KIMIA KEBAHAGIAAN (13)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorangpun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
TENTANG MUSIK DAN TARIAN SEBAGAI PEMBANTU KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya. Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya. Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk. Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya. Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan. Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya."
Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir. Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu." Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani. Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yan gdibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.
Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: "Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut." Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi - meskipun mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf - mesti dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
SC-HSS
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorangpun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
TENTANG MUSIK DAN TARIAN SEBAGAI PEMBANTU KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya. Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya. Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk. Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya. Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan. Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya."
Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir. Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu." Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani. Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yan gdibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.
Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: "Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut." Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi - meskipun mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf - mesti dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.
Bersambung...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
SC-HSS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar