduk saja rezeki dari tepi laut. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai rahasia yang samar dikalangan makhluknya, yang tidak bisa terbuka.”

Mengenai rezeki akan datang sendiri, Rasulullah SAW. Pernah didatangi seorang pengemis. Beliau pun bersabda: “Ambilah kurma ini! Seandainya engkau tidak datang, kurma ini pasti datang kepadamu.”

Hal ini juga tidak asing bagi kita. Tidak sedikit orang alim dan ahli hikmah, nyaris tidak pernah samasekali bekerja. Namun Allah mencukupi kebutuhan hidupnya. Entah melalui orang-orang yang mendatanginya, lalu menyerahkan sesuatu baik barang maupun uang dengan maksud minta didoakan. Tidak sedikit orang alim mampu melaksanakan ibadah haji beberapa kali, padahal dia tidak bekerja. Semata-mata berharap rezeki dari Allah.

Mengenai pahala dan siksa, dulu juga banyak yang menanyakan, apakah pahala dapat bertambah karena mencari, atau berkurang sebab meninggalkannya? Yang perlu diketahui adalah mencari pahala itu wajib, karena Allah memerintahkannya dan mengancam kalau meninggalkannya. Lagi pula Allah tidak menanggung pahala orang yang tidak taat. Sedangkan tambahan pahala dan siksa itu disebabkan pekerjaan hamba.

Yang menjadi persoalan dalam mengarungi samudra spiritual berjalan menuju surga, apakah perlu membawa bekal atau tidak berbekal, dalam arti bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Dalam hal ini, para alim berpendapat bahwa membawa bekal dalam beribadah itu boleh-boleh saja. Sebab, boleh jadi bekal itu merupakan rezekinya sebagai penegak dirinya. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah hatinya. Hati tidak boleh terpancang pada bekal yang dibawanya. Tetapi harus terpancang hanya kepada Allah.

Membawa bekal itu tidak haram, boleh. Yang haram adalah terpancangnya hati kepada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah. Terpancangnya rezeki di hati itulah kenyataan hambatan dalam ‘Aqobatul Awaridh (tanjakan) tajam ini yang dimaksudkan Al Ghazali.

Tampaknya sangat remeh. Tetapi sungguh sangat berat. Betapa tidak! Pada tanjakan ini yang diuji adalah hati. Timbulnya gerak hati disebabkan rasa khawatir. Khawatir mati kelaparan dan kehausan jika tidak memiliki bekal. Khawatir jatuh sakit, khawatir ini dan itu, dan sebagainya. Di jalan ini rasa was-was hati harus dihilangkan. Caranya adalah isi hati dengan asma Allah dan pasrahkan sepenuhnya kepada Allah segala sesuatunya (tawakal).

Jika sudah memiliki rasa pasrah, maka pada gilirannya akan merasakan hubungan antara diri pribadi dengan Allah. Merasa jiwa mengambang, lepas terpisah dengan dimensi dunia. Kita akan sadar dalam perenungan, bahwa hubungan manusia dengan dunia (mencari harta) adalah urusan pribadi, sama sekali tidak berhubungan dengan dimensi Ketuhanan. Alangkah indahnya, alangkah nikmatnya apabila terus menerus bisa demikian. Nantinya kita akan merasakan tidak butuh berhubungan dengan sesama manusia yang sibuk dengan dunia. Pada gilirannya juga merasa berat untuk berkata-kata yang tidak berarti. Karena banyak kata akan membuat keseleo, dan sangat tidak bermanfaat.

Demikian sumbangsih kami, semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

H. Sutadji-Penulis
Fahri-Lay Out dan Penyunting
Shalat Center Halaqah Sampangan Semarang

Senin, 20 April 2009

Rahasia Rezeki


RAHASIA REZEKI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para sahabat yang dimuliakan dan dirahmati Allah SWT.

Ada sebagian manusia mengklaim bahwa kehidupan ini tidak adil. Dengan alibi bahwa mereka mati-matian bekerja, jujur, tekun, namun kesejahteraan hidupnya ya... segitu-gitu aja, bahkan tak jarang masih kekurangan.

Sering kita mendengar pameo yang berkembang di masyarakat, bahwa jaman sekarang kalo ”nggak ngedan nggak kumanan” atau ”cari rejeki yang haram aja susah, apalagi yang halal”. Betapa sempitnya cara pandang mereka menghadapi hidup ini. Namun demikian, saya pribadi menganggap cara pandang ini cukup manusiawi, meski perlu diluruskan. Karena pandangan pesimistis ini secara tidak langsung ”menuduh” bahwa Sang Pencipta itu tidak adil.

Binatang Dijamin Rezekinya

Allah SWT memiliki sifat asma’ul husna, yang salah satunya bahwa Dia adalah Ar-Razaq. Yang memberi, mengatur dan mendistribusikan rejeki kepada seluruh makhluknya. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang.

”Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu” (Al-Ankabut 29:30).

Cobalah perhatikan burung. Ketika pagi menyingsing sudah meninggalkan sarang dan anak-anaknya kemudian pulang ke sarang pada senja hari untuk menjemput rezeki dari Allah SWT. Ketika meninggalkan sarang, burung itu yakin bahwa dia akan dilimpahkan rejeki pada hari itu, walaupun untuk sekedar bertahan dan memberi makan anak-anaknya. Tidak ada rasa pesimis sedikitpun. Cobalah sekali-kali kita meluangkan waktu barang sejenak dua jenak mengamati sekeliling kita, bagaimana Allah mendistribusikan rezekinya pada makhluknya. Maka rentetan kekaguman demi kekaguman akan membuka kesadaran kita. Sungguh Allah memiliki sifat Ar-Razaq.

”Dan Kami telah menjadikan untukmu di Bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya”. (Al-Hijr 15: 20)

Allah, Manusia dan Rezeki

1. Berpasang-pasangan
Lalu bagaimana dengan manusia? Apakah Allah SWT juga melimpahkan rezeki kepada manusia? Tentu saja iya. Kalau memang Allah SWT Sang Pemberi Rezeki (Ar-Razaq) lalu kenapa kok ada yang kaya dan miskin?

Allah SWT menjadikan kehidupan alam semesta dan isinya selalu berpasang-pasangan. Ada siang malam, panas dingin, gelap terang, baik buruk, laki-laki perempuan, hidup mati, kaya miskin, dll.

Mengapa harus dibuat berpasang-pasangan? Supaya ada pembanding!. Misalkan semua orang memiliki harta yang sama persis, bagaimana bisa dapat dikatakan bahwa orang itu kaya atau miskin?

Apa gunanya harus berpasang-pasangan? Agar manusia saling membagi dan menyayangi. Yang kaya dengan kasih sayangnya menyedekahkan, menginfaqkan, menzakatkan, mensodaqohkan sebagian rezekinya kepada yang miskin. Sedangkan yang miskin akan mendo’akan keselamatan, ampunan, kesehatan, limpahan rahmat, dll. Sungguh suatu fenomena yang agung dan harmonis. Saling memberi namun dalam bentuk yang berbeda. Si Kaya memberi barang dan si miskin memberikan do’a.

2. Manusia, Rezeki dan Cobaan

Bagi manusia yang memiliki tingkat kesadaran berketuhanan yang tinggi, maka tidak ada rasa takut sedikitpun mengenai hidup ini, khususnya masalah rezeki. Rezeki hanya sarana untuk beribadah. Karena rezeki sudah dijamin oleh Allah. Masak Allah menciptakan makhluknya kemudian tidak dijamin dan dipelihara hidupnya. Masak Allah tega menelantarkan kita. Ya..nggak mungkinlah.

Tapi bagi manusia yang kesadaran berketuhanannya tipis dan masih dibelenggu oleh nafsu serakah, mereka mati-matian mengejar dunia (melampaui batas). Setelah diperoleh banyak yang menganggap bahwa rezeki (harta)-nya adalah hasil jerih payahnya. Sehingga orang lain tidak berhak meminta apa darinya. Kondisi ini sudah ditengarai oleh Allah SWT seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an :

”Dan jikalau Allah melapangkan rezeki pada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi...” (Asy-Syura 42:27)

”Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar sama mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Al-Ankabut 29:17).

Namun lucunya manusia, bila usaha mereka mati-matian dalam mencari harta tidak berhasil, Tuhanlah yang jadi tertuduh.

”Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata,
”Tuhanku menghinakanku,” (Al-Fajr 89:16).

Kalau sudah begini, ujung-ujungnya mereka gelap mata dengan mencari ”tuhan-tuhan” yang lain. Entah itu menjilat penguasa, mendatangi paranormal, bersemedi di tempat yang angker, mencari pesugihan, dll. Padahal sekali-kali mereka tidak dapat memberikan rezeki barang sedikitpun.

”Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu disisi Allah dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya” (Al-Ankabut 29-60).

3. Hak Prerogatif Allah Dalam Menentukan Rezeki.
Hidup itu enak bila kita tahu ilmunya. Sebenarnya mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Apa gerangan itu? PASRAH TOTAL kepada ALLAH. Pasrah bukan berarti pasif, pasrah itu justru aktif. Selama ini pengertian kita mengenai pasrah keliru. Coba perhatikan matahari, bulan, bumi, langit, gunung, dll, mereka itu tunduk, patuh dan pasrah dengan kehendak Allah...apakah mereka diam? Ternyata bergerak namun ikut kehendak Allah. Mereka semua bergerak sesuai lintasannya, orbitnya, manzilahnya, sehingga tidak bertabrakan satu dengan yang lainnya karena ikut kehendak Allah SWT.

Kembali ke masalah rezeki. Bahwa rezeki itu telah ditentukan oleh Allah SWT sebelum kita lahir ke bumi. Kita pasrah ke Allah SWT mengikuti kehendaknya, sehingga dituntun untuk menjemput rezeki yang telah ditentukan oleh-Nya. Coba perhatikan hadits berikut ini...

”Sesungguhnya setiap orang diantaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya (menulis) 4 perkara : Ketentuan Rezekinya, ketentuan ajalnya, amalnya dan ia celaka atau bahagia...” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam Al-Qur’an pun Allah berfirman :

”Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki...(Ar-Rad 13:26).

”...Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikendaki-Nya tanpa batas...(Al-Baqarah 2 : 212)

Ketika kita tunduk, patuh, dan pasrah kepada Allah SWT, maka hasil atau puncak tertinggi adalah taqwa. Dan balasan orang yang taqwa adalah rezeki.

”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya...(Ath-Thalaq 65: 2-3)

Saya hanya berpesan, bahwa pandanglah rezeki lebih luas, tidak hanya materi tapi juga kesehatan, keamanan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Buat apa banyak harta tapi kita sakit-sakitan. Buat apa banyak harta tapi keluarga cerai berai.....

Sekian dulu sumbangsih saya. Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Fahri
SC-HSS